Bab 6 - Rindu di Malam Sepi
Apartemen terasa lebih hening dari biasanya. Tidak ada suara langkah kaki Kak Arga, tidak ada tawa kecilnya saat menggodaku, dan yang paling terasa, tidak ada kehangatannya di sini. Aku duduk di tepi ranjang, menatap layar laptop yang sejak tadi tidak membantuku menyelesaikan satu pun paragraf baru.
Saat aku hendak memejamkan mata, ponsel di sampingku bergetar pelan. Aku melirik sekilas, dan sudut bibirku langsung tertarik saat melihat nama yang muncul.
“Alya, udah tidur, Sayang?” pesan dari Kak Arga muncul di layar.
Aku mengetik balasan dengan cepat. “Belum. Masih di depan laptop, tapi nggak fokus.”
Tidak butuh waktu lama sebelum balasan darinya muncul lagi. “Pantes. Aku juga nggak bisa tidur.”
Aku tersenyum kecil, membayangkan bagaimana ekspresi wajahnya saat mengetik pesan itu. Jari-jariku bergerak di atas layar. “Kenapa?” tanyaku.
“Karena aku kangen kamu.” Hatiku mencelos. Jantungku berdebar lebih cepat dari sebelumnya. Aku menggigit bibir, menahan senyum yang semakin lebar.
“Baru beberapa jam kita pisah, Kak. Lebay deh.”
“Beda, Alya. Aku kangen lihat kamu duduk di sampingku, kangen tatapan kamu, kangen bercanda sama kamu. Dan yang paling penting, aku kangen ada di kamar bareng kamu.”
Aku menatap pesan itu lama, seakan bisa mendengar suaranya yang berat dan lembut.
“Hmm … aku juga kangen sih. Sepi banget di sini tanpa kamu.”
Beberapa detik berlalu sebelum ponselku kembali bergetar. “Kalau gitu, aku balik sekarang aja deh.”
Aku membelalakkan mata, buru-buru mengetik. “Hei! Udah malam! Kamu nggak boleh nyetir sembarangan cuma gara-gara rindu.”
“Tapi aku benar-benar pengen ada di sana sekarang. Peluk kamu, lihat wajah kamu sebelum tidur.”
Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan debaran di dadaku. Kak Arga memang selalu tahu cara membuatku merindukannya lebih dalam.
“Kalau aku nggak bisa ada di sana malam ini,” lanjutnya, “setidaknya aku mau kamu tidur dengan tenang. Bayangkan aku ada di samping kamu, memelukmu erat, membisikkan betapa aku menyayangimu. Tapi sebelum itu, kita harus melakukan ritual yang selalu kita lakukan ... haha,” ujarnya dilanjuti tawa yang kubisa bayangkan bagaimana ekspresinya.
Aku tersenyum, mataku mulai terasa berat. Jari-jariku mengetik dengan lambat. “Baiklah. Tapi besok kamu harus nebus rindu ini, ya.”
“Pasti, Sayang. Tidur yang nyenyak, aku selalu ada untuk kamu, meski nggak bisa langsung di sana malam ini.”
Aku meletakkan kembali ponsel itu setelah memastikan tak ada balasan darinya. Melihat laptop yang tak lagi bergairah, aku memutuskan untuk menyudahi aktivitas malam ini dan bebersih diri sebelum akhirnya kembali merebahkan diri di tempat kesukaan kami.
Aku baru saja menarik selimut ketika ponselku kembali bergetar di atas meja kecil di samping ranjang. Dengan mata masih setengah terpejam, aku mengulurkan tangan dan meraihnya. Nama yang terpampang di layar membuatku tersenyum kecil.
“Udah tidur, Sayang?” pesan dari Kak Arga muncul.
Aku mengetik balasan cepat. “Baru aja mau tidur, tapi kamu malah ganggu.”
Ponselku kembali bergetar hanya beberapa detik setelah pesanku terkirim. “Bagus. Berarti aku masih punya kesempatan buat ngobrol sebentar,” balasnya cepat.
Aku menghela napas pelan, menggulung tubuhku ke sisi ranjang yang kosong. “Kak Arga ini kenapa sih?” tanyaku sambil mengetik. “Padahal tadi nyuruh aku tidur.”
“Iya, tapi aku malah kepikiran,” jawabnya. “Kamu sendirian di apartemen, pasti rasanya beda, kan?”
Aku menatap langit-langit kamar yang sepi, lalu mengangguk kecil meski dia tak bisa melihat. “Iya sih … biasanya ada kamu. Sekarang jadi sepi banget,” aku mengakui.
“Tuh kan,” tulisnya cepat. “Kalau aku ada di sana, kamu pasti udah tidur nyenyak sekarang.”
Aku tertawa kecil sebelum mengetik. “Bisa jadi. Tapi kalau kamu ada di sini, aku malah nggak bakal tidur cepat. Kamu pasti ngajak ngobrol terus atau … gangguin aku.” Balasannya datang lebih cepat dari yang kuduga.
“Gangguin? Maksudnya?” tanyanya, seakan pura-pura tidak mengerti.
Aku menggigit bibir, sedikit ragu untuk mengetik, tapi akhirnya aku mengirim balasan. “Ya, suka curi-curi cium pas aku nggak sadar.”
Butuh beberapa detik sebelum Arga membalas. “Kok kamu sadar sih? Berarti selama ini pura-pura ya?” balasnya dengan nada menggoda.
Aku membelalakkan mata, buru-buru mengetik balasan. “Nggak gitu maksudnya!”
“Hmmm … Jadi besok aku boleh curi cium lebih banyak?” godanya lagi.
Aku mendengus pelan, pipiku terasa panas meski dia tidak ada di sini. “Lihat nanti!” jawabku singkat.
Tapi Arga tidak membiarkanku lepas begitu saja. “Alya.”
Aku terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengetik. “Apa?”
“Aku beneran kangen.”
Aku terdiam sejenak. Rasa hangat menjalar di dadaku, membuat jari-jariku sedikit gemetar saat membalas pesannya. “Aku juga, Kak.”
“Kalau gitu, cepat tidur. Besok aku datang lebih pagi, jadi kita bisa sarapan bareng,” tulisnya.
Aku tersenyum kecil, memeluk bantal erat-erat. “Janji?”
“Janji. Sekarang, tutup mata, tarik napas pelan-pelan, dan bayangkan aku ada di samping kamu,” balasnya lagi.
Aku menutup mata, mengikuti instruksinya, lalu mengetik perlahan. “Aku bayangin, tapi tetap beda rasanya.”
“Besok nggak perlu bayangin lagi, karena aku bakal ada di sana,” balasnya. “Sekarang, tidur ya? Aku nggak mau kamu kelelahan.”
Aku mengangguk kecil sebelum membalas. “Oke. Selamat tidur, Kak Arga.”
“Selamat tidur, Sayang. Mimpi indah.”
Aku mendekap ponsel di dadaku, membayangkan seandainya Arga benar-benar ada di sini. Senyum masih tersisa di bibirku saat akhirnya aku terlelap dalam rasa rindu yang sedikit berkurang.
---
Aku masih setengah sadar ketika aroma harum menyelinap ke hidungku. Perlahan, mataku terbuka, dan di hadapanku, Kak Arga berdiri dengan senyum hangat, membawa nampan berisi dua piring sarapan.
"Selamat pagi, sayang. Aku buatkan sarapan favoritmu," katanya lembut, meletakkan nampan di samping tempat tidur.
Aku menggeliat malas, lalu menarik selimut menutupi setengah wajahku. "Aku masih ngantuk ..." gumamku manja, berharap dia mengerti kodeku.
Kak Arga hanya terkekeh, lalu duduk di tepi ranjang. "Yakin mau tidur lagi? Aku udah susah-susah masak, lho," godanya, menyodorkan sendok kecil berisi suapan pertama ke arahku.
Aku mengerjap, lalu tanpa berpikir panjang, menyandarkan kepalaku ke bahunya. "Nanti aja makannya. Aku mau dipeluk dulu ..." ujarku, berusaha terdengar semanja mungkin.
Dia menghela napas kecil, tetapi tangannya langsung merangkulku dengan hangat. "Dasar mahasiswa manja," bisiknya, sebelum mengecup puncak kepalaku.
Aku masih menyandarkan kepalaku di bahunya, menikmati kehangatan tubuhnya yang selalu membuatku nyaman. Kak Arga mengusap rambutku perlahan, jemarinya bermain di sela-sela helai rambutku dengan lembut.
"Kamu itu ya, makin lama makin manja," bisiknya di telingaku, suaranya terdengar dalam dan menggoda.
Aku hanya meringkuk lebih dekat, jemariku memainkan ujung kaosnya. "Emang nggak boleh? Aku cuma mau dipeluk terus ..." jawabku lirih, menggigit bibir sambil melirik ke arahnya.
Dia terkekeh, lalu menangkup wajahku dengan kedua tangannya, menatap mataku penuh sayang. "Kamu tuh selalu boleh apa aja ..." ucapnya sebelum mengecup keningku, lalu turun ke pipiku, dan akhirnya mendaratkan ciuman lembut di bibirku.
"Kamu tahu nggak, Alya?" bisiknya, suaranya rendah dan menggoda.
Aku menelan ludah, jantungku berdebar tak karuan. "Tahu apa?" tanyaku pelan, mataku tak lepas dari tatapannya.
Dia tersenyum kecil, lalu mendekat, wajahnya hanya sejengkal dariku. "Kalau kamu itu selalu bikin aku nggak bisa tahan buat nyium kamu," ucapnya tepat sebelum bibirnya menyentuh bibirku.
Aku terkejut sesaat, tapi langsung tenggelam dalam ciumannya yang lembut dan mendalam. Aku bisa merasakan kehangatan yang selalu membuatku nyaman. Tanganku terangkat, menggenggam kaosnya erat, menariknya lebih dekat.
Kak Arga sedikit menjauh, tapi hanya beberapa senti. "Hm … pagi-pagi udah bikin aku ketagihan," gumamnya dengan suara berat, membuat pipiku semakin panas.
Aku tersenyum kecil, menggigit bibir bawahku sendiri. "Yaudah, cium lagi aja," bisikku menantang, menatapnya dengan penuh godaan.
Kak Arga tertawa kecil sebelum kembali menutup jarak di antara kami. Kali ini, ciumannya lebih dalam, lebih lama, dan semakin membangkitkan debaran di dadaku.
Pagi ini benar-benar terasa hangat… dan berbahaya.
