Bab 13
Setelah mengobrol dengan Galih dan Keila akhirnya aku bisa mantap mengambil keputusan kalau untuk sekarang ini aku akan let it flow saja dengan Agam. Sementara itu untuk masalah Ares karena dia tinggal beberapa minggu lagi di Indonesia maka akan aku putuskan sebelum kembali ke Australia. Dan ketika Ares akan mengajakku ke rumah saudaranya yang ada di Malang untuk isi waktu akhir pekan kami berdua aku merasa ini waktu yang tepat untuk memutuskan Ares dengan bilang, “gimana kalau kita malem ini dinner berdua aja?.” Aku yang jarang mengajaknya seperti itu langsung diiyakan oleh Ares dan membatalkan rencananya yang akan mengajakku ke Malang.
Tidak tanggung-tanggung, selain mengajaknya pergi akupun memilihkan tempat sampai baju untuk Ares pakai ketika di apartemennya. “Kamu ada apa sih?. Tumben banget kayak gini?.” Tanyanya ketika mobil kami baru saja sampai di depan restaurant, Ares sepertinya mencium hal yang aneh dariku.
“Gak boleh aku kaya gini?.” Aku bukan menjawab malah bertanya balik, yang membuatnya mencubit pipiku.
“Enggak, cuman gak biasanya aja. Kan seringnya aku yang ajak kamu keluar, udah gitu sampei ikut pilihin baju.” Aku tidak bisa meneruskan obrolan itu karena aku akan semakin berbohong dan akhirnya aku pun memilih mengajaknya untuk cepat keluar dari mobil.
Di restaurant yang cukup mewah ini, aku agak gugup. Ares adalah lelaki yang baik jadi aku agak membedakannya dari pria lain saat memutuskannya. Terlebih lagi ketika kemarin Keila bilang, “loe awas mutusin si Ares kalau enggak berprikemanusiaan.”
“Bawel banget sih loe.”
“Ya, enggak apa-apa cuman kan dia temen gue.” Aku agak heran memang sebenarnya dari dulu. Mereka ini gak deket banget, tapi Keila selalu mewanti-wanti. Sampai dia juga mendukung kalau gue bisa sampai jatuh cinta betulan sama dia. “Loe suka ya sama dia?.” Aku bertanya spontan dan Keila keliatan terkejut.
“Apa sih loe?!”
“Gue aneh aja, loe mikirin dia banget kayaknya dari dulu.” Aku memicingkan mata dan menyenggolnya dengan bahuku, si mak lampir itu pun yang tidak pandai berbohong padaku akhirnya bilang, “iya gue ngaku, dulu gue sempet suka sama dia. Puas loe?.” Aku setengah terkejut dan akhirnya memeluk Keila lalu menepuk-nepuk punggungnya.
“Loe gak pernah cerita.”
“Abis udah dulu banget. Cinta monyet gue dan gue juga tau dia laki-laki yang baik banget. Loe tau kan gue itu dulu sering dibully gara-gara gue gemuk. Nah waktu itu, cuman dia yang gak ngatain gue dan malah bilang kalau gue itu cantik dan karena dia akhirnya gue mulai percaya diri dan ya jadilah gue yang sekarang.” Aku ingat beberapa foto yang pernah aku liat di album masa kecil yang disembunyikan Keila dan malah diperlihatkan oleh mamahnya. Keila yang sekarang menjadi wanita dewasa yang cantik dan anggun dulunya adalah anak perempuan yang gemuk karena senang makan, tapi karena gemuknya itu dia pernah di bully. Kejadian masa kecil itunya lah yang menyebabkan sampai saat ini dia selalu ingin tampil sempurna.
“Kamel kamu mau pesen apa?.” Aku sepertinya sudah lama melamun sampai-sampai Ares bertanya sambil memeras tanganku lembut. “Samain aja kaya kamu.” Akhirnya karena aku masih dalam kelabilan, aku menjawab seperti itu.
Setelah kami makan sambil bercerita hal yang ringan, Ares dan aku saat ini sedang mencicipi dessert yang sangat menggiurkan. Terlihat sangat manis dan cantik. Ares tersenyum bahagia, sementara aku mulai resah darimana aku harus memulai obrolan?. Laki-laki ini berbeda bukan kataku. “Sayang kapan kamu mau ke Australia?. Tahun ini kamu belum kesana kan?.” Ares malah bertanya seperti itu dan semakin membuatku bingung.
“Ehm, aku belum tau Res.” Ares tersenyum dan mengenggengam tanganku, namun saat dia akan mengatakan sesuatu ponselku berbunyi. Nama Galih disitu. Aku mengernyitkan dahi, buat apa Galih telepon jam segini?. Apa jangan-jangan dia menelepon cuman buat nanya Keila?. Aku memilih mengabaikannya. “Siapa sayang?.” Ares tanya dan aku hanya jawab temen. Tapi setelah beberapa menit diabaikan ada chat masuk.
From : Galih
Angkat telepon gue, penting !
Aku menjadi tidak enak perasaan, tiba-tiba kepikiran Agam. Aku pun akhirnya permisi ke toilet pada Ares dan menelepon kembali Galih. “Halo Kamel, loe kemana aja sih?.” Todong Galih langsung.
“Emang kenapa sih?.”
“Loe dimana?. Gue mau ketemu, penting!. Ini tentang Agam.” Jantungku berdegup beberapa kali lebih cepat dan tubuhku seketika lemas. Ada apa ini?. Apa Agam kecelakaan?. Tapi jika seperti itu, harusnya Galih menyuruhku ke rumah sakit atau rumah Agam.
“Jangan, gue aja yang ke loe. Loe kirim alamat apartemen loe ke gue.”
“Oke.” Aku langsung menutup telepon dan kembali pada Ares, bilang bahwa ada hal mendadak yang terjadi dan aku harus segera pergi ke kantor. Awalnya terlihat sekali Ares curiga dan bertanya, “malam-malam begini?. Urusan sepenting apa sampe harus kamu kesana?.”
“Please ini penting Res, aku harap kamu ngerti. Nanti aku cerita.” Hanya dengan kalimat yang lumayan tajam dari mulutku itu akhirnya Ares menyerah dan mengantarkanku ke kantor, lalu dari kantor aku memesan taksi online untuk ke rumah Galih. Sepanjang perjalanan aku tidak bisa berhenti berpikir. Ada apa sebenarnya?. Galih si cowok rese yang senang bercanda bisa bicara seserius itu tadi membuatku berkesimpulan kalau masalah ini berarti penting sekali dan serius.
“Akhirnya loe nyampe juga, ayo masuk.” Galih mempersilahkanku masuk. Apartemen yang lumayan besar dan juga rapih. Semua bernuansa abu-abu. Tidak kusangka laki-laki seperti Galih dalam apartemennya seperti ini.
“Ada apa sih Galih?. Gue sampei panik banget. Loe tau, gue tadi pas loe telepon itu lagi keadaan penentuan,” cerocosku panjang lebar. Tidak tau kenapa aku dengan Galih langsung akrab dan senang bercerita. Dia memang tengil, tapi aku tau dia baik.
“Duduk dulu, gue ambil minum ya.” Aku tidak habis pikir, setelah dia membuatku buru-buru untuk datang sekarang dia malah sempat-sempatnya mengambil minum.
“Ada apa sih?, cepetan. Gak usah loe ambilin minum segala.” Galih menghela nafas lalu dia berlalu ke kamar dan kembali dengan sesuatu di tangan dan firasatku sangat tidak enak. “Apa itu?.” Dan terlihatlah dengan jelas apa yang Galih bawa. Duniaku langsung terasa disambar petir. “Yap, ini undangan pertunangan Agam, sama persis dengan nama cewek yang loe liat waktu itu.”
Tidak bisa berkata apa-apa, hanya membawa undangan itu dari meja dan membaca ulang nama yang tertera disitu. Sekali lagi, mataku mencoba meyakinkan undangan itu. Aku tidak menangis hanya memejamkan mata cukup erat dan lama, lalu terakhir membuang nafasku panjang. “Darimana loe dapet undangan ini?.”
Galih mengacak muka dan rambutnya, “tadi ada kiriman paket dari Bandung dan paket itu ditujukan buat Agam, karena Agam gak ada makanya gue ambil dan gue iseng buka karena gua udah biasa buka paket dia. Soalnya biasanya dia gak ada lagi kalau paket gitu pasti isinya komik atau kaset PES, tapi pas gue buka jujur gue kaget banget liat setumpuk undangan itu. Oh iya, for your infomartion Agam belum tau mengenai undangan yang udah gue liat ini. Dia tadi visit dan gak balik lagi ke kantor.” Dalam hatiku membenarkan jika Agam tadi siang menelepon dan bilang kalau dia tidak bisa makan siang dan pulang bareng aku karena harus visit sampei nanti sore.
Aku jadi berpikir, apakah ini jawaban dari Agam?. Selama ini dia tidak pernah mempertanyakan status padaku karena memang dia sudah mempunyai status dengan wanita lain. Atau dengan bahasa kasarnya, apakah selama ini aku sudah dijadikan simpanan?. Seketika amarahku naik ke ubun-ubun.
“Kamel loe gak apa-apa?,” tanya Galih terlihat khawatir. Apakah aku terlihat menyedihkan?. Tidak, aku tidak boleh kelihatan menyedihkan. Aku harus terlihat baik-baik saja, walaupun aku tak bisa membohongi diri sendiri kalau aku sangat patah hati. Oh Tuhan, kenapa harus terjadi lagi padaku perasaan seperti ini?.
“Gue gak apa-apa. Thanks Galih loe udah menyelamatkan muka gue.” Aku berkata sangat tenang sampai Galih terlihat ketakutan karena reaksiku. “Gue pulang dulu, by the way loe gak perlu bilang ke dia kalau gue udah liat undangan itu.” Galih hanya mengangguk-ngangguk.
“Gue anterin loe pulang ya?, loe kesini gak pake mobil kayaknya.”
“Kok loe tau?.”
“Tas loe mini gitu, kayaknya isinya juga cuman hp doang.” Aku sedikit terkekeh lalu menyetujui idenya untuk diantarkan pulang. Berjalan setenang mungkin, walaupun hatiku terasa remuk redam seperti pecahan gelas yang sudah jatuh hingga berkeping-keping. Kenapa harus Agam yang membuat aku jatuh cinta lagi dan sempat berpikir untuk menjalani hubungan yang benar walaupun memang belum ada dalam pikiranku untuk menikah. Aku memang sepertinya harus mengakhiri ini semua dan menjauhi Agam.
Sayang, ketika aku berniat akan menjauhi Agam dan pergi dari dia. Agam terlihat seperti sedang mencari sesuatu di depan pintu apartemennya yang berjarak tidak jauh dari tempat aku berdiri sekarang, didepan pintu apartemen Galih. Sial ketika matanya melihat ke arahku. Ingatanku kembali pada kata-kata Galih kalau dia dan Agam bertetangga. Oh shit, umpatku dalam hati karena aku sudah terlalu kesal dan dongkol. “Kamel,” panggilnya dengan tatapan yang aku tebak sedang menahan emosi.
“Ya.” Hanya itu jawabku.
“Kamu dari apartement Galih?,” tanyanya lagi membuatku mengangguk. Kilatan marah di matanya terlihat walau tanpa suara, aku tau. Apalagi mungkin melihat bajuku yang terlihat formal dan sepertinya dia akan berkesimpulan kalau aku baru saja pulang dinner dari apartemen Galih.
“Gam, baru balik?.” Galih keluar dengan kunci mobil yang ditentengnya dan belum menyadari raut wajah Agam yang memandangku sangat tajam.
“Ikut aku.” Hanya itu yang kemudian keluar dari mulutnya. “Dia mau gue anter pulang.”
“Biar gue yang anter pulang, gue ganti baju dulu.” Aku mengangguk pada Galih yang memandangku seolah bertanya bagaimana ini?. Dan aku pun berbalik menuju apartemennya tanpa perlu repot-repot menunggu Agam mendekat. Saat masuk nuansa apartemennya masih sama. Semua barangpun masih tertata rapih dan berada di tempatnya sesuai dengan yang aku ingat. “Duduk, aku mandi sebentar.” Tidak menjawab, aku hanya duduk dan menyenderkan kepalaku di sofa itu. Hari ini terasa sangat melelahkan.
Masih dengan pakaian dinner bersama Ares tadi, yaitu dress diatas lutut dengan bahu terbuka. Hukuman untukku, dinner yang awalnya kuniatkan untuk memutuskan Ares malah tidak jadi dan aku mendapatkan kenyataan yang tidak terduga. Sungguh sebenarnya aku ingin berendam di kamar mandiku dan melepaskan semuanya, tapi apa dayaku ketika sialnya aku bertemu dengan Agam di lorong tadi ketika dia akan membukakan pintunya.
Andai saja aku menunggu Galih didalam saja, mungkin aku tidak akan bertemu dengan Agam. Ah sudahlah, semua di dunia ini tidak ada yang kebetulan bukan?. Semua sudah diatur sedemikian rupa oleh Sang Pencipta. Aku jadi berpikir, mungkin ini saatnya aku akan bilang pada Agam untuk kami saling menjauh. Memikirkan itu kepalaku menjadi sakit. Aku memejamkan mataku sebentar, lalu terasa olehku air mata setitik jatuh dari pelupuk mataku. Oh shit, aku menangis. Cepat-cepat aku tepis air mataku. Aku hanya ingin tidur, bukan menangis.
**
