Truth or Dare - Part 5
Aroma daging terpanggang menguar ke udara, menghilang tertiup angin sore yang tenang. Langit hari itu berubah jingga keemasan seiring mentari terbenam, merunduk di perbukitan tinggi. Dahan pepohonan turut melindungi para pejalan melalui dahannya yang menjalar panjang. Di akhir minggu, kedua belah pihak keluarga Cherry dan Blake berkumpul merayakan liburan Sabtu-Minggu di luar kota. Koper mereka masih bertumpuk sembarangan di ruang tamu tanpa dipindahkan ke kamar masing-masing. Para perempuan berlarian menggotong peralatan memasak, sibuk memotong sayuran dan menyiapkan bumbu, sementara para pria separuh baya terus menyulut perapian– yang entah mengapa nyaris padam. Mereka berupaya memastikan acara barbeque berjalan lancar. Lantaran anak-anak menendang bola di hamparan rumput, memenuhi suasana dengan tawa.
Seorang wanita muda, Cherry, memilih bersembunyi di kamar. Letaknya paling pojok, tampak terbengkalai sekaligus jauh dari keramaian. Pintu kamarnya tertutup rapat, tetapi tidak terkunci. Ia duduk bersandar ke tepi ranjang. Wajahnya menawan berpoles dandanan. Bibirnya hanya menghela nafas pasrah, mengingat keadaannya sekarang teramat canggung. Punggungnya rileks, nan pikiran terlampau berat. “Seharusnya aku bilang saja kalau aku sibuk tugas,” batinnya getir. Namun mustahil ia menolak ajakan keluarganya. Ia sendiri terlanjur menyetujui permintaan Ibunya untuk menginap di villa bersama keluarga Blake. Sial, ia harus menanggung konsekuensinya. Padahal kalau boleh jujur, ia tidak siap menemui Blake lagi. Tepatnya, tidak ingin.
Semua tampak hangat, kecuali dirinya. Sedari tadi ia menghindari sahabatnya. Tentu terlihat, ia sengaja menjaga jarak. Semenjak tiba di villa, ia terdiam di sisi orangtuanya, tidak banyak bicara, walau biasanya ia yang paling cerewet memulai topik. Apalagi di samping Blake yang tahu selera humor bobroknya.
Blake sesekali mencuri pandang. Tatapannya setajam silet, menembus isi kepala Cherry– menyuruhnya berlagak tenang, normal, seakan tidak ada yang terjadi antara mereka.
Di luar jendela terlihat bayangan keluarganya mengobrol. Siluetnya bergerak samar. Namun Cherry tahu siapa yang berada di halaman. Ia hafal gelak tawa khas keluarganya. Namun sesuatu mencurigakan menyentaknya. “Tidak… tunggu–” Cherry beranjak mendekati jendela, menghitung satu per satu orang yang ada di luar. Lalu ia menggigit bibir bawah seakan menyadari sesuatu.
Firasat buruk terlintas menusuk hati Cherry. Ia refleks bangkit, berbalik badan hendak mengunci pintu sembari panik. Sayangnya, langkah berat memecah rasa takut. Seseorang menyusulnya di balik lorong. Semakin lama, semakin dekat.
“Cherry,” panggil Blake dari ambang pintu. Jangankan mengetuk, sang pria masuk begitu saja. "Ternyata kamu di sini." Suaranya serak, entah karena udara dingin atau menahan perasaan yang menggebu-gebu. Ekspresi si pria sama tegangnya.
"Mau apa kamu ke sini?" tantang Cherry sedikit takut. Sebenarnya ia tidak bermaksud mengusir Blake. Ia ingin berbincang padanya seperti dahulu. Namun... andai Blake lepas kendali, apa yang harus ia lakukan? Ia tidak ingin itu terjadi.
“Memberikan minum. Yah, es sirup yang Ibumu buatkan.” Curiga, Cherry melirik ke segelas es di pegangan Blake. Embun dingin menetes di permukaan gelasnya saat Blake menyerahkannya ke Cherry. "Ayo, pasti kamu haus."
Senyuman Blake sedikit miring, menyembunyikan kebaikan palsu yang tidak terucap. Tangannya bergetar seperti menunggu hasil dari rencana jahatnya. "Hm, makasih." Cherry menegak minuman sampai habis.
Blake terpaku beberapa detik seakan menimbang berbagai kalimat permintaan maaf yang direnungkannya. "Maaf, aku khilaf waktu itu." "Maaf, aku salah. "Maaf–" Sudahlah, Blake tahu sepatah kata maaf tidak akan menyembuhkan trauma Cherry. Akhirnya Blake maju menarik Cherry ke pelukannya, menyalurkan ketulusannya dengan sentuhan.
Sontak Cherry memberontak. Kedua tangannya mendorong Blake susah payah. "Blake!" jeritnya terkejut. Gelas sirup terlempar ke lantai, membentur ubin.
"Aku tidak ingin kehilangan kamu." Pelukannya mengerat ke pinggang Cherry. Bisikan Blake terdengar rapuh, membuat pertahanan Cherry perlahan runtuh. "Kalau aku tidak bisa mendapatkanmu, aku akan merebutmu dengan paksa." Keduanya terjatuh ke ranjang, di mana Cherry tertindih lemah juga Blake yang berhasil menjebaknya ke rengkuhan. Kawat besi ranjang pun berderit pelan menahan bobot tubuh mereka.
Tidak membuang waktu, Blake menyelusupkan tangannya ke kaus Cherry untuk melepas kaitan bra. Kain tipis kemudian melorot lambat, menyuguhkan bongkahan payudara. “Kenapa kau melakukannya?!” Anehnya, tonjolan pentil Cherry membulat tegang. Suatu bukti ia mulai terangsang.
Cairan bening meleleh di celana Cherry. Begitu Blake jahil menampar vaginanya– yang terbungkus rok– Cherry mendadak menggeliat. Kakinya naik dengan desahan kuat. Di detik itulah Blake terkekeh. “Enak, ya?”
“Ahh–” Cherry hanya mendesahkan nama Blake tiap disentuh. Ia melupakan niatnya menjauhi Blake. Malahan meminta lebih banyak dijamah. Gelombang panas merambat cepat ke bagian intim. Dadanya naik-turun menyeimbangi irama jantung yang berdetak keras. "Blake... lebih cepat..." pinta Cherry. Lututnya yang goyah bertumpu ke ranjang, membiarkan Blake memainkan vaginanya nakal. Ia tidak paham mengapa dirinya menjadi agresif. Kulitnya saja menggigil diterpa sensitif. Namun pandangan Cherry kembali berputar ke arah Blake. Ia menyukainya. Titik klitoris yang dimainkannya begitu nikmat.
Jemari Blake menelusuri garis bokong Cherry, turun melewati lekukan pinggang hingga menyentuh bagian yang buat nafas Cherry tercekat. Desahannya pecah, lembut, lirih, bagai musik di sore menjelang malam. Panas ruangan membuat keringat membasahi mereka. Kain yang membatasi mereka disingkap bebas, memperlihatkan kelamin satu sama lain.
Lelaki bersurai hitam merangkak menindih Cherry, yang kini bermandikan aroma parfumnya yang maskulin. Cherry tidak sanggup melayani nafsu seks Blake yang melambung tinggi. Terlebih, tanpa kondom. “Memang lebih nyaman begini,” bisik Blake lanjut melepaskan pakaiannya. “Kamu juga sukanya raw, kan?” Blake memutar Cherry membelakanginya hingga membentuk posisi doggy.
Sebuah tamparan mendarat ke milik sintal Cherry. “Mhh–” Gambar telapak tangan Blake tercetak ke bokong. Ia tidak kalah peka, langsung berpegangan ke papan kayu ranjang karena tahu Blake siap merojok seisinya. Penis itu berdiri tegak, memberi waktu jika Cherry ingin menungging.
“Ah, sial!” teriak Cherry tertahan saat Blake menggerayanginya kasar. Ia tidak mengeluhkan perih yang merobek akal sehatnya. Malah setia mencondongkan tubuhnya menghadap Blake. Kesekian kali ia melontarkan erangan parau saking kelelahan mendesah. “Blake!”
Blake, yang mendengar, tersenyum puas. Ramuan afrodisiak yang dibelinya betul ampuh.
Suara gaduh dari dalam kamar Cherry mengundang tanda tanya bagi keluarga mereka. Seusai barbeque, beberapa anggota keluarga mendengar bunyi misterius—kursi terjatuh, hentakan berulang, diikuti ranjang yang berisik menabrak dinding. Mereka pula saling berpandangan, ibarat penasaran apa yang Cherry lakukan.
Ibu Cherry meletakkan piringnya ke meja. Alisnya mengerut heran. “Cherry ngapain, sih? Ribut sekali.”
Ayah Blake mengangguk setuju. “Tadi Blake juga ke atas nyamperin, tapi belum balik…”
Mereka akhirnya berjalan menuju kamar Cherry. Setelah berunding siapa yang mengetuk pintu terlebih dahulu, Ayah Blakelah yang berinisiatif. Kepalan tangan dia menggedor pintu beberapa kali. Hanya suara di kamar yang menjawab. Bukan "Iya, Bu!" melainkan kegaduhan. Khawatir terjadi sesuatu, dia memutar gagang yang tidak terkunci.
Keluarga mereka mengira Cherry dan Blake keasyikan mengobrol, atau menyalakan volume lagu terlalu kencang. Namun pintu terbuka memampangkan pemandangan mengejutkan. Begitu pintu bergeser sepenuhnya, semua orang membeku.
Anak mereka tengah berhubungan intim. Tubuh mereka menempel, ekspresi terbawa ekstasi, di situasi yang terbilang intim untuk dua sahabat yang belum menikah. Penis Blake bahkan setia dalam rahim Cherry-- gairahnya meraih orgasme langsung turun.
Mereka tidak terburu menjelaskan atau beralasan seperti, "Ini bukan seperti yang kalian pikir!"
Ibu Cherry pucat pasi. Seakan kehilangan fokus, sang wanita bersanggul akan pingsan mengetahui putri tersayangnya dalam keadaan memalukan. Hanya satu solusi yang dapat mereka terima sebagai tanggung jawab: "Kalian harus menikah!"
Itu berarti Blake memenangkan permainan. Bibirnya menukik tipis, berkata, "Akhirnya. Cherry, kita bersama selamanya." Memang ini yang Blake inginkan. Yaitu, memiliki Cherry sepenuhnya.
