4
Empat belas tahun bukan waktu yang singkat untuk saling mengenal dan dan melengkapi kekurangan pasangan. Selama itu, Aku tak pernah menuntut apapun pada suami.
Mungkin letak kesalahannya pada awal perkenalan kita dulu. Kita saling mengenal sear singkat dan akhirnya menikah karena merasa sudah cocok satu sama lain.
Pertemuan yang tidak pernah disengaja dan berakhir pada pengucapan ijab kabul di depan kyai secara sederhana tanpa di hadiri oleh kedua orang tuaku atau pun orang tuanya.
Inilah yang patut dipertanyakan? Apakah pernikahanku ini SAH? Walaupun pada akhirnya kami mengurus pernikahan kami di KUA agar tercatat karena saat itu aku sudah melahirkan anak pertamaku.
"Kita menikah siri saja," ucapnya tanpa pikir panjang.
"Nikah siri?" tanyaku saat itu begitu polos.
Ya, Kami sudah hidup satu atap di dalam kontrakan tiga petak di Ibukota. Dulu kami berbeda prinsip. namun, Aku mengalah untuk menyatukan prinsip itu.
Saat itu, aku yakin seklai, Mas Angga adalah lelaki yang baik dan pantas aku pilih untuk menjadi pendampingku. Tak hanya memiliki rupa yang tampan, dia begitu baik dan sangat keren pada masanya. Aku rasa, bukan aku saja perempuan yang tregila -gila paanya. Bahkan aku yakin seklai saat itu, banyak wanita memperebutkannya.
"Kita gak mungkin berzina terus kan?" tanyanya polos.
Aku mengangguk prah. Aku tahu, apa yang kita perbuat selama ini itu salah dan bahkan sangat berdosa bila terus menerus dilakukana padahal tahu itu tidak benar.
"Aku belum siap," jawabku masih bimbang saat itu.
"Belum siap? Kenapa belum siap? Kamu sudah bekerja, punya uang, dan karir yang bagus. Kenapa harus menunda? Apa karena kita berbeda?" tanya Mas Angga dengan tatapan tajam ke arahku.
"Itu salah satunya," jawabku begitu yakin.
Jujur, Saat itu aku benar -benar bingung sekali. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku berhubungan dengan seorang laki -laki yang berbeda prinsip.
Jauh sebelum aku berhubungan dengan Mas Angga. Aku pernah memiliki kekasih yang juga berbeda prinsip dan memiliki level kehidupan yang tidak sama. Maklim, Orang tuaku penganut adat kejawen yang sangat kental. Bobot, bibit dan bebet itu tetap akan menjadi tolok ukur dalam memilih pasangan hidup. Sudah pasti, aku dan kekasihku saat itu terbentur dinding yang sangat tinggi dan akhirnay aku memutuskan untuk berpisah dan meniknggalkan kota yang selama ini telah membuatku bahagia karena memiliki cinta.
"Kamu itu niat gak sih? Aku itu sudah serius. Nahkan aku sudah hubungi orang tua kamu dan mereka tidak masalah," jelas Mas Angga dengan nada yang tinggi.
"Itu karena Bapak dan Ibu tidak tahu kalau kita berbeda, Mas! Aku tidak mau ambil resiko besar! Sudah cukup aku di jauhi oleh saudara -saudaraku karena perbedaan ini. Apalagi kalau mereka tahu, aku memiliki jodoh yang kembali mengulang kesalahan yang sama. Aku tak sanggup dengan nyinyiran mereka," uapku begitu lirih.
Tak terasa air mata itu jatuh ke pipi. Dulu, tujuh tahu aku menjalani atas nama cinta dan berujung perpisahan. Sebenarnya kali ini pun, aku tidak mau mendapatkan perlakuan yang sama dan akhirnya memilih berpisah.
"Pilihannya hanya ada dua, kamu ikut aku, atau, aku ikut kamu," ucap Mas Anga begitu sangat lantang.
"Ada solusi lain?" tanyaku masih ragu.
"Kita ambil jalan tengah," ucapnya dengan senyum penuh arti.
"Jalan tengah?" tanyaku bingung.
"Kamu hamil duluan. Pastinya orang tua kamu akan menyetujui," jelas Mas Angga mantap.
"Hamil duluan? Mas ... Kita ini sudah banyak melakukan dosa. Apa iya, pernikahan kita akan di restui hanya karean aku hamil?" tanyaku lirih. tentu saja, ini bukan pilihan yang sangat mudah.
Aku yang sudah terlanjur mencintai Mas Angga, dan begitu juga Mas Angga kepadaku. Bukan hati kita saja yang sudah menyatu. Tapi, tubuh kita sudah bercampur menjadi satu. Kita sudah saling mengenal luar dalam dan tenggelam dalam kenikamtan dosa atas nama cinta.
Mas angga menghela napas dalam.
"Kita ke rumah kamu, akhir bulan ini,"
ucapnya begitu lantang.
"Ke rumahku?" tanyaku bingung.
"Ya, Mas akan bicara dengan kedua orang tua kamu," jelas Angga padaku.
"Sekarang bukan waktu yang tepat, Mas. Tolong kasih aku waktu untuk menceritakan tentang kamu pada Bapak dan Ibu," jelasku dengan lembut agar Mas Angga mengerti.
Seperti itulah kehidupan kami saat itu. Awal yang salah jalan dan berjalan dengan dosa yang menumpuk.
Sekarang? Mau menyesal? Tidak ada kata menyesal yang terucap dari mulutku. Penyesalanku akan aku pintakan mellaui doa.
Waktu yang sudah berjalan, tidak akan mungkin berputar ke belakang. Waktu yang sudah dilalui, tidak akan bisa merombak keputusan dan memilih jalan yang tepat.
"Sayang ... Kamu gak tidur? Malah ngelamun aja. Sini tidur disini. Badanmu pasti lelah," tanya Mas Angga padaku.
"Em ... belum ngantuk, Mas. mas kalau mau tidur, tidur aja duluan," titahku pada suamiku.
"Kamu kenapa sih? kayak gak bahagia hidup sama aku?" tuduh Mas Angga padaku.
"Aneh kamu, Mas. Kita itu berumah tangga sudah lama. Empat belas tahun, Mas. Gak main -main kita menjalani semuanya dari awal higga saat ini. Gak mudah kan? Ngurus anak, ngurus rumah tangga, ngurus ekonomi. Banyak lho, Mas," ucapku dengan nada mulai meninggi.
"Hei ... Sejak kapan kamu bisa bicara dengan nada tinggi seperti itu?" tanya Angga menatapku dengan sangat tajam.
Aku terdiam dan menutup rapat bibirku. Benar, aku kelepasan bicara dengan nada yang tinggi.
