Truth or Dare - Part 3
Suaranya teramat nyaring di kamar. Kehampaan yang biasa mengisi kamar kali ini seakan tercabik oleh kebisingan asing. Bukan musik atau gaduhnya klakson kendaraan beroda empat yang berjejer terjebak macet di luar, tetapi desahan Blake yang terpantulkan dinding-- bergema, tidak bocor ke lorong rumah. Ruangan sepi membuat tiap bunyi bergaung meriah. "Lagi..." Blake memajukan pinggul.
Pakaiannya tercecer di sekitar. Lelaki tersebut tidak tertutupi sehelai kain. Sepenuhnya telanjang bulat, lantaran tidak ia pedulikan setelah penisnya tenggelam di kerongkongan Cherry.
"Ugh--" desak Cherry menampar paha Blake perihal tercekik ukuran Blake yang besar melebihi dugaannya.
Tadi pagi, mereka masih berangkat kuliah naik motor. Menjinjing ransel juga folder tugas ke kelas, dan pulang membawa hasil presentasi yang memuaskan. Akhirnya presentasi yang mereka kerjakan sehari sebelum Dufan sudah selesai. Niat awalnya, mereka nongkrong sejenak di kamar sampai saat pintu tertutup, Blake menawarkan untuk bermain Truth or Dare. Sebenarnya mereka memiliki tugas lain. Namun kepala mereka terburu melupakannya.
Cherry memundurkan kepala. Mana ia tahu batang intim sahabatnya begitu kekar. Terakhir kali mereka mandi bersama mungkin seusia anak TK. Tiga tahun, sekiranya, di masa mereka belum mengenal pahitnya dunia orang dewasa.
Berkat--atau justru sebuah kutukan-- di haru mereka memainkan Truth or Dare, Cherry akhirnya mempelajari sesuatu yang selama ini luput dari pandangannya. Blake tidak sama seperti saat mereka pertana bertemu. Lelaki polos; yang tidak tahu hal tabu kini berbuat mesum padanya. Apalagi dia melakukannya dengan baik. Macam aktor porno yang paham bagaimana memuaskan nafsu mereka.
Tidak hanya itu, Cherry terkejut mendapati perubahan fisik Blake. Teman yang sering dipeluknya tanpa minta intimasi ini benar-benar berbeda.
Entah, Cherry tidak pernah melihat Blake sebagai seorang pria. Namun tinggi yang dahulu mereka abaikan menjadi salah satu faktor mengapa Blake mudah mengatur-atur Cherry. Termasuk menindihnya, memperlakukannya bak boneka seks.
"Belum," balas Blake memaksa Cherry mengulum penisnya. "Jangan menyerah." Melihat Cherry kesulitan, terpaksa Blake menggenggam rambut panjangnya. Kemudian menggulungnya ke satu kepalan yang kencang.
Blake mengayunkan lengan. Tenaganya yang jauh dominan menjambak Cherry hingga puan mendongak ngilu. Punggung Cherry saja melengkung membentuk gelombang.
"Ah!" pekik Cherry, meremas paha Blake, guna isyarat ia tidak sanggup. Bokong montoknya naik menyeimbangi posisi.
"Pakai lidahmu..."
Walau Cherry tidak ingin menghisap organ intim-- jorok, menurutnya-- ia menuruti perintah barusan. Lidahnya berputar di pangkal penis. Mulut menyesap pelan, menggoda Blake untuk orgasme. Gembira, takut, segalanya bertumpang tindih di hati. Entah apa yang harus ia rasakan. Jika seorang wanita tidak berpengalaman dipaksa memberikan penetrasi, reaksi normalnya pasti menolak. Tidak demikian dengan Cherry. Ia berlutut, mengenakan seragam kampus, sembari memainkan lidahnya asyik meliuk-liuk.
Bagaikan bayi, Blake mendadak menyemburkan cairan kental. Mengalir deras ke kerongkongan Cherry hingga ia menelannya dalam jumlah yang banyak. "Mhh--" desah Blake lega. Tangannya mengusap rahang Cherry lembut, memintanya tetap diam menelan sperma.
Seutas cairan putih berleleran di tepi bibir. Penampilan Cherry yang kacau sekaligus bersimbah ekstasinya semakin menarik. "Blake..." lirihnya lemah, berharap Blake menghentikan permainan mereka. Terlalu berbahaya.
Cherry melepaskan diri. Ia mengambil selembar tisu kering, dan mengelap mulut supaya menghilangkan bau khas intim. Sementara Blake menatap Cherry. Alih-alih mengancingkan celananya lagi, dia mendekap Cherry dari belakang. "Aku belum mau pulang..." bisik dia setengah manja.
Jemari panjang Blake bertaut ke bawah rok Cherry. Tangan lainnya melepas kancing seragam Cherry, lalu mendarat ke payudara yang terbungkus bra renda. "Hei, jangan!" protes Cherry, mencoba mengusir Blake yang terus dempet menggerayanginya. "Bukannya sudah?!"
"Aku masih ingin..." ujar Blake. Giginya terbenam ke pundak Cherry, meninggalkan memar keunguan. "Kamu memang tidak ingin tahu enaknya?"
Tahu-tahu Cherry sudah telanjang. Vaginanya tersingkap, terpampang bebas dengan klit mencuat. Refleks Blake mengarahkannya ke atas pangkuan. Tepat dekat penisnya yang kembali menegang. Wajah mereka berhadapan, saling gugup, lalu kaki Cherry mengapit pinggul Blake.
Ronde selanjutnya dimulai liar di antara gelora ombak yang memabukkan. Hujaman datang menusuk titik sensitif Cherry. "Ah!" Tidak ada yang Cherry ucapkan selain melenguh. "Blake... mhh--" Kepalanya menengadah ke atas, kesakitan menerima sodokan yang brutal.
Penis terus menggempurnya tiada ampun. Ia pula terperangkap di pangkuan. Bila ia berusaha menggoyangkan tubuh, Blake segera menghentakkan penisnya kuat-kuat. Kelopak matanya bergetar. Sensasi yang menumbuk vaginanya kian bertambah.
Tetes darah menghias sprei lantaran Cherry pecah perawan. Lapisan selaput daranya robek karena kurangnya pelumasan. "Sa.. sakit!" keluh Cherry kesakitan digempur tenaga Blake.
Blake turut melambatkan ritme. "Kita sesuaikan, ya." Goyangannya menjadi teratur, seperti membujuk Cherry rileks di pangkuannya.
Semakin lama, semakin Cherry nyaman. Ketegangan di tubuhnya melonggar. Nyeri di area pangkal pahanya pun berangsur mereda. Bahkan mulai menikmati dorongan penis Blake menuju gspot. Selama ia duduk di pangkuannya, kendali permainan berpindah ke Cherry. Ia yang menentukan seberapa kencang ritme mereka.
"Enak?" tanya Blake di tengah desahan. Batang penisnya giat menghujam, hendak mengincar titik di mana Cherry akan menjeritkan namanya. Dia menyaksikan kelaminnya sendiri keluar-masuk liang Cherry.
"Aku--" Cherry terbahak di sela desahnya. Sumpah, ia ingin membisu. Namun menahan suara ternyata sulit baginya. Ia selalu berakhir melontarkan desah, bercampur degup jantung.
Sang lelaki menunduk ke dada Cherry. Bibirnya menemukan puting yang menegang. Jemari Blake penuh gemas mencubit klitoris Cherry, yang kemudian dihadiahi jeritan panjang nan nikmat. "Cium aku." Lidah mereka bertaut basah, beradu, seakan mencari tahu siapa yang akan menyerah di pertempuran ini.
"Hngh... aku..." Otot vagina Cherry berkontraksi, memberitahu apa yang akan terjadi.
"Ya, aku tahu," ujar Blake dingin sembari menarik penisnya keluar sebelum dimasukkan kembali penuh kekuatan. Satu, dua, tiga dorongan terakhir, Blake mencapai puncak kuasanya, lalu--
Rahim Cherry dipenuhi limpahan cairan.
Air menyembur deras, membanjiri ranjang. Kulit mereka yang semula bersih menjadi bercak putih. Mereka tidak langsung berhenti. Blake tetap menghentakkan miliknya hingga Cherry orgasme lagi.
Nafas mereka memburu. Blake sampai membenamkan wajah ke belahan payudara Cherry, terengah-engah mencari udara yang sesak di kamar.
"Cherry..." Dia mengecup putingnya, puas melihat ruam mewarnai dada Cherry.
Bonek beruang di kamar menyaksikan mereka bercinta ria. Layaknya saksi kegiatan mereka sedari tadi. Biarlah kondom; mereka terbalut hasrat. Yang jelas, Cherry hanya pasrah membiarkan bayangan sahabat tercinta menyentuhnya. Menoreh dosa, menjadikannya sebagai model seks yang menawan.
