2. Di Jual Ayah
Rani tiba di rumahnya pada pukul sembilan malam, dengan kondisi kelelahan juga seragam sekolahnya kusut di balik sweter yang ia kenakan. Pagi hingga sore di sekolah, dan selepas itu, ia langsung mengejar pekerjaan paruh waktu. Ketika langkahnya baru melintasi pintu, suara sang ayah membuyarkan lamunannya.
"Dari mana saja kamu?" tanya sang ayah dengan nada mencurigakan.
"Habis sekolah, Aku mencoba mencari pekerjaan, Pah." suara Rani pelan, menggambarkan keletihan yang menumpuk.
"Hasilnya gimana?" Ayahnya tidak menyembunyikan rasa tak pedulinya.
Belum sempat Rani menghela napas, kepalanya menggeleng lemah, "Belum ada yang mau menerimaku."
"Kau mencari kerja di mana saja?" Desakan ayahnya kian keras, suara itu seakan mendorong Rani ke sudut.
"Beberapa cafe, Pah. Tapi mereka tidak membutuhkan pekerja paruh waktu," jawabnya, suara bergetar, harapan nyaris pupus.
"Ayolah, tidak usah merengek mencari pekerjaan di tempat itu. Toh, gajinya pun pas-pasan," sang ayah berkata dengan nada merendahkan.
Rani mengerutkan keningnya, "Papa punya rekomendasi tempat kerja dengan gaji yang layak untukku?" tanya Rani, matanya memandang penuh harap. Sang ayah mengangguk, senyum misterius terukir di wajahnya. "Oh yahh... Di mana, pah?" desakan Rani meningkat, hatinya bergemuruh dengan semangat yang dibangkitkan kembali.
Senyuman licik yang tersungging di wajah sang ayah menambah teka-teki. "Persiapkan dirimu. Aku akan bawa kau ke sana." ucapnya, sambil memberi isyarat misterius dengan tangannya yang bergerak lincah, seolah memotong segala bentuk pertanyaan yang mungkin terlontar dari bibir Rani.
"Sekarang juga, Papa?" tanya Rani dengan nada mendesak.
"Iyaaaahhh Rani.. Astagaaa! Kamu banyak tanya! Sana cepat ganti bajumu.!" perintah sang ayah dengan suara yang mendadak meninggi, sebuah peringatan bahwa kesabarannya mulai menipis.
"Baik, papah." Rani yang merasa sang ayah sudah mulai tidak sabar segera berjalan cepat menuju ke kamarnya untuk mengganti bajunya sebelum ayahnya benar-benar marah dan menghancurkan benda-benda di sekitarnya seperti sebelum-sebelumnya.
Setelah mengganti pakaiannya, Rani kembali menemui ayahnya di ruang tengah. Saat ia berdiri di depan sang ayah, ia merasa seperti di bawah sorotan yang menegangkan. Ayahnya meneliti penampilannya dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan tatapan yang tajam.
"Oh astaga... Kau tidak akan laku dengan penampilan jelek seperti itu!!" Ujar ayahnya dengan nada meremehkan, tangan terlipat di dada.
"Maksud, papah?" Rani mengerutkan kening, tidak mengerti saat mendengar kalimat 'tidak laku' yang keluar dari mulut sang ayah.
Untuk sesaat sang ayah terlihat gelagapan, panik saat menyadari jika ia telah salah berbicara. Namun hal itu tidak lama, ia segera memperbaiki kalimatnya dan menyulam kembali suasana. Napasnya tercekat, wajahnya memerah karena panic sejenak sebelum ia kembali menenangkan diri. "Maksud ku, kamu tidak akan keterima kerja jika penampilan mu biasa-biasa saja seperti itu. Gantilah dengan dress yang seksi... Uhm maksud ku, yang elegan!" saran sang ayah, berusaha memperbaiki pilihan katanya dengan suara yang lebih lembut.
Sebelum Rani sempat menanggapi, ayahnya cepat menambahkan, "Ah, jangan lupa tambahkan sedikit polesan makeup di wajahmu agar tidak terlihat pucat." Tambah ayahnya.
"Baik, papa," jawab Rani dengan suara yang patuh namun lirih, sebelum ia berbalik pergi, mencerna setiap kata yang barusan terucap.
~*~
Di tengah keramaian klub malam yang berkedip dengan lampu neon berwarna-warni, Rani merasa tarikan tangan ayahnya yang semakin kuat. Musik yang menggelegar membuat dadanya sesak, namun lebih sesak lagi ketika menyadari ke mana ayahnya membawanya. "Papah, kita mau ke mana? Kenapa kita di sini?" teriak Rani mencoba mengatasi kebisingan.
Tanpa memandang wajah Rani, sang ayah hanya menariknya lebih dalam ke dalam kerumunan. Cahaya strobo yang berkedip-kedip menerangi wajah ayahnya yang tampak serius. Rani yang mengenakan dress setengah lutut dengan makeup tipis yang menghiasi wajahnya mencoba menarik tangannya kembali, namun gagal. "Papah, aku takut! Pah dengarkan aku!" ratapnya, namun suaranya tenggelam oleh dentuman bass yang keras.
Mata Rani memanas, air mata mulai mengumpul di kelopak matanya saat ia menyadari jika ayahnya tidak akan menggubrisnya. Di antara keramaian dan lampu yang menyilaukan, Rani merasa terperangkap dan tak berdaya, sambil terus bertanya-tanya apa yang telah membawa ayahnya untuk mengajaknya ke tempat seperti itu.
"Dengar.." ujar sang ayah sesaat setelah mereka sampai di ujung tangga lantai dua, area vip. "Kau hanya perlu menemani mereka, menuangkan minuman saat mereka minta dan kita akan mendapatkan bayaran mahal tanpa perlu bekerja keras. Mudah bukan?" Ayahnya memberikan senyuman menenangkan dan tatapan meyakinkan.
Rani menggelengkan kepalanya. Ia menatap ke segala arah dengan ketakutan yang nyata tergambar jelas di matanya. Rambutnya yang terurai dan gaun merah yang dikenakannya tampak tidak nyaman di tubuhnya. "Ini tidak benar, papah! Aku tidak mau! Aku takut! Mereka... Mereka semua terlihat aneh."
"Itu hanya ketakutan mu saja,, ayo!" Ujar sang ayah sambil menarik lengan Rani. Rani ingin protes, namun tubuhnya seketika membeku saat sang ayah menawarkannya ke beberapa pria hidung belang yang sedang duduk di meja VIP, menikmati minuman mereka. “Hallo tuan-tuan sekalian! Perkenalkan, ini Rani!" Ujar sang ayah dengan nada membanggakan, seolah menawarkan barang berharga. "Dia bisa menemani malam kalian dengan sangat menyenangkan."
Para pria itu memandang Rani dari atas ke bawah, matanya serakah dan penuh nafsu. Rani merasa jijik dan terhina, tapi dia terlalu takut untuk bergerak atau berbicara. Jantungnya berdetak kencang, dan dia merasa seolah-olah setiap detik di sana adalah siksaan.
Rani merasa wajahnya memerah, dan dia ingin berlari menjauh, tetapi sang papa menahannya dengan senyuman lebar. Para pria hidung belang itu menatap Rani dengan senyuman lebar, dan salah satu dari mereka, seorang pria berambut perak dengan jas yang rapi, berkata, “Selamat datang, Rani! Kami sangat senang melihat wajah segar di sini!”
Mata Rani memandang hampa, air mata hampir jatuh dari pelupuk matanya. Tiba-tiba, ayahnya menarik lengannya dengan kasar, tatapannya begitu tajam sehingga Rani merasa seakan akan tatapan itu bisa menembus jiwanya. “Jangan biarkan dirimu hancur oleh kelemahanmu sendiri, Rani. Gunakan akal dan kecerdikanmu untuk bertahan di dunia ini. Ingat, tak ada yang bisa menyelamatkanmu kecuali dirimu sendiri," bisik ayahnya dengan suara serak yang bergema di telinga Rani, membuatnya bergidik ngeri.
Rani merasakan sakit di dalam dada, marah pada ayahnya yang seakan tak mengenal belas kasihan. Sang ayah, yang sudah dikuasai oleh ketamakan dan kehilangan semua nurani, telah sanggup menjual putri kandungnya sendiri ke lembah hitam pelacuran demi segelintir uang. "Apa lagi yang kau tunggu? Segera layani mereka, agar kita bisa segera mendapatkan uang," desak ayahnya dengan nada datar tanpa empati.
Mengumpulkan seluruh keberanian yang ada, Rani menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menahan air mata. Dengan langkah gontai namun pasti, ia mengangguk pelan, lalu melangkah perlahan mendekati kelompok pria yang menunggunya. Malam ini, siap tidak siap, ia harus menghadapi malam yang akan menguji segala batasan keberaniannya.
