
Ringkasan
Novel berikut cerita khusus Dewasa 21+. Berisi kumpulan kisah pendek atau short fiction. Dalam “Permainan Berbahaya Cinta”, kamu akan bertemu dengan berbagai tokoh yang berjalan di garis tipis antara “tinggal” dan “pergi”, antara “berani” dan “tak sanggup”, antara “mencintai” dan “menyelamatkan diri sendiri”.
Truth or Dare - Part 1
Perempuan dan lelaki jarang bisa bersatu dalam pertemanan tanpa tangisan salah paham. Cara berpikir yang bertolak belakang, selera yang tidak sejalan, apalagi bagaimana mereka memandang dunia– logika, juga perasaan. Lelaki sering mengandalkan logika, maka kaum hawa bergantung pada kata hati. Namun bagi Cherry maupun Blake, seluruh perbedaan mereka tidak akan meretakkan jalinan pertemanan. Justru poin utama untuk membangun jembatan antar hubungan. Mereka tidak merasa kesulitan, malahan terheran mengapa orang lain mempertanyakan, “Kok bisa kalian awet ya?” Tahun demi tahun terlewati, banyak konflik kecil yang terjadi, tetapi semuanya selalu diredakan dengan satu kata sederhana. Yaitu, maaf.
Tidak ada rahasia lain bagaimana menjaga pertemanan sehat, selain merendahkan ego. Bukan siapa yang paling benar, melainkan siapa yang ingin mendengarkan sesamanya. Lagipula di usia dewasa, mereka tidak perlu lagi berdebat karena hal sepele. Berebut mainan, misalnya. Wajar banyak orang mengira mereka berpacaran. Padahal mereka hanyalah dua sahabat yang tumbuh akrab, di mana kedua belah pihak keluarga saja sama dekatnya.
“Woi, Cherry!” panggil Blake mendadak, memecah lamunan sang wanita. Di bawah sinar lampu kamar lah mereka duduk. Di hadapan tergeletak selembar kertas yang baru terisi setengah, dan layar laptop menampilkan dokumen presentasi.
Cherry, puan empunya nama, tersentak. “Ah… iya?” Imajinasi yang menelannya lenyap begitu ia sadar. Suaranya lemah nan lesu. “Maaf, aku bengong,” sahutnya, kembali memandangi laptop. Paragraf yang tercetak di dokumen pun berbayang saking lelahnya mengerjakan tugas. Tiada kunjung henti menghantui. Ia belum terbiasa melawan arus dunia perkuliahan yang terasa berat dibanding masa sekolah. Dahulu ia dapat bolos ke kantin. Sekarang? Tenggat waktu, revisi, dosen menyebalkan yang suka menyuruh mereka ini-itu.
Kalender yang terpahat di dinding menunjukkan tanggal 31 Oktober. Sebentar lagi Halloween. Biasanya mereka akan membahas kostum apa yang sebaiknya dikenakan, jenis permen mana yang enak dimakan, seharusnya mereka berkeliling komplek merayakan acara tersebut. Sayangnya, kali ini mereka akan melewatkannya. Perkara tugas bodoh yang menumpuk.
Blake terdiam melihat reaksi Cherry. Awalnya dia berniat menegur Cherry supaya fokus, mengingat minggu depan mereka diminta maju mempresentasikan proyek kelompok di depan kelas. Toh, nilai mereka pasti diakumulasikan untuk ujian nantinya. Apa daya, ia tidak tega memarahinya. Memang Cherry lambat mengerjakan tugas– ia sudah menyelesaikan bagiannya semalam. Sejenak Blake memutar otak, mencari taktik biar Cherry bersemangat lagi.
Tersisa dengung kipas membelah keheningan kamar. Jemari Cherry menekan tombol keyboard, mengetik kalimat yang dihapusnya kemudian. “Cherry.” Jeda. “Bagaimana kalau besok kita jalan-jalan ke Dufan?” Soal biaya tiket, urusan belakangan. Yang penting, Cherry berhenti memasang raut malas.
Dufan. Tempat impian Cherry, yang sedari dulu hanya tercatat di buku diari. Ucapan tadi membangkitkan senyuman Cherry seakan baru mendengar kabar gembira terbesar di tahun 2025. “Beneran? Kapan? Jam berapa?” Berbagai pertanyaan datang bertubi-tubi, hingga Blake pusing perlu menjawab dari mana. Lama mendengar usulannya, Cherry mengerucutkan bibir ala cemberut. Macam anak kecil yang meminta diajak ke Dufan saat itu juga. “Kelamaan!” keluhnya sebal.
Blake menghela nafas pasrah, membatin, “Giliran main saja… cepet banget nyautnya.” Lalu dia beralih ke kertas di meja. Telunjuknya mengetuk pelan sembari berkata, “Besok. Atas satu syarat: selesaikan tugasmu.” Dia menekankan kata terakhir sok galak. “Setelahnya… ayo kita rayakan Halloween.”
“Janji, ya!” seru Cherry tersenyum, yang dibalas anggukan singkat. Sang wanita segera menggerakkan pulpen, lalu mencoret kertas dengan rangkaian jawaban. “Jangan bohong!” Ia bersumpah jika Blake ternyata membual, ia tidak mengizinkannya menginap di malam Halloween.
“Iya, iya.” Blake menyandarkan punggung ke bantal kursi, mengawasi Cherry yang cekikikan sendiri membayangkan Dufan.
Di otak Cherry, gambaran Dufan silih berganti merebut fokus. Roller coaster yang menukik, rumah hantu menyeramkan yang sanggup menghapuskan keletihan, atau merry-go-round membosankan. Ia siap melepas stress. Demi kesenangan, ia rela mengantri lama di barisan besok.
Di hari-H, langit Jakarta berwarna biru ceria. Tiada awan mengganggu, seakan alam menyapa mereka. Patung-patung khas menghias jejalanan selagi mereka menumpang di bus. Banyak pengunjung berlalu lalang membawa camilan; anak-anak berlarian mengejar balon bermotif, para orang tua yang tampak kepanasan menemani mereka, juga Cherry dan Blake. Setibanya mereka di tempat karcis, mereka langsung mencium aroma asin laut. Sesekali mereka mengendus wangi gula kapas dari pedagang sekitar. Angin lembut turut menghempaskan rambut Cherry yang terurai.
Suasananya ramai, tetapi tidak berisik. Tawa, musik atraksi yang mengalun melalui speaker, menciptakan sensasi menyenangkan di taman hiburan. Mereka berdua pun melangkah ke gerbang; penampilan mereka tidak terlalu mencolok. Cukup kaus oblong polos dipadu sepatu kets bertali, yang memudahkan mereka bepergian.
Begitu mereka melangkah ke titik pertama permainan, mata Cherry berbinar melihat kora-kora berayun tinggi. “Woah!” Tentu tujuan mereka bukanlah mencari permainan yang paling aman. Pokoknya, mereka harus puas. Sebetulnya Blake bukan tipe orang yang suka menantang maut. Namun belum sempat menolak, Cherry memaksanya ikut mengantri di samping.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah berteriak kencang. Mereka mencengkeram pegangan besi sekuat tenaga seperti takut jatuh terguncang mesin. Hari itu adalah salah satu kenangan terindah bagi Cherry. Walau menyeramkan, setidaknya mereka menikmatinya.
Mereka lanjut beristirahat di kantin, bertukar lelucon garing yang anehnya membuahkan tawa. Segelas soda Cherry seruput sembari terbahak-bahak mendengar kekonyolan Blake. Ia pun sampai tersedak. Bahkan mereka membeli foto fisik yang memperlihatkan wajah Blake: pucat pasi menaiki roller coaster.
Menjelang pulang, mereka singgah sebentar ke sebuah bangunan di sudut area. Toko tersebut memajang jenis permainan papan. Penasaran, Cherry masuk terlebih dahulu menelusuri rak berisi puzzle. Semakin jauh ia berkeliling, ia menemukan dek kartu bersampul Truth or Dare. “Oh! Blake, aku menemukan kartu seru buat kita mainkan di malam Halloween!” Di ujung kemasan tercantum logo peringatan yang tidak ia perhatikan seksama. Cherry tidak ambil pusing. Menurutnya, ia menemukan sesuatu yang langka. “Desainnya unik. Mungkin tidak ada toko lain yang menjualnya.”
Blake mengiyakan, “Yah, daripada kita menonton film horror, mending kita main kartu.” Mereka kompak membawanya ke kasir, tidak menyadari simbol 21+ yang tersembunyi di balik label harga.
Tanpa mengetahui kehidupan mereka berubah semenjak memainkan Truth or Dare.
