Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 5

Sahila menundukkan kepalanya, selama dia berada di kantin Rasanya tidak enak kalau harus menjadi pusat perhatian semua orang, karena perbuatan yang tidak kamu lakukan. Bisikkan penghuni kantin itu membuat Sahila risi.

"Jadi, benaran lo pacaran sama si Bos?" tanya Febri setelah mendengar cerita Sahila yang panjang kali lebar itu. Saat ini Sahila sedang bersama ketiga sahabatnya. Ya, siapa lagi kalau bukan Mario, Febri dan Nayla.

Sahila mengangguk sedih. "Tapi ini cuma pura-pura loh. Dia tuh cuek banget sama gue." serunya.

"Pura-pura bagaimana, sih, maksudnya?" tanya Nayla. Mungkin otak Nayla belum sampai kalau harus membicarakan hal seperti ini.

"Iya, jadi pacar bohongan."

"Kok bisa, ya, pak Andre menjadikan lo pacar bohongannya. Secara kan, lo cewek setengah matang loh," celetuk Mario. Sahila mendelik sinis.

"Lo kira gue buah, setengah matang." balas Sahila sembari mencebikan bibirnya.

"Kenapa lo mau aja jadi pacar bohongan dia?" tanya Febri lagi, dia terlihat sangat antusias.

"Iya, soalnya dia bawa-bawa gaji."

"Maksudnya? Dia mengancam lo?" Sahila mengangguk.

"Iya, di kira dia, gue takut kali kalau sampai gaji gue di potong, padahal sih gak mengaruh sama sekali bagi gue. Gue bisa aja cari kerja di tempat lain yang lebih besar gajinya di banding perusahaan ini," ujar Sahila sembari mengibaskan rambutnya ke belakang. "Cuma gue terima tawaran dia, karena gue juga mau menguji akting gue, kira-kira gue bisa enggak berakting. And see.. Gue bisa, kan?"

Febri membulatkan matanya terkejut, jari telunjuknya menunjuk ke arah Sahila dan Nayla yang duduk berhadapan dengannya.

"Sa, di bela-"

"Memangnya perusahaan mana yang gaji stafnya lebih besar dari perusahaan ini, Sa?" tanya Mario.

Sahila tertawa hambar. "Ya, banyak kali, Yo. Bukan cuma perusahaan ini doang."

"Sa, di belakang-" Mario segera mencubit pipi Febri cepat.

"Gemas gue liat pipi lo, Feb," ujar Mario, Febri mendelik kesal pada Mario sembari mengusap pipinya.

"Tadi ngomong apa sih?" tanya Sahila sembari mengedikan dagu ke arah Febri.

"Sa." panggil Nayla pelan sembari menyenggol tangan Sahila. Sahila menoleh santai ke arah Nayla.

"Apa, Bep?"

"Itu, di belakang lo." bisik Nayla. Sahila mengerutkan dahinya, kemudian dia menoleh.

Seketika, dia merasakan udara di sekitarnya terasa dingin, tapi anehnya, tubuh dia terasa panas dan kaku, jangankan untuk bergerak, menghela nafas dan mengedipkan mata saja terasa sulit baginya.

"Jadi, perusahaan mana yang menggaji besar untuk staf-Nya selain perusahaan ini, sayang?" tanya Andre yang kehadirannya tidak di sadari Sahila sedikit pun.

Nih orang punya kekuatan mengilang kali ya? Tiba-tiba udah di depan gue aja. - batin Sahila.

"P-pak." Dengan berat hati Sahila mencoba melebarkan bibirnya mencoba tersenyum, walau pun dalam hatinya dia sudah ketar-ketir sendiri.

"Sayang, ada yang mau aku bicarakan, bisa ikut aku sebentar?" tanya Andre. Ekspresinya tetap tenang, tidak sedikit pun kekesalan yang terlihat di wajahnya.

Sahila menggeleng singkat, tapi sedetik kemudian dia mengangguk. Andre tersenyum, dan mengulurkan tangannya. Sahila menatap tangan Andre ragu, dia menoleh pada Febri dan Nayla. Kedua teman wanitanya hanya mengangguk kecil sembari menunduk sesekali, mereka tidak berani menatap Andre, terutama dengan Febri. Sedangkan Mario, dia sih seperti bahagia lihat Sahila dalam keadaan di ujung jurang. Dengan puasnya, Mario mengangguk.

"Sayang," panggil Andre seakan menyuruh Sahila cepat menggapai tangannya. Dengan perlahan Sahila mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Andre.

"Saya pinjam Sahila sebentar, ya," ujar Andre pada ketiga orang yang masih mengisi meja kantin itu.

"Silakan, Pak," jawab Mario. Setelah itu Andre membawa Sahila pergi dari sana. Sahila menoleh ke belakang, tangannya terulur seakan minta di tarik kembali dengan teman-temannya.

Tapi sayangnya, teman-temannya tak memiliki nyali sebesar itu untuk merebut Sahila dari orang nomor satu di perusahaan itu dan membawa Sahila kembali duduk ke kursi kantin. Bisa-bisa gaji merekalah yang di potong.

Di dalam lift, Andre melepaskan genggaman tangannya dari tangan Sahila. Dia merogoh saku jasnya, dan mengambil botol spray berukuran kecil, dengan cepat dia menyemprotkan spray itu ke tangannya. Sahila ternganga lebar melihat tingkah Andre.

"Kamu juga harus saya bersihkan," kata Andre sembari menyemprotkan hand sanitizer ke tubuh Sahila. Tentu saja Sahila segera menolak.

"Pak!" serunya. "Apa-apaan sih?"

"Kamu lupa, ya? Kalau saat ini kamu adalah pelayan saya. Kenapa kamu tidak mengantarkan makan siang ke ruangan saya?"

Sahila berdecak. "Hanya tentang itu?"

"Hanya? Ini penting loh, kalau sampai saya telat makan, nanti saya sakit, kalau saya sakit kerjaan tidak akan selesai, nanti perusahaan saya bangkrut dan kamu di PHK, kamu mau itu terjadi?"

"Aamiin... Eh!"

Andre mendelik ke arah Sahila. "Belikan makan siang untuk saya, saya tunggu di ruangan saya." perintah Andre. Setelahnya dia keluar dari lift. Sahila berdecak kesal.

"Uangnya? ih... Bos kok maunya gratisan mulu sih."

***

Beberapa saat kemudian ...

Pintu ruangan Andre terketuk. Andre segera menitah orang itu untuk segera masuk. Tak lama pintu terbuka, menampakkan Sahila dengan membawa sekantung plastik putih berisi box yang berwarna serupa.

"Nih makanannya," ujar Sahila singkat sembari menyimpan plastik itu di meja makan Andre.

"Ini apa?"

"Buka aja, saya gak mau menjelaskan, ini kan bukan lagi presentasi," kata Sahila. "Saya keluar dulu ya, Pak. Mau kembali kerja."

"Jangan, sebelum saya buka kotak nasi ini, nanti saya di kerjai lagi kayak tadi pagi." Sahila berubah jadi salah tingkah.

Andre menarik plastik itu mendekat, dia membuka perlahan plastik dan kotak nasi itu. Matanya terbelalak saat melihat isi lauk pauknya. "Anak ikan, tahu dan sayuran mentah?!" Seru Andre.

Sahila mengangguk. "Itu bukan salah saya, Pak. Bapak sendiri gak kasih saya uang, jadi saya beli sesuai isi dompet. Dan itu bukan anak ikan, kalau orang bilang, itu ikan teri nasi atau teri medan yang di tumis, rasanya enak, Pak, mengalahi daging sama ayam," kata Sahila sembari menunjukkan kedua jempolnya.

"... Dan ini, di sebutnya lalapan. Ada timun, daun kemangi, Kol. Ini enaknya di pakai sambal terasi." sambung Sahila sembari membuka plastik kecil berisi sambal dan menuangkannya pada sisi nasi.

Andre tercengang, sungguh ini pertama kalinya bagi dia melihat makanan jenis begini. "Saya gak mau makan. Baby fish ini terlalu kecil, gak ada dagingnya. Dan apa kamu bilang tadi kalapan?"

"Lalapan, Pak."

"Iya, apalah itu namanya. Saya gak suka, ini mentah, saya bisa sakit perut kalau makan ini." Andre melirik sambal yang berwarna merah merona itu, dia bergidik ngeri membayangkan makanan seram itu masuk ke dalam mulutnya dan mengendap di ususnya. "Jauhkan ini semua!" perintah Andre.

Sahila berdecak kesal. "Cobai dulu, baru ngomong." Sahila melangkah menuju toilet di ruangan itu, tak lama dia keluar sembari mengelap tangannya dengan tisu. Tampaknya dia habis mencuci tangannya.

Sahila mengambil kotak nasi itu. Andre terkejut saat Sahila mengambil makanan itu menggunakan tangannya langsung tanpa sendok.

"Cara makannya gini." Sahila mengulurkan tangannya ke arah mulut Andre.

Andre memicingkan matanya. "Ini apa maksudnya? Kamu mau racuni saya?"

Sahila kembali berdecak. "Ye, ini orang, ini cara makan ternikmat, di banding makan pakai pisau atau garpu. Ayo makan!" Andre menggeleng histeris.

"Saya gak mau," kata Andre memalingkan wajahnya.

"Coba dulu, Pak." bujuk Sahila. Andre masih menggeleng, dia menolak keras suapan Sahila.

Sahila yang tidak pandai bersabar, meletakan kotak nasi itu, dia segera menarik dagu Andre untuk menghadap ke arahnya. Kemudian Sahila menekan pipi Andre, agar pria itu mau membuka mulutnya. Andre yang terkejut tanpa sadar membuka mulutnya, dan dengan cepat Sahila memasukkan suapan pertama makanan nikmat itu

Andre membulatkan matanya dengan mulut terisi penuh. Sahila tersenyum puas. "Bagaimana? Enak, kan?"

Dengan susah payah, Andre menelan makanan itu bulat-bulat. "Kamu!" Andre melotot tajam pada Sahila. Seketika senyum Sahila pudar. Rasa beraninya hilang begitu saja terganti dengan rasa takut.

"Saya kerja dulu, Pak." Setelah itu Sahila kabur meninggalkan ruangan Andre. Sedangkan Andre menatap kepergian Sahila dengan tatapan tak terbaca. Setelah kepergian Sahila. Andre menatap makanan yang masih ada di hadapannya.

"Enak juga," gumam Andre, dia segera bangkit dari duduknya, berjalan menuju toilet untuk mencuci tangannya. Kemudian kembali duduk dan memakan hidangan itu. Tak peduli meski pun rasa pedas telah menyelimuti lidah dan langit-langit mulutnya, meski pun keringat sudah mengucur deras, dan entah berapa kali dia meneguk air, Andre tetap memakannya sampai tandas.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel