Bagian 9
Hujan itu akan terus turun walaupun dia tau jatuh itu sakit
Ku buka mataku karena cahaya yang begitu menyilaukan. Kepalaku terasa dihantam palu dan badanku sungguh pegal juga terasa panas. Aku mengerjapkan mata. Yang pertama aku cari adalah sosok Dirga yang sudah tidak ada di tempat dia bekerja semalam. Lalu aku mengambil handphoneku dibawah bantal, jam sudah menunjukan pukul sepuluh pagi. Seketika mataku melebar. Kulihat sudah ada lima missed call. Semua dari Winni. Lalu kubuka Lineku, ternyata juga dari Winni dengan isi :
From Winni
Apakah kamu sakit Hanna?. Aku menelepon kamu beberapa kali dan menelepon ke rumah, tapi tidak ada yang mengangkat.
Dalam hatiku tentu saja tidak ada yang mengangkat karena aku disini dan Vinopun pasti bersama Sivia. Hatiku sakit karena kembali mengingat kisah rumah tanggaku yang sungguh menyedihkan. Tidak ada waktu untuk meratapi nasib rumah tanggaku. Aku segera menelepon Winni dan di dering ketiga dia mengangkat teleponnya.
"Halo Hanna?. Kamu kemana saja?. Aku menelepon kamu berkali-kali.” Katanya beruntun dengan nada cemas. Aku tersenyum karena perhatiannya.
"Maaf aku baru bangun, aku agak kurang enak badan hari ini, Winn. Bisa kamu tolong beritahu sekolah kalau aku ijin sakit?. Aku akan datang besok untuk membantu yang lain dalam persiapan berkemah." Balasku yang tidak terlalu merasa bersalah juga karena hari ini sekolah tidak ada kegiatan belajar mengajar. Sekolah hanya mengadakan berbagai perlombaan dan pentas seni karena memang Ujian Semester baru saja dihadapi dan untuk menunggu pembagian raport diadakan kegiatan bermanfaat untuk membuat murid-murid tidak merasa stres.
"Kamu sakit?. Apa sudah ke dokter?. Iya, aku akan memberi tahu Bu Gina. Tenang saja, jangan dipaksakan kalau memang besok masih sakit, Hanna."
"Tidak, sedikit tidak enak badan saja. Terima Kasih. Kalau begitu aku tutup teleponnya ya.”
"Ya, istirhatlah. Oh ya Rania menanyakanmu." Oh benar Rania, aku merasa bersalah karena tidak ke sekolah hari ini. Dia pasti kesepian. “Tolong beritahu dia kalau aku tidak enak badan dan maaf tidak bisa menemaninya hari ini.” Pintaku pada Winni.
"Baik."
"Kalau begitu terima kasih Winni, Bye." Aku mematikan sambungan teleponnya kemudian dengan gerakan lambat aku berjalan dan membuka pintu ruang pribadi Dirga. Aku berjalan dilorong kecil yang menghubungkan ruang kerja Dirga dengan ruang pribadinya, aku menguping apa Dirga sedang ada tamu atau tidak. Tidak terdengar apa-apa dan saat kuintip ternyata Dirga sedang meneliti berkasnya. “Dirga." Panggilku pelan, Dirga menoleh.
"Kamu sudah bangun?,” tanyanya dengan senyum yang membuat matanya menyipit seperti kucing. Senyuman yang selalu membuatku bahagia. Aku berbalik senyum padanya. “Maaf tadi malam aku mau menemani kamu bekerja, tapi aku malah tertidur dan sekarang aku baru bangun." Ungkapku merasa tidak enak.
"Tidak apa-apa, lagipula kamu menemani aku sampai pukul tiga pagi. Jadi wajar kamu baru bangun sekarang."
"Apakah kamu sudah tidur?,” tanyaku pelan mencoba nenyembunyikan kekhawatiranku.
"Sudah, sebentar.” jawabnya. Dia berdiri dari kursi kebesarannya dan mendekatiku. Aku bisa melihat dengan jelas lingkaran hitam dibawah matanya. “Jangan bohong." Kataku menatapnya agak tajam. Dirga malah tersenyum. "Baiklah aku tidak bisa bohong padamu. Aku belum tidur sama sekali." Jujurnya.
"Mau kubuatkan kopi?. Apa didalam bisa membuat kopi?. Apa kamu sudah makan?. Apa ada yang bisa kubuat didalam?.” Dengan beruntun aku mengajukan pertanyaan untuk Dirga. Bukannya menjawab, Dirga mendekat dan menggenggam tanganku kemudan menuntunku ke ruangan pribadinya. Aku di bawa ke pojok ruangan yang terdapat kitchen set kecil. Saat itu aku melihat ada roti, selai, kopi dan teh. “Karena kehidupanku lebih banyak dihabiskan disini jadi aku menyediakan ruangan yang seperti rumah ini." Seketika aku teringat pada Rania. Rania pasti kesepian dengan ayahnya yang selalu berada dikantor.
"Jangan terlalu sering disini, kasihan Rania." Ujarku dengan hati-hati. Tangan ku masih digenggamnya. Dirga tersenyum sambil mengangguk. “Ya sudah aku buatkan dulu minuman dan makanan.” Putusku. Aku melepaskan tangan dari genggamannya. Dirga duduk di kitchen bar. Sedangkan aku mulai membuat kopi dan teh juga roti bakar dengan selai.
"Kamu suka selai strawberry , coklat atau kacang?.”
"Kamu?.”
"Loh kok?.” Tanyaku heran. Kenapa Dirga malah bertanya balik?.
"Aku akan memakan apa yang kamu makan." Aku menghembuskan nafas dan kupilih selai cokelat. Setelah selesai membuatnya, aku meletakkan piring dan gelas di hadapannya. Kemudian kami makan berdua sambil mengobrol.
"Apa kamu tau?. Aku punya rahasia disekolah." Kataku random yang membuatnya menoleh dan menggeleng. Lucu melihat ekspresi wajahnya yang mendadak serius. Aku sedikit tertawa. “Aku senang mendengar decitan kursi bergerak. Ketika aku merasa kesepian, aku akan sengaja menggeser-geserkan kursi untuk mendengar decitan itu. Hatiku akan langsung menghangat karena dengan seperti itu aku akan merasa seperti ada anak muridku." Jelasku.
"Aku juga punya rahasia kecil," ucap Dirga
"Apa itu?.”
"Aku sebenarnya tidak bisa melihat darah. Aku akan pusing." Aku langsung tersedak dan menatapnya tajam tidak percaya. “Kamu tadi malam mengobati lukaku?.”
"Tidak apa-apa, lagian itu darahnya sudah berhenti."
"Tetap saja, pasti kamu malam agak pusing.”
"Sedikit," jawabnya polos dengan cengiran. “Itu tidak lucu Dirga. Jangan seperti itu lagi. Aku merasa tidak enak." Kataku dengan serius. Dirga hanya tersenyum melihatku.
Aku melirik jam yang ditampilkan di handphoneku. Sudah siang ternyata. "Bisakah aku pulang sekarang?. Aku ingin mandi dan aku takut ada yang datang." Ucapku agak menunduk.
"Kamu bisa mandi menggunakan kamar mandi disini. Aku akan mengantarmu, sekalian pulangnya aku akan menjemput Rania. Hari ini kebetulan sebentar lagi aku kedatangan orang yang ingin kerja sama dengan perusahaanku. Tidak apa-apa kan menunggu sebentar lagi?.”
"Baiklah, jika menurutmu itu yang terbaik. Kalau begitu aku akan mandi dulu."
"Aku akan telepon sekretarisku untuk membelikanmu baju ganti."
"Tidak perlu, aku tidak ingin merepotkanmu Dirga." Kataku tegas. Dia terlihat pasrah dan mengangguk. Aku berbalik kemudian masuk ke kamar mandi.
**
Setelah berendam selama satu jam dengan air hangat badanku agak membaik. Aku mengenakan kembali dress selututku. Saat aku akan mengintip Dirga, aku mendengar suara yang membuat langkahku terhenti. “Semoga anda akan menerima kerja sama ini Pak Dirga." Katanya.
"Iya, akan saya telaah terlebih dahulu proposal itu lalu saya akan memikirkannya Pak Vino." dan benar saja dugaanku itu suara Vino. Aku langsung bersandar pada dinding dan memegang dinding lorong ini.
"Kami menunggu jawaban anda," ucap seorang wanita yang kukenal suaranya sebagai suara Sivia.
"Tentu saya akan mengabari anda secepatnya."
"Oh iya anda mungkin bingung dengan perempuan yang berada disamping saya ini. Saya belum mengenalkannya. Dia adalah Sivia."
"Saya istrinya," tambah Sivia.
"Pasangan yang serasi. Salam kenal." Komentar dan sapa Dirga. Sivia pun menyapa balik.
"Baiklah kalau begitu kami pamit," ucap Vino.
Hatiku sakit rasanya saat Vino tidak membantah apa yang dikatakan oleh Sivia. Aku memang sudah tidak dianggapnya sebagai istri, tapi apa harus seperti ini caranya?. Baiklah, aku memang sudah harus tidak memikirkan lagi segala perlakuan Vino padaku. Itu sama saja dengan menyia-nyiakan hidupku sendiri. Mulai hari ini aku akan benar-benar diam saja. Tidak perlu berharap kalau suatu saat dia akan berubah dan menganggapkukembali sebagai istrinya. Aku hanya akan menjalani pernikahan diatas kertas.
Ah, ingin rasanya aku menampar mereka berdua saat ini, tapi aku tau itu akan membahayakan Dirga karena mereka akan mengetahui sesuatu antara aku dan Dirga. Lebih baik aku tahan saja emosiku.
"Hanna, kamu disitu?. Kamu tidak apa-apa?.” Tanyanya khawatir ketika melihatku berdiri mematung di lorong.
"Aku tidak akan lagi menyia-nyiakan hatiku disakiti olehnya." Putusku. Dirga tampak bingung, namun mungkin karena melihat tatapan mataku yang kosong akhirnya dia memelukku tanpa bertanya lagi. Dan tangisku untuk Vino untuk yang terakhir kalinya pecah. Aku meluruh dipelukannya. Dirga terus memelukku erat.
"Ada apa Hanna?,” tanyanya lembut sambil memelukku.
"Tadi..itu.... suamiku." Ucapku terbata-bata dan penuh isakan. Kurasakan tubuh Dirga menegang, tapi beberapa saat kemudian Dirga memelukku lebih erat lagi. Mencium puncak kepalaku berkali-kali.
"Ada aku disini." Dirga mengurai pelukannya dan menatapku. Aku masih sesenggukan. "Tolong jangan menangis sampai seperti ini Hanna." Dirga melihatku dengan khawatir. Tangannya dengan pelan merapihkan rambutku yang menempel diwajah karena air mataku. "Ayo kamu harus duduk dulu." Dia menuntunku masuk kembali ke dalam ruangan pribadinya kemudian mendudukkan aku di sofa. “Sekarang tarik nafas dalam-dalam, sebentar aku ambilkan minum." Dirga lalu berdiri dan mengambilkanku air putih.
"Terima Kasih," ucapku ketika aku menerima air putih yang diberikan Dirga.
"Kamu bisa cerita padaku kalau kamu ingin." Sesaat aku menimbang apa aku akan bercerita padanya. Ingin sekali rasanya aku bercerita pada Dirga, tapi jika aku menceritakannya itu adalah masalah keluargaku. "Mungkin nanti disaat yang tepat. Tapi satu hal yang aku bisa ceritakan, apa yang kamu lihat tadi itu benar. Suamiku tidak menganggapku sebagai istrinya. Mungkin dia sekarang mencintai Sivia." Jawabku sambil tersenyum padanya.
"Jika kamu sudah tidak memiliki perasaan padanya, kenapa tadi kamu sampai menangis seperti itu?.”
"Karena.... Aku merasa berarti pernikahanku sudah benar-benar hancur. Kamu tau sendiri kan setiap wanita berharap hanya menikah satu kali selama hidupnya. Tapi aku tidak bisa berharap jika sudah seperti sekarang ini." Aku tertawa getir. Kemudian dia menggenggam tanganku lembut.
"Kamu sudah mencoba bertahan sejauh ini." Katanya menghibur ku.
"Aku terlalu lemah Dirga."
"Tidak, kamu sangat kuat." Sanggah Dirga dengan cepat. “Kamu tau apa yang paling menarik dari hujan?.” Aku menggeleng. "Hujan selalu turun menyirami bumi walaupun hujan sendiri tau jatuh itu menyakitkan." Ujar Dirga dan aku mengernyitkan kening.
"Hujan juga tidak pernah bosan turun walaupun dia tau banyak yang tidak mengharapkannya. Dia selalu memberikan kebaikan ketika dia turun untuk banyak orang. Dan kamu tau?. Kamu itu seperti hujan. Hatimu begitu kuat walaupun cobaan banyak mengujimu. Kamu selalu kuat walaupun keadaanmu begitu rapuh." Terangnya.
"Aku rasa kamu salah, kamu belum tau sepenuhnya bagaimana rapuhnya aku, Dirga." Tolakku.
"Hei.. kenapa kamu selalu merendahkan dirimu, Hanna?. Kamu itu wanita yang kuat dan sempurna.”
"Kamu terlalu menghiburku," ucapku dengan senyuman. Dia mencubit pipiku. “Nah, tersenyumlah terus seperti itu mulai sekarang. Berjanjilah." Aku diam, mungkinkah?. Tapi ya aku harus kuat, aku sudah menumpahkan kekecewaanku tadi jadi aku harus kuat mulai dari sekarang.
"Baiklah, aku akan berusaha." Akhirnya kataku.
"Nah begitu. Sekarang ayo kita pergi makan siang."
"Tapi kan kita sudah makan."
"Itu hanya roti, Hanna. Ayolah perutku tidak kecil.” Lalu kami tertawa. "Setelahnya aku akan mengantarmu dan menjemput Rania." Aku mengangguk setuju padanya.
Kenapa perasaan nyaman ini semakin terasa saat aku bersamanya. Apakah dia benar-benar telah menempati ruang dihatiku setelah dua tahun lamanya dihancurkan sendiri oleh Vino?. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku hanya tetap berharap semua tidak ada yang berubah dengan kehidupan Dirga. Biarlah kehidupanku yang memang sudah seharusnya seperti ini, tapi Dirga. Dia harus tetap bahagia bersama keluarganya.
**
