Bab 5
Mendekati acara gathering kantor cukup sibuk karena menginginkan semua pekerjaan selesai sebelum berangkat, agar semua bisa tenang dan have fun disana. Begitupun aku yang masih di mejaku. Ketika aku masih memasukkan angka-angka, ponselku terus bergetar hingga akhirnya aku angkat dan ternyata itu Agam. “Kamel, hari ini kita jadi pergi makan bareng kan?.”
Aku memandang angka-angkaku, rasanya tidak mungkin sekali aku meninggalkan pekerjaanku ini. “Aduh kayaknya gak bisa Gam, aku masih lembur nih.”
“Wah lembur lagi?.” Oh ya aku lupa memberitahukannya kalau aku akan ada acara gathering.
“Iya nih, mau ada acara kantor dua hari lagi makanya kerjaan semua dikebut biar beres.” Agam agak lama tidak bersuara. “Oke, gak apa-apa. Tunggu ya.” Kemudian teleponnya ditutup. Aku heran. Kenapa dia?. Gak jelas, pikirku dengan cepat lalu kembali mengerjakan laporan. Namun, tak lama ada security yang menyentuh bahuku, membuatku sedikit kaget. “Maaf bu, ini ada tamu.” Aku melihat dibelakangnya ternyata ada Agam lalu tersenyum dan mengangkat kantung plastik bening bertuliskan Bakmi GM.
“Oke pak, makasih.” Aku berterima kasih pada Pak Ujang dan Agam pun mendekat kemudian mencium pipiku sekilas. “Aku tadi sebenernya pas telepon kamu udah dibawah dan ya setelah denger jawaban kamu tiba-tiba aku ada ide buat beliin makanan yang ada deket sini. Kayaknya gak buruk juga kita makan bakmi bareng di kantor kamu. Belum makan kan?.” Aku memandang sekitar yang sudah sepi.
Kami sama-sama duduk di sofa dan makan bakmi sama-sama. Kami saling bercerita mengenai kejadian hari ini. “Jadi kamu mau ada acara gathering minggu ini?.”
“Ya gitu deh. Sebenernya sih agak males, tapi atasanku paling gak suka kalau ada yang gak ikut.”
“Dimana memang acaranya?.” Dia memandangku sambil memasukan mienya dengan cepat. Dia tampak lapar sekali.
“Di Bandung.” Dia mengangguk-ngangguk kemudian aku sedikit terkejut saat dia menyentuh bibirku dan mengambil sesuatu. “Seledri.”
“Thanks.”
“Take care disana. I will miss you.” Dia mengatakannya dengan menatap mataku dan aku pun hanya bisa diam. Aku ingat, pada saat dia pergi ke Bali juga rasanya dia tidak mengatakan hal seperti itu, dia hanya mengatakan see you gorgeous. Setelah agak lama terdiam, aku sadar aku tidak boleh konyol dengan hanya diam saja jadi aku tersenyum dan menjawab, “I will miss you too.” Lembur kali ini memang menyiksa namun terasa menyenangkan karena kedatangan Agam dan perhatiannya yang mengejutkan. Dia datang tiba-tiba dan memberikan sesuatu yang berbeda dari perlakuan laki-laki yang biasanya super possessive dan rese abis. Agam ini terasa pas, dia terkadang cuek namun dia juga terkadang perhatian membuatku respek dan nyaman dekat dengannya.
“Ah…. nyaman,” ucapku setelah menghempaskan tubuh di kasur setelah lembur tadi. Sayang, belum lima menit aku menikmati kasurku yang super empuk tiba-tiba bel berbunyi dan ternyata Barri datang. Aku memijat keningku sambil berdoa dalam hati supaya aku tidak kesulitan menghadapi Barri.
“Hai Kamel, I miss you.” Sapanya saat aku membuka pintu. Dia langsung memelukku dan aku sedikit mendorongnya menjauh. “Masuk.”
Setelah masuk dia langsung duduk dikursi meja makanku tanpa perlu repot-repot aku persilahkan. “Aku kangen banget sama kamu sampei-sampei begitu landing aku langsung kesini.”
Aku menarik nafas dan mengatakannya dengan sekali tarikan nafas. “Kalau kamu datang ke sini buat dapet jawaban dari aku, aku bakal bilang sekarang. Maaf Barr aku gak bisa nikah sama kamu.” Barri terlihat tidak percaya dengan apa yang aku katakan.
”Kamu bahkan gak kasih aku space buat cerita selama disana aku ngapain aja. Kamu malah langsung menolak aku lagi buat kedua kalinya Kamel.”
Aku menghembuskan nafas, capek rasanya menghadapi Barri dengan sifat keras kepalanya. “Barr please, kita udah gak bisa sama-sama karena ternyata kita beda jalan dan tujuan. Sorry. Kita sampai disini aja.” Malam itu akhirnya Barri pulang tanpa pamit padaku. Dalam hati, aku meminta maaf padanya. Aku memang jahat padanya, tapi jika aku tidak begitu maka aku yang akan dijahati. Menurutku itu hukum mutlak antara laki-laki dan perempuan.
**
Acara gathering yang berlangsung dari pagi tadi baru saja selesai siang hari ini jam dua, aku masuk ke kamar hotel dengan lemas. Padat sekali acaranya. Pak Harris hobi sekali bikin acara yang nguras tenaga, tapi memang tidak diragukan lagi semua acaranya itu membuat kami lebih mengenal dan dekat satu sama lain. “Gila itu bapak-bapak tenaganya banyak banget ya?. Gue udah lemes gini , mereka masih mau lanjut aja acara goyang. Ih malesin banget deh. Untungnya si Leo gak suka dan dia lebih milih istirahat di kamarnya.” Cerocos Keila yang satu kamar denganku.
“Ya loe kayak gak tau kesenengan Pak Harris aja, dia kan pecinta dangdut.” Ucapku santai sambil bangkit dari tidur dan menyalakan handphone yang dari tadi aku cas.
“Gak ngerti deh tuh Pak Harris, tapi untungnya malem free jadi kita bisa adain acara sendiri.” Keila yang tadi katanya lemas langsung duduk dengan semangat. Dia lupa mungkin sama yang dia bilang tadi.
“Hai…, ” sapaku pada Agam di telepon. “Jadi gue dianggurin.” Keluh Keila disampingku. Aku menyuruh dia menutup mulutnya.
“Hai juga, pasti baru beres.”
“Iya nih, lumayan banyak acaranya.”
“Pantes aku dicuekin dari tadi pagi.” Dia tertawa, tidak ada kemarahan atau nada yang tidak menyenangkan yang sering aku dengar dari cowok-cowok yang aku dekati.
“Sorry.”
“Its okay, ya udah kamu mandi aja dulu. Aku ini harus ke bank dulu sebentar, ada pekerjaan.” Baru saja aku akan menutup panggilan tapi tidak jadi ketika Agam bersuara lagi, “I miss you so badly.” Aku terdiam tidak mengatakan apapun, dari seberangpun masih terdengar hembusan nafas Agam namun tidak bicara apa-apa lagi. Kami memang sering menebar pesona, tapi aku tidak pernah mendengar kata itu dari Agam dengan suara yang terdengar begitu tulus dan nyata.
“Oke bye.” Akhirnya Agam pun menutup sambungan telepon kami. Keila mengguncang tubuhku. “Hei, loe diapain sama si Agam sampei melongo kaya ayam kurang makan?.”
“Hah, apaan sih loe. Gue barusan cuman pusing ngitung berapa banyak cowok yang bilang gue ini ngangenin dan gemesin.”
“Sarap loe.” Keila pergi dengan meleparkan guling yang tadi dipegangnya, sementara aku hanya bisa tersenyum kemudian sedikit berpikir, apa yang tadi Agam bilang itu tulus atau hanya flirting yang biasa kami lakukan ya?. Ah, kenapa aku harus pusing memikirkan hal seperti itu?. Lebih baik aku mandi dan istirahat sampai sore.
Malamnya dengan dress berwarna hitam diatas lutut dan terbuka dibagian leher, aku menatap diriku sendiri di cermin. Saat bercermin tiba-tiba aku teringat masa laluku yang kelam. Dimana keadaanku saat itu sangat memprihatinkan hingga butuh perjuangan yang keras untuk aku bisa bangkit dari keterpurukan. Tidak tau kenapa tiba-tiba perasaaan tidak enak itu mengangguku malam ini. Aku benci. “Gilaaaaaa, gaun loe baru ya?. Gila kece badai gini gaunnya.” Keila membuyarkan lamunanku. Memang terkadang cerocosnya itu ada bagusnya juga.
“Loe emang bener nih, sibuk mikirin tagihan kartu kredit sampei loe lupa kalau waktu itu gue nyari gaun ini sama loe.” Aku tertawa saat Keila dengan kesal mengumpat dan pergi menjauh untuk menelepon. Keila, si Mak lampir itu memang hidupnya membuatku iri. Tidak ada yang dia pikirkan selain, baju, tas, rambut, mobil dan pacarnya. Dia pergi ke clubbing, happy dan besoknya dia pergi ke mall setelah hangover dengan wajah ceria dan memborong berbagai barang yang membuatnya berteriak histeris. Dan saat aku berada di ruangan yang sangat besar dengan musik berdentum sangat keras pun aku iri melihat Keila yang bisa begitu lepas menggerakkan tubuhnya didepan laki-laki yang berperawakan tegap sementara aku memilih duduk. Terkadang aku memang bisa bersenang-senang seperti itu, tapi terkadang hatiku tidak bisa diajak kompromi seperti sekarang.
Ketika aku sedang memainkan handphoneku, tiba-tiba handphoneku berbunyi. Dari nomor mamah, aku langsung mengangkatnya dan betapa lemasnya tangan juga seluruh tubuhku ketika diseberang sana bilang jika kedua orangtuaku mengalami kecelakaan mobil di daerah Jakarta Pusat. Mereka mengatakan jika kedua orangtuaku sudah dibawa ke salah satu rumah sakit terdekat dan keadaan mereka belum stabil. Aku benar-benar merasa pandangan dan kepalaku hitam. Aku tidak tau harus berpikir apa, yang jelas aku hanya mencari sosok Keila di tengah hingar bingar ini, namun aku tidak menemukannya. Aku tidak tau kemana dia, handphonenyapun ada disini. Akhirnya aku menyerah dan menelepon seseorang yang tidak aku sangka akan aku hubungi. “Gam, orangtua ku kecelakaan.” Ucapku dengan gemetar setelah aku keluar dari club itu dan mencari tempat yang tidak terlalu berisik.
“Kamu dimana sekarang?.”
“Aku di club sekarang.”
“Aku kesana sekarang, kamu balik ke hotel aja terus tunggu disana. Aku secepatnya bakal dateng. Oh ya jangan lupa shareloc sama kasih tau nomor kamar kamu.” Aku tidak bisa lagi berpikir tenang dan hanya manut terhadap apa yang dikatakan Agam. Aku berjalan dengan gamang ke hotel dan duduk di kasur sendiri. Aku tidak bisa berhenti menangis, air mataku keluar tidak bisa berhenti sampai akhirnya ada suara bel dan ketika aku buka pintu aku langsung menghambur memeluknya. Aku menangis sejadi-jadinya di dadanya. Tangannya semakin erat memelukku dan mengusap rambutku begitu lembut. “Ayo Gam, aku harus secepatnya ke Jakarta.”
Dia memandang gaunku, aku tau mungkin dia heran kenapa aku masih mengenakan ini tapi aku benar tidak bisa melakukan apapun. Tadi ketika aku menunggunya pun, aku hanya bisa menangis tanpa suara. “Ya udah ayo.”
“Sebentar.” Aku meminta ijin untuk menuliskan sesuatu di memo untuk Keila. Setelah selesai dia menarik tanganku dan kami berjalan cepat menuju mobilnya.
Sesampainya di rumah sakit, aku lega karena keadaan mamah dan papah ternyata sudah stabil. Tangan papah sudah di tindak karena dia mengalami patah tulang sementara mamah pingsan karena terkejut dan kepalanya menabrak dashboard sehingga memar keunguan. Aku terduduk lemas di depan ruangan mamah dan papah. Agam disampingku diam tidak banyak bicara, dia hanya terus menggenggam tanganku dan kali ini dia memelukku. “Semua baik-baik aja, jadi kamu gak perlu takut lagi.”
“Sorry ya Gam, aku udah ngerepotin kamu. Aku kalut banget dan yang terpikir sama aku cuman kamu. Keila gak tau lagi kemana tadi pas aku dapat kabar itu.” Ucapku dengan pelan.
“Ssst, udah gak apa-apa.” Baru aku sadar, ternyata sekarang Agam mengenakan pakaian cukup formal dan dengan rasa penasaranku, aku bertanya. “Kamu lagi dimana tadi?.”
“Aku tadi baru aja nyampe ke apartement setelah lembur dan makan diluar.” Hatiku rasanya berdentum keras setelah mendengar itu. Dia jauh-jauh datang dari Jakarta ke Bandung untuk menjemputku dan menyetir lagi ke Jakarta untukku. Jantungku yang sudah lama tidak bereaksi ketika bersama seorang pria kini berekasi lagi. Aku bingung mengartikannya dan aku tidak mau menyadari kalau ternyata perasaan ini sudah berubah.
“Terima Kasih. Kamu udah jauh-jauh dan repot-repot buat aku.” Kataku dengan tulus.
“Gak repot ko, aku seneng kamu telepon aku tadi.” Dan sepanjang malam itu aku ditemani Agam dengan dia yang tetap disampingku dan tidak banyak bicara namun mampu membuatku merasa tenang.
**
