Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 14

Entah aku tertidur berapa lama, tapi ketika membuka mataku cahaya matahari sudah menusuk mataku dan aku melihat ke sekelilingku. Ini bukan kamarku, ini … kamar Agam. Kenapa aku jadi tidur disini?. Ya ampun, apa saking mengantuknya sampai-sampai aku tidak sadar dan terlelap sekali?. Kamar ini sepi, bajuku pun masih menempel semua di badanku dan malah diselimuti. Setelah cukup lama diam, kakiku pun akhirnya turun menjejaki lantai kamar yang berbalut karpet halus. Menengok keluar kamar untuk mencari keberadaan Agam. Dia ternyata sedang didapur membuatkan sesuatu yang dari wanginya sepertinya roti bakar.

“Kenapa gak bangunin aku?.” Pertanyaan pertama yang aku berikan pada Agam dan dia pun menoleh langsung padaku. “Sarapan dulu, baru aku antar pulang.” Dia tidak menjawab sama sekali pertanyaanku dan aku akhirnya duduk.

“Buat apa kamu malem ke apartemen Galih?. Dengan baju seperti itu.” Aku tebak sepertinya itu adalah pertanyaan yang Agam simpan sejak malam. Aku meminum air putihku dengan santai. “Kamel.” Dia memanggilku lagi karena mungkin sejak tadi aku tidak menjawab pertanyaannya.

“Aku ada perlu.” Hanya itu jawabanku dan Agam memandangku seperti tidak percaya dan tidak puas.

“Just it?.”Aku hanya mengangguk lagi sambil memakan roti bakarku sementara Agam menggeleng-gelengkan kepala. Tangannya mengepal sangat kuat, terlihat dia menahan marah. Biar saja, aku senang melihatnya. Dia sudah membuat hatiku malam seperti itu. Kami pun akhirnya sama-sama diam. Sebelumnya kami tidak pernah seperti ini dan aku cukup menikmatinya. Saat ini bahkan sebenarnya aku tidak ingin melihat muka Agam.

Saat sedang mengunyah, handphoneku yang ada diatas meja berbunyi. Nama Ares terpampang jelas dan aku tau Agam melirik untuk melihat. Aku tidak menghindar kali ini, aku mengangkat telepon Ares langsung didepan Agam. “Ya Ares.”

“Sayang, kamu kemana?. Kok aku ke apartemen kamu, kamu gak buka?.”

“Iya sorry, aku malem gak pulang. Ada apa Res?.”

“Aku mau ajak sarapan bareng hari ini. Kamu tau kan kalau aku sebentar lagi balik ke Australia.”

“Sorry, ya udah nanti makan siang bareng aja kalau gitu.”

“Okei. Bye honey.”

“Bye.” Ketika aku tutup telepon, kulihat Agam masih memandangku sangat tajam. Aku masih dengan santai tidak menghiraukannya, malah mengunyah roti bakar Agam itu dengan dramatisir. “Kamel, siapa Ares?.”

“Agam ada apa sih kamu hari ini?.”

“Aku tau dia yang sering nelepon kamu akhir-akhir ini.”

“Lalu apa masalahnya?.”

“Aku.”

“Kenapa dengan kamu?. Kamu bukan siapa-siapa aku.”

“Kamel.” Agam sepertinya benar-benar marah karena aku dengan terlihat santai memancing emosinya. Akhirnya Agam dengan muka yang merah berdiri dari tempatnya kemudian mengunciku di kursi. Menatapku sangat tajam dan wajah kami pun berjarak beberapa centi saja. “Kamu marah Gam?.”

“Iya.” Ada jeda, aku dan dia hanya saling adu tatap hingga adu tatap itu berakhir ketika dia bilang. “Kamel, aku udah gak deket sama cewek manapun semenjak beberapa bulan ini.”

Aku tertawa kecil didepan Agam, “dekat enggak, tapi mau nikah iya.” Agam langsung mengernyitkan dahinya. Sepertinya dia berpikir atau pura-pura berpikir aku gak tau yang jelas setelah itu aku menang karena dia tidak bicara lagi.

“Kamu bisa undang aku dan aku bakal dateng bareng Ares.” Aku menyingkikrkan tangannya kemudian mengambil handphone juga tasku. Aku berjalan menuju pintu keluar apartemen Agam dengan tegak walau hatiku hancur sekali. Mungkinkah ini karma karena aku selalu mempermainkan perasaan orang lain?. Maafkan aku Tuhan jika memang benar. “Aku antar pulang.”

“Gak usah, aku bisa pulang sendiri kok.”

“Aku bakal jelasin semua. Terserah setelah itu apa yang bakal kamu lakuin ke aku.” Aku terdiam. Mungkin memang aku setidaknya harus memberinya kesempatan buat bicara walaupun bukan untuk mengubah keadaan setidaknya mengubah suasana hatiku yang sebenarnya jauh didalam sana aku berkata bahwa aku tidak lebih baik dari seorang perebut seperti disinetron-sinetron.

“Jelasin aja nanti di mobil.”

**

Didalam mobil yang disinari cahaya matahari yang hangat, aku memilih diam dan merasakan kehangatan itu. Hari minggu jarang sekali aku bangun pagi dan menikmati udaranya seperti ini. Setelah ini sepertinya aku akan meluangkan waktu Minggu pagiku buat sekedar menghirup udara segar. “Nama nya Hanifah. Dia adalah anak teman ibuku. Aku baru sekali ketemu sama dia. Ibu bilang, aku terlalu asyik dengan kehidupanku yang sendiri. Jadi ibu menjodohkan aku sama dia.” Agam tiba-tiba berbicara.

“Saat aku pulang karena bapak sakit. Ibu buat pertemuan antara aku dengan wanita itu. Aku sendiri saat itu enggak menganggap serius karena berpikir masa iya ibu bakal benar-benar menikahkan aku dengan cewek yang enggak aku kenal, berasa cerita novel banget. Tapi ternyata ibu benar-benar ingin menikahkan aku sampei sepakat membuatkanku pesta pertunangan tanpa persetujuan aku, katanya buat saling ngiket untuk sekarang. Aku tebak ibu udah kirim undangannya ke kantor untuk dibagikan karena OB kantor bilang kalau ada paket buat aku. Dan aku yakin Galih kasih tahu kamu.” Aku mendengus, tidak langsung percaya dengan apa yang dikatakan oleh Agam padaku. Yang benar saja masih ada cerita seperti itu.

“Kamu pasti anggap aku bohong, tapi itu kenyataannya. Aku kemarin waktu didesak soal undangan itu, aku bilang kalau aku udah punya seseorang yang lagi aku kenali lebih jauh dan aku akan bawa pulang jika aku memang bener-bener sudah yakin. Tapi dia bilang sudah beberapa kali aku bilang begitu buat menghindari perjodohan sebelum-sebelumnya.” Aku menghela nafas, benarkah seperti itu?.

“Sebenarnya Hanifah juga gak setuju dengan perjodohan ini, tapi karena dia gak mau jadi anak durhaka makanya dia coba setuju aja.”

“Aku gak tau harus berkomentar apa. Cerita kamu terlalu susah buat aku percaya Gam.”

“Aku tau, kamu pasti terkejut dengan semua yang aku ceritain barusan. Lebih seperti cerita fiksi, tapi itu yang terjadi. Aku akhir-akhir ini berpikir buat bawa kamu ke rumah, tapi melihat kamu yang bahkan sepertinya enggak bisa berkomitmen aku jadi makin bertanya apa bisa aku ngajak kamu ke rumah dan dikenalkan ke ibu juga bapak?.” ….. “ Aku takut salah langkah, karena aku tau ketika aku salah maka kamu akan menjauh atau bahkan pergi.” Aku tidak mengelak pernyataan Agam barusan karena memang benar jika dia mengajak menikah kemarin dengan gamblangnya aku bisa saja menjauh atau pergi seperti saat aku dengan Bara atau yang lainnya. Tapi saat ini situasinya berbeda, waktu aku melihat undangan itu hatiku benar-benar hancur dan aku tidak bisa membayangkan sedikitpun jika Agam dengan wanita lainnya. Aku harus bagaimana sekarang ini?. Jujur, aku bingung.

“Selain itu, aku juga ada perperangan di batinku sendiri,” sambungnya pelan dan aku tau maksud dari kalimat itu walaupun aku sendiri tidak tau apa alasannya tidak mau terikat oleh sebuah hubungan.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel