Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 - Malapetaka di Kampus

Mobil yang dikendarai Kak Arga melaju dengan tenang di jalanan yang semakin padat, sementara aku duduk di sampingnya, mengeluarkan makanan yang sudah kami bawa. Aku tahu dia sering kali sibuk dan tidak punya banyak waktu untuk makan, jadi aku ingin sedikit membantu untuk kali ini, ah setiap kali kami bersama lebih tepatnya.

"Hey, kamu makan dulu ya," kataku sambil membuka kotak makan dan mengambil satu suap untuknya. "Jangan lupa makan, kamu pasti lapar, hari ini sepertinya akan sedikit sibuk di kampus."

Kak Arga tersenyum tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan, tangannya tetap mantap di setir. "Aku nggak mau makan sambil nyetir, nanti kamu malah khawatir," katanya dengan tawa ringan.

"Tapi kamu harus makan, Kak," balasku sambil mengangkat sendok dan mengarahkannya ke mulutnya. "Ini nggak enak kalau dimakan kelamaan, nanti kalau udah di kampus kamu malah nggak sempat makan."

Akhirnya, Kak Arga mengangguk dan menerima suapan itu. "Hmm, enak juga," katanya dengan senyum yang terlihat puas, meski pandangannya tetap fokus pada jalan.

Aku melihatnya, merasa senang bisa melakukannya. "Aku senang bisa membantu," kataku sambil menatapnya dengan tatapan penuh perhatian.

Arga menoleh ke arahku sejenak, matanya penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Alya. Kamu selalu tahu caranya membuat hari-hariku lebih baik."

Arga terus mengemudi dengan tenang, namun aku bisa merasakan betapa nyaman dan dekatnya kami di saat seperti ini. Aku menyuapkan sedikit makanan lagi, tangan kami bersentuhan sejenak saat sendok berpindah dari tanganku ke mulutnya. Ada kedekatan dalam setiap gerakan, meskipun sederhana.

"Rasanya jadi lebih enak kalau kamu yang nyuapin," katanya sambil tersenyum, matanya menyiratkan rasa sayang yang dalam.

Aku merasa pipiku memanas sedikit mendengar kata-katanya. "Ya? Aku juga merasa begitu," jawabku pelan, tersenyum malu. "Mungkin karena ini, momen kecil yang terasa berarti."

Arga melirikku sejenak dengan senyuman lembut di wajahnya. Tangan kirinya yang sedang memegang setir tiba-tiba meraih tanganku, menggenggamnya erat, seolah ingin memastikan bahwa kami tetap terhubung meski sedang fokus pada jalan.

Suapan demi suapan berhasil mendarat dengan sempurna, tak terasa, makanan di pangkuanku sudah habis tak tersisa. Sedangkan perjalanan ke kampus masih setengah jam lagi. Ah, sungguh berada di kota besar membuatku harus banyak menghabiskan waktu di jalanan seperti ini.

"Makasih ya, Alya," katanya dengan suara yang penuh kehangatan. "Aku suka banget kalau kita bisa melakukan hal-hal kecil seperti ini bersama."

Aku menatapnya dengan penuh perhatian, hatiku terasa hangat. "Aku juga," jawabku, suaraku lembut. "Rasanya seperti waktu berjalan lebih cepat ketika aku bersama kamu."

Arga menoleh sebentar, mata kami bertemu. Sebuah senyum tulus muncul di wajahnya, dan aku bisa merasakan betapa berartinya kebersamaan ini bagi kami berdua. Dalam keheningan yang menyelimuti mobil, kami terus melaju, saling berbagi sentuhan, tawa, dan kehangatan dalam setiap detiknya.

Sesampainya di cafe dekat kampus, aku memintanya untuk turun, ya, aku akan melanjutkan perjalanan ke kampus dengan menggunakan ojek online, aku takut jika ada seseorang yang melihat kami berangkat secara bersamaan dan mencurigai adanya hubungan di antara kami.

Aku mencium pipi kirinya sebagai tanda terimakasih, hal yang sudah biasa kulakukan. Tetapi pada pagi ini, ia membuat gerakan yang mengejutkan. Ia menahan lenganku yang akan membuka pintu mobil, "one more time, please," ujarnya memohon.

"Tapi, Kak. Ini di area kampus, aku tak ingin mengambil resiko, ini terlalu berbahaya."

Kak Arga tak menghiraukan peringatanku, ia mendekatkan badannya dan meraih daguku, entah kapan ia berhasil melepas seat bealt yang di kenakannya.

"Eungh, Kak," ujarku mencoba menolak ketika ia berhasil menyatukan bibir kami. Kudorong dadanya pelan, menjauhkan dari jangkauannya.

"Eungh," eluhannya setelah berhasil menahan tengkukku, sedang tangan yang bebas itu ia gunakan untuk mengelus pipiku.

Aku mulai memejamkan mataku, menikmati sentuhan-sentuhan dari dosen tercintaku ini, ia selalu bisa membuatku tak berdaya dengan setiap sentuhannya. Tangannya mulai menyelinap di balik kemeja yang kukenakan. Perlahan, ia mengusap perut datarku, menyebabkan rasa geliku kian meningkat.

"Eungh, jangan, Kak," ujarku di sela pertautan bibir kami yang masih berlangsung. Jika hal ini terus dibiarkan, maka aku yakin, ia akan membutuhkan waktu lebih lama untuk menyelesaikannya.

Begitulah Kak Arga, semakin dibantah maka ia semakin berani. Kali ini ia memaksa masuk untuk menyentuh buah kesukaannya, mengelusnya dan bermain-main seolah tengah menggambar suatu hal yang abstrak. "Kak, aku pengen," ujarku pada akhirnya. Pertahananku  runtuh, aku tak lagi bisa menolak sentuhannya. Dan kali ini aku menginginkan hal yang lebih dari ini.

Mendengar pemintaanku, Kak Arga dengan segera melepaskan tangan dari tengkukku dan menyelinap masuk ke dalam celana yang ku kenakan.

"Basah, Sayang," ujarnya menggoda dengan menghentikan aktivitasnya secara tiba-tiba.

"Kak," ujarku tercekat. Tatapanku begitu memohon. "Ayo, Kak."

"Sebentar lagi masuk, Sayang," ujarnya dengan suara serak.

Aku melihat ada yang mencoba merangsak keluar dari celana yang dikenakan Kak Arga, tanpa ragu, aku meraihnya dan menggenggam dengan begitu kuat, "Ah, jangan, Sayang," ujarnya seraya menahan suaranya.

Aku tak bergeming sedikitpun. Aku harus memastikan bahwa ia juga merasakan apa yang sedang kurasakan, dan itu sangat menyiksa.

***

Aku duduk di hadapan Kak Arga di ruang bimbingan, menatap layar laptopku dengan pura-pura fokus. Beberapa mahasiswa lain juga sedang berkonsultasi dengan dosen mereka, membuat suasana ruangan terasa sibuk dan serius. Pikiranku masih tertuju pada aktivitas kami di dalam mobil beberapa waktu yang lalu, jika seperti itu rasanya, aku memilih untuk menyetujui ajakannya membolos di hari ini.

Kak Arga terlihat tenang seperti biasa, membaca draft skripsiku dengan ekspresi yang begitu serius. Tak ada yang akan menyangka bahwa tadi pagi, dia baru saja menanamkan kecupan di wajahku sebelum kami memutuskan untuk berpisah.

"Alya, bagian ini perlu direvisi. Aku butuh penjabaran kamu yang lebih dalam tentang analisis datanya," katanya dengan nada profesional.

Aku mengangguk cepat. "Baik, Pak."

Matanya sedikit menyipit saat aku menyebutnya Pak, tapi dia tetap menjaga ekspresinya tetap netral. Tidak boleh ada yang tahu tentang hubungan kami.

Tiba-tiba, seorang mahasiswa lain—Reza, teman satu angkatanku—datang dan duduk di sebelahku. "Alya, nanti setelah bimbingan, kamu ada waktu nggak? Aku butuh bantuan buat bahas metodologi."

Aku hendak menjawab ketika aku merasakan tatapan Kak Arga mulai mengeras. Tapi tentu saja, dia tidak bisa menunjukkan reaksi apa pun di depan mahasiswa lain.

Aku menelan ludah dan menjawab dengan hati-hati, "Bisa, kok. Nanti kita diskusi di perpustakaan aja, ya?"

Reza tersenyum. "Oke, terima kasih banyak, ya!"

Aku bisa merasakan ketegangan dari arah Kak Arga, meskipun dia berusaha menyembunyikannya dan bersikap tak acuh.

Ketika sesi bimbingan sudah selesai dan mahasiswa lain mulai beranjak pergi, aku baru saja akan mengemasi barang-barangku ketika Kak Arga berbisik pelan, cukup dekat hingga hanya aku yang bisa mendengarnya.

"Jangan terlalu dekat sama Reza."

Aku menatapnya, menahan senyum. "Kenapa? Cemburu?" godaku pelan.

Arga hanya menatapku dalam sebelum berbisik lebih dekat. "Mungkin. Dan aku nggak suka."

Hatiku berdebar lebih cepat. Aku tahu betul betapa posesifnya dia terhadapku. Tapi justru itulah yang membuat pernikahan rahasia ini semakin penuh warna—permainan perasaan yang harus kami mainkan tanpa boleh ketahuan siapa pun. Aku memberikan sebuah kedipan menggoda sebelum pergi meninggalkannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel