Truth or Dare - Part 4
“Aku ingin berhenti.” Ucapan Cherry bagaikan petir di siang bolong. Menggelegar, menyambar pikiran sekaligus mengejutkan Blake. Mereka selalu menjadi sepasang sahabat yang baik. Tidak pernah berkelahi. Namun baru kali ini Cherry mengatakan sesuatu: mengakhiri segalanya. Cherry tidak terlihat menyesal. Justru tegar, meneguhkan keputusannya untuk menghindari dosa yang menumpuk semenjak Truth or Dare.
Sebetulnya Cherry sungkan membicarakannya. Ia tidak ingin menyakiti hati Blake, yang terkesan menyukai permainan mereka. Wajah Cherry semakin kusut membayangkan apa yang terjadi di antara mereka terakhir kali. Mereka melakukannya. Ya, seks.
Cherry menggaruk tengkuk lehernya ragu, seakan tengah menimbang pilihan berat. “Blake…” Ia harus memilih antara kesehatannya atau teman. “Ini salah…” Suaranya ketir, menyimpan rasa bersalah. “Aku takut… takut membuat kesalahan yang tidak mungkin ku perbaiki.”
Lelaki tersebut termenung, belum menangkap maksud Cherry tadi. “Kesalahan apa? Tugas?” tanya dia tertawa, mengira Cherry mengeluhkan proyek yang dosen mereka berikan. “Halah, aku bantu, kok.” Blake berbaring ke karpet bulu, lalu menyalakan ponsel untuk memeriksa tenggat waktu mengirim tugas.
“Bukan…” Cherry beranjak berdiri, menghindari Blake– khawatir tubuhnya dijamah bila Blake menemukan kesempatan. “Aku harap kita kembali… ke kita yang dulu.” Ia tidak menyalahkan perjalanan mereka ke Dufan dan membeli dek kartu misterius itu. Hanya saja ia tahu harga diri, menelan fakta mentah-mentah sesungguhnya berhubungan intim sebelum menikah bukanlah tindakan sehat.
Sulit bagi Blake menerimanya. “Jadi kamu mau aku menganggap tidak ada yang terjadi?” Memang Blake sadar peringatan Cherry betul. “Kita sudah berteman lama. Masa kamu menyuruhku melupakannya?” Blake bangkit mendekati Cherry, mengikis jarak yang terbentang antara mereka.
“Bukan! Aku—” Suara gebrakan memotong kalimat Cherry. Ternyata Blake kehabisan kesabaran. Kepalan tangannya menghantam meja kayu yang membatasi mereka, menimbulkan dentuman kasar yang menggema di kamar. Semakin Cherry ketakutan. Bahunya bergetar, lalu tubuhnya meringkuk ke bawah. “Aku takut hamil…”
Kemudian Blake menghela nafas. Bayangan mereka yang terpantul di lantai bertumpang tindih. “Baiklah, aku paham.” Mustahil ia berani melukai Cherry. Bagaimanapun, mereka sudah seperti keluarga, jadi sekesal apapun hatinya, ia selalu berakhir memaafkan Cherry. Luluh di hadapan raut sedihnya. “Kalau gitu… biarkan ini jadi yang terakhir.”
Lantas Blake berangkat ke supermarket membeli sekotak kondom. Matanya menatap jejeran kemasan tanpa peduli pengunjung lain berbisik-bisik membicarakannya. Wajar, keranjangnya berbeda dengan mereka. Di sekelilingnya, orang berlalu lalang membawa bahan cuci. Ada yang menenteng sepaket mie instan. Hanya ia yang terang-terangan menetap di etalase kondom.
Ia melemparkan sekotak bertuliskan extra safe, mengingat Cherry tidak ingin mengambil risiko. Lagipula ia tahu Cherry belum kuat mengandung di usianya sekarang. Petugas kasir, seorang perempuan sebaya, tersenyum ramah. “Butuh kantong plastik?” Dia turut mencetak kertas bon yang memindai harga barang. Apalah, Blake langsung mengantonginya ke saku celana, lalu pulang.
Di detik itulah Blake menurunkan celana, membebaskan penisnya dari boxer. Ia merobek kemasan dengan agresif. Lalu membalutnya ke sekitar organ intimnya yang mengacung tinggi oleh hasrat. Ia tidak ingin menunda. Kesempatan terakhir ini perlu dipenuhi sekarang juga. Sontak Blake mendorong Cherry ke ranjang, menyibak rok pendeknya hingga garis pakaian dalam.
"Ah!" pekik Cherry terkejut saat Blake menarik pakaiannya. Jangankan melawan, Blake terburu menelanjangi mereka. “Tunggu–” Protesnya tidak didengar. Tahu-tahu tubuh mereka sudah bergoyang. Besi ranjang berdecit kencang mengikuti arahan Blake yang sibuk menghentakkan pinggulnya ke Cherry. Maju, mundur, menenggelamkan penisnya dalam rahim.
Sesekali Blake mengerang. Keringat timbul di pori-porinya, panas, tetapi Blake tidak menyerah. “Sial,” rutuknya sebal. Mendadak ia melepas kondom yang dikenakannya.
Cherry mengerutkan dahi, keheranan mengapa Blake malah mencopot plastik tersebut. Padahal mereka berjanji tidak mengulangi kesalahan kemarin. “Cepat pasang, Blake! Aku tidak ingin hamil!” Intonasi
Cherry meninggi, mengisyaratkan betapa paniknya ia. Terlebih karena aplikasi masa kesuburan di ponselnya menandakan sebentar lagi ia memasuki masa ovulasi. “Mphh–” erang Cherry bercampur desahan. Pikirannya terbang entah ke mana menemui tumbukan penis Blake.
Blake mengangkat kaki kanan Cherry ke bahu, mempertahankan posisi seks mereka, dan menusukkan kejantanannya lebih cepat hingga wanita yang digagahinya menjerit. Doakan saja tidak ada tetangga yang mendengar suara mereka.
“Enak, hm?”
Tangisan Cherry pecah. Ia di ujung tanduk menuju kegilaan yang memabukkan.
“Jawab aku.”
Bibir Cherry terkatup rapat. Ia memalingkan wajah ke bantal, mencoba menghindari Blake yang sering melanggar batas; mencuri cium. Namun tingkahnya justru membuat ceruk lehernya terekspos. Blake pun menenggelamkan diri, menciptakan memar keunguan.
“Rasanya tidak enak,” bisik Blake. Hembusan nafasnya meniup daun telinga Cherry. “Lebih seru kalau kita tidak menggunakan kondom, kan? Aku bisa menikmatimu seutuhnya.” Sekilas terlintas di benak Blake jika lelaki lain mungkin menyukai Cherry, merebut sang wanita dari pelukannya.
Amarah juga cemburu membakar Blake. Darahnya berdesir ngeri, buat Blake marah kesumat. Tidak ada yang boleh memiliki Cherry. Jika terpaksa, Blake tahu apa rencana yang perlu dihalalkannya. Walau melanggar batas: menghamilinya.
Kelopak mata Cherry berair. Sensasi yang menumbuk vaginanya kian bertambah. Peluh yang mengalir dari pelipisnya turun ke dada, yang bergoyang tiada henti menyaingi gerakan Blake. Hentakan demi hentakan menggoyahkan kewarasan yang tersisa. Dinding pertahannya hancur.
Cherry terengah-engah. “Berhenti! Kumohon… Blake… aku tidak kuat!” rengeknya manja.
Jangankan melambat, pangkal penis Blake menekan uterusnya. Otot-otot liang vagina Cherry mengencang mulai berkontraksi karena stimulasi seksual yang berlebihan. Desahan menjadi simfoni mengisi kamar, memadatkan suasana yang bergairah. Di kamar yang remang terbalut redupnya bulan, mereka bersatu. Cahaya temaram purnama menembus tirai kamar. Kemudian jatuh menyinari tepat di pangkal paha Cherry.
Hujaman berikutnya datang bertubi-tubi memaksanya melenguh pasrah, menerima sodokan brutal. Cherry terkulai lemas di tempatnya. "Cukup..." Ia tersengal-sengal menarik oksigen. Dadanya meraup udara dengan egois, hendak mengisi tenaganya yang habis.
Cairan hangat menyeruak ke rahim Cherry. Sontak si wanita menunduk kaget, berharap Blake tidak mengeluarkan spermanya tanpa pengaman. Di sanalah Blake menyunggingkan senyum miring. Senyuman licik seakan puas menjebak Cherry. Jelas dia sengaja.
"Kau..." Linang air mata menggenang di pelupuk Cherry. Menurutnya, Blake jelas keterlaluan. Teramat besar niatnya memarahi Blake, tetapi belum sepatah kata terucap, ia jatuh tepar ke sprei. Ia terlalu lelah untuk protes saking lelahnya. Akhirnya ia berakhir berbaring di pelukan Blake, menunggu pagi membangunkannya.
Blake membelai helaian rambut Cherry yang lembab oleh keringat. Sentuhannya lembut, teramat hati-hati, berbeda dibanding sikap dominan di ranjang. "Selamat tidur," gumam Blake seakan takut mengusik ketenangan, “Mimpi indah, Cherry…”
