Bab 11
“Please jawab jujur.”
“Oke, aku bakal jawab jujur. Pertanyaan mengenai perasaan aku aja, aku pasti serius jawabnya.” Candanya yang langsung membuatku memutar mata malas. “Sorry, apa pertanyaannya?. Penting banget kayanya.”
“Agam belum bekeluarga kan?.”
Dia malah tertawa terabhak-bahak. “Ya iyalah Kamela. Gila aja dia kalau udah berkeluarga, tapi kesini bawa loe.” Aku menghembuskan nafas lega, jadi kemungkinannya dia sepertiku atau wanita tadi saudaranya. Buat berjaga-jaga aku tetap menitipkan handphone Agam itu.
“Ini gue titip handphone Agam. Jangan bilang gue sempet simpenin hpnya.”
“Memangnya kenapa?.”
“Loe akan ngerti nanti. Please tolongin gue.” Akhirnya Galih menerima handphone itu dan duduk kembali setelah aku mengucapkan terima kasih, walaupun dia terlihat masih bingung.
“Sorry ya lama, aku malah diajak ngobrol dulu.” Aku sekuat tenaga untuk terlihat biasa saja dan tak terpengaruh untuk apa yang kulihat tadi. Aku mencoba untuk tidak cemburu. Ku ulang dalam hati, untuk apa aku cemburu?.
“Gak apa-apa, ayo kita jalan-jalan. Oh ya, hari ini kamu mau nurutin aja gak apa mau aku?.”
“Ehm.. kenapa enggak?.”
“Oke, ayok.” Aku menarik lengan Agam dan menyeretnya berlari ditepi pantai dengan cukup kencang sampai nafasku terasa akan habis. “Kamela, kamu.. gila… liat kita udah jauh banget lari dari tempat tadi. Mana diliatin,” Agam terlihat ngos-ngosan sama seperti aku setelah lari cukup jauh.
“Aku gak gila Gam, aku cuma pengen lari kenceng aja. Eh minum air kelapa yuk.” Aku kembali menarik Agam ke salah satu kedai kelapa yang ada dipinggir pantai. Di atas pasir kami duduk berdua tanpa alas sambil meminum es kelapa, Agam tampak serius melihat pemandangan malam hari di pantai ini.
“Agam apa kamu punya masa lalu?.”
“Punya lah Kamel, kenapa?.”
“Indah atau buruk?.”
“Campur .”
“Aku punya, tapi buruk.” Agam langsung menoleh. “Seburuk apa?.”
“Seburuk wajah kamu waktu tidur tadi.” Aku sedikit bercanda dengan Agam yang malah membuatnya kesal, sementara aku tertawa renyah. “Seburuk kalau pantai ini lagi pasang sampai rasanya aku pengen mati,” sambungku serius yang langsung membuat Agam kali ini menatapku lama, tapi aku hanya terus melihat kedepan.
“Kamu tau gak?. Aku sempet gak keluar rumah bahkan kamar beberapa minggu.” Aku melihat reaksi Agam ketika mendengar itu, dia terkejut tapi seteleh itu dia tersenyum. “Apapun masa lalu kamu itu gak bisa hapus. Masa lalu kamu adalah bagian dari kamu. Yang terpenting untuk di lihat dan di syukuri adalah masa kini dan masa depan.”
“Ya kamu bener, aku memang gak akan pernah bisa ngehapus masa lalu aku. Walau kadang memang dia gak sopan masuk ke mimpi ku gak permisi dulu.” Tawaku terdengar sumbang bahkan dikupingku sendiri. Tepat setelah pembicaraan itu kami saling diam dan hanya melihat pantai.
“Yuk balik dulu hotel, udah malem. Kamu nanti sakit.” Agam mengajakku kembali ke hotel dengan perasaan yang aku tidak mengerti. Rasanya sangat tidak mengenakkan. Tidak tau kenapa, mungkin perasaan sedihku tadi membawaku pada perasaan sedih akan masa laluku yang masih menghantuiku itu. Dan ketika kami sama-sama berjalan ke hotel, Agam teringat handphonenya yang hilang.
**
Besoknya, benar saja Galih mengajakku dan Agam untuk ke sebuah pub di Bali. Aku sudah siap dengan dress merah maroonku dan jaket hitam untuk menutupi punggungku yang terlihat sebelum masuk ke pub, tapi tumben Agam belum jemput, heranku. Mungkin dia kecapekan setelah snorkeling tadi siang. Aku akhirnya memutuskan untuk pergi ke kamarnya dan benar saja dia membukakan pintu dengan wajahnya yang terlihat sekali baru bangun tidur. “Ya ampun Gam, ayo mandi cepetan.”
“Sorry aku kecapekan banget. Tunggu ya Kamela.” Dia mencubit pipiku. Aku hanya memeletkan lidah dan duduk di sofa menunggunya. Aku berkeliling melihat kamar hotelnya. Bajunya tertata rapih, begitupun kopernya. Saat aku ke apartemennya pun, semua barang tertata rapih bahkan frame yang terpajang di dinding. Oh iya aku ingat sekali waktu aku lihat foto dia yang masih kecil di pajang di salah satu frame yang ada di ruang tamu. “Kamu imut banget ya waktu kecil.”
“Kalau sekarang?.”
“Kayaknya biasa aja.” Agam menyeretku dan mendudukan ku di kursi tamunya. “Udah kamu diem duduk disini. Gak usah jadi netijen jahat.” Aku hanya tertawa kemudian duduk dan menunggunya memasak. Dia tidak berlebihan, tapi selalu perhatian. Sampai tadi saat siang pun Agam mendampingi ku setiap kali aku mau mengikuti permainan. Dia sepertinya bisa baca dari raut wajahku kalau aku agak takut dengan ketinggian.
“Halo, serius banget ngelamunnya.” Aku tersentak karena Agam yang memegang bahuku. “Iya saking lamanya nih nungguin kamu, sampai ada waktu buat ngelamun,” candaku.
“Sorry deh, ayo Galih udah bawel.” Agam meraih jaketnya kemudian di sampirkan di tangannya. Sedangkan tangan bebasnya menggenggam tanganku. “Kamu tau gak tadi aku mimpi apa?.” Obrolannya selama berjalan menuju lobi. Dia bercerita banyak, tampaknya suasana hatinya sedang bagus. Apa karena aku atau karena Hanifah yang kemarin meneleponnya ya?. Tiba-tiba aku sadar, buat apa aku memikirkan hal itu.
Sampai pub, ternyata Galih sudah memesan meja. Kami duduk berempat. Wulan mengenakan baju senada dengan Galih hari ini, yaitu hitam. Sedangkan aku dan Agam tidak sengaja memakai baju bewarna senada juga, tidak tau kenapa aku dan dia beberapa kali keluar memakai baju dengan warna yang senada tanpa janjian terlebih dulu.
“Mau minum apa Gam, Mel?.”
“Aku samain aja kaya kalian.” Agam mengiyakan. Kami mengobrol banyak sambil meminum wine merah. Sampai pembicaraan kami berempat pun merembet ke hal yang agak sensitive. “Loe tau gak Kamel, Agam ini mantannya bisa diitung jari loh?.”
Aku mengernyitkan dahi, sementara Agam sudah melotot tajam. “Kenapa?.”
“Dia ini tukang PHP, hati-hati.” Galih tertawa, namun Agam tidak. Aku hanya bisa ikut tertawa, menertawakan diriku sendiri juga. “Serem ya kamu,” candaku.
“Bukannya loe juga tukang PHP?.” Agam langsung tidak bisa menahan tawanya saat sudah menembak balik Galih yang wajahnya langsung putih pucat. Aku?. Tenang, aku adalah orang yang paling bisa menutupi perasaanku sendiri di depan orang lain. Deangan natural aku hanya tertawa-tawa, tanpa terlihat terusik sedikitpun. Berbeda dengan Wulan yang langsung menyerang balik Galih. Aku rasa harga diriku lebih berharga daripada sebuah status. “Pagar makan tanaman,” sindir Agam. Disaat kami semua sedang asyik tertawa tiba-tiba saja handphoneku yang ada di atas meja bergetar terus dan terlihat nama Ares di layar.” “Kok gak diangkat sih Mel?. Neleponnya sampai berkali-kali gitu.”
“Gak usah.”
“Fans ya pasti.” Goda Galih.
“Ya gitu deh.” Saat aku menjawab seperti itu wajah Agam terlihat biasa saja, tapi tidak dengan matanya. Aku menjadi merasa ini menarik. Di dalam kamusku tidak ada kata aku yang dipermainkan dan benar saja ketika telepon Ares yang sudah dua hari ini tidak diangkat, dia akan terus menelepon sampai aku mengangkatnya. Handphone ku alhasil bergetar lagi. Ini sudah telepon ke tiga dan akhirnya aku buru-buru mengangkatnya jauh dari Agam dan yang lainnya. “Sebentar ya.”
“Halo Res.”
“Sayang, kamu dimana?. Kok berisik banget sih.”
“Em…, aku lagi refreshing aja. Acaranya tadi padet banget jadi malemnya aku free.”
“Oh gitu, hati-hati ya. Kamu besok pulang kan?. Aku jemput ya?,” cerocos Ares. Ares benar-benar sedang berubah akhir-akhir ini. Mungkin memang benar sama apa yang dikatakan Keila waktu itu.
“Iya Res besok aku pulang, tapi kamu gak perlu jemput. Aku bisa pulang sendiri ko, lagian gak enak sama kantor.”
“Kamu kok gak mau aku jemput sih?.” Aduh kenapa si Ares jadi rese gini sih?. Makin yakin aku kalau memang dia udah ngerasa ada sesuatu sama aku dan sepertinya aku harus cepat ambil keputusan sekarang.
“Res, please. Kamu tau kan aku paling gak suka di paksa?.”
Ares menghela nafasnya kasar sampai terdengar olehku. “Oke, sorry. Aku tunggu ya di apartemen.”
“Iya.” Lalu aku tidak ingin bermain drama lebih lama lagi dengan Ares jadi aku memilih memutuskan panggilan. Aku sudah menegaskan dari awal kalau aku tidak suka diatur dan dipaksa.
Sekembalinya aku ke meja, Agam sedang minum. Galih menatapku dan mengarahkan bola matanya pada Agam. Aku melihatnya minum dengan agak tidak santai. Padahal tiga kali keluar minum dengannya dia yang selalu paling santai dan aku yang tidak santai. Kenapa dia hari ini?. “Gam, kok minum banyak banget?.” Aku bertanya langsung ke samping telinganya.
“Gak apa-apa, mumpung di Bali aja.” Aku mengangguk-ngangguk dan akhirnya ikut meminum. “Gantian ya, kamu harus sadar karena biasanya aku yang jaga kesadaran.” Aku tertawa mendengarnya.
“Kamu gak takut aku apa-apain?,” candaku.
“Aku yang harusnya tanya itu. Cowok kalau kebanyakan minum itu serem lho.” Aku tau dia saat ini sudah agak terpengaruh oleh minuman. Raut wajah dan segalanya biasa, tapi tidak dengan bau mulutnya.
“Aku tau kamu gak akan macem-macem.” Tiba-tiba Agam memajukan tubuhnya dan memandangku sedikit tajam sepertinya. “Kenapa aku gak bisa macem-macem sama kamu?.”
“Karena kalau kamu mau dari dulu-dulu kamu udah macem-macem sama aku,” balasku dengan tenang, lalu aku tersadar sepertinya aku sedang diperhatikan oleh Galih dan Wulan. Segera aku meminum minumanku dan mengabaikan Agam yang saat ini masih menatapku tajam. Kenapa saat ini Agam seperti sedang menekanku untuk suatu hal, apa ini karena telepon tadi?. Aku memang berbicara seadanya, jika memang Agam berani macam-macam padaku maka dia akan melakukannya sedari dulu. Agam dan aku sering menghabiskan waktu berdua untuk nonton, bahkan kami sering minum wine berdua, tapi dia sepertinya menahannya itu. Mungkin dia memang menghargaiku.
Malam sudah sangat larut, aku dan Agam akhirnya pulang dengan Galih yang mengendarai mobil. Aku dan Agam di jok belakang degan Agam yang tidur di perutku. Untuk sesaat aku mengamati wajahnya, raut wajahnya sangat menarik bagiku. Aku tidak bisa menjelaskan secara rinci, tapi saat ini yang aku lihat adalah ya dia tampan.
“Kamel, loe liatin dia sampei segitunya?.” Galih yang masih sadar membuatku malu karena terpergoki melihat wajah Agam lama.
“Engga ko, gue penasaran aja sama wajah Agam ini gimana ya mantannya?.”
“Oh itu … , cantik. Tapi tenang lebih cantikan loe kok.” Aku tertawa menanggapinya. “Kok jadi di bandingin sama gue?.”
“Barangkali aja loe mau tau. Oh ya, gue tau hari itu kenapa loe nyuruh gue jangan bilang kalau hp Agam sempet loe ambil.” Aku hanya tersenyum pada Galih. Tidak memberikan komentar apapun. Namun, ternyata sepertinya karena aku diam Galih kembali bersuara. “Gue mau bilang aja, si Agam itu gak punya pacar. Gue yakin yang kemarin chat dia itu bukan pacarnya. Gue gak tau itu siapanya karena gue juga baru denger namanya.”
“Tapi, loe harus akuin dia banyak deket sama cewek kan?.” Galih diam tidak menjawab dan aku tau jawabannya. Ternyata prediksiku itu benar dan aku sepertinya harus siap terkena getahnya dari perbuatanku sendiri yaitu karma.
Setelah sampai di hotel aku memapah Agam dan membukakan pintu kamarnya untuk masuk. Tidak aku duga Agam menarikku masuk. “Gam mau apa?,” tanyaku agak panik saat dia terus menarikku masuk. Orang yang banyak minum punya pikiran enggak normal kan?. Wajar aku takut.
“Duduk, aku mau tidur di perut kamu kaya tadi dimobil.” Aku bingung jadi reaksiku saat itu hanya bengong, dia membuatku duduk dan kini dia sudah mendapatakan posisi yang dia inginkan. Tidur dengan nyaman di perutku. Aku tidak tau harus berbuat apa, aku akhirnya pun ikutan tidur.
Paginya, aku melihat jam sudah menunjukan pukul tujuh. Sedikit menggeser kepalanya, agar bisa berdiri. Namun saat aku menggesernya dia ternyata bangun. Lama kami tidak bersuara, hanya saling melihat. Sampai dia bilang, “morning sayang.”
“Ehm… morning.” Kenapa ucapan yang keluar dari mulutnya dan wajahnya yang baru bangun tidur itu bisa buatku deg-degan ya?. Ya ampuun Kamela sadar.
“Bisa gak kita seharian ini berdua?.” Agam dengan segala kerandomannya.
Aku mengerutkan keningku. “Bukannya kita udah berdua dari kemarin ya?.” Dia malah tertawa.
“Maksudnya cuman kita berdua acaranya.”
“Tapi hari ini kita harusnya pulang kan?.”
“Kita pulang tengah malem aja ya?. Gak usah bareng sama yang lain, nanti aku bilang ada urusan.” Aku mengehela nafas, tidak tau ada apa dengannya. Harusnya aku bukan yang aneh karena lihat nama perempuan yang meneleponnya beberapa kali kemarin?. Tapi sebentar untuk apa aku jadi aneh. Aku masih terus meneguhkan hatiku kalau aku tidak boleh terpengaruhi sama sekali sama nama perempuan itu.
“Kita dari kemarin kan belum sempat jalan-jalan puas di Bali.”
“Oke, terserah kamu aja. Aku mau mandi dulu, pegel kaki sama leher. Percuma bayar hotel mahal-mahal, tapi tetep aja tidurnya di sofa sambil duduk.” Aku menggerutu sambil berjalan keluar dari kamar Agam. Namun, laki-laki itu hanya tertawa senang.
Di kamar, langsung aku berendam dan mandi. Berganti baju dengan baju yang sangat santai berwarna kuning cerah juga topi pantai. Tidak lupa sandal. Belum aku kirim chat ke Agam buat kasih tau kalau aku sudah beres, dia sudah masuk ke kamar. “Udah beres?.”
“Hem..,” jawabku. Agam mendekat dan langsung memutar tubuhku. “Kenapa sih kamu Gam?.”
“Cantik sama seger banget kamu hari ini, kaya buah nanas.” Aku mendengus, terakhirnya tidak enak tapi Agam malah mencium bibirku sekilas. Setelah itu dia menatap wajahku dan berbicara dengan serius, “kamu cantik banget.” Aku hanya berkata tanpa suara “gombal.”
“Aku serius.” Dia kali ini tampaknya serius karena setelah itu kami berciuman dan tanpa aku juga dia rencanakan kami melakukan hal itu untuk pertama kalinya bagi kami di Bali, setelah delapan bulan dekat. Aku menatap Agam tidak percaya. “Kamu serius?. Aku udah mandi sama dandan loh Gam.” Aku berusaha bercanda setenang mungkin tanpa melibatkan sebuah perasaan karena aku tidak bisa berbohong, pagi ini aku melakukan hal ini dengan Agam tanpa sebuah paksaan atau apapun. Aku merasa kami mengalir. Aku semakin bertanya apa benar aku sudah mencintainya?. Aku sudah bisa membuka hatiku untuk laki-laki lain?.
“Maaf, aku juga gak tau kita akhirnya kehilangan kontrol pagi ini setelah delapan bulan kita deket.” Agam berbeda denganku, dia terlihat serius.
“Udah ah, kita harus mandi terus keluar.” Aku berusaha agar tidak terjadi pillow talk. Namun Agam menarik tanganku. “Kamu mau kemana sayang, udah disini dulu.”
“Mau apa lagi Gam?. Kita gak bisa pillow talk, bukannya hubungan kita sekedar seperti ini?.” Aku berusaha menghindar. “Aku gak mau kalau sekarang ini kita tetep diem dan ngobrol semuanya bakalan semakin rumit. Kamu lebih senang kita senang-senang bukan sekarang?,” sambungku yang membuatnya diam. Aku kemudian berdiri dan masuk ke kamar mandi dengan gamang. Kenapa perasaanku sakit setelah aku mengatakan itu pada Agam?. Memang aku selama ini dekat dengan beberapa laki-laki, tapi aku tidak pernah sampai tidur dengan mereka. Aku semakin bertanya-tanya, apa aku benar-benar sudah jatuh cinta dengan laki-laki satu itu?.
**
