3. Penyiksaan
Rani terpaku, matanya berkaca-kaca saat ia melihat Arumi yang ceria berlari mendekati sosok papahnya yang berdiri gagah di samping mobil mewah. Rasa iri menggigil dalam dada Rani; sebuah perasaan suram menyelimuti hatinya. Kapan terakhir kali ia merasakan kedekatan semacam itu dengan papanya? Sepertinya... tidak pernah. Ayahnya tidak pernah ada untuknya seperti yang papa Arumi lakukan, tidak pernah ada untuk menjemputnya dengan hangat di gerbang sekolah.
Walaupun siluet papa Arumi hanya tampak dari belakang, namun postur tubuh pria yang ia perkirakan 40-an tahun yang kokoh itu seperti benteng tak tergoyahkan, pelindung bagi putri kecilnya. Ironis, betapa pemandangan itu seolah menghunjam duri ke dalam hati Rani, memperdalam iri yang sudah bertaut.
"Ran.." suara Arumi yang ceria memecah lamunan Rani, "Mau pulang bareng, nggak?" Tawarnya, sambil mencondongkan tubuhnya ke jendela mobil yang terbuka.
Rani hanya mampu menggeleng pelan. Tangannya memberi isyarat penolakan lemah, seakan terdapat tembok tebal yang menghalanginya untuk menerima tawaran itu. Dadanya sesak, hatinya remuk; ia tidak kuat lagi menyaksikan kebahagiaan Arumi yang hanya akan membuatnya iri.
"Baiklah... sampai jumpa besok, okey!" suara Arumi yang ceria terdengar begitu menyakitkan di telinganya. Rani hanya mampu mengangguk, suaranya terkunci oleh kesedihan yang merajalela dalam dadanya. Air matanya menahan diri, saat menyaksikan Arumi yang dibahagiakan oleh sang papa.
Rani termenung, jiwanya meronta. Kapan ayahnya akan memberi kebahagiaan serupa seperti papa Arumi atau para ayah lainnya di dunia ini? Pertanyaan itu terus berputar dalam benaknya: pantaskah ia menyebut ayahnya sebagai cinta pertamanya, seperti yang sering dikatakan orang tentang hubungan ayah dan anak perempuannya?
Sulit bagi Rani untuk mencintai seorang ayah yang dengan tega menjualnya demi uang, yang tak pernah melindunginya namun penuh kekecewaan. Meski penuh luka, Rani tetap menyayangi lelaki itu, menanti hatinya yang retak bisa sembuh, entah sampai kapan dia mampu bertahan dengan kegetiran yang menyiksa jiwanya.
~*~
"Babby girl, kenapa kamu melamun?" Tanya seseorang yang berada di samping Rani. Pria itu adalah pria hidung belang yang saat ini menyewa Rani untuk menemaninya.
"Nothing, Daddy." Jawab Rani sekenanya, kembali bersikap ceria dengan memamerkan senyuman palsunya. Sudah tiga hari ia menjalani pekerjaan sebagai wanita panggilan, dan ia sudah mulai merasa terbiasa dengan interaksi pria-pria seperti ini.
Pria itu membalas senyuman Rani, kemudian menarik tubuh gadis itu agar semakin merapat dengannya. Rani sudah mulai terbiasa berada sangat dekat dengan pria semacam ini. Tubuhnya sudah tidak sekaku seperti pertama kali ia dijual oleh ayahnya.
"I want to kiss you, righ now." Bisik lelaki hidung belang itu di telinga Rani.
Rani menggeliat tidak nyaman, namun inilah pekerjaannya. Ia harus menahan diri untuk tidak memberontak jika tidak ingin ayahnya yang telah menjerumuskannya ke dunia gelap ini marah jika ia tidak menuruti keinginan pelanggannya.
"Jangan di sini, Daddy. Ada anak kecil." Rani membalasnya dengan berbisik, sambil matanya melihat keadaan sekitar. Saat ini mereka sedang berada di salah satu restoran yang cukup ramai dengan para pengunjung berbagai usia.
Pria yang menjadi pelanggan Rani itu hanya tersenyum menyeringai dan mulai menggiring Rani meninggalkan restoran. Rani hanya bisa pasrah ketika pria hidung belang itu mulai beraksi, menjamah tubuhnya dengan penuh nafsu setelah mereka sampai di dekat mobil tanpa mereka sadari jika sepasang mata menyaksikan apa yang mereka lakukan di parkiran yang cukup sepi itu.
~*~
Srakk..
"Argghh.." Jeritan Rani memecah kesunyian malam saat ayahnya, tanpa peringatan, brutal menarik rambutnya seketika ia melangkah masuk ke dalam rumah. Sakit yang menyeruak dari kepala hingga tulang sumsum membuat air matanya tidak tertahankan.
"Apa yang kau lakukan, hah?" Suara sang ayah menggema keras di telinga Rani, napasnya menyentuh wajah yang sudah basah oleh air mata. Tangan ayahnya semakin mengencang, Rani merasakan setiap helai rambutnya seakan akan tercabut dari akarnya.
"Kenapa kau menolak ajakan Tuan Baron? Dia sudah membayar mu sangat mahal dan sekarang, ia meminta uangnya kembali karena ulahmu!" Rani hanya bisa menggeleng lemah, tak kuasa membalas. Betapa hina dan rusaknya hatinya, merasa dirinya hanya sebagai barang jual beli yang tak berharga di mata ayahnya sendiri. Rasa sakit bukan hanya dari fisik, tetapi juga luka di hati yang teriris-iris, menggambarkan betapa rusaknya dunianya karena penolakannya pada permainan yang mengerikan itu.
Rani hanya bisa menangis ketika untuk pertama kalinya sang ayah melayangkan pukulan ke arahnya. Selama ini ayahnya tidak pernah memukulnya, tapi hari ini, hanya karena ia menolak keinginan sang pelanggan, ia tidak hanya menerima pukulan, tendangan demi tendangan juga menghujani tubuh lemahnya, setiap tendangan memicu kilatan rasa sakit yang tak tertahankan hingga akhirnya kesadarannya melayang.
Suara langkah kaki ayahnya yang menjauh bergema di telinganya, berpadu dengan rasa sakit yang memuncak, sebelum kegelapan sepenuhnya menyelimuti pandangannya. Ayahnya tidak henti-hentinya melampiaskan kemarahannya hingga Rani jatuh tak berdaya, terkapar, kehilangan segala daya untuk melawan.
~*~
Pukul lima pagi, Rani terbangun dengan tenggorokan yang terasa seperti terbakar, kekeringan yang tak tertahankan memaksanya merangkak menuju dapur. Rasa sakit menyiksa setiap inci tubuhnya, tetapi keinginan untuk bertahan hidup mengalahkan rasa sakit itu. Di dapur, botol air mineral yang dingin di dalam kulkas adalah oasisnya. Dengan tangannya yang gemetar, ia menggapai dan menghabiskan isinya, air mata membanjir seolah menceritakan kisah pilu yang baru saja terjadi.
Setiap teguk air terasa mengalirkan kesegaran, namun tak mampu menghapus penderitaan hatinya yang meradang. Hari ini, kemarahan dan kekecewaan pada ayahnya kian menggunung. Pria itu bukan hanya tidak pernah melindunginya dengan kedua tangannya, tetapi juga menggunakan tangannya itu untuk menyiksanya.
Rani merasa muak yang menyelimuti jiwanya; dia benci akan perlakuan ayahnya yang kejam. Ia tidak ingin menjadi wanita penggoda, selama hampir seminggu ia menjalani pekerjaan ini, ia berusaha untuk menjaga kehormatannya di tengah pekerjaan hinanya.
Sekali lagi, ia menarik napas, mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya dan berjalan kembali ke kamar. Ia harus pergi sekolah. Ia tidak ingin mau beasiswa yang ia dapatkan di cabut karena sudah dua kali dalam seminggu ini Rani membolos sekolah. Ia harus terus bersekolah, ia harus mengubah nasibnya, tidak seperti malam yang suram ini.
Rani mematut dirinya di depan cermin dengan pandangan sedih. Wajahnya dipenuhi oleh lebam-lebam merah bekas tamparan sang ayah. Rani berusaha menutupi lebam-lebam itu dengan foundation. Ia juga sengaja mengurai rambutnya untuk menutupi bekas kissmark yang diberikan oleh pelanggannya di lehernya kemarin.
Sekali lagi, Rani menekan dadanya yang terasa sesak mengingat apa yang sudah ia lakukan selama ini dan apa yang sudah ia alami beberapa waktu ini. Ia ingin pergi dari hidup yang menyedihkan ini. Ia ingin lari dari pekerjaan hina, namun ia tidak bisa karena ia hanyalah seorang gadis lemah.
Rani segera berangkat sekolah begitu selesai menutupi bekas lukanya. Ia bahkan melewatkan sarapannya karena ia yang tiba-tiba kehilangan selera makannya saat mengingat penyiksaan ayahnya.
