4. Penyiksaan Lagi
"Duduklah di pangkuanku, Babby!" perintah Anton dengan suara yang memikat. Anton adalah pria yang telah membayar untuk waktu Rani malam ini. Meski perasaan malu dan enggan bergelora dalam dada Rani, ia tetap menaati perintah tersebut dan menempatkan dirinya di pangkuan Anton, menghadap ke samping.
Rani saat ini sedang berada di sebuah bar dengan seorang pria yang sedang menyewanya. Pria yang berada di usia awal 40-an ini mengenalkan dirinya sebagai Anton. Situasi di bar itu semakin intim; lampu redup dan musik yang mendayu membuat suasana diantara mereka semakin intim. Rani terlihat biasa saja saat tangan Anton beberapa kali menyentuh bagian tubuhnya disela pembicaraan pria itu dengan temannya.
Anton menyingkap sedikit rambut Rani, "Kamu sangat wangi, Baby," bisik pria itu di telinga Rani.
"Om-" Rani mulai, namun terputus.
"Call me Daddy!" Ujar Anton memperbaiki panggila Rani untuknya sekaligus menegaskan dominasinya dengan senyum yang hampir tak terlihat.
"Uhm, Daddy.. Aarrgghhh..." gumam Rani, namun kata-katanya tersengal ketika mendadak Anton menggigit lehernya dengan penuh nafsu. Teriakan kecil Rani melayang ke udara, seiring dengan detak jantungnya yang kian berpacu, mengaduk-aduk emosi dan ketakutan yang bertautan dalam dirinya.
Anton terkekeh, dia semakin mengeratkan rangkulannya pada pinggang Rani hingga membuat gadis itu merasa tidak nyaman. Entah kenapa malam ini Rani merasa seperti akan ada hal buruk terjadi padanya.
Dengan gerakan cepat, Anton menarik tengkuk Rani dan langsung menyambar bibir ranum gadis itu yang disambut dengan senang hati oleh gadis itu. Rani, meskipun terbiasa dengan perannya sebagai sugar baby, ia tetap bisa merasakan gejolak tidak nyaman tiap kali dirinya dipaksa melayani keinginan para pria yang menyewanya.
Lima menit berlalu, bibir mereka masih bersatu dalam irama yang memabukkan. Rani yang merasa kekurangan oksigen pun mulai mendorong Anton perlahan. Dia tidak tahan. Anton yang tidak rela berpisah, malah mengalihkan serangannya ke leher jenjang Rani yang hari ini memakai gaun pendek yang memperlihatkan siluet pahanya yang mulus dan hanya disangga dua tali tipis di bahu yang menambah kesan menggoda.
Rani menggigit bibir bawahnya saat merasakan lidah Anton menggoda area selangkangannya sementara sorak ramai dapat ia dengar dari belakang punggungnya.Sekuay tenangan ia menahan malu sekaligus tangis. Ia bertanya-tanya, mengapa ia harus hidup dengan cara ini?
Tak lama, di saat Rani masih terkunci dalam ketidaknyamanan yang menyiksa, Anton dengan tiba-tiba menariknya untuk berdiri. "Kami harus pergi sekarang," bisik Anton kepada pria di sebelahnya, yang hampir terlupakan oleh Rani keberadaannya. Dengan tatapan dingin, pria yang sedang menikmati rokoknya itu hanya mengangguk.
"Pergilah!" Ujar pria itu sambil mengibaskan tangannya. "Lagian aku tidak sudi melihatmu menunggangi p*lacur itu di sini." lanjutnya, menyulut gelak tawa Anton yang pecah.
Anton segera menarik tangan Rani, membawanya entah kemana. Sementara itu, firasat buruk mencekam dada Rani, saat ia mencoba melepaskan diri dari cengkraman Anton, namun pria itu dengan kuat mencengkram pergelangan tangannya, tidak membiarkan Rani lepas.
Dalam momen keputusasaan, Rani berbalik, matanya menyapu pria yang datang bersama Anton tadi. Tatapan mengiba yang ia lontarkan hanya dibalas dengan dingin dan tidak berperasaan oleh pria itu.
“Lepas!” teriaknya putus asa, saat Anton terus menariknya semakin dalam ke sebuah lorong yang sepi dan kelam.
"Tidak sekarang, Babby! Tidak sampai aku puas bermain denganmu!" Anton mengucapkannya dengan senyum yang menyiratkan niat jahat yang meluap-luap di matanya.
Rani merinding, ketakutan melilitnya erat. Perjuangannya untuk melepaskan diri semakin kuat. Di ujung lorong, di depan sebuah kamar, Anton menghentikan langkahnya. Rani, dengan segenap kekuatannya, mencoba untuk menggigit tangan yang mengurungnya itu. Namun, setiap usaha tampaknya sia-sia di hadapan kekuatan laki-laki yang membekap kebebasannya. Anton sama sekali tidak bergeming saat Rani menggigit tangannya, ia justru semakin terburu membuka pintu dan melemparkan Rani pada ranjang berukuran king size di tengah ruangan.
"Malam ini, aku tak akan membiarkanmu lepas." Suara Anton menggema dengan nafas berat, menghunjam seolah belati tajam, menikam relung hati Rani. "Malam ini kau milikku, aku sudah membeli waktumu malam ini dengan sangat mahal. Jadi, biarkan aku mencoba kelezatan tubuhmu. Berhentilah berontak dan layani aku." Kakehan dalam kata-kata pria itu meninggalkan rasa menjijikkan yang merasuki setiap sudut jiwa Rani.
Rani menundukkan kepala sambil bibirnya komat-kamit melafalkan doa kepada Tuhan ketika merasakan dekapan dingin ketakutan saat Anton mendekat. Meski ia adalah pendosa, ia percaya masih ada hak untuk memohon perlindungan-Nya, terlebih dalam ujian seperti ini. Saat detak jantung yang semakin tak karuan, Rani menanti mukjizat. Untuk kali ini, ia sangat berharap jika bantuan akan datang padanya
Bugh
Tiba-tiba, sekelebat bayangan hitam datang dari arah belakang. Rani hanya sempat menangkap sosok itu sebelum pukulan mendarat di punggung Anton dengan ganas, membuat Anton tersungkur ke lantai dan kehilangan kesadarannya seketika. Sosok itu adalah pria yang datang bersama Anton tadi.
"Apa yang kau tunggu? Cepat pergi dari sini." Bentak pria misterius tersebut. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan dengan gerakan yang tegas, dia menekan beberapa tombol di ponselnya.
"Cepatlah ke sini!" ucapnya tegas ke pihak di seberang sana, setelah itu pandangannya tajam menyapu Rani yang masih terpaku di tempatnya.
Ketika tatapan matanya yang seperti bisa membaca jiwa itu tertuju pada Rani, gadi itu seolah mendapatkan dorongan untuk bangkit. Tubuhnya yang gemetar berusaha untuk kembali berdiri. "Te.. terima kasih," kata Rani dengan suara yang tersendat-sendat, seakan kata-kata itu terasa berat untuk diucapkan. Dengan sisa keberanian yang dimilikinya, dia segera bangkit dari posisinya dan melarikan diri dari situ.
~*~
Rani sampai di rumah pukul tiga sore. Malam sebelumnya, setelah mengalami hal tidak mengenakan dari pria yang menyewanya, ia memutuskan tidak pulang dan memilih menginap di sebuah hotel. Peristiwa seperti itu bukanlah hal asing baginya; para pria yang menyewanya seringkali ingin lebih daripada yang diizinkan, namun biasanya mereka menurut saat Rani menolak. Namun, malam itu berbeda—Anton tidak bisa menerima penolakan dan dengan paksa menuntut keinginannya yang membuat Rani sedikit trauma.
Saat memasuki pekarangan rumah, Rani dapat melihat pot-pot bunga milik ibunya dulu berserakan dimana-mana. Dengan tergesa-gesa Rani masuk kedalam rumahnya untuk memastikan sesuatu. Saat sampai di ruang tengah, sebuah pemandangan mengerikan menyambutnya—ayahnya tergeletak tak berdaya di lantai, dengan darah yang telah mengering. Melihat itu, Rani spontan menjerit dan menghambur mendekat ke arah ayahnya.
Tubuh Rani gemetar, dada sesaknya membuatnya nyaris tak bisa bernapas. Dunia tampak berputar-putar, seolah tiap detik membawa teror yang tak terhindarkan saat ia menemukan ayahnya tergeletak lemah dengan memar-memar menutupi seluruh wajah. Suaranya serak oleh ketakutan, Rani mencoba mengguncang ayahnya, berharap ada respon.
Detik berlalu yang terasa seperti tahun, sebelum akhirnya ayahnya perlahan-lahan membuka mata. Rani merasa lega sesaat, sebuah napas pendek memenuhi paru-parunya. Namun ketenangan itu tidak bertahan lama saat tiba-tiba ayahnya bangkit, dan sebuah tamparan keras yang menghantam pipinya
PLAKK
"Anak tidak tahu diri!" teriak ayahnya. "Karena kau, lihat apa yang terjadi padaku! Kau harus merasakan sakit yang sama!"
Rasa sakit dari tamparan itu masih terasa saat ayahnya mengangkat tangannya lagi, siap untuk pukulan berikutnya.
Rani jatuh tersungkur saat tamparan itu kembali menghantam pipinya. Namun rasa sakit itu tidak seberapa dari pada sakit hatinya yang dilanda kekecewaan yang mendalam serta rasa pengkhianatan- mengapa orang yang seharusnya melindunginya malah menjadi sumber ketakutannya? Belum sembuh luka yang diterimanya kemarin, kini ia harus mendapatkan kembali luka lainnya dari orang yang sama, orang yang seharusnya menjadi cinta pertamanya.
Rani tergolek lemah, ia terisak tanpa suara dengan air mata mengalir deras membasahi pipinya yang pucat. Tidak berhenti di situ, sang ayah terus saja melanjutkan keganasannya pada tubuh kecil Rani hingga membuat gadis itu terhempas tak berdaya. Setiap upaya Rani untuk menghindari injakan brutal sang ayah itu gagal karena tubuhnya yang sudah tak mampu lagi menopang rasa sakitnya. Sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya nyaris membuatnya kehilangan kesadaran.
Rani merasakan perutnya seperti terkoyak saat sang ayah dengan sengaja menginjak perutnya seolah setiap napasnya seperti belati yang menusuk. Sang ayah berhenti menyiksanya saat benar-benar memastikan Rani sudah tidak berdaya. Pria itu, tanpa rasa bersalah naik ke lantai atas entah dengan tujuan apa. Apakah penyiksaan hari ini telah selesai?
Namun Rani tidak memiliki tenaga lebih untuk menebak apa yang akan ayahnya lakukan setelah ini, dengan sisa tenaganya, Rani berusaha kabur dengan menyeret kakinya yang terasa ngilu karena berkali-kali di injak oleh ayahnya.
Sambil terus berjalan, Rani menangis meratapi nasibnya juga menahan sakit yang ia rasakan. Dan ketika ia hampir mencapai gerbang kebebasan, sebuah mobil meluncur cepat ke arahnya. Rani berteriak, seketika pikirannya dihantui bayangan maut yang mengintai. Namun, dalam sentakan yang mengejutkan itu, mobil tersebut menghentikan laju, hanya beberapa inci dari tubuhnya yang gemetar. Di tengah teror dan sakit, nasib masih menyisakan belas kasihan untuknya.
