Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7

Sudah terhitung enam bulan aku dekat dengan laki-laki yang bernama Agam, sebuah prestasi sepertinya untuk masa sekarang aku bisa dekat dengan satu laki-laki selama ini. Sampai-sampai apa yang dikatakan oleh Keila waktu itu menghantuiku saat ini. “Loe sebenernya jadian gak sih sama dia?.” Aku menjawab dengan gelengan kepala. Keila tersedak mendengar jawabanku. “Sumpah?. Loe kan deket sama dia udah lama. Masa sih kalian gak jadian?.”

“Emang enggak.” Aku masih terus mengunyah bakmie ku.

“Loe gak terluka sebagai player?. Dia deket banget sama loe, kemana-mana berdua, tapi dia gak pernah nembak loe?. Loe gak curiga?.”

“Apa yang perlu gue curigai?. Gue gak terluka sama sekali ya, karena gue juga gak serius. Dan gue lebih nyaman seperti ini, loe juga tau.” Aku tetap fokus, walaupun sebenarnya dalam hatiku pun sebenarnya agak sedikit terusik. Agam memang sudah tak segan lagi untuk berkata I miss you atau mencium bibirku, tapi dia tidak pernah menyinggung sedikitpun mengenai status hubungan kami karena aku pun tidak pernah. Aku harusnya merasa senang bukan karena sebenarnya ini yang aku inginkan. Agam tidak membosankan, tidak menuntut sebuah hubungan dan kami dekat. Tidak ada masalah seharusnya, tapi entah kenapa hatiku bertanya-tanya kenapa Agam tidak pernah menyatakan cinta atau menanyakan menganai status kami?. Apakah dia juga sedang bermain-main?.

Lamunan ku berhenti saat terdengar suara pisau. Ditempat ku sekarang, Agam sedang memasakkan sesuatu. “Aku aja yang masak, malu tau aku jadi cewek. Kok malah kamu yang masak?.” Aku berdiri dibelakangnya dan mencoba merebut pisaunya.

“Jangan nanti kita malah keracunan.” Aku langsung mencubitnya. “Ya udah aku ajarin aja, kamu ikutin instruksi aku aja ya?.”

“Modus.” Dia hanya tertawa, tapi kemudian berdiri di sampingku dan membimbingku. Aku mencoba melakukan segala intruksi yang diperintahkannya. “Kamu ternyata cantik banget ya kalau lagi masak.” Tidak aneh, dia kadang sering berkata dengan random.

Aku tersenyum jail dan menoleh, “masa sih?. Aku tersanjung banget. Oh ya, aku kayaknya kursus masak aja ya sama kamu.”

“Boleh, why not?.” Agam mendekat dan memelukku lalu mencium pipiku seperti anak kecil yang mencium bonekanya. “Udah kali, nanti ancur pipi aku.” Agam tertawa dan melepaskannya lalu kembali membantuku memasak. Hari itu, kami menghabiskan hari minggu bersama lagi seperti hari minggu sebelumnya. Namun, sesudah malam itu dia menghilang. Setelah, dia bilang kalau dia harus pulang ke rumah orang tuanya beberapa hari. Dia tidak menghubungiku dan tidak datang lagi ke rumah seperti biasanya. Aku pun tidak berniat menghubunginya, tidak ada dalam kamusku aku harus menghubungi laki-laki terlebih dahulu lagipula seperti apa yang telah aku katakan pada Keila, aku tidak masalah dan tidak keberatan kalau harus pisah dengan dia. Jadi, aku memilih diam saja dan menikmati hariku seperti biasa walaupun memang aku tidak bisa membohongi diriku sendiri bahwa ada yang hilang.

“Loe yakin gak akan pernah mau ngehubungi dia Kamel?.” Tanya Keila yang menatapku, tapi aku pura-pura tidak melihatnya dan berpura-pura santai.

“Enggak, buat apa. Loe tau kan gue selama ini gimana ke cowo?.”

“Tapi, gue tau loe beda ke Agam.” Ucapan Keila menembakku, tapi aku tidak menganggapnya. Dalam hati aku tidak mau mencintai siapapun lagi. Agam, sama seperti laki-laki yang dekat denganku sebelumnya. Hanya datang dan pergi. Itu yang selalu aku tanam dan pupuk setiap hari. “Gue rasa loe juga gini dulu ke Rey.”

Aku langsung menatap tajam Keila dan mak lampir itu seketika sadar apa yang telah dikeluarkan oleh mulut embernya. “Sorry gue gak maksud.”

“Oke, tapi please jangan pernah sebut nama itu lagi.” Mulutnya langsung rapat serapat-rapatnya, dia tau kalau aku sudah marah maka Gunung Merapi pun akan kalah. Aku akan mengeluarkan lahar dingin. Aku tidak mau membuka luka lamaku, tapi kalau dipikir-pikir sebenarnya ada untung juga Keila menyebut nama itu. Luka masa lalu itu seakan jadi alarm untukku. Aku jadi tidak begitu memikirkan Agam lagi dan tidak memandang handphoneku lagi tentunya ketika aku diam dirumah atau di sela-sela kerja. Walau kadang saking gemasnya aku menggenggam erat handphoneku untuk meredam semua rasa inginku untuk menekan call pada kontak Agam. Tenang, harga diriku lebih memegang kendali.

Aku menghela nafas sepulang kerja, rasanya capek sekali. Hari-hari ku sekarang hanya terus lembur dan pulang kemudian langsung mandi dan tidur. Laki-laki pengganti Agam?. Aku sedang malas, beberapa pria yang mendekatiku pun aku abaikan. Aku memilih sendiri dulu. Belum ada yang sebanding dengan Agam untuk diajak bersenang-senang. Tunggu, kenapa aku sekarang harus memakai Agam sebagai standar?. Dimana sih pikiran kamu Kamela?. Dan pemikiranku buyar karena ada panggilan masuk, dari … Ares. Aku menghela nafas.

“Halo Kamel.”

“Halo.”

“Kamu udah pulang kan?. Aku cuman mau kasih kabar bagus buat kamu. Aku pulang ke Indonesia bulan depan.” Ares dengan nada yang sangat bahagia memberitahukan aku. Aku sampai lupa, kalau akhir tahun ini Ares akan pulang dan aku tidak bisa mencegahnya. Aku sudah cukup menahannya beberapa kali, tapi sejujurnya aku benar-benar sedang malas sekarang. Apa ini karena Agam?, tanya hatiku paling dalam namun aku mengelaknya lagi. Aku mungkin memang seharusnya bersenang-senang dengan Ares, aku pasti akan lupa dengan Agam.

“Aku tunggu kamu.”

“I miss you beib.” Ares mengucapkannya dengan tulus dan aku langsung menutup panggilan itu karena aku tidak bisa menjawab. Aku tidak mau bohong. Kenapa?. Aku tidak mau jadi pinokio.

Beberapa hari setelah Ares menelepon, tiba-tiba saja ketika aku sedang menatap pemandangan dibalkon, bel apartementku berbunyi. Betapa terkejutnya aku melihat siapa yang ada didepan pintu. Agam dengan baju kerjanya. Aku menghela nafas, entahlah aku merasakan sesuatu yang agak berat. Aku merindukan dia, tapi aku juga tau kalau semua ini lebih terasa seperti permainan sekarang. Maka dengan susah payah aku membuka pintu dan tersenyum padanya. “Hai.” Sapanya.

“Hai bapak Agam. Masuk?,” tanyaku pura-pura baik-baik saja. Aku melihat wajahnya yang terlihat capek sekali namun ada rasa lega yang bisa kutebak dari wajahnya itu.

“Boleh aku menginap malam ini?.”. Aku agak sedikit bingung, dia tidak biasanya. Ada apa?. Aku merasa dia sedang menghadapi satu masalah sehingga aku memberikan jawaban dengan mengangguk. “Ayo masuk.”

Agam masuk, namun ketika aku sudah menutup pintu dia diam dibelakangku dan tiba-tiba memelukku erat sekali sampai rasanya nafasku sesak sekali. Aku tidak mengeluh, aku hanya mengangkat tanganku dan mengelus punggungnya lalu berbisik di telinganya. “Kalau kamu mau, aku bisa jadi pendengar yang baik buat kamu malam ini.”

Malam itu, setelah adegan dia memelukku erat sekali sampai nafasku sesak Agam kembali seperti biasa. Dia memasak untukku, menonton bersama sampai jam dua pagi. Kami menonton mistresess, melihat istri koki tampan yang berselingkuh dengan teman kerjanya sendiri. Padahal hubungan dengan suaminya sudah lama dan mereka memamerkan kemesraannya. “Gam,” panggilku.

“Hem..,” dia menoleh padaku yang duduk disampingnya. “Kamu tau gak kenapa istri pertama Albert Einstein cerai sama Albert Einstein?, padahal dua-duanya sebelum menikah messra banget.”

“Kenapa?.” Dia menampilkan muka tertarik dan duduknya bergeser menjadi menghadapku. “Sama kaya di film ini, karena Albert Einstein berubah. Albert berubah ketika dia sedang berjauhan dengan istrinya. Dia membalas surat fansnya yang ujung-ujungnya jadi cinta. Aku jadi percaya sama apa yang dibilang Raditya Dika kalau cinta itu bisa kadaluarsa.”

“Aku belum bisa bilang aku setuju sama hal itu atau engga karena aku belum buktiin sendiri teori itu benar atau salah.” Aku hanya diam, memilih tidak bersuara. Hingga Agam memegang sebelah pipiku, “I miss you so badly, Kamela.” Dia menciumku malam itu dan aku tidak bisa menolak. Lalu setelahnya tangan Agam begitu lama memelukku dari belakang. Aku langsung sadar, sepertinya aku sudah melibatkan sedikit perasaan, atau banyak?. Aku tidak tau.

“Aku bisa cerita sekarang?.” Aku mengangguk mengijinkannya. “Aku harus pulang kemarin karena orang tuaku sakit. Lebih tepatnya, ayahku.” Aku bisa menebak, pasti ada sesuatu dengannya. Tidak mungkin wajahnya seperti tadi jika tidak ada yang terjadi.

“Sakit apa?.”

“Ayah serangan stroke ringan. Dia jatuh di kamar mandi.” Aku menghela nafas, pasti berat Agam harus menerima itu. Aku menjadi tidak enak, aku harusnya nekad saja menghubunginya. Dia sudah membantuku dan ada disampingku saat orang tuaku kemarin kecelakaan. “Kenapa kamu gak hubungi aku?. Kamu kemarin ada waktu orang tuaku kecelakaan. Sekarang gimana keadaannya?.”

“Sekarang udah rawat jalan. Aku gak hubungin kamu karena gak pengen repotin kamu, lagipula rumah orang tuaku jauh. Oh ya, maaf beberapa hari ini aku ngilang.” Aku hanya mengangguk lagi, tapi entah kenapa aku rasa ada sesuatu yang dia tutupi lagi selain hal ini. “Gak apa-apa, gak ada yang perlu dimaafin.”

“Kamu orang yang special buat aku.” Aku buru-buru mengalihkan topik pembicaraan Agam dengan hal lain. Karena sebenarnya aku agak salah tingkah dengan jawabannya tadi.

“Kamel.” Kini dia yang memanggilku.

“Aku harus mengakui satu hal.” Aku melepaskan pelukannya kemudian menghadapnya. ”Apa?.”

“Aku gak tau kamu juga ngerasain hal yang sama kaya aku atau engga, tapi aku … sekarang mulai terbiasa ada kamu.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel