Bab 9
Agam datang ke kantor setelah beberapa hari ini aku mengabaikannya. Untung saja, Ares sedang pulang ke rumah kakaknya jadi dia tidak datang. Sebenarnya aku belum mau bertemu dengan Agam. Aku butuh waktu buat berpikir, apa yang harus aku lakukan sekarang?. Apa aku harus menjauhi Agam?, tapi kalau begitu bukannya sama saja aku mengakui kalau aku mencintainya?. Selain karena hal yang membuatku bingung itu, Ares juga terus hilir mudik berada didekatku. Mengantarkanku pergi ke kantor, menunggui lembur dan memperlakukanku layaknya tuan putri. Aku risih, Ares terlalu berlebihan. Agam memperlakukanku dengan porsinya yang pas. Oh Tuhan, kenapa sekarang ini Agam dan Agam yang ada dikepalaku.
“Hai Kamela.” Sapanya dengan wajah agak dingin.
“Hai Gam.”
“Bisa kita bicara di café depan?,” tanyanya masih dengan nada yang dingin. Aku tidak bisa menghindar lagi bukan sekarang?.
Di café, aku dan dia duduk berhadapan di meja pojok. Dia tidak bersuara, hanya mengaduk minumannya dan menatapku dengan sedikit intens juga tajam. Seperti sedang ingin membunuhku hidup-hidup. Ada apa dengannya?. “Aku gak akan berbelit-belit. Aku cuman pengen tau, apa semua sikap kamu sekarang ini karena kata-kata aku yang bilang kalau aku pengen kita kaya gini aja kemarin?. Kamu tinggal jawab ya atau enggak karena aku cuma pengen tau jawaban dari pertanyaan itu.”
Menatap balik Agam dengan intens, aku melihat dia seperti sedang bingung dan ragu. Apa sebenarnya yang dia pikirkan?, dan membuatnya bertanya seperti itu. Apa yang dia rasakan juga sama seperti aku?. Ah aku tidak mau bertaruh, ketika ternyata jawaban yang dia harapkan adalah tidak dan aku menjawab iya. “Enggak, aku lagi ada kesibukan ko.”
Agam seperti akan mengatakan sesuatu, tapi dia malah mengepalkan tangannya erat di atas meja dan meminum minumannya. Kembali diam, seperti sedang mengatur emosinya sendiri lalu mengelus tanganku. Aku merasa dia sedang bergelut dengan pikiran dan hatinya sendiri. “Kamu mau temenin aku besok ke acara nikahan temen kantorku?,” tanyanya tiba-tiba berbelok arah dari percakapan tadi. Random sekali bukan dia?, tapi entah kenapa justru aku suka.
“Berapa hari?.”
“Dari Jumat sampai minggu. Aku dibolehin bawa satu orang.”
“Ehm, kapan dan kemana?.”
“Minggu depan, ke Bali.” Aku berpikir sebentar lalu mengangguk akhirnya. Tidak mempertanyakan kenapa dia mengajakku. Rasanya aku lelah dengan kerumitan hubunganku yang amburadul ini. Jadi aku memilih menjalaninya saja, let it flow. Rasanya itu lebih baik buat sekarang dan jalan-jalan sebentar sepertinya bisa menyegarkan pikiranku yang mumet.
“Loe gila?.” Keila kaget selesai aku memberitahunya akan ke Bali bersama Agam. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya karena katanya tak mengerti lagi denganku. “Loe baru aja gue bilangin kemarin, sekarang loe udah mau ngelakuin hal yang lebih gila dengan bersedia ikut acara temen Agam yang dengan kata lain juga adalah holiday bareng. Terus itu temen gue si Ares gimana ceritanya?. Loe mau ninggalin dia?. Wah gila loe, loe emang gila.”
“Udah deh, ngomongnya gak usah dibolak-balik gitu. Gue pergi ke Bali pengen refresh pikiran gue aja. Sekaligus gue pengen mikir lagi, gue itu maunya gimana. Gue gak ngerti lagi Kei sama diri gue sendiri.”
“Aduh, loe itu sebenernya udah pinter cuman, aduh kurang segaris.” Kenapa sih mak lampir satu ini mebolak-balikan perkatannya?.
“Gini ya, sebenernya loe itu udah sadar kalau yang loe cinta dan buat loe nyaman itu sekarang siapa, tapi loe gak mau mengakui karena sebenernya loe takut sama kejadian masa lalu. Loe gak mau mencintai dan bergantung sama seseorang seperti waktu itu, tapi Kamela gue harus bilang kalau loe harus mengakhiri lingkaran ini. Loe gak bisa mertahanin Ares terus, karena gue tau loe mertahanin dia itu karena gengsi dan keyakinan loe doang yang bilang kalau loe masih sama Ares artinya loe memang gak mencintai Agam. Dan loe sekarang sedang memungkiri perasaan loe sendiri.” Panjang lebar Keila mengatakan hal ajaib yang bisa membuatku bungkam lagi seribu bahasa. Apa yang dia bilang sepertinya tepat sasaran, tapi tetep aku enggak cinta kok sama Agam. Tetiba setelah kalimat itu, peri jahat menyorakiku karena aku bohong dan akhirnya aku hanya bisa bilang pada diriku sendiri, oke aku memang enggak tau perasaanku sekarang tepatnya gimana ke Agam.
“Udah ya Kei berhenti dulu sama ceramah loe, gue cuman butuh bantuan loe kali ini.”
Keila memutar matanya, “loe pasti mau bilang kalau Ares tanya loe bener gak ada dines ke Bali, gue harus jawab iya.”
“Gue tau loe ngerti posisi gue.” Keila hanya mendengus lalu keluar dari ruanganku dengan satu kalimat, “untung loe sahabat gue.”
**
Entah kenapa, terbang dan pergi ke suatu tempat adalah hal yang terasa menyenangkan bagiku. Walaupun ada satu negara yang tidak ingin aku datangi lagi karena kenangan buruknya. Oke skip, sekarang ini aku duduk disebelah laki-laki yang berstatus sebagai temanku, mungkin begitu aku harus menyebutnya. Dia memakai kaca hitamnya dan sedang tertidur. Aku memperhatikan wajahnya, kulit sawo matang bersih, rambut cepak rapih, badan yang terbilang proforsional dan juga tangan besar hangat yang sedang aku rasakan di tanganku sekarang. Aku tidak tau lagi apa yang aku jalani sekarang ini dengannya. Aku hanya tau satu hal, saat ini aku nyaman bersama laki-laki di sebelahku.
Ares maafkan aku, bahkan ketika malam itu aku bilang padanya aku harus dinas ke luar kota dia sangat bersedih. Untung saja, ada acara ulang tahun keponakannya di puncak jadi dia tidak terlalu sedih. Dia bilang, kalau saja aku enggak punya rencana dia mau mengajakku ke Puncak bertemu dengan kakaknya. Fiuh, aku bernafas lega. Untung saja, Agam mengajakku ke Bali.
“Sorry, aku ketiduran.” Tiba-tiba dia terbangun dengan wajah yang tidak tau kenapa sangat lucu. “Aku pasti jelek banget ya tadi pas tidur?.” Aku hanya bisa tertawa kecil dan mengangguk.
“Ya, aku baru tau kalau kamu tidur di pesawat bisa jadi jelek kaya tadi.” Bohongku yang membuatnya terkejut.
“Tuh kan.” Aku hanya tertawa lebih keras dan berkata bahwa aku berbohong. “Liat aja kalau nanti pas pulang, aku yang bakal foto kamu. Terus aku cetak taruh di dompet.”
Mengambil dompet dari dalam tasku kemudian mengeluarkan sesuatu. Dia kebingungan menaikkan alisnya apalagi setelah aku bilang, “mana tangan kamu.”
“Daripada kamu fotoin aku diem-diem, aku punya foto KTP kalau kamu mau simpen foto aku. Foto robot. Nih aku kasih gratis.” Aku menyimpan foto KTP ku di tangannya. Dia langsung ambil dan melihatnya.
“Cantik.” Katanya singkat.
“Seriously?. Gak usah gombal.” Aku menjawabnya bercanda sambil menyimpan dompetku lagi.
“Serius.” Aku hanya diam melihat wajahnya yang memang tidak tertawa sama sekali. Agam menyimpan foto KTP ku di dompetnya. “Ini buatku dan kamu gak boleh ambil lagi ya,” kata Agam dan aku merasa seperti orang bodoh karena wajahku yang memanas setelah perkataan Agam itu. Ya ampun Kamela, dimana benteng pertahananmu?.
Selama di Bali kami menginap di hotel yang lumayan nyaman dan bersih. Kamarku terletak di sebelah kamar Agam. “Huh.” Aku membanting tubuhku ke kasur yang sangat empuk dan nyaman. Memandang langit-langit hotel. Aku tiba-tiba bertanya siapa aku sampai aku ikut acara nikahan temannya yang ternyata bos Agam sendiri?. Aku tidak tau Agam mengenalkanku sebagai apa kepada teman-teman kantornya karena sedari tadi kami belum saling mengobrol. Teman-temannya hanya mencuri pandang padaku dan tersenyum saja. Ya ampun, kenapa aku jadi meributkan hal kecil seperti ini sih?. Bukan Kamela banget kayaknya.
Pikiran konyolku berhenti ketika mendengar bunyi bel, aku mengintip dan itu ternyata Agam. Dia masuk dan tersenyum dengan penampilannya yang sudah segar. Memakai kaos obolong putih dan celana pendek berwarna coklat muda. “Masuk.” Oh ya yang paling aku suka dari Agam adalah walaupun kami sangat dekat, tapi dia tidak pernah bersikap tidak sopan padaku. Setiap mau masuk ke apartemenku saja pasti dia menungguku sampai aku mengatakan masuk, atau dia tidak akan dulu duduk sebelum aku yang menyuruhnya.
“Nanti sore jam empat ada acara di pantai, dresscodenya putih.” Agam degan santai mengatakan itu di jam satu siang. Ya ampun, aku gemas sekali.
“Aduh kenapa kamu baru bilang?, aku lupa aku bawa baju putih atau engga. Perasaan enggak deh, bentar aku liat dulu.” Baru aku akan sibuk membongkar koperku, dia mencekal tanganku. “Sorry, aku lupa Kamel. Makanya aku sekarang kesini mau ajak kamu beli baju putih buat nanti sore, kebetulan acara kita kosong sampai sore.” Aku akhirnya mengangguk dan bersiap untuk keluar dengannya. Di Bali, kami mencari baju putih di mall karena tidak tau lagi dimana membeli baju untuk nanti sore. Kami banyak masuk keluar toko baju, tapi akhirnya aku dapat baju itu di Zara dengan bahu terbuka dan panjangnya yang selutut. Agam mengacungkan jempolnya. “Tunggu sebentar,”Agam pergi ke tempat topi dan mengambil satu topi pantai yang cantik dengan hiasan pita putih. Kemudian dia berjalan ke jejeran sepatu dan mengambil satu sandal tali cantik berwarna silver. “Oke, kamu udah siap ke pantai.”
Pulang berbelanja kami masuk ke kamar masing-masing dan bersiap untuk acara sore hari. Aku mempersiapkan diriku secantik mungkin, namun terlihat natural. Aku tidak ingin membuat Agam malu sudah membawaku. Ketika aku sedang memakai blush on, bel berbunyi dan aku sudah tau siapa. Siapa lagi kalau bukan Agam. Setelah dipersilahkan masuk, Agam duduk di sofa dan menunggu hingga aku selesai berdandan. Namun, ketika aku sedang bingung antara mengikat rambutku atau menggerainya Agam berdiri di belakangku dan melihat dari cermin. “Boleh aku kasih saran?.” Aku kebingungan, namun akhirnya aku mengangguk.
Diluar dugaan Agam menarik ikat rambutku dan rambut panjangku tergerai sempurna. “Kata aku lebih cantik begini.” Langsung saja jantungku ini tidak sopan karena berdetak lebih cepat. Oh kenapa aku harus deg-degan seperti ini hanya karena hal sepele yang dilakukan Agam?. Sadar Kamela.
“Thanks. Ayo.” Aku secepatnya berdiri kemudian meraih topi juga tas kecilku.
Sesampainya di pantai tempat acara berlangsung, aku lihat sudah banyak orang yang datang. Tidak tau aku yang kegeerean atau memang benar, tapi kebanyakan orang disini melirikku. Aku menoleh pada Agam yang memakai kemeja putih polos dan celana panjang coklat. “Kok aku ngerasa diliatin ya?. Apa aku salah kostum ?. Atau jangan-jangan lipstick aku berantakan atau jangan-jangan aku menor ya?. Ah tapi perasaan enggak deh.”
“Mungkin karena kamu cantik banget sekarang.” Agam tertawa dan aku kesal. Tak lama ada dua laki-laki dan satu wanita menghampiri kami. “Sore Pak Agam,” sapa seseorang yang tampaknya lebih muda dari Agam.
“Hai Gam, siapa nih?, Kayanya primadona yang lagi banyak diomongin orang sekantor,” kali ini seseorang yang sepertinya seumuran dengan Agam menyapa sambil menggandeng wanita cantik. Agam menoleh padaku dan mengenalkanku, “Kenalin ini Kamela, Manager Akunting dari Perusahaan Nature.” Aku terdiam, Agam hanya mengenalkanku sebatas itu. Senyumku tiba-tiba kecut. Bodohnya aku tidak bisa menutupi.
“Hai Kamel, kenalin gue Galih dan ini … gebetan gue Wulan.” Bisiknya diakhir yang membuatku terkejut, tapi masih mending laki-laki bernama Galih ini. Dia mengakui wanita yang digandengnya adalah gebetannya. Agam tidak mengenalkanku sebagai apa-apa, hanya sebagai customer nya saja. Oke, itu cukup menjelaskan. “Kamu bisikin apa?.”
“Ada dong, kepo banget sih.” Galih bercanda dengan wanita yang bernama Wulan itu. Aku melihat Agam hanya tertawa, tidak berkomentar.
“Perkenalkan saya Rudi.” Aku menerima uluran tangan Rudi yang bicaranya berlogat jawa.
“Oh ya, loe mau duduk dimana?. Gabung aja yuk sama kita,” tawar Galih.
“Gimana?, kamu mau gabung sama mereka?,” Agam malah meminta persetujuanku. Aku hanya berkata terserah dengan lesu. Oh kenapa kamu keliatan lesu gitu sih Kamela?. Aku akhirnya berusaha mencoba bersikap biasa saja, walaupun memang tidak bisa dibohongi hatiku masih merasa tidak nyaman karena perkataan Agam tadi. Please Kamela, jangan kaya gini. Aku coba mengingatkan diriku sendiri.
Di meja tampat kami duduk tersedia empat kursi, Rudi sudah memisahkan diri. Ingin bersama para jomblo katanya. Sementara aku dan Agam duduk di meja bundar berhadapan dengan Galih dan Wulan. “Oh ya, besok malem mau ke pub bareng gak?.” Tiba-tiba Galih berkata seperti itu di sela acara, ketika kepala cabang bank sedang memberikan pidato yang berisi selamat kepada bawahannya yang akan menikah besok.
“Gue gimana Kamela aja.” Agam melirikku. Aku berpikir, tidak ada lagi obat untuk menghapus perasaan sakit karena perkataan Agam tadi selain hang out. Jadi kuberikan jawaban dengan, “boleh juga.”
“Loe suka ke pub atau club gitu Kamel?.”
“Ehm…, ya gitu. Kalau lagi suntuk.”
“Ah kita kayaknya bisa jadi temen kalau gitu. Kita bisa bareng ke tempatnya Radit.” Galih tertawa sedikit keras membuat beberapa pasang mata melirik kami, menyeramkan tawanya. Tapi setelah beberapa detik ternyata yang lebih menyeramkan adalah saat aku sadar sepasang mata milik Wulan menatap kami dengan tatapan tidak suka. Sepertinya Wulan ini adalah perempuan yang pencemburu, terihat juga dari tangannya yang selalu menggandeng Galih dan tidak melepaskannya sedikitpun. Kutebak, Galih adalah seorang playboy makanya Wulan bersikap seperti itu.
“Loe jangan gangguin Keila.” Agam tiba-tiba menyela obrolan kami. Aku menatapnya dan berkata dalam hati, siapa kamu?. Orang yang sudah jadi pacarku saja tidak punya hak, apalagi hanya Manager Teller. Oh my god, hatiku panas sekali. Kenapa aku?. Aku yang biasanya tidak menginginkan sebuah ikatan. Tolong kembalikan kesadaranku. Aku menarik nafas pelan, tidak ingn terpancing sehingga mengeluarkan kata yang menyiratkan bahwa aku menginginkan di anggap lebih oleh Agam. Sorry, harga diriku paling utama.
“Kalem bro, gue gak gangguin dia. Gue cuman mau temenan kaya loe sama dia.” Dan Agam tak bereaksi apa-apa hanya membuang pandangannya. Aku tidak mengerti lagi dengan apa yang diinginkannya, tapi thanks Galih karena udah buat dia gak bisa jawab lagi barusan.
