Bab 4 - Balada di Tengah Skripsi
Aku duduk di depan laptop dengan punggung yang sudah mulai terasa kaku. Skripsi ini rasanya nggak pernah bisa selesai. Kata demi kata terasa semakin sulit untuk dirangkai. Setiap kali aku menatap layar, kepalaku semakin pusing, dan rasanya waktu berjalan begitu lambat.
Kak Arga duduk di sampingku, sambil sesekali menyodorkan cemilan atau secangkir teh hangat. Walaupun aku tahu dia ingin menemaniku, aku tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa skripsi ini harus selesai malam ini. Aku mencoba untuk tidak peduli dengan keberadaannya, tapi kenyataannya, Kak Arga tidak pernah membiarkanku benar-benar fokus.
"Sayang," Kak Arga tiba-tiba bersuara, membuatku menoleh sedikit, "kok serius banget? Kamu pasti capek, deh."
Aku mendengus, mencoba tetap menjaga fokus. "Aku capek, tapi ini harus selesai," jawabku, suaraku sedikit lebih tegang.
Kak Arga tersenyum nakal, dan tanpa peringatan, dia mengulurkan tangannya, menepuk pelan pipiku. "Susah ya, kayak gitu. Boleh, nggak kalau aku bantuin sedikit?"
Aku hendak menjawab, tapi sebelum aku sempat mengatakan apa pun, Kak Arga sudah mencium pipiku dengan lembut. Ciuman singkat itu membuatku sedikit terkejut, dan seketika mataku melirik ke arahnya, mencoba untuk tetap mempertahankan ketenangan.
"Kak Arga! Kenapa sih kamu nggak bisa diam?" kataku sambil tertawa kecil, berusaha mengusir rasa maluku. Tetapi di dalam hatiku, aku merasa seperti ada sesuatu yang lebih hangat mengalir.
Dia hanya tersenyum dengan tatapan yang penuh kasih. "Aku nggak bisa, Alya," katanya sambil meraih tanganku dan menggenggamnya dengan lembut.
Aku kembali menatap layar laptop, mencoba kembali fokus pada tulisan di depan mataku. Tapi, rasanya semakin sulit untuk mengabaikan dia yang ada di sampingku. Aku merasa cemas, tapi juga sedikit terhibur oleh cara Kak Arga yang selalu membuatku tersenyum.
Tanpa peringatan, Kak Arga lagi-lagi mendekatkan wajahnya ke wajahku. Kali ini, dengan lebih penuh kasih sayang, dia mencium bibirku sebentar, meski aku mencoba untuk menghindar. "Hmm, kamu pasti udah capek banget,ya," bisiknya pelan, suara lembutnya memeluk telingaku.
Aku terkejut, hati berdegup lebih cepat. "Kak Arga …!" aku berusaha berkata serius, meskipun di balik itu, bibirku tidak bisa menahan senyum yang terbit. "Kenapa sih, kamu nggak bisa berhenti?"
Tapi Kak Arga hanya tertawa ringan, tidak bergeming. "Karena aku suka lihat kamu senyum, Alya," jawabnya, masih menggenggam tanganku. "Tapi kalau kamu perlu istirahat, aku siap nemenin, kok."
Aku merasa semakin tidak bisa fokus. Setiap kali aku mulai mengetik, Kak Arga kembali mencuri ciuman lainnya. Ciuman di pipi, ciuman di kening, bahkan sesekali di bibirku. Setiap kali aku menolaknya, dia hanya tertawa, seolah menikmati reaksiku yang selalu berbeda.
"Aduh, Kak Arga," aku mengeluh, kali ini sedikit kewalahan. "Aku benar-benar nggak bisa kerja kalau kamu terus-terusan gangguin."
Kak Arga mendekat lagi, kali ini tidak hanya memberikan ciuman singkat, tapi ciuman yang lebih dalam, yang membuatku tak bisa berkata-kata. Aku merasa tubuhku seolah melembut di bawah sentuhannya, dan sementara aku mencoba menahan diri untuk tetap fokus, aku justru semakin terbawa oleh perasaan yang dia berikan.
“Tenang aja, sayang,” kata Kak Arga dengan lembut, menarik sedikit tubuhku ke arah tubuhnya, masih dengan senyum nakal di wajahnya. “Aku cuma pengen kamu lebih rileks, biar bisa fokus lagi. Kamu nggak mau kan, aku cuma jadi pengganggu terus?”
Aku sedikit terengah, tidak tahu harus berkata apa. Rasanya skripsi ini semakin jauh dari pandanganku, dan Arga semakin membuatku merasa lemah. Tapi di satu sisi, aku merasa bahagia. Bahagia karena ia selalu tahu cara untuk membuat hatiku lebih ringan, meskipun aku terus berusaha untuk menyelesaikan semua tugas ini.
“Kak Arga ... kamu nggak bosen-bosen, ya?” Aku mencoba bertahan, meski setiap kata yang keluar terasa semakin lemah.
“Bosen? Kenapa harus bosen kalau bisa bikin kamu senyum terus, ya?” jawab Arga sambil tertawa pelan. Kali ini, dia mencium dahiku dengan lembut, membuat jantungku berdebar lebih kencang. “Aku tahu kamu capek, Alya. Tapi aku cuma mau kamu tahu kalau aku di sini buat kamu, bukan cuma buat skripsinya, tapi juga buat kamu.”
Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-katanya. Kak Arga memang tidak bisa berhenti menggodaku, namun cara dia menjaga dan memperhatikan aku seperti ini membuatku merasa dicintai lebih dari apapun.
Aku menatapnya, meskipun bibirku sudah mulai tersenyum lebar. "Ya sudah deh," kataku, menyerah pada kenyataan bahwa aku memang nggak akan bisa fokus jika dia terus begini. “Tapi kalau aku gagal, kamu yang kena marah, ya?”
Kak Arga tertawa puas. “Tenang aja, nggak akan gagal kok. Aku ada di sini, selalu ada buat kamu.”
Setelah ciuman terakhir yang terasa begitu dalam, aku akhirnya menyandarkan kepala ke meja, menyerah pada godaan dan rasa capek. Skripsi memang penting, tapi malam ini, aku merasa lebih bahagia dengan Kak Arga yang tak pernah berhenti mencuriku dengan ciuman manisnya. Aku tahu, selama dia ada di sampingku, aku bisa melewati semuanya, meskipun di tengah tugas yang menumpuk.
Beberapa menit kemudian, aku terbangun, merasa seperti diserang oleh rasa bingung dan sedikit malu. "Hah? Kak Arga? Kenapa aku tidur?" aku bertanya sambil mengusap mataku.
Kak Arga tertawa pelan, tapi tatapannya penuh dengan kasih sayang. "Eh, kan aku udah bilang. Kamu tidur sebentar, kan? Aku cuma nyuri beberapa detik siumanmu," jawabnya sambil menyentuh rambutku dengan lembut.
Aku mengusap wajahku, masih sedikit bingung. "Ya ampun, Kak Arga! Kamu itu bener-bener nggak bisa diam, ya?" keluhku, meskipun senyum tak bisa hilang dari wajahku.
Kak Arga hanya tersenyum lebih lebar. "Aku suka lihat kamu senyum, Alya. Makanya, nggak pernah berhenti bikin kamu senyum," jawabnya dengan nada penuh kehangatan.
Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Meskipun skripsi masih menanti, meskipun aku masih tertekan, Kak Arga selalu tahu bagaimana cara membuatku merasa lebih ringan. “Aku nggak tahu harus gimana kalau kamu terus gangguin aku begini,” ujarku sambil tertawa kecil.
Aku kembali mengetik beberapa kata, mencoba memaksa diriku untuk tetap fokus, namun setiap kali mataku menatap layar laptop, pikiranku terasa kosong. Sedang Kak Arga beberapa kali fokus dengan tablet di depannya. Namun, aku tahu dia selalu memperhatikan, bahkan tanpa harus bertanya.
Aku menoleh ke arahnya, sedikit bingung dan penasaran. "Kak Arga, kenapa sih kamu nggak bantuin aku? Kamu kan bisa bantuin aku nulis atau setidaknya mencari referensi yang aku butuhkan, lagian kan ini juga revisi dari kamu, udah pasti kamu tau apa yang harus aku tulis," tanyaku, suara sedikit lelah, tapi juga ada rasa ingin tahu yang mendalam.
Kak Arga menatapku sejenak, kemudian menatap layarnya dengan serius. Lalu, dia tersenyum nakal dan berkata, "Oh, aku sih bisa aja bantuin, tapi harus ada imbalan yang pantas dulu."
Aku terkesiap mendengarnya. "Imbalan? Maksudnya apa?" tanyaku, sedikit terkejut dengan jawaban Arga yang terdengar seperti sindiran.
Kak Arga melirikku, mata penuh rasa iseng. "Iya, imbalan. Tahu sendiri kan, aku kan dosen yang profesional," jawabnya dengan nada bergurau, namun tetap ada keseriusan dalam suara dan tatapannya.
Aku menatapnya bingung. "Profesional? Maksudnya gimana?" Aku semakin penasaran dengan sikap Kak Arga yang tiba-tiba berubah menjadi serius, meskipun masih ada sedikit gurauan di suaranya.
"Profesional dalam bekerja. Kamu kan butuh fokus buat skripsi ini, dan aku nggak bisa gangguin kamu begitu saja. Tapi," Kak Arga menyelipkan kata 'tapi' dengan penuh penekanan, "kalau kamu ingin aku bantuin lebih jauh, harus ada imbalan yang sepadan."
Aku mengerutkan dahi, tak mengerti apa maksudnya. "Imbalan apa, Kak Arga?"
