Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab - Pagi yang Berbeda

Cahaya matahari pagi menerobos masuk melalui celah tirai apartemen, menyelimuti ruangan dengan kehangatan yang lembut. Aku mengerjapkan mata, merasa tubuhku masih lelah. Seluruh kejadian tadi malam kembali terlintas di benakku—setiap sentuhan, setiap bisikan, setiap tatapan yang tertinggal di antara kami seakan menjadi saksi bagaimana gagahnya seseorang di sampingku ini.

Aku menoleh dan menemukan Arga masih terlelap. Napasnya teratur, dadanya naik turun dengan tenang. Wajahnya yang biasanya terlihat tegas dan serius di kampus, kini tampak begitu damai dalam tidurnya. Aku tersenyum kecil, membiarkan jari-jariku menyusuri garis rahangnya yang kokoh.

Aku menggigit bibir, ada sesuatu yang berkecamuk di dalam dadaku. "Aku menginginkannya lagi." Tak mungkin, aku tak bisa melakukannya terus menerus, apalagi perjanjian yang kami lakukan harusnya sudah berakhir dari lama.

Jantungku berdegup lebih cepat. Aku tidak menyesali apa yang terjadi, tapi aku tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa hubungan ini tidak seharusnya terjadi. Aku dan dia ... dosen dan mahasiswa. Tapi, perasaan itu hilang ketika adanya kepuasan yang hadir dalam diriku.

Seolah merasakan sentuhanku, Arga mengerang pelan sebelum membuka matanya yang masih setengah mengantuk. "Eungh." Dia menatapku dengan tatapan lembut, lalu tersenyum kecil.

"Pagi, Sayang," gumamnya dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur, membuat jantungku semakin berdebar.

Aku menoleh cepat. Mata Arga sudah terbuka, menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan—hangat, lembut, tetapi juga penuh sesuatu yang lain. Aku menggigit bibir, merasa jantungku berdebar melihatnya seperti ini—begitu dekat, begitu nyata.

"Pagi," bisikku sambil tersenyum.

Tiba-tiba, tangannya melingkari pinggangku dan menarikku lebih dekat hingga wajah kami hanya berjarak beberapa senti. "Kamu bangunin aku cuma buat natap gini? Nggak ada perlakuan yang lebih, gitu?" tanyanya menggoda, napasnya yang hangat menyapu wajahku.

Aku tertawa kecil. "Aku suka kalo lihat Kakak tidur, tenang banget wajahnya" jawabku dengan jujur.

Arga terkekeh mendengar jawabanku, lalu tanpa peringatan, bibirnya mengecup keningku cukup lama. "Kalau gitu, aku lebih suka lihat kamu pas baru bangun kayak gini, gemesin banget bikin aku pengen terus tiap saat," bisiknya sebelum menurunkan kecupan ke ujung hidungku, lalu akhirnya mendaratkan bibirnya di bibirku.

Aku terkesiap saat ciumannya semakin dalam. Awalnya lembut, pelan, seolah menikmati setiap detik kebersamaan kami. Tapi perlahan, genggamannya di pinggangku mengerat, dan ciuman itu berubah menjadi lebih dalam dan menuntut. Tanganku secara refleks melingkar di lehernya, menariknya lebih dekat. Bibir kami bergerak selaras, semakin dalam, semakin membuatku kehilangan arah.

"Eungh." Aku mendesah pelan saat jemarinya menyusuri punggungku, menarikku semakin dekat hingga tidak ada ruang di antara tubuh kami. Aku bisa merasakan degup jantungnya yang berpacu sama cepatnya dengan milikku. Napas kami berpadu dalam ritme yang sama, seolah hanya ada kami berdua di dunia ini.

Ketika akhirnya ia menarik diri, aku masih terengah, wajahku terasa panas. Kak Arga menatapku, ibu jarinya menyapu bibirku yang sedikit membengkak akibat ciuman kami barusan.

"Aku bisa cium kamu seperti ini setiap pagi?" suaranya terdengar rendah, nyaris seperti bisikan.

Aku tersenyum malu, lalu mengangguk. "Iya ... tapi Kak, kita harus siap-siap ke kampus."

Ia mendesah pelan, seolah enggan beranjak. "Sebentar lagi aja ..." ujarnya sambil menarikku ke dalam pelukannya lagi, membuatku tertawa kecil dan menyembunyikan wajahku di dadanya.

Aku tahu kami harus segera bangun, tetapi untuk saat ini, aku hanya ingin menikmati momen ini lebih lama—momen di mana hanya ada aku dan Kak Arga, terbungkus dalam kehangatan yang tak ingin aku lepaskan.

Saat kami akhirnya menarik diri untuk menghirup udara, mata Arga menatapku penuh intensitas. "Gimana kalau kita bolos aja hari ini?" bisiknya, suaranya terdengar begitu menggoda.

Aku tertawa kecil, menempelkan dahiku ke dadanya. "Kak, kita nggak bisa. Aku ada bimbingan ... sama teman tidurku sendiri," godaku.

Arga mendesah pelan, lalu mengecup puncak kepalaku. "Baiklah, jika itu maumu. Tapi nanti malam, kamu harus mau membayar ini semu, tanpa ampunan."

Aku tersenyum kecil, menyembunyikan wajahku di dadanya. Hari ini mungkin akan penuh sandiwara di kampus, tapi setidaknya, pagi ini hanya milik kami berdua.

"Bukankah Kakak harus pulang ke rumah? Ingat. Kakak mempunyai anak yang masih membutuhkan perhatian, Kakak," ujarku memperingati.

"Hari ini, Rindam pergi ke rumah neneknya dan aku sudah memberikannya izin. Jadi, aku bebas menginap di mana saja, termasuk di apartemenku ini," ujarnya mengertkan peukannya. Mendengar hal itu membuat perasaanku sedikit mencelos, ya, seharusnya dari awal aku tahu bahwa hubungan kami ini tak akan pernah bisa bersatu dalam ikatan yang resmi. Akan tetapi, pesona yang Kak Arga miliki tak mampu membuatku menyerah.

Dia tersenyum, lalu menarikku lebih dekat. Wajahnya kini hanya beberapa inci dari milikku. "Kamu menyesal?" tanyanya pelan, nada suaranya serius tetapi tidak memaksa.

Aku terdiam. Aku tidak tahu apa yang harus aku jawab. Menyesal? Tidak. Tapi aku juga tidak yakin dengan apa yang aku rasakan.

Arga menatapku lebih dalam. "Alya, apapun yang kamu rasakan, kamu bisa bicara sama aku."

Aku menghela napas, mengumpulkan keberanian. "Aku ... aku hanya takut, Kak."

Alisnya sedikit berkerut. "Takut apa?"

Aku menghindari tatapannya, jemariku menggenggam erat selimut yang menutupi tubuhku. "Kita. Aku dan Kakak. Hubungan ini ... Kalau orang lain tahu, kalau kampus tahu ... aku tidak tahu apa yang akan terjadi."

Arga terdiam sejenak, lalu tangannya mengangkat daguku agar aku kembali menatapnya. "Alya, dengar baik-baik." Suaranya rendah, tetapi tegas. "Aku nggak akan membiarkan apapun atau siapapun menyakiti kamu. Aku janji."

Janjinya terdengar begitu meyakinkan, tetapi tetap saja... aku tidak bisa mengabaikan kekhawatiranku. "Tapi—"

Sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku, Arga mengecup keningku lama. Aku memejamkan mata, membiarkan sensasi itu menghangatkan hatiku. "Kita bisa pelan-pelan, Alya. Kita bisa cari cara," bisiknya. "Yang penting sekarang, aku ingin kamu percaya sama aku."

Aku merasa jantungku berdegup lebih kencang saat Arga melumat bibirku dengan lembut. Rasanya seperti waktu melambat, dan aku seolah terhanyut dalam sentuhan itu. Aku tidak tahu bagaimana bisa merasa begitu nyaman, begitu aman di dekatnya. Perlahan, aku menyentuh pipinya, merasakan hangat kulitnya yang lembut. Setiap gerakan, setiap sentuhan, terasa begitu memikat dan menggetarkan. Saat bibir kami berpisah sejenak, aku mendongak untuk menatap matanya. Ada sesuatu di sana—sebuah perasaan yang sulit dijelaskan, namun begitu jelas aku rasakan.

Aku menatapnya, mencoba mencari makna dari tatapannya yang penuh ketulusan. Ada perasaan hangat yang menyelimutiku, seakan dunia di sekitar kami menghilang sejenak.

"Kenapa kamu selalu membuat aku merasa seperti ini?" aku akhirnya bertanya, suaraku agak bergetar, namun aku tak bisa menahan rasa yang meluap.

Arga tersenyum lembut, tangannya menyentuh pipiku dengan hati-hati. "Karena aku ingin kamu tahu, Alya," katanya, suaranya terdengar rendah namun penuh kehangatan, "bahwa aku ada di sini untukmu, selalu."

Aku merasakan detakan jantungku semakin cepat mendengarnya. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti janji, sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Aku ingin menjawab, tapi tak ada yang perlu aku katakan. Perasaan ini, yang tumbuh di antara kami, jauh lebih kuat daripada kata-kata yang bisa kami ucapkan.

Aku menarik napas dalam-dalam dan mengangguk perlahan. "Aku merasa begitu tenang setiap kali bersamamu," kataku dengan suara yang lebih lembut, hampir berbisik. "Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan semuanya."

Arga menatapku dengan penuh pengertian, matanya bersinar dengan kelembutan. "Tak perlu dijelaskan," jawabnya. "Kita bisa merasakannya bersama, tanpa perlu kata-kata."

"Satu permainan di pagi ini, Sayang? Dan kamu pemimpinnya."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel