Bab 10
Agam POV
Sore sudah mau menjelang malam, aku masih duduk di samping wanita cantik yang rambutnya terbawa angin kemudian menguarkan wangi shampoo yang selalu aku ingat. Wangi khasnya. Tidak tau kenapa Kamela dari waktu acara dimulai, dia seperti tidak menikmatinya. Dia hanya sesekali tertawa pada temanku, Galih. Galih menyindirku yang ingin berteman juga dengan Kamela. Padahal di sebelahnya ada Wulan, perempuan yang sudah menjadi teman dekatnya seperti aku dan Kamela beberapa bulan. Aku tidak tau kenapa Galih berkata seperti itu.
“Kamu gak apa-apa?,” aku memberanikan bertanya pada Kamela yang sedang mengaduk minumannya.
“Gak apa-apa. Kenapa memang?.”
“Aku takut kamu gak nyaman.”
“Enggak kok, temen kamu asyik juga.” Ku kutuk si Galih itu diseret Wulan kemana saja asal jangan di meja ini dengan kami.
Ketika peserta diperbolehkan melihat sunset, aku melihat Kamela begitu khusyu menikmati sunset di Nusa Dua. Rambutnya beberapa kali terbang oleh angin dan menghalangi penglihatannya. Aku tiba-tiba mengikat rambut Kamela dengan gelang yang aku pakai hasil perburuanku waktu aku dinas luar ke Jogja. Dia agak sedikit kaget kemudian tersenyum dan mengatakan terima kasih. Tidak tau kenapa tiap kali melihat dia seperti ada sesuatu yang beda dari semua wanita yang pernah jadi pacarku. Dia tidak pernah memaksaku, tidak pernah menuntut sesuatu dan tidak pernah membuat satu hal menjadi rumit. Walaupun terkadang aku ingin tau, apa dia memang seperti ini? Atau dia adalah wanita dengan ego yang tinggi sehingga tidak pernah menanyakan status kami seperti apa setelah hampir delapan bulan sama-sama. Dia juga tidak pernah bertanya ketika aku diluar, jalan dengan siapa dan aku kemana saja. Aku merasa sama dan nyaman dengannya.
“Gam, aku ke toilet dulu ya sebentar.”
“Mau aku anter?.” Dia menggelengkan kepalanya dan ternyata Wulan juga mengikutinya. Tingallah berdua aku dengan Galih. “Gam, loe yakin gak akan jadiin Kamela pacar loe?.” Aku langsung menoleh kepada Galih. “Kenapa emangngnya?. Kepo banget sih.”
“Dengerin gue, Kamela itu cantik banget, udah gitu dia kayaknya anaknya asyik gak ribet kaya si Wulan. Kalau gue belum nembak si Wulan sampai sekarang karena dia itu ribetnya minta ampun. Nempel aja kaya perangko. Kalau si Kamela, dia ngenalin loe sebagai customer aja masih santai. Coba si Wulan, aduh dibilang temen deket aja dia ngambek seminggu.”
Aku menukikan alis, “kok loe kaya lagi tertarik sama dia?.”
“Ya kalau loe nganggurin dia, ya gue aja yang jadiin dia pacar gue.”
Aku melotot tajam ke arah Galih, dan mendengus karena kesal. “Loe gak akan ngerti. Lagian dia juga kayaknya sama kaya gue, lebih seneng bebas dan gak terikat.”
“Kalau gitu jangan ngambek ya kalau gue juga deketin dia.” Galih langsung tersenyum ketika Wulan dan Kamela kembali dari toilet. Wulan langsung menjadi detektif menanyakan aku mengobrol apa saja dengan Galih sampai kelihatan asyik banget. Tidak lupa, Wulan juga langsung menggandeng tangan Galih lagi dengan possesif.
“Mau aku ambilin makanan?. Kita udah boleh ambil makanan.”
“Bareng aja yuk.” Galih yang melihat Kamela membuatku langsung menggandeng tangan Kamela.
Kamela POV
Alasan sebenarnya aku pergi ke toilet adalah karena merasa wajahku memanas akibat perlakuan Agam tadi. Kenapa aku mudah sekali terhipnotis dengan sikap manis dia?, setelah tadi dia membuat aku kesal. Jelas aku tidak mau Agam menyadari wajahku memerah.
Sayang acaraku ke toilet untuk menenangkan diri gagal total karena ternyata Wulan membututiku. Aku bercermin dan memakai kembali lipstick juga bedakku tipis-tipis sampai Wulan juga berdiri di sampingku dan melakukan hal yang sama. “Loe udah lama deket sama Agam?.”
“Hah..?” aku pura-pura tak mendengar jelas, berharap dia tidak jadi bertanya, tapi ternyata Wulan mengulang kembali pertanyaannya.
“Hm.. gue hanya temen aja.”
“Gak mungkin Kamela, gue tadi liat Agam ngebetulin rambut loe terus dia juga ngeliatin loe terus.” Wulan yang sepertinya cerewet ini terus saja menyudutkanku. Sabar, sabar Kamela.
“Oh ya kamu pernah denger gak Agam cerita tentang Galih?.”
“Sebatas kerjaan aja paling nama Galih beberapa kali disebut. Selebihnya aku gak denger apa-apa lagi.”
“Yaaaaah.” Wulan kecewa dengan jawabanku. Waktu aku tanya kenapa dia bertanya seperti itu, dia hanya bilang gak apa-apa. Ya sudah aku tidak mau ambil pusing dan kami pun kembali ke meja. Saat kembali, Galih terlihat sedang berbicara agak serius dengan Agam namun ketika kami mendekat ekspresi muka mereka langsung berubah seperti biasa. Aku tidak tau mereka membicarakan apa, yang jelas Wulan sudah langsung menginterogasi Galih dan wajah Galih pun terlihat kesal. Berbanding terbalik dengan aku yang santai-santai saja karena malas kepo urusan Agam dan Galih. Prinsipku dalam suatu hubungan adalah aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak membuat hal kecil menjadi rumit dan yang paling terpenting adalah saling menghormati privasi masing-masing.
Makanan yang disediakan oleh hotel ternyata cukup banyak dan kualitasnya lumayan. Aku makan cukup banyak. Galih juga Wulan seperti aneh melihatku, kalau Agam sudah biasa saja karena nyatanya kami sama yaitu senang makan banyak. “Wah, loe gak diet memang?. Makan loe banyak banget.” Wulan dengan wajah yang terlalu berlebihan.
“Enggak, buat apa?. Gak menikmati hidup.” Aku sangat santai menanggapinya dan tidak terpengaruhi sedikitpun.
“Tapi loe bisa dengan badan loe kaya sekarang dengan porsi makan kaya gitu?.” Wulan terlihat sangat tidak terima dan kepo abis.
“Ya karena gue happy, mungkin. Tapi tetep imbangin sedikit sama olah raga kaya lari setiap pagi misalnya. Kenapa memang?, kok kaya yang aneh banget sih.”
“Abisnya Wulan ini, kalau makan mesti dijaga banget. Sayurannya, dagingnya sampai minumnya. Jam nya juga, makanya sekarang Wulan belum nyentuh makanannya karena jadwal makan Wulan lima menit lagi. Tuh gue aja sampai hapal.” Galih tanpa sadar sepertinya berbicara begitu panjang lebar memotong obrolanku dengan Wulan tanpa melihat ekspresi Wulan yang sedang mendeliknya tajam dan saat Galih sadar suasana menjadi hening dan canggung. Aku dan Agam pun ikut-ikutan awkward.
“Jalan-jalan disekitar sini yu?.” Agam sepertinya juga merasa tidak betah berada disini. Bye Galih dan Wulan, silahkan dilanjutkan. Sayang sekali ke Bali dihabiskan untuk bertengkar karena hal kecil. “Eh bentar ya, aku mau ke bos ku dulu.” Aku mengangguk dan pada saat aku akan meninggalkan meja, handphone Agam tertinggal. “Bawa aja Kamela, takutnya nanti dia cari.”
Aku berjalan sendiri lebih dulu, rasanya tidak nyaman menunggu lagi di meja yang sama dengan Galih dan Wulan. Ketika sedang berjalan, handphone di tanganku bergetar. Ada satu nama yang muncul dan itu nama perempuan. “Hanifah is calling.” Terdiam untuk beberapa saat dan segera mengedarkan pandanganku untuk mencari Agam, namun sebelum aku menemukan Agam panggilannya berakhir dan ada satu chat masuk dari nama yang sama tadi menelepon.
Mas tolong angkat teleponku ya, katanya.
Kakiku rasanya lemas, sampai aku mencari tempat untuk duduk. Siapa perempuan yang meneleponnya dan memanggilnya mas?. Apa adiknya?, tapi seingatku dia mengatakan kalau dia anak satu-satunya. Ada yang tidak beres, dia sepertinya benar-benar sama seperti aku. Tapi aku seharusnya tidak kaget, bukankah sudah kuduga sejak lama dia sama seperti aku. Maka dengan segera aku kembali ke meja sebelum Agam datang. Berbisik pada Galih untuk meminta waktunya sebentar. Aku tidak peduli Wulan sudah mengeluarkan segala taring dan lasernya. “Ada apa Mel?.”
“Please jawab jujur.”
“Oke, aku bakal jawab jujur. Pertanyaan mengenai perasaan aku aja, aku pasti serius jawabnya.” Candanya yang langsung membuatku memutar mata malas. “Sorry, apa pertanyaannya?. Penting banget kayanya.”
“Agam belum bekeluarga kan?.”
