Pustaka
Bahasa Indonesia

Ranjang Panas untuk Dosen Hyper

54.0K · Tamat
seduhansenja
52
Bab
1.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

21+ "Jika kamu mau uang untuk pengobatan adikmu, berikan perawanmu kepadaku," ujar Argantara, memberikan penawaran yang cukup menggiurkan. Alya Annita, mahasiswa berprestasi yang mengandalkan beasiswa untuk bertahan hidup, terpaksa mengambil keputusan gila demi menyelamatkan adiknya yang sakit. Dalam keputusasaan, ia menjual dirinya kepada Argantara—dosen yang dingin dan penuh wibawa, yang ternyata adalah ayah dari anak yang dia ajar. Perjanjian mereka seharusnya berakhir ketika tujuan Alya tercapai, tetapi pesona Arga terlalu menjerat. Ia tak bisa pergi begitu saja. Bukan lagi soal uang, melainkan tentang kebutuhan batinnya yang hanya bisa dipenuhi oleh pria itu. Namun, semakin dalam ia terjerat, semakin besar pula resiko yang mengintai—karena di sisi Arga, perasaan tak pernah cukup untuk mengubah takdir yang telah mereka langgar. Akankah Alya bertahan dalam dunianya yang kini penuh ketergantungan? Atau justru hancur dalam jeratan yang ia ciptakan sendiri?

RomansaBillionaireDosenDewasaPerselingkuhanOne-night StandKampusKehidupan SosialNovel MemuaskanPsikopat

Bab 1 - Dosa dan Kenikmatan

Aku mendongkak menatap wajah Kak Arga yang masih berada di bawahku, “Kak ...  lagi,” ujarku merengek setelah pertempuran kami selesai beberapa menit yang lalu.

Matanya yang tengah terpejam seketika terbuka mendengar permintaanku, “Ya, Sayang?” Sedang tangannya tak berhenti mengusap punggungku.

Aku yang merasa tak mendapatkan apa yang kuinginkan, perlahan melepaskan pelukan dan menjauhkan diri dari jangkauannya, rasa sedih kembali menyelimutiku setelah mendapat penolakan ini. Padahal, yang kuminta bukanlah satu hal yang mewah.

“Kamu masih pengen, Sayang?” ujarnya merapatkan badannya kepadaku. Ia menarik tubuhku dengan lembut dan dibawanya ke dalam pelukan yang selalu menenangkan.

Dengan segera, kugelengkan kepalaku, rasanya, keinginan itu tak lagi memuncak. Bahkan aku merasa malu karena sudah memintanya terlebih dahulu.

“Mahasiswaku ini sudah berani berbohong, ya, sekarang? Heum?” ujarnya gemas menciumi rambutku. Aku tak menjawab perkataan dia satupun, entah kenapa hatiku merasa sedih dengan apa yang ia lakukan.

Detik berikutnya, Kak Arga menarik daguku, ia menatapku dengan tatapan yang tajam dan penuh gairah. Perlahan tapi pasti, ia mendekatkan keningnya dan memangkas jarak di antara kami. Badanku tertegun seperti biasa, aku seolah terhipnotis oleh paras rumawan nan dewasa ini. Aku tak pernah bisa menolak kenikmatan yang diberikan oleh dosen hyperku ini.

"Kak Arga ..." suaraku berbisik lembut, tapi cukup untuk menggema di kamar ini. Aku seakan melupakan rasa marah yang beberapa menit lalu masih bisa kurasakan.

"Ya, Alya?" Kak Arga menjawab dengan nada rendah. “Kenapa kamu selalu datang padaku, Alya?” suaranya pelan, hampir seperti bisikan.

Aku tidak menjawabnya. Mungkin karena aku sendiri belum tahu jawabannya. Aku hanya tahu bahwa ketika bersamanya, aku merasa lebih tenang, lebih ringan, seperti dunia di luar sana tidak lagi membebani pundakku. Tubuhnya adalah candu bagiku dan aku tak bisa sedetik saja lepas dari pelukannya. Ah, seungguh miris jika melihat siapa diriku sebenarnya.

Kak Arga mengangkat tangannya, menyentuh pipiku dengan begitu lembut, seakan takut membuatku kembali menjauh. Aku menutup mata sesaat, menikmati sentuhan itu, sebelum akhirnya ia menunduk, mendekatkan wajahnya padaku.

Bibirnya menyentuh bibirku, pelan dan hati-hati, seolah memberi ruang bagiku untuk menolaknya—tetapi aku tidak ingin menolaknya. Aku membiarkan diriku terhanyut dalam ciumannya, dalam cara ia menekan bibirnya sedikit lebih dalam, hangat dan menggetarkan.

“Eungh ...,” eluhku menikmati setiap sentuhan yang selalu membuatku merasa gila.

Tangannya bergerak ke belakang kepalaku, jemarinya menyusup di antara helaian rambutku. Aku bisa merasakan debaran di dadaku semakin kencang, seolah tubuhku mengenali betapa rapuhnya pertahananku jika berada di dekatnya.

Aku membalas ciumannya, membiarkan diriku larut dalam keintiman ini. Tidak ada kata-kata, hanya hembusan napas yang saling bercampur di antara keheningan kamar.

Saat aku membuka mata, aku melihat Kak Arga menatapku dengan sorot mata yang berbeda—bukan hanya keinginan, tetapi sesuatu yang lebih dalam dari itu. Aku tidak tahu apakah ini cinta atau hanya keterikatan sementara, tetapi untuk saat ini, aku tidak peduli. Aku hanya ingin tetap berada di sini, dalam dekapan Arga, setidaknya untuk malam ini.

“Sudah, Sayang?” tanyanya di sela-sela pergulatan kami. Aku menggelengkan kepala tanda menolak permintaannya. “Kamu mau apa, Sayang?” ucapannya dengan suara yang terdengar lebih serak dari sebelumnya, ya aku paham, ia sudah berada di puncak keinginannya. Tapi, ia selalu mempunyai cara untuk membuatku merasa puas dengan apa yang kami lakukan.

Kali ini, aku tak diam begitu saja, apalagi aku sudah merasakan ada benda yang menusuk di pangkal pahaku, seperti ia mengetahui dimana ia harus singgah. Aku menarik tengkuk Kak Arga dan melumat kembali bibir ranumnya, aku melakukannya dengan tak sabar seolah ini adalah malam terakhir aku bisa melakukan dengannya.

“Eungh ... Kak,” erangku tak lagi tertahankan. Badanku menggeliat meminta hal yang lebih.

Duniaku seakan runtuh, aku tak bisa berpikir jernih, rasanya ini sungguh nikmat. Kak Arga selalu memiliki cara untuk memuaskanku.

“Enak?” ujarnya memastikan. Tangannya yang semula memelukku kini beralih pada buah kesukaannya, ia perlahan mengusap dengan halus dan hati-hati, seperti seorang anak yang tak ingin mainnya rusak.

Pelukanku kian mengerat, ciumanku semakin menuntut lebih, bunyi decakan menggema di kamar penuh kenangan ini. Kakiku melebar seakan memberi ruang untuk dia melakukan lebih. Sungguh, aku tak mengerti kenapa badanku selalu meminta lebih.

“Kak Arga ... tolong,” kupegang tangan Kak Arga yang tengah memainkan puncak buah kesukaannya dengan segera, meminta untuk melakukannya lebih cepat. Tak kusangka, Kak Arga melepas pagutan kami, berpindah untuk menyesap seperti bayi yang tengah menyusu, satu tangannya ia gunakan untuk menyangga badan kekarnya, dan satu lagi masih setia memainkan kembarannya.

Aku menggigit bibir bawahku, mencoba tak melepaskan suara apapun, tapi sungguh ini sangat menyiksa. Kini aku berada dalam kungkungannya, kukalungkan kakiku pada badannya dan menciptakan persatuan tanpa jarak.

“Kak ... Aku nggak kuat,” ujarku dengan terbata. Sungguh, aku selalu meminta lebih dari sekedar apa yang Kak Arga berikan.

Kak Arga mengambil tanganku dan menarik menuju kepemilikannya yang sudah menjulang tinggi, keras, dan berotot. Begitu gagahnya sama seperti sang empunya. Kuusap dengan gerakan naik turun secara perlahan yang berhasil membuat Kak Arga mengerang.

“Alya,” ujarnya memberi peringatan. Aku tau jika perlakuanku ini adalah kelemahan baginya, tapi aku tak ingin menyelesaikannya begitu saja. Kugerakkan lagi dengan tempo yang lebih cepat, seolah memberikan kekuatan baru baginya.

“Jangan, Alya,” ujarnya kembali mengulum bibirku, ia mencoba mengalihkan perhatianku saat ini, tetapi aku tak menghiraukannya sedikitpun. “Basah banget, Sayang,” ujarnya setelah tangannya menggapai miliku, ia menggerakan jarinya seakan memberi peringatan kepadaku untuk menghentikan aktivitasku.

“Eungh ...” lenguhannya lagi. Aku menggerakannya dengan cepat, bahkan lebih cepat dari biasanya. Kak Arga melepaskan kembali pagutan kami dan menyesap puncak kenikmatannya pada buahku.

Seperti tak mau kalah, Kak Arga juga menaik turunkan jarinya, mengabsen milikku seakan taku ada satu hal yang terlewat.

“Nggak kuat, Kak,” ujarku lemah setelah merasakan jarinya memasuki milikku dan mengeluarkannya dengan pelan. Ini sangat menyiksa! Sungguh!

Bukannya berhenti, Kak Arga melakukannya dengan tempo yang lebih cepat, milikku seakan teraduk antara kenikmatan dan rasa lemas yang melanda secara bersamaan.

“Kak ... Adek ... nggak kuat,” ujarku merapatkan pahaku. Tetapi, Kak Arga berhasil menahannya dengan kedua kakinya. Ia melakukannya tanpa tertahankan, edangkan tanganku sudah menjauhi miliknya. Aku memeluk tubuhnya dengan erat seakan meminta energi darinya.

Nafasku tersengal, badanku lemas setelah mengeluarkan cairan bening, “Wah ... banyak banget, Sayang. Padahal Kakak belum loh,” belum sempat aku menjawab, ia kembali memasukkan jarinya, kali ini dengan gerakan yang sangat lambat. Aku merasa seperti berada dalam dunia lain. Geli, hanya itu yang kurasakan.

Setelah dirasa cukup, Kak Arga membungkam mulutku yang tak berhenti berucap. Lalu, ia menenggelamkan miliknya dengan sekali hentakan.

“Eungh,” eluhku tertahan.