
Ringkasan
Status adalah hal yang menakutkan bagi seorang Kamela, karena satu hal yang terjadi di masa lalu. Sial, dia bertemu dengan seseorang yang membuatnya berada dipersimpangan. Persimpangan yang membuatnya harus menghadapi ketakutannya agar mendapatkan kebahagiannya atau tetap diam di tempat namun merelakan seseorang pergi dengan yang lain.
Bab 1
Setelah pagi tadi sibuk dengan rapat yang rutin diadakan, siang ini sepertinya aku akan sibuk dengan laki-laki yang datang dengan jas dan kemeja yang bermerek. Sepatu mengkilat dan wangi yang akan tercium walaupun dia sudah jalan beberapa meter dari kita. Dia ada di lobi, menunggu sang tuan putri keluar dari persembunyiannya. Namun sayang, sang tuan putri masih enggan keluar sampai ada telepon masuk. “Kamel, loe dimana sih?.” omel si penelepon dengan suara yang sangat keras.
Tidak perlu melihat siapa nama penelepon, dari suara dan caranya mengomel aku tau dia Keila. Sahabatku yang paling cerewet dan heboh. Sahabat dari jaman SMA lalu bertemu lagi di kantor yang sama karena kebetulan waktu itu sedang ada lowongan di kantornya dan aku masuk dengan ijazah yang aku punya. Ijazah hasil keringat dan kerja keras kuliah di luar negeri dengan nilai yang sangat memuaskan.
“Di ruangan gue Kei.” Terdengar Keila yang berada di ujung sana menghembuskan nafasnya berat. “Wah loe gila, gue nunggu disini udah hampir 20 menit dan loe masih di ruangan. Loe inget kan balik gue dari luar kita janji buat makan siang bareng di café depan kantor jam satu?.”
“Inget, tapi gue ada urusan dulu sebentar,” jawab santaiku pada Keila. Padahal otak dikepalaku lagi muter, gimana caranya bisa ngadepin Barri yang ada di lobi tidak pake lama. Aku jadi mengutuk Keila yang tadi tugas keluar, aku jadi terjebak di kantor sendirian.
“Gue tau apa urusan loe. Cepet gue tunggu 15 menit lagi!. Kalau loe telat, gue pastiin si Ares malem ini terbang dari Australia. Gue udah kaya cacing lumutan tau gak disini. diliatin bapak-bapak …. ” Oke, dia memang tau sekali kelemahanku dan aku harus secepatnya keluar sebelum nenek lampir itu benar-benar menyuruh temannya buat pulang ke Indonesia, jadi aku langsung menutup panggilannya tanpa menunggu Keila menjawab. Biar saja dia mengomel panjang lebar nanti karena aku sudah tidak sopan menutup teleponnya disaat dia masih menyerocos.
“Hai sayang, lama banget sih.” Sapa Barri waktu aku muncul dilobby.
“Sorry hon, tadi banyak kerjaan.” Jawabku sekenanya, ya walaupun tidak 100% bohong karena aku memang sedang banyak pekerjaan tadi. Tau ada Barri yang menunggu di lobby saja itu dari satpam, bukan dari chatnya yang tidak aku buka karena terlalu fokus pada pekerjaan yang menggunung. Jangan salahkan aku, salahkan saja Pak Tama yang memberi pekerjaan dan rewelnya minta ampun kalau urusan keuangan. Kan memang kuncinya bisa sukses dan kaya raya itu adalah teliti dalam hal uang, 500 rupiah hilang saja harus jelas dan tau kemana itu. Oke, lupakan bosku satu itu. Bos yang jauh dari impian para pembaca novel, ganteng, muda dan senang foya-foya karena kenyataannya sebaliknya. Oke, sorry skip.
“Jadi kamu mau membatalkan lagi acara makan siang kita?. Setelah dua hari kamu terus nolak?.” Tanya Barri setelah aku menolak ajakannya untuk makan siang. Aku yang berdiri di lobby dan menjadi perhatian banyak orang sedikit risih sampai aku pun mengajak Barri ke luar kantor. “Aku sibuk Barr, aku juga sekarang mau ada janji sama orang pajak.”
Barri menahan tanganku yang secepatnya ingin keluar. “Kamu gak lagi ngehindarin aku kan Kamel?.” Ditanya seperti itu aku diam dan pasrah mengangguk seperti boneka yang ada dimobil-mobil untuk membuatnya cepat pergi. “Oke kalau gitu, aku percaya sama kamu hari ini, tapi nanti aku bakal jemput kamu.”
“Aku bawa mobil sayang.”
“Gak apa-apa nanti simpen aja dikantor mobil kamu. Besoknya aku anter kamu lagi berangkat ke kantor.” Oke, Barri Widodo si pemilik salah satu koran terkenal di Indonesia ini punya banyak kalimat yang bisa mengalahkanku. Ya, tapi karena itu juga sih lima bulan lalu aku tertarik dengan laki-laki 32 tahun ini. Aku jadi tidak gampang bosan mengobrol dengannya.
“Gak bisa, aku gak suka mobil ku terlantar gitu aja di parkiran kantor.”
“Aku yang bawa mobil kamu kalau gitu. Nanti aku kesini pake sopir.”
See?. Itulah Barri, yang membuatku juga suka kesal dan gondok. Dia terlalu pemaksa, tapi maaf aku bukan orang yang bisa dia kendalikan, kamu salah orang Barri. Jika kalian berharap aku adalah wanita lugu, penurut dan senang dengan hal romantis seperti dikekang oleh pria maka kalian salah. Aku sangat tidak suka dan aku tidak membenarkannya, apalagi dengan alasan cinta. Alibi sekali.
“Aku gak mau Barr. Minggu kamu ke apartemen aja karena aku sibuk sampai sabtu, em… itu pun kalau kamu mau.”
Barri menghela nafas, meremas tanganku dan menyambar pipiku sekilas, mungkin itu caranya meredakan kekesalannya terhadapku karena terlalu keras kepala dan tidak bisa diatur. “Oke, mungkin ini yang buat aku cinta sama kamu. Kalau gitu, minggu aku dateng.”
Yess!!!. Akhirnya Barri pulang dan aku bisa ke café menemui si nenek lampir yang terlihat seperti sudah bertransformasi menjadi si buto ijo dari gua hantu. Matanya melotot, mukanya merah dan dadanya naik turun. Seperti biasa, jika Keila sudah seperti itu maka aku akan bersikap biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa. Dengan wajah datar dan mata yang lurus, aku ambil buku menu yang ada dihadapan Keila. “Gue mau salad aja Kei.” Keila menatapku sangat fokus dan menusuk seperti pedang samurai. Namun, aku hanya tersenyum sangat manis didepan Keila dan mengeluarkan permen yang selalu ada dalam tas kecilku. “Makan dulu nih, biar adem kaya mint.”
Keila menyambar cepat dan memakannya dengan gaya orang kelaparan, lalu menarik nafas dalam-dalam. “Hampir aja gue telepon si Ares dan bilang kalau loe sebenarnya kangen dan pengen dia pulang,” cerocos Keila dan itu artinya Keila is back karena kalau dia marah maka mulutnya akan diam namun matanya akan mencecar sadis dan mengeluarkan laser panas level paling tinggi kepada orang yang membuatnya marah, ya seperti tadi atau sewaktu aku buat dia menunggu lama di kantor.
“Ares bakal tau kalau loe boong. Dia tau selama ini gue gak pernah bilang kangen sama dia. Dalam kamus gue saat ini, gue gak akan pernah bilang kangen sama cowok manapun karena gue yang biasanya dikangenin.” Aku tertawa setelah mengatakan itu, sementara sahabatku yang bernama lengkap Keila Wicaksono dan memakai kemeja sifon berwarna putih gading memutar bola matanya malas. Keila sudah terbiasa dengan sikapku yang cuek, santai dan terlalu kepedean walaupun memang sebenarnya itu adalah kenyataan. Kalau tidak benar, aku tidak akan sering dikejar oleh pria bukan?. Contohnya Barri, laki-laki yang sekarang juga berstatus menjadi kekasihku sama seperti Ares. Laki-laki yang sekaligus teman SMP Keila, tinggal di Australia karena bekerja.
“Terus gimana urusan loe sama si Barri?.”
“Kei ayo pesenin dong, gue laper banget.” Aku pura-pura tidak mendengar apa yang ditanyakan Keila. Perut ku sekarang lebih penting daripada membahas Barri yang mulai membosankan.
“Kamel, gue tadi liat Barri.” Keila yang sudah terbiasa dengan sikap Kamela yang cuek dan tidak gampang menyerah.
Aku mendongak dan menatap Keila dengan sedikit geram karena sungguh dia sudah sangat lapar, “aduh nenek lampir satu ini memang keras kepala. Oke, gue cuman mau bilang, Barri gak gampang nyerah. Cukup kan buat menjelaskan gimana gue dan Barri?.”
Menyenderkan tubuhnya ke kursi sambil menyedekapkan tangan didada, Keila, si nenek lampir satu ini dengan ala detektif bilang, “gue tebak pasti gara-gara dia lamar loe kemaren. Loe jadi males deh sama dia.” Tebakan Keila 100% benar. Jadi memang Barri tiga hari yang lalu itu melamar aku di kantor dengan bucket bunga besar dan kue coklat Harvest besar plus tulisan ‘will you marry me?’. Bisa ditebak bukan?. Alhasil karena tulisan itu semua orang di kantor pun tau termasuk Keila, si nenek lampir tukang gosip.
Please jangan tanya perasaanku gimana, aku benar-benar malu dan tidak tersentuh sama sekali. Ada perasaan takut, benci dan tidak suka, namun aku tutupi itu serapat mungkin pada Keila dengan menjawab hanya mengendikkan bahu dan mengalihkan pembicaraan dengan memangil pelayan untuk memesan makanan yang aku inginkan. Siang ini rasanya aku kelaparan sekali, apalagi setelah menghadapi Barri. Salah mengira pada awalnya jika Barri hanya akan bersenang-senang denganku, baru saja menjalin hubungan sekitar empat bulan Barri langsung melamar dengan alasan dia sudah terlalu tua untuk berpacaran. Oh really?, dan yang paling konyol menurutku Barri merasa aku adalah wanita yang pas untuknya dari pertama kali bertemu. That’s it. Oh come on, aku gak percaya hanya karena itu dia mengajak aku untuk hidup dan tua bersama. Sorry to say, aku tidak bisa berpikiran positif terhadap pernikahan. Terlalu panjang untuk dijelaskan kenapa aku tidak suka.
“Cepetan, gue harus ke kantor pajak hari ini,” ucapku setelah meminum jus dengan cepat dan membuat Keila melihatku dengan agak emosi. “Sabar Kei,” terdengar hiburnya pada diri sendiri dan aku hanya bisa tersenyum cuek. Dia memang sahabat yang paling bisa tahan denganku.
Membahas tentang ku, aku adalah Kamela Putri Widodo, wanita yang katanya luar biasa membuat banyak perempuan lainnya iri. Mempunyai wajah cantik, keluarganya yang kaya raya karena ibunya seorang dokter sementara ayahnya seorang pengusaha dan juga otaknya yang membuatnya mendapatkan pencapaian karir yang luar biasa. Kata orang lain loh ya, bukan kataku. Walau aku sendiri pun membenarkannya. Belum lagi omongan orang yang bilang, “wah hebat ya umur 29 tahun Kamela sudah menjadi seorang Accounting Manager di salah satu perusahaan kosmetik yang cukup terkenal.” Perusahaan yang memberikan jabatan itu karena aku memiliki latar belakang pendidikan S2 di Amerika dengan nilai tinggi. “Sempurna,” kata orang lain, tapi tenang kenyataannya aku tidak sesempurna itu. Ada hal yang lebih besar yang membuatku menyedihkan. Kalian belum tau saja ceritaku.
Dari semua orang yang mengenalku hanya Keila yang mengetahui segala ceritaku. Keila tau, bagaimana aku pernah ingin menyerah pada hidup dan mengatakan ingin menjadi orang lain. Bahkan Keila melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana hidupku hancur. Jadi, memang Tuhan itu Maha Adil bukan?, tidak ada yang sempurna. Setiap orang mempunyai kekurangan dengan masalah yang diberikan padanya juga ketakutannya masing-masing agar setiap hambaNya itu tidak lupa akan keberadaan Tuhannya. Bagaimana kata-kataku?.
**
Kepalaku rasanya ingin pecah ketika Risa, salah satu bagian dari stafku datang dan berkata kalau Barri sedang ada di lobi menunggu. Mau apalagi dia datang, padahal sudah aku bilang kalau dia datang saja ke apartemenku nanti minggu. Risa terlihat salah tingkah ketika melihat ekspresiku. Aku menghembuskan nafas besar dan menyenderkan badan di kursi. “Maaf bu, saya tidak tau kalau ibu sedang tidak ingin ditemuinya jadi saya bilang kalau ibu belum pulang dan masih ada didalam ruangan.” Risa terlihat agak takut denganku yang terkenal killer jika urusan pekerjaan. Maaf, karena kalau urusan pekerjaan aku tidak pernah main-main. Hanya urusan laki-laki yang boleh main-main.
“Ya sudah kamu bilang sama dia suruh tunggu dan kamu pulang saja. Kita terusin besok lagi.”
“Baik bu, terima kasih kalau begitu saya permisi.”
Risa terlihat menghembuskan nafas lega karena aku tidak memperpanjang masalah dan menyuruhnya pulang. Mungkin Risa menganggapnya dia sedang beruntung, tapi tidak denganku. Aku sedang tidak beruntung. Aku berharap, aku bisa makan pasta sendiri di restaurant lalu pulang langsung berendam kemudian menonton serial mistresess season lima yang lagi gantung banget, tapi semua itu mungkin akan hancur karena mood ku terjun ke jurang dengan kedatangan Barri. Aku mungkin memang seharusnya segera menjawab lamarannya daripada menghindar darinya terus. Ya, aku putuskan untuk menjawab lamaran Barri sekarang. Aku menegakkan dudukku dengan yakin dan memakai kembali sepatu hak tinggi yang tadi sempat dilepas karena pegal lalu segera membereskan barang untuk turun ke lobi.
“Malam Kamel,” sapa Barri setelah aku muncul dihadapannya. Dia masih mengenakan kemeja dan jas tadi siang. Ya, dengan pekerjaannya dia sering pulang agak larut. Dunia malam juga sebenernya sudah tidak asing lagi buat Barri karena aku juga bertemu dengannya waktu aku dan Keila main ke sebuah club untuk menemukan seseorang yang tajir melintir juga ganteng buat dijadikan pacar yang bisa Keila pamerkan kemana-mana. Sayang, dia malah ketemu dengan cowok yang ganteng memang, tapi ternyata cowo itu biasa-biasa saja. Alhasil setelah dua minggu kenal, Keila bilang “dia kere Kamel, masa nanggung gua belanja di Zara aja dia shock. Ya udah bye-bye aja.”
“Ya gimana gak shock?. Loe kan mau dimana aja belanjanya pasti gak kurang dari dua kantong gede.”
“Ya kalau dia memang tajir, dia biasa-biasa aja dong malah harusnya dia bilang wah cewe ini baik banget sih belanjanya cuman segini doang di sini gak kaya cewe-cewe lain.” Oke, dia memang tidak tau diri dan matre. Aku tidak bisa bela dia karena dia temanku. Dia memang seperti itu. Oke, back to Barri. Jadi kami itu berkenalan karena ulah dari si nenek lampir itu juga. Dia bilang kalau aku bisa ngajak Barri kenalan maka dia akan kasih aku apa aja dan hanya dengan bermodal otak yang cemerlang aku bisa memenangkan taruhan itu. Barri adalah cowok berkelas, terlihat dari pertama aku mendekat. Segala yang dipakainya sudah menunjukan itu dan informasi sedikit dari Keila. Dia orang yang senang ketika kita bisa menyeimbanginya mengobrol dan aku bisa langsung berkenalan dengan Barri lalu dengan cepat berlanjut menjadi pertemuan-pertemuan menyenangkan kami. Hingga akhirnya dia melamar dan membuat aku takut.
“Malam Bar.”
Barri langsung berdiri dan mendekatiku. “Sorry, aku dateng soalnya aku mau kasih kamu sesuatu. Aku gak bisa nunggu lagi sampai minggu.” Jelasnya langsung karena tau aku kesal dia tidak menurutiku.
“Kita ngobrol di coffe shop depan kantor aja.” Barrri mengangguk setuju, tanpa membantah.
Aku dan Barri duduk saling berhadapan. Barri mengambil tanganku yang ada diatas meja, lalu menciumnya. Menyerahkan sebuah kotak beludru berisi cincin yang sudah kuduga. “Bagaimana jawaban kamu sayang?. Aku udah gak bisa lagi nunggu. Kamu ngehindar akhir-akhir ini.” Aku tidak melepaskan tanganku yang kini digenggam erat oleh Barri. Matanya pun terus melihatku dan jujur saja itu membuatku risih. Tatapannya dulu nakal dan jenaka, tapi kali ini sangat berbeda.
“Baiklah. Maaf Bar, aku gak bisa.” Ucapku sekali tarikan nafas seperti orang sedang melakukan ijab kabul. Genggaman Barri langsung melonggar dari tanganku sewaktu aku selesai menjawabnya. Dari pertama sepertinya Barri yakin kalau aku bakal menerimanya, jadi disaat aku menolak lamarannya Barri sangat terkejut. “Kenapa sayang?. Apa yang salah?. Kita udah sama-sama dewasa, kita juga udah sangat dekat bahkan respon yang kamu kasih itu kentara banget. Itu udah cukup bukan buat jadi bukti kalau kita bisa maju ke jenjang yang lebih serius.”
Wajahku tetap tenang dan tersenyum lembut, sementara Barri tidak. “Bar, tapi bukan menjadi jaminan dengan itu kalau aku mau maju ke jenjang yang lebih serius sama kamu. Aku pikir, kamu salah kira kalau aku bakal nerima lamaran romantis kamu kemarin.”
“Kamu cinta sama aku kan?.”
“Bar, kita sampai disini aja.” Aku mengatakannya dengan tenang, seraya mengambil tangan Barri dan menggenggamnya sekilas. Barri tambah terkejut dengan apa yang aku katakan. “Itu jawaban yang gak menjawab pertanyaan aku Kamela. Kenapa kita jadi putus?.”
“Kamu yang bilang bukan kalau kamu melamar aku karena kamu udah gak pengen membuang waktu lagi dengan berpacaran?. Nah kalau itu yang kamu pengen dari hubungan ini, kamu salah jalin hubungan sama aku. Kalau aku tau dari awal komitmen yang kamu pengen, aku enggak akan nerima kamu waktu itu.” Barri makin tidak percaya dengan apa yang aku katakan, dia langsung berdiri dari posisinya dan berlutut di hadapanku dengan menggenggam tanganku. Oh my god, ada apa dengan Barri?. Celananya itu nanti kotor, belum lagi jadi banyak yang liat.
“Kamela kalau kamu memang ingin minta waktu, aku bakal kasih tapi buat lepasin kamu aku gak bisa. Kamu tau?. Selama empat bulan ini aku gak jalan sama siapa-siapa lagi selain kamu. Hidup aku cuman berporos di kamu doang.”
Kamela menepuk punggung tangan Barri, “Barri maaf, tapi kita gak bisa terusin hubungan ini lagi. Kamu buang waktu kalau nunggu aku siap nikah. Kamu gak tau apa-apa tentang aku. Sekarang aku harus pulang. Aku capek banget dan sebaiknya kamu sekarang berdiri. Malu diliatin, udah gitu nanti celana kamu kotor.” Maaf aku harus jujur. Aku tidak suka keadaan seperti ini, aku tau ini menyakiti orang lain yaitu Barri, tapi prinsipku kalau aku tidak menyakiti maka aku yang bakal tersakiti. Itulah hukum percintaan menurut ku.
Aku menepuk bahu Barri yang hanya diam dan akhirnya tak lama Barri berdiri. “Oke. Aku kasih kamu waktu bukan perpisahan.”
Aku diam saja. Tidak membantah juga tidak mengiyakan. Tidak asing lagi buatku. Aku sudah beberapa kali menolak laki-laki ketika dia menawarkan hubungan yang lebih serius atau ketika dia sudah membosankan. Bosan untukku adalah ketika laki-laki yang mendekatiku menunjukan cintanya yang berlebihan. Satu hari pernah aku memutuskan hubungan dengan seseorang karena dia membawaku ke rumahnya dan dikenalkan kepada kedua orang tuanya. Pernah juga aku memutuskan seseorang karena dia sangat possesif. Memberikan makan siang setiap hari dan mengantar jemput aku setiap hari, bahkan sampai menungguiku setiap aku lembur. Dia tidak pernah membiarkan aku mempunyai waktu untuk diriku sendiri. Tenang, aku bukan wanita aneh yang menjauh ketika seorang lawan jenis sangat mencintaiku. Hanya pengalaman yang membuat aku untuk berjaga-jaga dan menjauh ketika komitmen mendekat.
Ketika sampai rumah pun, harapan untuk bersantai-santai dan menyenangkan diriku sendiri itu pupus ketika ada telepon terus menerus dari Ares. Aku lupa kalau aku juga tidak bisa membiarkan laki-laki satu ini, Ares memang tidak terlalu menyebalkan tapi terkadang jika sudah dua sampe beberapa hari aku tidak mengangkat atau tidak merespon segala chatnya maka dia akan menelepon terus-terusan seperti sekarang ini sampai aku merasa kesal. Aku tidak punya pilihan lagi, akhirnya aku mengangkat telepon Ares. “Halo Ares,” aku menyapa Ares dengan tenang sambil berendam di bathub.
“Halo Kamel. Kamu lagi apa?,” tanya Ares dengan lemah lembut. Ares adalah sosok laki-laki yang tidak banyak bicara seperti Barri, tapi dia sangat perhatian dan menghargaiku dengan baik. Itu salah satu alasan aku belum memutuskan Ares ketika menerima Barri. Keila bilang, “udah jangan diputusin, dia baik banget. Lagian dia juga gak bakal resek sampai kapanpun. Gue jamin.” Si nenek lampir itu memang marketing terbaik. Ya walaupun setelah dipikir-pikir memang tidak ada ruginya aku mempertahankan dia. Dia jauh di Australia, aku hanya perlu sesekali bertemu dengannya dan satu keuntungan lainnya aku tidak akan bosan tentunya jika sedang ada disana. Jadi ya bisa dibilang pacar buat traveling. Jahat gak sih?. Ah gak sih kayaknya.
“Hm … aku lagi berendem. “
“Wow. Me time. Oh iya kamu jarang terima telepon aku beberapa hari ini.” Pernyataan itu membuatku diam. Aku bingung harus menjawab apa karena sejujurnya aku tidak menjawab panggilan Ares karena aku pusing oleh Barri yang terus menerus menghubungiku untuk meminta jawaban. Jadi, aku tidak mau menambah pusing di kepalaku dengan panggilan Ares.
“Maaf Res, aku lagi banyak pekerjaan banget akhir-akhir ini. Aku harus ngurus pajak kantor sama karyawan.” Setelah penjelasan singkat itu, aku dan Ares mengobrol hal-hal ringan sampai waktu aku singgung kalau aku sudah kedinginan, dia baru menyudahi obrolan kami. “Ya udah kalau gitu kamu cepetan bilas dan tidur. Good night babe.”
“Ya, good nigt hon. Ehm.... jangan lupa makan oke.” Ares terdengar bahagia ketika menjawab dan mengingatkanku balik. Ares sudah tau, aku memang wanita yang terkadang cuek, namun terkadang perhatian. Mungkin dari sikap itulah yang membuat laki-laki banyak yang tertarik padaku. Mungkin sih.
**
