Bab 4
Agam POV
Jam dua pagi, di satu jalan yang diterangi oleh lampu berwarna orange senja. Banyak manusia yang masih belum tidur dan melewati jalan itu termasuk Kamela dan aku yang melewatinya dengan mobil Mercedes Benz milikku. Setelah puas mengobrol ringan, minum sampai menggerakan seluruh tubuh mengikuti musik, Kamela dan aku akhirnya memutuskan pulang. “Kamu bener mau nyetir?,” tanyanya ketika jam satu pagi tadi di parkiran.
“Bener, saya sengaja cuman minum sedikit supaya diantara kita ada yang sadar.”Kamela tersenyum sangat lebar, aku sedikit terkejut dengan senyuman itu. Baru aku melihat senyum itu setelah beberapa kali bertemu dengan Kamela. Pasti karena tadi dia banyak minum.
“Terima kasih Gam, kamu kayaknya bukan cowok brengsek.” Aku tidak menjawab, tapi hanya tersenyum. Bingung harus menjawab apa. Dia berbeda sekali ketika sudah minum.
Ketika sedang menyetir aku menengok pada Kamela beberapa kali, Kamela terlihat memejamkan matanya. Aku tau dia tidak tidur, dia sepertinya hanya capek dan mungkin sedang memikirkan sesuatu. Terlihat dari keningnya yang mengkerut sesekali dan air matanya menetes sedikit dari ujung matanya. Aku memperhatikannya sampai aku terkejut ketika mobilku akan berbelok ke arah apartemen Kamela, Kamela tiba-tiba berkata, “Gam laper.”
“Ehm, kamu mau makan dulu?.” Aku agak salah tingkah karena merasa telah terpegoki sedang melirik beberapa kali sambil menyetir.
“Hem. Di ujung gang situ ada coffe shop 24 jam. Turunin aja disitu Gam.”
“Saya juga laper kok.” Aku membelokkan mobil. Kemudian berhenti tepat di depan coffe shop yang masih buka dan terlihat dari luar ada beberapa yang sedang mengobrol sambil meminum kopi atau memakan kentang goreng. Sebagian lagi yang hanya sendiri sambil bermain ponsel. Aku menoleh, rasanya kasian jika dia makan disini. Terlihat sepertinya Kamela pusing dan mengantuk, daritadi dia memegang kepalanya. “Kamu mau apa?. Saya pesankan.”
Kamela menelengkan kepalanya, memandangku sedikit lebih lama. Jujur aku merasa agak rikuh ditatap seintens itu oleh dia walaupun sebenarnya aku sudah cukup biasa di tatap seperti itu oleh wanita. Dia semakin terlihat sangat cantik saat ini. “Saya mau sandwich dan ice coffe, apapun kopinya samain aja kaya pesenan kamu.”
Aku tersenyum pada Kamela. “Oke, tunggu disini.” Aku langsung turun dan tidak lama kembali dengan dua gelas kertas kopi ditangan dan satu paper bag. Mengemudikan kembali mobil dengan tenang dan mengantarkan Kamela ke apartemennya. “Saya boleh diam dulu disini?,” tanyaku. Aku tidak tega membiarkannya sendiri di apartemennya dengan keadaan seperti sekarang. Aku nanti akan pergi ketika dia sudah sedikit sadar. Kamela menjawabku dengan anggukan kepala kemudian terlihat Kamela tertidur di sofanya.
Kamela POV
Aku terbangun ketika jam didinding sudah menunjukan pukul empat pagi. Kepalaku terasa berat sekali. Aku melihat ke sekeliling rumahku, Agam sedang duduk di balkon memandang sesuatu. Aku berdiri menghampiri Agam dan ikut duduk disebelah Agam. “Kamu udah bangun?.” Dia bertanya dengan tenang.
“Hem. Aku repotin kamu ya pasti sampai-sampai kamu harus nungguin gini.” Aku mencoba mengingat apa yang terjadi semalam dengannya hingga dia berakhir duduk di rumahku.
“Sedikit, kamu lapar dan kita udah beli makanan tapi kamu malah langsung tidur pas nyampe rumah.” Jawabnya sambil terkekeh. Aku sangat malu, aku lupa kebiasaanku kalau perutku selalu lapar jika minum.
“Sorry and… thanks ya.” Aku ikut duduk di kursi yang ada dibalkonku itu.
“No problem, saya kan yang ajak kamu hang out juga. Oh ya disini pemandangannya bagus ya, udaranya juga bikin hati tenang walaupun ke badan bikin masuk angin. Oh iya ini kopi sama sandwich kamu.” Agam menyodorkan kopi dan juga sandwich yang tadi dibelinya untukku.
“Thanks.” Aku meminum kopinya dan membuka bungkusan sandwichnya. Memakan dalam diam. Jujur aku memang sangat lapar, tadi ketika sampai apartemen kepalaku sangat berat begitupun dengan mataku. Oh ya ampun, saking sibuknya aku akhir-akhir ini dan Keila yang sibuk dengan jadwal pemburuannya, aku udah agak lama gak minum.
“Kamu suka hidup sendiri Kamel?.” Aku mengkerutkan kening ketika mendengar pertanyaan Agam itu. “Hidup seperti sekarang ini maksudnya. Pergi pagi, pulang sore ke apartemen sendirian.” Agam memperjelasnya kemudian menoleh padaku yang sedang meminum kopi.
“Mungkin, iya.” Jawabku dengan tatapan lurus. “Kamu?.”
“Ya sama. Aku juga kurang yakin sih, tapi sejauh ini aku masih nyaman.” Aku mengangguk membenarkan dengan apa yang dikatakan Agam. Terkadang memang kita tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi besok bahkan lima menit selanjutnya. Bisa saja hari ini kita menginginkan A, besok karena keadaan kita menginginkan B. Jadi aku menyetujui apa yang dikatakan Agam. Tapi dari itu, aku menangkap satu kegelisahan dalam jiwa Agam. Tidak tau apa itu, dia tidak mau bertanya. Itu urusan yang sangat pribadi.
Aku masuk kedalam sebentar mengambil ponselku dan memainkan sebuah lagu. Lagu dari Michael Bubble, Love you anymore.“Suka lagu Michael Bubble?.”
“Suka banget.” Agam mengangguk-ngangguk dan kami berdua diam, saling menatap langit.
Kami memang tidak saling bicara, tapi kami seakan menikmati waktu bersama saat ini. Entah lah aku merasa nyaman dengan seperti ini. Hingga matahari terbit dan menyemburatkan cahayanya. Agam dan aku terpukau sampai tidak ada yang bersuara, namun ketika aku menoleh yang aku lihat adalah seseorang yang baru dikenal. Pertanyaannya akankah seseorang yang baru aku kenal ini akan terus menjadi orang asing dan orang baru yang nyaman untukku?. Aku terkadang lebih nyaman dengan seseorang yang asing dan baru daripada orang yang sudah mengenalku lama. Mereka akan tau semua cerita ku. Menilai ku dan menuntut lebih. Aku lebih nyaman dengan seseorang yang menilaiku apa adanya saat ini.
“Saya pulang dulu ya. Makasih udah ijinin duduk disini lama.”
“Gak masalah. Kamu gak mau sarapan dulu?.”
“Kopi cukup ko dan kayaknya kamu butuh mandi juga tidur.”
“Ya udah, makasih buat malam tadi. Kamu temen yang asyik.” Aku tertawa mendengarnya, dia pun begitu.
“Kamu juga, saya harap kita bisa hang out bareng lagi.” Agam berdiri dan meninggalkan apartemenku. Dari belakang aku cukup lama memandang punggungnya. Sudah cukup lama dia tidak melihat pungung laki-laki lebih dari sepuluh detik. Ada sesuatu yang aku temukan dari kepribadian Agam, kepribadian yang tidak pernah dimiliki oleh laki-laki lain yang pernah dekat degannya dan aku cukup penasaran. Namun, ini baru berapa kali pertemuan. Semua itu bisa berubah. Aku akhirnya menutup pintu dan masuk ke kamar untuk mandi dan tidur. Berharap hidupku akan selalu baik-baik saja seperti ini.
**
Kesibukanku kembali seperti biasa, Barri tidak pernah datang lagi untuk beberapa minggu ini. Dari chat yang dia kirim sih, dia ada pekerjaan dadakan diluar negeri. Aku berterima kasih sekali untuk pekerjaan mendadak itu. Jadi saat ini hanya Ares yang masih setia menelepon. Sementara Agam, kami beberapa kali pergi ke pub untuk sekedar saling bercerita, kadang makan siang atau makan malam bareng. Keintensitasan pertemuan kami itu membuat hubungan aku dan Agam jadi lebih dekat. Walaupun memang kami belum sampai ke tahap dimana kami banyak mengobrol hal berat tentang kehidupan kami masing-masing, tapi setidaknya aku tau kalau Agam tinggal sendiri di kota ini karena orang tuanya asli Bandung, papahnya seorang dokter dan punya usaha kos-kosan di beberapa tempat dekat perkuliahan. Menyewa apartemen di dekat bank tempatnya bekerja saat ini dan ternyata dia seseorang yang ambisius dalam hal pekerjaannya. Ya, sejauh ini, aku suka.
“Kamel, loe ikut acara gathering kantor ke Bandung gak?.” Tanya Keila ketika kami sedang makan siang bersama di kantin setelah beberapa hari ini aku sering makan siang bersama Agam jadi baru hari ini aku bisa makan siang bareng lagi dengan Keila. “Sibuk pacaran aja loe. Eh bukan pacaran deh, selingkuh.” Sindir Keila.
“Males sebenernya, tapi loe tau kan kalau bos paling gak suka ada salah satu dari karyawannya gak ikut. Dan satu hal ya, gue gak selingkuh. Gue sama Agam cuma ngobrol atau makan bareng.” Keila tidak terima dengan perkataanku mengenai Agam. Keila menjadi melupakan pertanyaan pertama yang ditanyakannya. Sahabatku satu ini memang kalau mendebat seseorang seperti kereta MRT yang cepet banget. “Gimana loe bilang bukan selingkuh?. Loe itu jalan sama dia, makan siang berdua terus dan gue tau loe sering gak angkat telepon si Ares. Ngeles aja kayak bajaj.”
Aku menyendokkan sotoku dengan santai, tidak terpengaruh oleh Keila yang menggebu-gebu berbicara padaku dengan mulut penuh. “Udah ah, kita makan aja. Loe nyerocos aja deh Kei. Jelek nanti urat loe cepet timbul, kalau udah gitu cepet tua deh loe.” Keila matanya membulat sempurna. Aku memang mempunyai keahlian special yaitu pintar dan tahan terhadap segala cercaan dan pendapat orang mengenai hidupku. Untungnya Keila sudah tahan dengan reaksi ku itu setiap kali dia memberi tahuku walaupun msemang selalu masih tidak bisa tidak kesal. “Lebih baik loe pikirin hubungan loe sendiri sama Indra yang gue yakin dia suka banget sama loe.” Aku menembak Keila dengan sempurna. Indra adalah teman SMA Keila yang selalu ada ketika Keila membutuhkannya dan menurut Keila dalam kamusnya, “gak ada temen yang bakal jadi pacar gue. Gue dan dia bakal tetep jadi temen sampei kapanpun. Loe kan tau kriteria gue itu kaya gimana.” Aku mengangguk mengiyakan. Kriteria Keila memang yang tajir melintir, sedangkan Indra enggak. Ganteng, ya Indra lumayan. Suka olahraga, Indra hanya tau bersenang-senang saja. Oke jadi memang mungkin sampai kapanpun Indra gak akan pernah bisa jadi pacar Keila.
“Oh ya skip bahas si Indra, balik lagi ke acara gathering. Loe mau ajak si Agam gak?. Kali ini kan Pak Direktur ngebolehin kita bawa pasangan. Gue juga mau bawa si Leo.”
“Hah?. Gila loe, gue ajak dia?. Kita baru sebulanan kali kenal. Emangnya loe, baru kenal beberapa minggu langsung diajak aja itu si Leo.”
“Gue kan nganggepnya ya buat have fun aja makanya ajak dia. Terus kan udah gue bilang tadi kalian itu hampir tiap hari keluar sampei-sampei ada orang yang terasingkan. Jadi kenapa gak diajak aja?.” Sindir Keila dengan tawa puasnya. Aku hanya bisa diam, benar juga sih apa katanya karena memang selain sering pergi makan, akhir pekan pun aku dan dia akan keluar untuk menonton, jalan-jalan atau diam saja di rumah sepserti kemarin dengan Agam yang memasak dan aku memakan hasil masakannya sambil mengomentari. Katanya waktu sekolah di luar dia hidup sendiri makanya dia terbiasa dengan memasak dan membersihkan sendiri rumahnya. “Jangan bilang kamu gak bisa masak?,” tanyanya waktu itu dengan curiga.
“Bisa lah.” Agam tidak tau tentangku dan aku tidak berniat memberitahukannya. “Udah lah, yang penting kita cobain masakin kamu yang satu ini. Kan percuma bisa masak kalau rasanya gak enak.” Candaku dan ketika aku menyantap makanan hasil masakannya waktu itu aku kagum. Pastanya enak sekali, mirip dengan buatan seseorang. Seseorang yang dulu sering membuatkannya. “Enak kan?.” Agam menyadarkanku dan aku tersenyum mengangguk. “Udah kamu daftar sana jadi murid Gordon Ramsey.”
“Terus pensiun buat jadi koki?.” Kami saat itu tertawa lepas begitupun dengan dia. Aku selalu senang jika sama-sama dengan dia karena Agam memang tidak pernah membuat sesuatu halnya menjadi sulit dan dia pun tidak pernah bertanya lebih jauh jika hal itu mengangguku karena aku pun seperti itu padanya. Oke, kembali pada Keila. “Ya, tapi kita cuman deket aja.”
“Ah, yakin deh sebentar lagi juga dia nembak loe.” Aku tidak menanggapinya, hanya menggelengkan kepala sambil bilang, “sotoy loe mak lampir.” Aku juga tidak tau dengan hubunganku dan Agam saat ini. Dia dan aku mungkin hanya saling merasa nyaman satu sama lain. Walaupun memang aku dan dia sudah saling flirting seperti pasangan pada umunya. Contohnya kemarin saat sedang makan malam di suatu restaurant. “You look so beautiful and georgous,” tukasnya saat aku datang smbil meremas tanganku dengan lembut.“Thank you. Aku tersanjung loh.” Tanganku gantian meremas tangannya lembut. Oh ya setelah beberapa minggu kami juga saling ber-aku. Dia bilang pagi itu di telepon, ”kayaknya saya terlalu formal.” Dan aku setuju.
“Aku ada oleh-oleh dari dinas luar di Bali kemarin. Specially for you.” Lalu dia mengangkat tanganku dan menciumnya lembut. Begitulah kami saat ini, tapi yang jelas tidak pernah ada pengakuan perasaan atau hal yang berbau serius. Aku cukup have fun dengan Agam saat ini karena memang sebenarnya dari dulu aku berharap hanya seperti ini jika dekat dengan seorang pria.
**
