1. Ayah Yang Kejam
Namanya Rani Rosella, lebih dikenal dengan sapaan Rani. Usianya baru saja melewati 18 tahun dua bulan yang lalu. Anak dari keluarga yang tampak utuh namun hancur di dalam—bukan perceraian yang merobek mereka, tapi konflik tanpa henti. Hari-harinya layaknya berada di medan perang yang tak kunjung usai. Ayahnya, dulu seorang pengusaha yang kini terpuruk karena kecanduan judi yang meruntuhkan segalanya hingga ibunya terpaksa menanggung beban hidup yang seharusnya tak sepenuhnya jadi tanggungannya. Perjuangan ibunya yang tak kenal lelah demi kelangsungan hidup mereka seolah menjadi saksi bisu kehancuran yang mendalam dalam kehidupan Rani.
Bruuaakkk
'Sialaaan'
Brrraaakkk
'Bajingaann'
Seperti biasa, pagi Rani selalu di awali oleh pertengkaran kedua orangtuanya. Tidak hanya saling melempar kalimat cacian dan makian, mereka juga tidak jarang akan saling menghancurkan apapun yang dapat dijangkau oleh tangan mereka. Menyadari hal ini, Rani akan memilih mendekam di kamarnya sampai keadaan kembali tenang.
Ayahnya termasuk pria yang cukup beruntung karena semenjak usahanya bangkrut dua tahun yang lalu, ibu tidak meninggalkannya, tapi sebagai gantinya tabiat ibunya semakin hari semakin berubah. Ibunya yang dulunya adalah seorang wanita yang sangat lemah lembut berubah menjadi wanita yang temperamen.
Brakkk
Brakkk
Brakkk
'Rani, keluar..'
Rani yang sedang melamun terkesiap saat mendengar gedoran keras di pintu kamarnya di susul dengan teriakan tidak sabar ibunya yang menyuruhnya untuk membuka pintu. Tanpa sadar Rani bergetar takut saat mendengar teriakan keras ibunya yang terdengar sangat menggebu.
Bruuaakkk
'Kau mau apa hah?' itu adalah suara ayahnya yang terdengar sangat marah. 'Jika kau ingin pergi maka pergilah sendiri, jangan bawa-bawa anakku'
Brrraaakkk
'Bajingaann... Kau mau memberi makan anakku dengan apa jika dia tetap tinggal denganmu? Kau mengurus diri sendiri saja tidak bec-'
Plaakkk
Aaahhh
'Keluar dari rumahku, sialan...'
Duukkk
Bruuaakkk
Aaahhh
Pertengkaran itu kembali pecah di depan pintu kamarnya.
"Hentikan, Papa!" jerit Rani dengan suara yang bergetar, menelan ketakutan yang mendalam. Ia berlari membuka pintu kamar, didorong oleh ketakutan akan keselamatan ibunya. Di ambang pintu, terpampang ayahnya yang berdiri tegap, tangannya terangkat, siap menerjang. Di bawahnya, ibunya terduduk lemah dengan memar nyata membingkai wajahnya.
Dengan detak jantung yang berpacu, Rani ingin melangkah, ingin meraih dan memeluk ibunya. Namun, tatapan tajam dan dingin dari ayahnya seperti tembok penghalang, mengunci langkah dan suaranya dalam penjara ketakutan yang mendalam.
"Rani, ayo kita tinggalkan neraka in.. Aaahhh.." Ajakan ibunya yang penuh keputusasaan terpotong ketika ayahnya dengan brutal menarik rambutnya hingga terdengar suara teriakan menyayat hati.
"Papa berhenti Papa!! Lepaskan mama ku!" Rani berteriak dengan suara yang getir. Teriakan itu berhasil memaksa ayahnya untuk melepaskan cengkeramannya.
Mata ayahnya yang dingin menatap tajam. "Kau hanya punya dua pilihan, tetap di sini atau pergi tanpa Rani!" Ayahnya memberikan pilihan.
Ibunya, berdiri dengan kesakitan dan kemarahan yang nyata di wajahnya, menatap ayahnya dengan pandangan penuh kebencian dan kesedihan yang mendalam. "Dasar bajingan!" teriaknya dengan suara yang gemetar. Ketika matanya bertemu dengan mata Rani yang penuh harap, tatapannya perlahan menjadi lembut dan menyayat hati. "Maaf, mama tidak bisa membawa mu sekarang, tapi mama janji mama akan menjemputmu suatu saat nanti.. Selamat tinggal, sayang." katanya dengan suara bergetar. Ia meninggalkan Rani dan ayahnya, dengan langkah yang berat dan pandangan yang tidak pernah menoleh kembali.
"Mama..." suara Rani bergetar lembut, nyaris tidak terdengar, saat sosok ibunya menghilang dari pandangan, meninggalkannya. Momen ini menjadi titik balik dalam hidup Rani, di mana dia harus belajar untuk menemukan kebahagiaan di tengah perpisahan.
"Sudah?" Suara sang ayah, memotong lamunan Rani dengan nada yang hampir tak berperasaan. Tatapan Rani yang semula hampa kini terisi dengan kebingungan mendalam. "Wanita sialan itu sudah pergi, dan mulai saat ini, kau yang akan mengambil alih tugasnya untuk mencari uang untukku!" seru sang ayah dengan nada kasar, memutuskan nasib putrinya tanpa tedeng aling-aling.
Rani mengangguk, "Aku akan mencari pekerjaan paruh waktu untuk bisa memenuhi kebutuhan kita." jawabnya dengan suara bergetar, nyaris tak terdengar. Rani sudah menyangka jika beban ini akan jatuh ke pundaknya, mengingat ayahnya yang tak bertanggung jawab.
"Memang sudah seharusnya kamu mengerti. Sekarang, kembali ke kamarmu. Istirahatlah, karena besok kamu harus mulai mencari pekerjaan," tegas sang ayah tanpa secercah simpati di raut wajahnya.
~*~
Rani baru saja memasuki gerbang sekolah ketika senyuman hangat Arumi menyambutnya. Gadis cantik berambut brunette dan mata yang berkilau cokelat itu, adalah sinar di dunia Rani—sahabat sejati yang tak pernah mempedulikan lekuk status sosial. Di saat rimbunnya ejekan memojokkan Rani, Arumi adalah perisai yang selalu siap melindungi.
Rani dan Arumi berjalan bersama di koridor yang tengah ramai. Sinar iri menyala dari mata para siswi, sementara desis siulan nakal terdengar dari beberapa siswa cowok yang terpukau dengan kecantikan Rani. Jika Arumi adalah siswi terkaya di sekolah tersebut maka Rani adalah siswi tercantik dan terseksi. Ironisnya, keindahan Rani menjadi duri dalam daging bagi teman-teman wanitanya. Rani sering menjadi sasaran iri dan ejekan dari teman-temannya, khususnya karena kecantikan itu dianggap tak sepadan dengan latar belakangnya yang hanya putri dari seorang pengusaha bangkrut. Namun, Arumi selalu ada di sampingnya, menenangkan dan memperkuatnya di tengah kerasnya lingkungan sekolah.
"Bagaimana weekend-mu kemarin?" Tanya Arumi dengan tampang innocent, sambil berjalan bersama menuju kelas.
"Suram, kemarin ibu sampai meninggalkan rumah," jawab Rani dengan suara serak, mata sayu nya menatap ke lantai.
Mendengar itu, Arumi seketika berhenti, wajahnya yang sebelumnya tenang berubah menjadi pucat, sebuah cemas mendadak menghiasi ekspresinya. Dengan gerakan tiba-tiba, dia menggenggam tangan Rani, menariknya lebih cepat menuju kelas.
"What are you doing, Ar?" Rani bertanya, bingung dengan tingkah spontan sahabatnya itu.
Arumi tak menjawab, hanya sudut matanya yang berair, genangan air mata tampak berjuang untuk tidak jatuh. Melihat itu, Rani menelan lump di tenggorokannya. Di tengah kepahitan hidupnya, Arumi tetaplah Arumi, gadis yang selalu peduli, yang selalu ada saat ia paling membutuhkan.
"Lalu sekarang kamu hanya tinggal berdua dengan dia? Apa dia juga memukul mu, hm?" tanya Arumi, dengan suara bergetar sambil menyusuri pandangan di sekitar tubuh Rani, mencari tanda-tanda memar atau luka. 'Dia' yang dimaksud adalah ayah Rani yang begitu dibenci Arumi karena sering menjadi sumber air mata sahabatnya.
Rani menggelengkan kepalanya, "Tidak, papa tidak pernah memukul ku." Ia berhenti sejenak, suara bergetar, "Uhm mungkin belum, tapi dia menyuruhku menggantikan peran mama untuk mencari uang." Lanjut Rani berusaha tegar.
Kesedihan mendalam terpancar dari wajah Arumi, tangisnya pecah mendengar pengakuan Rani itu. "Sudah kukatakan berkali-kali, Ran, kamu harus meninggalkan neraka itu." Pelukannya erat, mencoba memberi kekuatan pada Rani. "Jika mama mu sudah sampai memutuskan untuk pergi, itu artinya sudah tidak ada yang bisa diselamatkan dari ayahmu." Suaranya menggema penuh empati, berharap dapat menyadarkan sahabatnya akan realitas pahit yang harus dihadapi.
"I can't. Aku-.. Aku tidak tahu kenapa kenapa aku tidak bisa pergi dari sana." Rani menjawab dengan isakan yang semakin membuat Arumi semakin dirundung kesedihan. "Kemarin mama juga mengajakku untuk ikut dengannya, tapi entah kenapa rasanya berat sekali bagiku meninggalkan papa sendirian."
"You can live with me. Tanpanya, kamu bisa lebih baik." Arumi mendesak dengan suara penuh kepastian, matanya menatap Rani penuh harap, menggenggam tangan sahabatnya itu erat-erat.
"Tapi—" suara Rani tercekat, sebelum bisa melanjutkan, Arumi memotongnya tegas.
"Shut up! Percayalah padaku, Ran." Potong Arumi cepat, membuat Rani akhirnya mengangguk.
"But not today, aku akan meminta bantuanmu saat aku sudah tidak kuat tinggal di sana."
"But- "
"Please! Tolong hargai keputusan ku." Rani memohon dengan suara yang mendesak, membuat Arumi terdiam, tidak lagi bisa berargumen. Ia hanya bisa memeluk sahabatnya itu, mengirimkan kehangatan dan dukungan melalui dekapan, meskipun hatinya terasa hancur melihat Rani terperangkap dalam situasi yang begitu menyakitkan.
"Please, segera hubungi aku jika kamu dalam masalah."
"Aku akan melakukannya."
