Bab 5 - Skripsi atau Skinship?
Kak Arga menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya menyipit seperti sedang berpikir keras. "Hmm … mungkin aku bisa bantuin, tapi cuma kalau kamu bisa kasih aku waktu khusus nanti, setelah skripsimu selesai. Itu imbalan yang pantas, kan?" jawabnya sambil tersenyum nakal.
Aku terdiam sejenak, menyadari maksudnya. "Oh, jadi kamu cuma mau waktu khusus, ya?" tanyaku, sedikit geli. "Kamu ini ... nggak serius banget!"
Kak Arga tertawa, namun tatapannya tetap serius. "Serius kok. Ini soal prinsip profesional, Alya. Kalau kita berdua bisa profesional, aku bantuin kamu, tapi setelah skripsi selesai. Kalau tidak, ya, aku cuma jadi penonton aja," katanya dengan suara santai.
Aku mendengus, sedikit kesal namun juga tidak bisa menahan tawa. "Kamu ini, Kak. Jadi, kalau aku mau bantuanmu, aku harus janji dulu buat ngasih waktu khusus buat kamu? Itu syaratnya?"
"Betul sekali," jawabnya, kali ini tertawa bersama dengan aku. "Tapi nggak masalah, kan? Kan kamu juga butuh bantuan, dan aku siap bantuin, asal ada kesepakatan."
Aku tersenyum, meskipun sedikit kesal karena dia terus menggodaku. "Oke deh, kalau gitu, aku janji setelah selesai, aku bakal kasih waktu khusus buat kamu. Deal?" tanyaku, mencoba tetap serius meskipun hatiku senang karena bisa sedikit terhibur.
Kak Arga mengangguk puas, kemudian kembali duduk dengan serius di sampingku. "Deal. Sekarang, fokus sama skripsimu, ya. Aku bakal bantuin sesuai yang dibutuhkan, tapi hanya dengan imbalan yang sudah kita sepakati."
Aku mencoba menyelesaikan bagian terakhir dari skripsi yang seharusnya sudah selesai beberapa jam yang lalu. Namun, semakin lama aku menatap layar, semakin berat rasa lelah yang aku rasakan. Kak Arga duduk di sebelahku, mengamati dengan tatapan lembut yang tidak bisa kupahami, seolah tahu betul apa yang aku rasakan tanpa perlu aku ucapkan.
"Sayang, kamu nggak kelihatan fokus," kata Kak Arga pelan, suaranya penuh perhatian. "Mau istirahat sebentar?"
Aku menghela napas panjang, sedikit kesal dengan diriku sendiri. "Aku nggak bisa, Kak. Skripsi ini masih banyak yang harus aku selesaikan, dan aku nggak mau keteteran."
Kak Arga menatapku dengan lembut, lalu menyentuh tanganku yang ada di atas keyboard. "Alya, kamu sudah capek, kan? Nggak baik dipaksain terus. Kalau perlu, aku bisa bantuin."
Aku meliriknya, merasa canggung. "Tapi ini kan tugas aku. Kamu nggak harus bantuin aku. Kamu cukup memberikan arahan saja, Kak."
Kak Arga tersenyum kecil, senyum yang selalu membuat hatiku hangat. "Tapi aku bisa kok bantuin, meskipun hanya sedikit. Kalau kamu lagi pusing gitu, aku bisa bantu cari referensi atau apapun yang kamu butuhkan."
Aku mencoba tersenyum, tapi rasanya senyum itu tidak sepenuh hati. Pikiranku terasa berantakan, dan semakin lama semakin sulit untuk berkonsentrasi. Aku merasa sesak, dan Kak Arga yang ada di sampingku seperti magnet yang menarik perhatian tanpa henti.
"Alya," katanya, menarik perhatian, "kayaknya kamu perlu sedikit penjelasan soal teknik random sampling deh. Itu bisa membantu banget buat skripsimu."
Aku menoleh ke arahnya, agak bingung. "Random sampling? Itu kan buat penelitian, kan? Tapi … aku masih bingung soal aplikasinya dalam skripsi aku. Maksudnya gimana, Kak?"
Kak Arga kembali tersenyum, senyumnya selalu membuatku merasa lebih tenang. Dia lalu mulai menjelaskan dengan penuh semangat. "Gini, Sayang. Random sampling itu adalah metode pengambilan sampel secara acak. Artinya, setiap elemen dalam populasi punya kesempatan yang sama untuk terpilih. Jadi, kamu nggak pilih-pilih sampel berdasarkan karakteristik tertentu. Dengan cara itu, kamu bisa mendapatkan sampel yang representatif dari populasi yang lebih besar."
Aku mendengarkan dengan seksama, meskipun pikiranku sedikit melayang. Arga memang selalu bisa menjelaskan hal-hal rumit dengan cara yang sederhana. Namun, semakin lama dia menjelaskan, aku mulai merasa jenuh dengan beragam konsep yang berputar-putar dalam pikiranku. Aku merasa sedikit pusing, dan mataku mulai terasa berat.
"Jadi, kalau misalnya kamu ... ehm ... melakukan survei tentang perilaku konsumen, kamu nggak akan pilih orang-orang berdasarkan usia atau jenis kelamin," lanjut Kak Arga, melanjutkan penjelasannya. "Kamu akan ambil sampel secara acak dari seluruh populasi."
Aku mengangguk perlahan, mencoba untuk tetap fokus. Namun, tanpa kusadari, mataku justru lebih sering melirik Kak Arga. Ada sesuatu yang berbeda dengan malam ini. Dan tiba-tiba, tanpa ada alasan jelas, aku merasa ingin menggoda Kak Arga.
Di tengah-tengah penjelasan panjangnya yang penuh informasi teknis itu, aku memberanikan diri untuk mencuri perhatian dengan cara yang berbeda. Tanpa peringatan, aku mendekatkan wajahku ke wajah Kak Arga dan ... mencium bibirnya dengan cepat.
Kak Arga tampak sedikit terkejut, matanya terbuka lebar, tapi sebelum dia bisa mengeluarkan kata-kata, aku sudah mundur sedikit sambil tersenyum nakal. "Ups, maaf," kataku, mencoba menahan tawa yang hampir meledak. "Aku cuma ingin menghentikan ceramah panjangmu sebentar."
Kak Arga kembali terdiam, seakan mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Namun, dia tidak bisa menyembunyikan senyum di wajahnya. "Alya," katanya, suaranya terengah, seolah mencoba untuk mengembalikan keseriusannya. "Kamu itu, ya ... selalu saja gitu, ya? Nyulik ciuman begitu aja."
Aku hanya tertawa kecil, merasa sedikit bersalah tapi juga senang karena bisa menggoda Kak Arga dengan cara yang tidak terduga. "Hehehe, maaf deh. Kamu terlalu serius, Kak. Aku cuma ingin kamu tahu kalau ... terkadang, aku butuh istirahat sejenak dari semua penjelasanmu yang rumit itu."
Kak Arga menarik napas panjang, tapi senyumnya semakin lebar. "Tapi, Alya, kamu tahu kan kalau aku nggak akan membiarkanmu menghindar dari skripsi begitu saja?" katanya sambil menggoda.
Aku mengangkat bahu, mencoba membuat wajah seolah tak bersalah. "Ya, aku tahu. Tapi kan, kita bisa sedikit santai, kan? Bukannya random sampling itu juga butuh waktu yang tepat untuk dilakukan?"
Kak Arga tertawa, lalu mengusap rambutku dengan lembut. "Kamu ini, Alya. Selalu ada cara untuk mengalihkan perhatian. Tapi tenang, aku tetap bantuin kamu kok. Setelah skripsi selesai, baru deh kita santai bareng."
Aku mengangguk, merasa lega meskipun aku belum sepenuhnya selesai dengan skripsi. Namun, dengan kehadiran Kak Arga yang selalu bisa membuatku tersenyum, aku merasa lebih kuat untuk melanjutkan dan menyelesaikan semuanya. Bahkan, aku tahu, meskipun malam ini penuh dengan godaan dan gangguan, Kak Arga akan selalu ada di sampingku, membantu dengan cara yang penuh kasih.
Tanpa bisa kuhindari, pandanganku jatuh pada bibirnya, bibir yang selalu membuatku merasa aman. Tanpa berpikir panjang, aku mendekatkan wajahku kepadanya, dan ...
Aku mencium bibirnya, perlahan, lebih lama dari yang aku rencanakan. Aku bisa merasakan detak jantungku yang semakin cepat, tubuhku yang mendekat lebih dalam. Ciumannya yang lembut membalas dengan penuh perhatian, dan untuk beberapa detik, dunia terasa menghilang.
Saat kami terpisah, nafas kami terasa berat. Aku menatap Kak Arga, dan tepat di matanya aku melihat senyum penuh kehangatan, seolah dia mengerti semuanya.
"Kalau kamu terus-terusan begitu, aku bisa lupa sama skripsimu," katanya, suaranya mengandung nada godaan yang membuat hatiku berdebar.
Aku hanya tersenyum, sedikit malu, tapi rasanya aku ingin melakukannya lagi. "Tapi kamu juga tahu, Kak, kadang aku butuh waktu untuk berhenti sebentar dari semua ini. Skripsi itu penting, tapi ... kamu lebih penting."
Kak Arga menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatapku dengan tatapan lembut namun penuh makna. "Alya," katanya, hampir berbisik. "Kamu nggak perlu merasa terbebani dengan semua ini. Aku di sini untuk kamu. Kalau kamu butuh istirahat, aku siap menemanimu."
Aku menggigit bibir bawahku, merasakan kehangatan yang mengalir dari dalam hatiku. "Aku cuma ... nggak tahu kenapa skripsi ini jadi terasa sangat berat. Dan kamu ... kamu selalu bisa membuatku merasa lebih baik."
Kak Arga tertawa kecil, kemudian mengusap rambutku dengan lembut. "Kalau gitu, kenapa nggak kita lupakan skripsimu untuk malam ini? Kita fokus sama kita dulu, ya?"
Aku menatapnya dengan tatapan penuh kebingungan, tetapi ada juga rasa nyaman yang mengalir di dalam diriku. "Tapi skripsi …"
Kak Arga tidak membiarkanku melanjutkan. Dia menarik tubuhku lebih dekat, dan kali ini ciumannya terasa lebih dalam. Ciuman yang menenangkan, yang mengalihkan semua kecemasan yang ada dalam diriku. Kami terus berciuman, dan untuk pertama kalinya malam ini, aku merasa benar-benar bebas. Bebas dari rasa takut dan khawatir tentang apa yang akan datang.
Kami berdua berbaring di ranjang, dengan tubuh yang saling merapat. Tidak ada lagi layar laptop yang menyala, tidak ada lagi kata-kata tentang skripsi yang mengganggu. Hanya ada kami, dalam keheningan yang penuh dengan kehangatan dan kasih sayang.
"Alya," Kak Arga berkata dengan lembut, mengusap pipiku, "kamu nggak perlu khawatir. Semua ini bisa menunggu. Yang penting, kamu dan aku bisa menikmati waktu kita."
Aku tersenyum, merasa tenang dengan kata-katanya. "Aku cuma butuh kamu, Kak. Dan malam ini, hanya ada kita."
Kami berdua terdiam, saling memandang, dan akhirnya terlelap dalam kedamaian yang hanya bisa kami rasakan berdua. Skripsi itu bisa menunggu, tapi momen ini, momen kebersamaan kami, adalah hal yang tidak ingin kutinggalkan.
