Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6

Mas Angga memelukku dengan erat dan merebahkan tubuhku di atas kasur. Beberapa kali ia mengecup pipiku dan terakhir bibirnya mulai berhenti di atas bibirku. Kecupannya begitu lembut dan selalu membuatku tak bisa berkata -kata. Mas Angga memnang bukan pria romantis, tapi perlakuannya di atas ranjang sellau membuatku puas.

Setiap pertikaian dan perdebatan yang kita lakukan. Ujung -ujungnya Mas Angga akan menyentuhku dankita selalu terbang bersama ke awan menggapai puncak asmara yang indah.

"Maafin sikap Mas, ya, Tia," bisiknya membuatku tak bisa menjawab dan hanya anggukan kecil yang bisa ku perlihatkan padanya.

Tuduhan perselingkuhan itu sangat menyakitkan, bukan? Apalagi kita sama sekali tidak melakukannya.

Kecurigaan Mas Angga berawal dari kebutuhan hidup yang bisa aku tutup dengan uang pribadiku. Hasil dari jualan itu tidak banyak banyak. Modalku minim dan jualanku sama sekali tidak lengkap. BIsa dibayangkan aku hanya mengambil untng seratus sampai lima ratus per item barang yang aku jual. Padahal stau hari, mungkin aku hanya bisa menjual sepulu sampai dua puluh item saja. Kalau di kalkulasikan berapa keuntungan yang aku dapat? paling hanya sekitar minimal dua ribu sampai sepuluh ribu rupiah. Apakah cukup untuk mmebiayai kebutuhan hidup mulai dari makan, uang jajan, kebutuhan sekolah, dan lainnya. Membiyai aku, Mas Angga dan ketiga anakku? Pdahal suamiku hanyalah pengangguran.

"Sudahlah Mas. Gak perlu dibahas lagi," jawabku lirih. Malas rasanya membahas hal yang sama seklai tidak ada akhirnya dan berujung berdebat lagi.

Padahal aku sudah berusaha diam dan tak menjawab jika Mas Angga bicara keras atau menuduhku macam -macam. Bukan tidak ingin membela diri. Rasanya percuma dan waktuku akan terbuang habis hanya untuk memperdebatkan hal itu.

Seseorang yang sudah dikuasai amarah tidak akan pernah mau merasa kalah. Ia akan terus menuduh dan memojokkan sampai apa yang ia yakini itu benar -benar diiyakan.

"Kamu masih marah?" tanya Mas Angga yang masih mengusap pipiku. ubuh Mas Angga masih berada di atasku. Kami baru saja menuntaskan asmara di atas kasur.

Mas Angga memegang wajahku dan menatapku dengan lekat.

"Suamimu ini sudah minta maaf. Kamu masih tidak mau memaafkan?" tanyanya lembut dengan kimta penuh penekanan.

"Mas ... Kalau aku tidak memaafkan. Kejadian barusan juga atidak akan aku lakukan, bukan? Mana ada orang melakukan hubungan dengan perasaan dongkol?" jawabku cukup membuat Mas Angga terdiam dan akhirnya kembali mengecup bibirku dan turun dari atas tubuhku yang masih polos.

Tubuh kami hanya tertutup selimut. Rasanya malas beranjak dari kasur sekedar untuk membersihkan dan mencuci bagian tubuhku yang terasa lengket dan memnag membuatku tak nyaman. Aku memilih menutup mataku dan menarik napas panjang lalu menghembuskan pelahan napas itu hingga aku mleupakan semuanya.

Mas Angga sepertinya juga ikut tertidur di sampingku. Tak lama suara dengkuran halus itu terdengar sangat jelas.

Benar sekali banyak orang bilang, ujian rumah tangga itu tidak hanya datang sekalii, dua kali atau tiga kali. Masalah akan datang terus menerus secara bertubi -tubi dan bahkan di saat yang bersamaan.

Satu tahun perkawinan, atau mungkin ada yang sudah mulai diuji saat usia perkawinan dalam hitungan bulan atau bahkan masih dalah hitungan hari atau minggu.

Empat belas tahun aku bahagia hidup bersama Mas Angga. Kalau tidak bahagia, tidak mungkin aku memilik tiga orang anak yang sholeh dan sholehah.

Setiap badai yang menerjang rumah tanggaku selalu aku sikpai dengan kepala dingin. Aku bukan tipe wanita bar -bar yang mudah marah atau teriak -teriak di depan suami atas sikap atau kesalahan yang dia perbuat.

Aku juga manusia yang banyak kekurangannya. Buat aku, menikah itu adalah pelengkap. Karena dengan menikah kita menjadi orang yang sempurna karena memiliki pasangan yang bisa melengkapi.

Bukankah itu juga sudah tertulis di dalam ayat. Bahwa laki -laki dan perempuan itu mneikah untuk saling menyempurnakan. Tidak ada manusia yang sempurna. Kalau pun ada yang mendekati kesempurnaan itu, kalia adlah orang -orang pilihan atau memang kalian pandai memilih.

"Kamu belum tidur, Tia?" tanya Mas Angga yang menoleh ke arahku smabil menguek kedua matanya dan memelukku dari samping.

"Belum bisa tidur, Mas. Kayaknya mau ngerjain kerjaan aja," ucapku pelan.

"Ya udah sana," titah Mas Angga yang sudah kembali memejamkan kedua matanya.

Aku pun bangun dari kasur yang sudah menemaniku selama delapan tahu. Kasur yang terbentang di lantai tanpa ranjang. Kasur yang tidak begitu tebal dan juga tidak begitu tipis.

Ada perasaan sedih dan tanpa terasa air mataku berlinang di dalam kamar mandi saat aku membasuh sebagian tubuhku.

Rasanya begitu sesak di dada dan tak bisa diungkapkan dengan kata -kata. Hanya sakit dan perih saja. Kedua mataku terpejam sambil memegang dinding kamar mandi.

"Dosa apa yang sudah aku perbuat, sampai hidupku merasa terasing dan sangat kekurangan seperti ini?" ucapku dalam hati.

Hubunganku dengan keluarga cukup baik tapi tidak dengan keluarga besar Ibuku. Aku yang memilih menjadi seorang mualaf dan menikah engan orang yang tak selevel denganku membuat beberapa keluarga besar menjauhiku dan melihatku seperti orang asing. Tidak hanya itu saja, aku merasa mereka juga jijik melihatku yang tak ada peruhan setiap tahun berkumpul.

Mungkin mereka melihat dari pakaian yang aku dan anak -anakku pakai dan melihat keseharianku yang trelihat sangat sederhana dan bahkan kurang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel