Truth or Dare - Part 2
Labu kuning berukir berjajar rapi di taman, memantulkan cahaya kuning yang menerangi trotoar. Sebuket permen diletakkan di luar rumah. Anak-anak berbalut kostum, baik mummy, vampir berjubah, atau serigala jahat yang sering muncul di televisi, pula berkeliaran memungut permen. Rumah-rumah kompleks diramaikan jaring sintetis, menciptakan imej ngerti yang tidak cukup menakuti mereka.
“Trick or treat!” seru anak-anak mengetuk pintu tetangga. Mereka rutin datang berkunjung meminta permen tiap tahun. Para Ibu sudah hafal betul– mempersilahkan mereka, menuangkan nyaris sekantong camilan manis ke ember. Namun mengkhawatirkan kondisi gigi mereka, sebagian Ibu mulai mengurangi porsinya.
Suasana rumah Cherry tidak kalah meriah. Stiker tengkorak menempel di pagar, gantungan kelelawar artifisial bergoyang tertiup angin malam, berpadu asap lilin yang menghilang di udara. Di sanalah Cherry berada. Ia mengenakan piyama gaun hitam, menyamakan tema Halloween yang kelam.
Berbeda dengan hiruk pikuk di luar, kamar Cherry terasa hangat. Ransel milik Blake tersimpan di pojok. “Cepat…” adu Blake yang tengah bersantai di lantai. Bersama, mereka bersembunyi di kamar dengan dek kartu yang mereka beli seminggu lampau. Bising jeritan anak “Trick or treat” menengahi mereka.
Namun mereka tidak mempermasalahkan, membiarkan anak-anak merayakan Halloween.
“Siap?” tanya Cherry, menepuk dek kartu. Lagaknya antusias. Ia tidak sabar menunggu kejutan apa yang akan muncul. Kemudian ia mulai mengocok seluruh kartu, mendengarkan bunyi gesekan ringan yang mengubah santai menjadi ketegangan.
Kartu pertama diletakkan ke lantai. Tulisan di atasnya terbaca, “Pernahkah kamu merokok?” Tahap awal yang mereka dapatkan adalah truth. Aturannya mudah, mereka perlu menjawab jujur segala pertanyaan yang tertulis.
Merokok. Satu kata yang tidak ada di kamus mereka. Serempak keduanya menggeleng. Rokok tidak pernah menarik bagi mereka, tidak peduli seberapa sering orang meledek. Rasanya pahit.
Beberapa kartu berikutnya memuat tantangan ringan. Pegangan tangan selama sepuluh detik, saling menatap tanpa boleh berkedip, walau gagal karena keduanya tertawa geli. “Najis,” ejek Cherry terkekeh. Alih-alih marah, Blake ikut menertawakan permainan mereka.
Tetap canggung bagi mereka menerima tantangan berpelukan. Mereka tentu saling mengenal semenjak balita. Namun urusan menyentuh satu sama lain, mereka enggan. Mereka lebih terbiasa mengobrol tentang kafe, makanan lezat, apapun yang tidak menyangkut interaksi intim.
Alhasil lengan Blake terulur ragu, bingung apakah ia wajib memeluk Cherry. Namun mereka tetap melakukannya lantaran ingin memenangkan permainan. Lantas Blake mendekapnya erat.
"Begini?" Blake memastikan.
"Iya, begitu," ujar Cherry menahan tawa. Di sela pelukan yang terasa kikuk, mereka membisu. "Maaf, aku bersandar..." Kepala Cherry melekat ke dada bidang Blake, mendengarkan harmoni detak jantungnya yang stabil.
Di momen mereka mulai nyaman, Cherry mendadak mundur meminta mereka melanjutkan permainan. Semburat merah perlahan mengecat pipi tirusnya. Mungkin saking malunya atau gugup, ia sedikit gegalapan. "Oke... ekhem, aku lanjut," lirihnya, mencoba terdengar rileks. Ia membuka satu kartu dan terkejut menemukan dare.
Kartu yang ia hindari.
"Cium pipi lawan mainmu," ucap Blake membaca tulisan di kartu, "Hah?" Blake langsung bangkit menatap gambar di bawahnya, meyakinkan dirinya tidak salah melihat.
"Tadi pelukan, sekarang cium pipi..." Kartu memampangkan gambar kartun sepasang kekasih yang mesra. Untungnya, mereka mendapatkan tantangan di pipi. Bukan di bibir.
Sang wanita cantik menawarkan, "Tadi kan kamu yang peluk aku. Sekarang giliranku deh!" Ia mencondongkan tubuhnya, lalu cup! Satu kecupan ringan mendarat ke pipi Blake.
Jemari Blake terhenti tepat di kartu yang masih tertutup. Jarum panjang jam bergeser perlahan ke pukul 22:14. Lubuk hatinya menjerit sebaiknya permainan ini diakhiri, melupakan apa yang barusan terjadi, lalu mereka turun memakan jeli buatan Ibu Cherry. Menganggap ciuman tadi hanyalah angin lalu.
Sementara Cherry tidak sependapat. Ia bersikukuh tetap menyelesaikan rintangan permainan, yang padahal tidak masuk akal. "Mumpung, ih!" pintanya manja, terlanjur memulai truth or dare menyeleneh.
Kesialan menimpa Cherry. Tantangan terbarunya bukan lagi sekadar merangkul, melainkan sesuatu yang bisa mengubah hubungan mereka.
“Jangan mancing perkara, deh—” Omelan Blake terpotong saat menyadari Cherry ternganga. “Apaan? Kita disuruh ngapain?” Netra hitam Blake membulat sempurna, terkejut membaca perintah di kartu.
Tidak membutuhkan waktu sampai lidah Cherry berkutat di telunjuk Blake, menghisap pelan perihal tidak terlalu pandai memuaskan nafsu. Blake sama kagoknya. Maklum, mereka sama-sama belum berpengalaman dalam hal tabu. Mereka tumbuh di lingkungan yang cenderung menghindari topik dewasa, juga terlalu fokus mengejar impian ketimbang nafsu. Kedekatan mereka sebatas tawa– sebagai sahabat akrab, jadi keduanya bingung bagaimana menanggapi permainan kartu ini.
Blake refleks menarik tangannya menjauh dari Cherry. Dipikirnya, menjilat jemari adalah tindakan sedikit jorok. "Aneh." Di sisi lain, ia menyukainya.
Tanpa alasan jelas, Blake mengagumi Cherry yang terlihat menggoda. Hawa panas di bibir Cherry seperti menyetrum kulitnya. Pandangan Blake menyapu wajah Cherry, berkedip cepat, sebelum mendorong telunjuknya ke arah Cherry— keluar-masuk membelai lidahnya.
Ada keheningan kental yang menggantung di udara. Terlalu janggal untuk dua orang yang biasanya ribut. Kartu terakhir yang mereka buka menjadi penutup malam Halloween. Sebuah kartu yang memerintahkan penetrasi.
Tiba giliran Blake. Ia harus menuntaskan apa yang mereka mulai. Perlahan ia melebarkan kaki Cherry, membiarkan gaunnya terhempas naik memperlihatkan pakaian dalam tipis. Samar-samar Blake mengintip ke organ intim Cherry yang basah. Becek meninggalkan bercak ke kain. Artinya, ia terangsang.
Blake menurunkan pakaian dalam Cherry, melemparnya ke sembarang arah. “Aku tidak tahu… kamu secantik ini…” gumamnya susah payah menelan ludah, saat Cherry mengangkang bak perempuan nakal. Sontak Blake menepuk sela lipatan sang wanita, lalu menyelipkan dua jemari besarnya seakan mencari sesuatu. Ia mengobrak-abrik vagina Cherry tanpa kelembutan.
Cherry hanya menggeleng, memohon ampunan Blake. “Cukup…” desahnya. Paha Cherry bergetar nikmat. Terlebih begitu Blake menemukan tombol bulat yang sanggup menghancurkan gadis manapun. Ia tekan klitoris tersebut dan mencubitnya gemas, tidak peduli cairan cinta Cherry mengotori tangan.
“Shh… sebentar.” Jemari Blake menghentak kasar vagina sahabatnya. Satu, dua, tiga sentakan kuat buat Cherry mendesis.
Seketika Cherry melengkungkan pinggul. “Ngh–” Kewarasannya buyar diterjang gelombang. “Blake–” Nama yang ia sebut bukan sekadar memanggil, tetapi tanda bahwa ia merasakan kenikmatan.
Entah mengapa Blake melepaskan diri di penghujung meraih orgasme. Dia mendekatkan tangannya, mencicipi larutan bening milik Cherry.
“Manis. Mungkin lain kali aku jilat saja…” batin Blake. Nafasnya memburu, tidak sabar ingin segera memainkan Truth or Dare lagi.
