Pustaka
Bahasa Indonesia

SABARKU ADA BATASNYA, MAS!

25.0K · Tamat
Dypama
25
Bab
48
View
9.0
Rating

Ringkasan

Dulu aku menikahi Mas Angga karena menemukan kebahagiaan dan kedamaian saat bersamanya. Mas Angga sosok yang alim, baik, bertanggung jawab, dan melindungu. Aku yang dulu tak seiman dengannya juga turut menjadi satu iman dengan kepercayaan Mas Angga, benar dia membimbingku Pun aku juga memutuskan resign dari karirku demi fokus mengarungi bahtera rumah tanggaku dengannya Semua baik-baik saja, kami bahagia Hingga hati manusia siapa yang tau Karir Mas Angga yang semakin menanjak telah membutakannya Hingga aku mulai mencurigainya saat ada sesuatu hubungan janggal Mas Angga dengan seorang janda kaya raya. Siapa wanita itu sebenarnya? Benarkah Mas Angga terbukti menduakannya? Sabarku ada batasnya, Mas!

RomansaMenantuPerselingkuhanplayboyDrama

1

Hidup berumah tangga dengan orang yang benar -benar kita cintai itu pasti sangat membahagiakan. Hanya prosesnya terkadang membuat aliran darah naik dan salah paham terus mengisi kekacauan perdebatan yang tak berakhir dalam semalam.

Perkenalkan namaku Mutiara biasa dipanggil Mutia. Aku anak bungsu yang sama sekali tidak mengenal kata manja. Kedua orang tuaku berhasil mendidik aku menjadi wanita mandiri dengan gelas sarjana. Namun, gelarku ini hanya terpakai sedikit di saat muda saja. Selebihnya aku pakai untuk mendidik anak -anakku karena aku adalah ibu, madrasah pertama untuk keempat anakku.

Aku sudah mengarungi bahtera rumah tangga selama lima belas tahun bersama suamiku. Lelaki pilihanku yang sangat aku cintai hingga kita berdua sepakat untuk menikah di usia yang tidak telalu muda.

Lima belas tahun bukanlah angka yang sedikit menjalani proses kehidupan bersama dari nol hingga di titik yang mungkin tidak semua orang bisa menjalaninya. Waupun aku yakin, pasti ada wanita hebat yang juga tegar menerima kenyataan hidupnya yang tidak semanis gula kapas.

Suamiku bernama Anggara Fouryan. Sesuai namanya, Beliau anak keempat dari enam bersaudara. Panggil saja Mas Angga. Kami berdua hidup bahgai dan bahkan tak pernah terdengar kalau kita berselisih paham atau bertengkar hebat seperti tetangga sebelah. Walaupun sebenarnya kami berdua juga sering berbeda pendapat.

Kalau orang bilang, Cinta itu buta? Memang benar. Cinta itu konyol? That's true. Cinta itu goblok? Sangat setuju sekali. Tapi sebenarnya bukan goblok juga. Karena kita terlalu mencintai, takut kehilangan, terlalu tulus, terlalu pasrah, jadinya terlihat bodoh dan lemah.

"Ma ... Mama kenapa? Kok matanya merah?" tanya Anna, putri sulungku.

Anna adalah nama panggilannya dari kepanjangan Anastasia. Masih duduk di Kelas VIII.

Aku menghapus cepat sisa air mata yang keluar dari kelopak mataku saat aku masih menggoreng tempe. Aku berkilah, kedua mataku sakit karena asap dari masakan.

"Mama kan lagi masak, Anna. Kalau masak ya begini, mata suka perih," kilahku menari alasan yang tepat agar Anna yang memiliki ras aingin tahu besar itu tidak bertanya lebih lanjut.

"Oh ..." jawabnya pelan dengan rasa ragu dihatinya yang belum puas mendengar jawabanku.

Anna segera pergi dari dapur menuju ke arah luar untuk mneyelesaikan uian piring yang masih berjajar di wastafel samping dapur. Aku memang tidak pernah memanjakan kedua putriku. Aku didik mereka agar bisa bekerja mengurus rumah dan melakukan pekerjaan yang tidak begitu berat untuk anak seusianya.

Bagiku, pendidikan kemandirian seperti ini sangat penting untuk kehidupan mereka setelah dewasa nanti. Aku hanya ingin, kedua putriku bisa hidup mandiri tanpa bergantung pada kedua orang tuanya.

Aku baru saja, berdebat dengan Mas Angga, suamiku. Bagaimana tidak. Namanya juga aku hanya seorang istri dan ibu rumah tangga. Tugasku hanya melayani, menyiapkan, dan membersihakn rumah agar tetap nyaman dan bersih.

Ternyata, sat aku lihat ke dapur. Bukan hanya lantai yang bersih dan liin. Tempat berasku juga bersih dari butiran beras. Tak satu pun menempel disana.

Apakah salah, jika aku meminta? Bukankah tugas istri memang meminta pada suami? Walaupun sang istri memiliki penghasilan sendiri. Tetap, Meminta uang nafkah adalah tugas dan hak istri.

Saat aku meminta uang untuk membeli beras dan sayuran mentah. suamiku hanya menjawab, "Aku tidak punya uang." Singkat, padat dan jelas.

Rasanya sangat menusuk dada. Sakit sekali saat mendengar jawaban dari suamiku yang seolah tak peduli.

"Mas ... Beras habis, sekalian minta uang untuk beli lauk. Beli sayur mentah dan tempe saja yang sederhana," pintaku dengan sangat lembut dan sopan.

"Aku gak punya uang. Udah tahu laki di rumah saja. Masih saja kamu minta uang. Kalau ada uang biasnaya juga aku kasih kamu semua!" Suara itu masih terngiang di telingaku. Apakah jawaban itu pantas dilontarkan oleh seorang laki laki gagah perkasa seperti Mas Angga.

Aku memilih diam. Aku tidak berkomentar apapun, walaupun aku sangat marah dan sangat keewa sekali.

Ini fungsinya menjadi wanita berpendidikan yang kreatif. Biar bisa hidup mandiri di saat genting seperti ini.

Aku segera pergi dari kamar tidurku lalu keluar menuju ruang makan. Aku melihat ponselku dan mulai mengutak atik beberapa aplikasi yang biasa kau pakai untuk menari uang tambahan.

"Lia!" panggilku pada putri keduaku.

"Ya Ma," jawabnya cepat sambil memghampiriku.

"Ambil uang di Mbak Laras. Ambil lima puluh ribu, Uang adminnya langsung di potong aja. Habis itu mampir ke warung Bu Siti. Beliin beras dua kilo, tempe dua kotak, telor seperempat, minyak seperempat sama sayur sop -sopan," titahku pada putri keduaku yang mengangguk paham sambil mengulang kembali apa yang aku suruh tadi.

Inilah arti pernikahan yang sesungguhnya?! Bukan tentang cinta, bukan tentnag kasih sayang dan bukan tentang keromantisan. Tapi, tentang saling melengkapi, saling peka dan saling bisa di andalkan.

"Udah mateng belum Ma?" tanya suamiku berteriak dari arah ruang tamu saat mencium aroma wangi dari arah dapur.

"Belum!" jawabku ketus dengan hati yang masih kesal dan dongkol.

Ini bukan sekali dua kali, Mas Angga berlaku seperti ini.

"Mas kamu gak tanya? Dari mana aku punya uang?" tanyaku saat kita smeua sudah berkumpul di ruang makan untuk sarapan pagi.

"Aku tahu, kamu itu perempuan hebat, istri cerdas dan sangat bisa di andalkan," ucapnya memuji tapi sekaligus membuatku sedih.

"Tapi Mas seharusnya kamu berpikir lebih jauh bukan hanay menanyakan makanan sudah matang belum? Jangan seperti itu. Aku juga mau seperti wanita lainnya ..."

"Apa maksud kamu?! Ingin seperti wanita lainnya? Ingin yang bagaimana? Menuntut suaminya? Bekerja dan keringatnya diperas hanaya untuk kesenangan dan kepuasan kamu saja begitu?! Aku sudah berusaha cari kerja. Bukan duduk diam saja," ucap Angga ikut tersulut api amarah.

"Bukan gitu. Kamu cari kerja dari mana? Setiap hari hanya di rumah saja," jawab ia masih deagn nada lembut.

"Ku pikir kamu wanita yang bsia menerima. Ternyata kamu sama saja seperti wanita lain, hanya fokus pada uang! Uang! Uang saja!" Angga berteria ke lalu masuk kembali ke kamarnya.

Ponsel Tia bergetar. Ada nomor asing masuk ke dalam ponselnya. entah nomor siapa itu.

Tia pun mengangkatnya dan menjawab, "Halo?"

"Tia?"

"Iya. Ini siapa?"

"Aku? Masa lupa? Yakub ... Eum ... Pedro ..."

"Ohh ... Kak Pedro? Apa kabar? Kok tahu nomor Tia dari mana?"

"Eum ... Dari Mama kamu. Kebetulan kemarin pulang kampug. terus aku mampir ke rumah kamu."

"Oh ... Ada apa? Tumben."

"Iya. Aku sedang berduka. Istriku meninggal dunia. Aku bingung mencari baby sitter. Kamu bisa?"