Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 12

Setelah semua itu Agam dan aku kembali menjadi senormal mungkin. Kami berjalan-jalan di pantai dan juga mencoba beberapa kuliner yang ada di Bali. Banyak hal yang membuat kami tertawa lepas dan merasa bebas selama berjalan-jalan. Di restaurant pun kami sama-sama tertawa untuk menertawakan hal yang mungkin menurut orang lain itu tidak lucu, tapi ketika kami sedang seperti itu aku melihat seseorang yang membuat jantungku berdegup sangat cepat karena takut dia menyadari ada aku disana. Aku dengan cepat memakai topi pantaiku. “Kenapa Kamel?.”

“Hah?.”

“Kamu kaya abis liat setan.”

Aku binging untuk mencari cara agar dia mau pergi dari tempat ini. “Gam, kita pindah tempat makan aja yuk?.” Semakin bingunglah dia dengan sikapku. “Kamu beneran gak apa-apa?. Kita kan udah sepakat mau makan ayam betutu disini?.”

“Em… please…,” Agam menjadi sangat penasaran, dia menoleh ke seluruh ruangan. “Gam, aku pengen nasi campur aja.” Kilahku takut ketahuan. Aku merasa Agam curiga karena yakin ekspresiku saat ini tidak bisa ditutupi. Aku masih belum bisa biasa saja melihat dia disekitar ku. Mungkinkah dia sedang pulang ke Indonesia, atau dia menetap disini?. Aku jadi takut.

“Ya udah ayo.” Agam menarik tanganku lembut dan membawa keluar menuju nasi campur masih dengan senyumannya, walaupun aku tau dia sangat penasaran. Aku kesal kenapa aku harus melihat orang itu?. Aku menjadi benar-benar tidak menikmati sisa hariku bersama Agam.

“Kamu gak apa-apa Kamel?. Semenjak kamu minta pindah dari ayam betutu itu kamu jadi aneh.” Agam menggenggam tanganku ketika kami sedang duduk berdua di sofa kamar.

“Aku gak apa-apa kok.” Aku lagi-lagi menghindar dan tidak tau harus menjawab apa. Aku akan selalu kehilangan kata-kata jika aku melihat manusia itu. Otak dan emosiku terasa terkuras dan setelah itu Agam tidak bertanya lagi padaku. Aku pun hanya tidur di pundaknya dan memegang tangannya. Terasa nyaman.

Kembali lagi ke Jakarta, kembali lagi aku melihat Ares dan juga Keila yang hari ini sedang siap mengintrogasiku di meja. “Giliran mau gue sidang, loe dateng mepet.”

“Suudzon aja loe. Gue telat bangun, kecapekan.”

“Kecapekan selingkuh?.” Aku memutar mata dan mulai menata mejaku. Melihat apakah ada dokumen baru.

“Gue mau tanya, loe udah dapet jawaban dari Bali?.” Aku menghembuskan nafas, apakah aku harus bilang pada Keila tentang apa yang aku yang rasakan di Bali?.

”Ehm….,”

“Udah loe ceritain semuanya sama gue Kamela, gue bakal sabar buat denger dari A sampai Z.”

“Ya udah kita ngobrol di coffe shop depan nanti istirahat.” Keila menyetujuinya dan pada saat siang dia sudah siap dengan berdiri di depan mejaku. Aku pun akhirnya menceritakan apa yang terjadi padaku di Bali setelah sampai di coffe shop dengan minuman kami masing-masing yang belum kami minum sedikitpun. “Gila loe ya?. Loe itu sih fix, udah bener-bener jatuh cinta sama dia.”

“Gue juga gak tau Kei. Loe tau kan?. Seplayer-playernya gue selama ini, gue gak pernah sampei tidur karena loe juga tau yang ngehalangin itu semua adalah masa lalu gue.”

Keila menghembuskan nafsanya berat dan menyeruput minumannya sebelum menanggapi ceritaku barusan. Sepertinya ceritaku barusan membuatnya menjadi sangat haus. “Gue tau, makanya gue kaget. Loe memang harus bikin keputusan Kamela kalau udah kaya gini.”

“Gue udah punya rasa sama Agam, tapi gue juga tau dia enggak menginginkan komitmen sama seperti gue….. Mungkin emang gue harus lepasin Ares dan tetep main sama Agam.” Keila semakin emosi dan menyeruput minumannya sampai habis. “Loe malah mau main-main sama Agam lebih lama?. Loe yakin gak akan sakit hati nantinya?. Oh ya, satu hal gue mau kasih tau loe. Loe bukan gak mau komitmen, tapi loe belum mau menghadapi masa lalu loe. Loe cuma takut komitmen buat loe kaya dulu lagi.”

Aku mengendikkan bahu. Menghembuskan nafas kemudian menelungkupkan wajah ke meja. “Kenapa sih loe jadi cemen gini lagi pas kenal Agam?. Dan kenapa loe juga harus jatuh cinta laginya sama Agam?.” Keila malah mengipasi dirinya sendiri dan terus saja mengomel. Dia memang tidak pernah memberi solusi, hanya omelan saja. Tapi aku tidak pernah kapok untuk bercerita pada Keila. Ah ya sudahlah. Aku hanya bisa berharap semoga semua ini hanya mimpi dan ketika aku bangun aku belum kenal dengan manusia yang bernama Agam.

“Ya udah kalau gitu loe beresin dulu satu urusan. Loe putusin si Ares. Kesian itu bocah. Kalau udah putus kan seenggaknya dosa loe berkurang. Gue gak ngerti, loe itu punya otak yang encer tapi malah pura-pura bego buat tetep aja terus sama si Agam padahal loe dan Agam juga tau bakal saling nyakitin.” Begitulah cerocos terakhir siang itu dari Keila si mak lampir yang agak pedas. Di tengah cerocosan itu ada nomor aneh meneleponku.

“Halo siapa ya?.”

“Halo ini dengan Bu Kamela?.” Untuk sesaat aku berpikir dan akhirnya aku tau persis siapa yang punya suara rese ini?.

“Ya, Galih apa sih?.”

“Gila galak banget sih. Ngobrol yuk bentar. Gue mau kasih tau loe hal lain mengenai si Agam. Barangkali bisa jadi bahan buat nyeleseiin kegalauan loe dalam memutuskan.” Aku terkejut bukan main. “Loe cenayang?.”

“Sebenernya itu pekerjaan sampingan gue.” Sial, tapi aku agak curiga teman Agam yang rese satu ini tidak mungkin menawarkan informasi tanpa mendapat sesuatu yang berharga dariku. “Ada syaratnya tapi.” Sudah aku duga bukan?.

Diakhir edisi curhat ku dengan Keila, aku bilang kalau “gue ngeliat Reyno di Bali kemarin.”

**

Dan disini aku sekarang, menjadi obat nyamuk. “Udah kan kalian saling tebar pesonanya?. Sekarang ayo mau ngomong apa loe tentang Agam?.” Galih hanya tersenyum jenaka melihat Keila. Oh , Tuhan kenapa dua orang yang ada didepan ku seperti ini?. Oh ya kalian pasti bingung kenapa tiba-tiba ada Galih dan Keila. Jadi ceritanya tadi ketika menelepon dan mengajukan syarat, Galih bercerita bahwa kemarin dia tau nama instagramku dan kebetulan karena aku yang tidak menguncinya dia melihat seluruh isi updateanku sampai ada satu foto yang membuat antena playboynya menyala yaigu melihat Keila yang berfoto berdua denganku di salah satu undangan penikahan teman kantor kami yang menikah beberapa bulan lalu. Urusan Wulan?. Pas aku tanya dia bilang, udah keterlaluan resenya si Wulan pas dijalan pulang dari Bali aja kemarin dia udah berani buka-buka hpnya.

“Oke, sorry Kamela. Gini, gue cuman mau kasih tau elo kalau si Agam itu memang deket sama beberapa perempuan …”

“Tapi gak pernah ngejalin hubungan?.” Potongku yang langsung membuat Galih menatap tidak percaya dan bilang “loe kok tau?.” Aku hanya tersenyum dan menyeruput minumanku dengan tenang, “gue tau karena gue juga kayak gitu dan selama ini gue bisa baca itu.”

“Tapi loe juga harus denger kelanjutannya.” Keila yang serius menatap Galih bercerita membuat aku sedikit melenceng dan memikirkan hal alin apakah saat ini Keila sedang memperhatikan cerita yang akan keluar dari mulut Galih atau memperhatikan Galih yang sedang mendekatinya itu. “Agam udah beberapa bulan ini cuman jalan sama loe.”

“Hah?. Apa?.” Aku sedikit tidak fokus sehingga membuatku harus mendengarkan ulang apa yang dikatakan oleh Galih. Galihpun tidak punya pilihan lain selain mengatakannya ulang dengan kesal.

“Tapi kalau memang dia udah gak jalan lagi sama yang lain kenapa dia kemarin ada telepon dari cewek?.”

“Ya kalau masalah itu sih gue gak tau, cuman gue tau beberapa bulan ini dia cuman jalan sama loe. Atau ya kaya loe aja mungkin. Punya banyak fans yang terus neror.” Sepertinya Galih masih ingat dengan telepon Ares yang terus-terusan di pub.

“Tau aja.” Sindir Keila membuatku melemparkan tissue.

“Apa yang buat loe yakin Agam cuman jalan sama gue?.”

Sambil mengunyah kentang goreng, Galih menjawab dengan enteng. “Gue itu tetanggan sama dia dan gue juga sering keluar bareng dia. Nah udah selama tujuh bulanan kalau gak salah, dia suka nolak ajakan gue terus dia bilang gue lagi deket sama satu cewek. Aneh banget, dia itu gak pernah nolak ajakan gue. Dia itu gak pernah mentingin pergi bareng cewek kalau ada ajakan dari temennya, tapi ya kalau loe gak percaya loe tanya langsung aja.”

“Buat apa?, gak ada di kamus gue buat nanya pertanyaan semacam itu ke cowok.” Keila melirikku dan aku tau apa yang diisyaratkan oleh tatapannya. Dia seolah bilang kalau aku masih saja mempertahankan harga diri. Siapa peduli?. Aku masih menjaga harga diriku dengan baik setelah satu kejadian yang membuat harga diriku turun sejatuh-jatuhnya seperti paralayang.

“Terserah loe, tapi satu hal yang mungkin loe gak tau dan kayaknya bakal asyik untuk loe tau. Agam itu cemburuan abis, tapi ya gitu ketutup gengsi.” Aku tersenyum, memikirkan satu ide bagus setelah mendengarkan pernyataan Galih. “Dan kayaknya sifat itu sama kayak loe. Gengsi yang gede, segede gunung.” Aku dibuat mati kutu oleh Galih dan Keila yang tersenyum sangat lebar juga bahagia. Oh betapa dia akan meledekku nanti setelah keluar dari sini.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel