Pustaka
Bahasa Indonesia

Rain

105.0K · Tamat
Gita Hadianty
50
Bab
5.0K
View
8.0
Rating

Ringkasan

"Terima kasih karena hadirmu telah membuat hujan tidak berpelangipun menjadi indah untukku,” ucap laki-laki yang mampu membuat hatiku menghangat walaupun hanya dengan tatapannya. “Dan terima kasih karena membuat langit mendungpun menjadi satu-satunya yang indah untukku.” Hujan adalah awal cerita kami dengan perasaan yang tak biasa ini. Teman adalah awal hubungan kami hingga kami bisa saling mengerti. Tidak ada yang tau jelas dengan ini semua baik aku atau pun dia, yang kami tau kami hanya memiliki perasaan yang tak biasa dan ingin terus duduk berdua menatap langit yang menutup harinya dengan warna jingga keemasan. Ini cerita rahasia kami berdua dengan semua masalah yang bermunculan namun menimbulkan percikan kecil yang manis.

RomansaPresdirPerselingkuhanPerceraianCinta Pada Pandangan PertamaSweetMenyedihkanBaper

Bagian 1

Tawa mereka dan kesedihannya

Aku bahagia mendengar suara ceria dari setiap anak kecil yang ada dihadapanku saat ini. Mereka tertawa lebar sekali. Aku juga sangat senang melihat ekspresi bahagia mereka, namun saat aku menikmati itu semua tatapanku berhenti pada satu sudut. Dimana ada seorang anak perempuan yang sangat cantik sedang memandang ke arah luar jendela. Aku menjadi tertarik dengan anak itu. Sayang, aku belum mengetahui namanya karena memang ini adalah hari pertamaku mengajar disini menggantikan Ibu Sonia yang berhenti bekerja karena akan menikah. Karena terus menatapnya, dia menoleh ke arahku dengan mata dan raut wajah sendu namun saat melihatku berubah menjadi sangat manis.

"Tenang dulu ya semuanya, ibu sekarang ingin mendengar kalian memperkenalkan diri seorang-seorang. Ibu guru kan sudah memperkenalkan diri. Sekarang giliran kalian, supaya kita bisa saling mengenal. Ayo mulai dari kursi paling depan." Setelah perkataanku, anak-anak mulai memperkenalkan dirinya masing-masing hingga sampai pada anak perempuan cantik itu yang memperkenalkan dirinya.

"Halo ibu Hanna, nama saya Rania." Ujarnya dengan riang dan senyum yang lebar hingga deretan gigi putihnya terlihat. Aku menatapnya teliti. Tadi anak ini terlihat begitu sedih, tapi saat ini dia bisa tersenyum begitu ceria. Disaat anak lain yang berada dikelas ini penuh tawa, anak ini seakan mempunyai kesedihan tersendiri yang membuatku merasa penasaran. Hal apa yang membuat anak ini terlihat sedih seperti tadi?. Hatiku tersentuh hingga aku tidak sadar sudah memandanginya cukup lama.

"Ibu guru?,” tanyanya mengejutkanku.

"Ah iya, maaf. Siapa nama kamu tadi sayang?,” tanyaku ulang karena aku sedari awal hanya sibuk melihat matanya.

"Rania," jawabnya riang.

"Nama yang bagus dan cantik."

Jam pelajaranku berakhir. Aku membereskan buku-buku di atas meja. Tepat saat akan beranjak pergi, aku kembali tertarik oleh pemandangan disudut dekat jendela tadi. Rania masih memandangi ke arah luar jendela. Karena ingin tau apa yang dilihatnya aku mencoba mengikuti arah tatapan matanya. Hah?, mungkinkah Rania melihat sebuah pohon besar tua yang ada di dekat lapangan bola?. Aku jadi ingin tau, kenapa dia terus melihat pohon itu?, padahal tidak ada siapa-siapa disana. Saking penasarannya, aku menghampiri Rania.

"Hai Rania." Sapaanku membuat Rania agak terkejut namun akhirnya dia tersenyum.

"Hai ibu guru Hanna."

"Kenapa kamu tidak istirahat ke kantin bersama temen-temenmu?. Kamu baik-baik saja?," tanyaku hati-hati.

"Rania lagi ingin dikelas saja bu.” Katanya dengan senyuman yang membuatku begitu menghangat. Tapi tidak tau kenapa aku merasa dibalik senyum manisnya itu tetap tersimpan kesedihan, dan... kesepian. Entahlah sebenarnya hal apalagi yang tersenyembunyi dibalik mata Rania.

"Syukurlah. Ibu cuma takut Rania sakit." Jelasku.

"Bu Hanna tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja."  Rania tersenyum lebih lebar lagi seakan menyakinkanku kalau dia memang baik-baik saja.

"Ya sudah kalau begitu Rania, ibu guru mau ke ruang guru dulu. Tapi kalau ada apa-apa kamu bisa datang ke bu guru untuk bercerita atau apapun itu. Anggaplah bu guru temanmu."

**

Sesampainya di ruang guru aku mencari keberadaan Bu Meta untuk menanyakan mengenai Rania. Barangkali beliau tau karena beliau sudah bekerja menjadi pengajar disini selama dua belas tahun karena dia juga lah yang merekomendasikanku sebagai pengajar disini. Bu Meta sendiri adalah sahabat dekat mamahku.

"Bu Meta." Panggilku ketika sudah menemukan Bu Meta sedang berbicara dengan muridnya.

"Ya sudah kalau begitu, tolong ya Desi. Ya ada apa Hanna?.” Bu Meta yang usianya tidak jauh dari mamah mendekat padaku.

"Hanna ingin menanyakan sesuatu." Bu Meta menyuruhku untuk duduk di depan mejanya. Beliau tampak sangat penasaran dengan apa yang ingin aku tanyakan padanya.

"Begini bu, apa ibu mengenal anak murid kelas saya yang bernama Rania?,”tanyaku dan Bu Meta seolah mengerti ke arah mana aku akan bertanya.

"Ya, ibu tau. Pasti kamu ingin menanyakan, kenapa anak itu terlihat ceria dan selalu tersenyum?. Tapi kalau sendiri dia terlihat sedih dan selalu melihat ke arah luar jendela." Aku langsung terkejut, kenapa Bu Meta bisa tau?. Apakah Rania memang seperti itu dari dulu?.

"Kenapa ibu bisa tau?."

Bu Meta tersenyum menanggapi pertanyaanku itu. “Mengenai Rania memang bukan jadi rahasia lagi. Ibu Sonia yang menjadi wali kelas sebelumnya juga sering mendiskusikan dengan pihak sekolah. Saat ditanyakan pada keluarganya mereka merasa tidak memiliki masalah apapun dan kami juga tidak menemukan ada masalah dengan teman-temannya. Jadi kami berkesimpulan sendiri, mungkin dia begitu karena kedua orang tuanya sibuk. Sebab kedua orang tuanya itu pengusaha sukses." Penjelasan Bu Meta membuatku terdiam, jika memang tidak memiliki masalah dengan keluarga atau teman-temannya tidak mungkin di dalam mata Rania banyak tersimpan kesedihan dan kesepian bahkan ada sesuatu seperti perasaan terluka.

"Bisa jadi, tapi feeling Hanna bilang kalau ada yang membuat Rania sedih sampai begitu dan itu sepertinya lebih dari pada masalah orang tuanya sibuk." Sanggahku pada Bu Meta yang kini tersenyum hangat lagi kepadaku seolah mengerti apa yang aku pikirkan.

"Ibu Sonia juga berpikir seperti itu. Tapi tetap tidak ada jawaban dan bukti yang mengarah ke hal itu." ... "Hanna, apa kamu berniat mencari jawabannya sendiri?. Maaf, ibu bukan ingin mematahkan semangat kamu, tapi Ibu Sonia saja yang sudah menjadi wali kelasnya selama satu tahun tidak mampu menemukan apa penyebab Rania seperti itu." Kata-kata Bu Meta membuat aku tidak mampu bicara lagi. Dalam pikiranku, sebegitu sulitkah untuk mencari tau apa yang membuat Rania sedih?.

"Hanna akan mencoba mencari taunya bu. Mengenai hasilnya, itu bagaimana nanti. Yang penting sudah berusaha." Ucapku yakin membuat Bu Meta mengatakan bahwa dia tau aku akan seperti itu.

Setelah berpamitan pada Bu Meta, aku menuju meja kerjaku. Di samping meja sudah terlihat Winni yang menunggu kedatanganku. “Hai Ibu Guru Hanna, bagaimana hari pertama anda mengajar di sekolah ini?," tanyanya dengan bercanda juga senyuman yang lebar.

"Sangat menyenangkan Ibu Guru Winni." Jawabku ramah.

Aku sangat senang, sejauh ini mimpiku dapat terwujud untuk menjadi seorang guru anak sekolah dasar. Setiap hari aku jadi dapat mendengar tawa mereka, senyuman tulus mereka dan celotehan riang mereka. Sebab itu aku sangat penasaran terhadap Rania. Aku ingin mendengar dia tertawa dan tersenyum dengan benar-benar bahagia.

Selain cita-citaku yang terwujud. Aku juga sangat senang karena mengajar di satu sekolah yang sama dengan Winni, sahabat dekatku sewaktu kuliah. Bedanya, dia mengajar di sekolah ini lebih dulu dan menjadi wali kelas lima sedangkan aku kelas empat.

"Hai sahabat ku. Lama ya enggak ketemu. Ah rindu.....," teriaknya heboh. Winni langsung memelukku sambil berjingkrak-jingkrak. Dia memang tidak berubah.

"Oh iya, aku liat kamu tadi kayak lagi membicarakan sesuatu sama Bu Meta. Apa ada masalah sama kelas pertama kamu Hanna?. Kalau memang ada barangkali aku bisa bantu?." Mungkin memang sebaiknya aku harus mulai mencari tau tentang Rania dari Winni.

"Sebenernya gak ada, tapi aku penasaran tentang salah satu muridku. Rania. Apa kamu tahu?." Winni langsung mengangguk ngangguk seperti memikirkan sesuatu dan memahaminya.

"Oh ya Rania, aku tau. Sonia dulu sering cerita. Dia anak yang cantik, manis dan senyumnya itu membuat siapapun jatuh hati, tapi dia selalu memandang ke arah luar jendela.  Rania tidak pernah memiliki masalah dengan teman-temannya, dia anak yang gampang bergaul. Dia juga selalu unggul di kelasnya dalam mata pelajaran apapun."

"Keluarganya juga terlihat sangat harmonis sewaktu kami panggil untuk menanyakannya. Jadi kami semua disekolah tidak tau apa yang membuat Rania begitu terlihat sedih kalau sedang sendiri. Sonia sering bertanya langsung pada Rania, tapi tetap saja jawabannya sama yaitu dia hanya tersenyum dan bilang tidak ada apa-apa. Sampai Sonia keluar sekolah pun teka-teki Rania belum terjawab." Jelas Winni panjang lebar.

Aku mendengarkan perkataan Winni setiap kalimatnya dengan baik agar tidak melewatkan satu apapun. Tapi dari semua penjelasan Winni, aku yakin pasti ada masalah dengan Rania. Tidak mungkin Rania sedih tanpa alasan apalagi diusianya yang bisa bergerak bebas dan  tertawa lepas dengan teman-temannya menertawakan hal yang menurut orang dewasa itu biasa saja.

Aku yakin ada yang salah, entahkah itu dari teman-temannya atau keluarganya dan aku bertekad akan mencari tau itu.

"Winni aku yakin, tidak mungkin anak seperti Rania bisa sedih tanpa alasan. Aku yakin sekali pasti ada yang salah antara teman atau keluarganya. Aku akan mencoba mencari taunya sendiri."

"Iya aku tau, anak sekecil dia tidak mungkin bersedih tanpa alasan apalgi itu sudah berlangsung semenjak dia menginjak kelas tiga. Aku juga sebenarnya sangat penasaran, tapi aku tidak dapat mencari tau itu karena aku bukanlah wali kelas dari Rania."

"Dan aku akan coba mencari tahunya Winn. Tapi sebentar semenjak kelas tiga?.”

"Ya, saat kelas satu sampai kelas dua Rania ceria sekali, sangat riang dan selalu berlari kesana kemari dengan temannya. Maka dari itu ini menjadi sebuah teka teki bagi pihak sekolah apalagi bagi Sonia dulu karena kami tau Rania bukan anak seperti setahun belakangan ini. Rania seperti mengalami sesuatu yang membuatnya menjadi seperti itu.”

"Baiklah Winn sepertinya aku memang harus mencoba mencari tau mengenai penyebab Rania seperti itu, mereka anak-anak kita ketika disekolah bukan?. Jadi tentu seorang ibu pasti berusaha untuk mengembalikan tawa anaknya. Benar kan?.” Winni mengangguk dan tersenyum kemudian menyamangatiku. Dia berjanji sebisa mungkin akan membantuku kalau aku perlu bantuan.

**

Sesampainya dirumah laki-laki dengan perawakan tegap memakai kemeja biru langit dengan kulit yang agak gelap, sudah ada didepan terasku sedang membaca buku. Dia menurunkan bukunya dan bertanya. "Kenapa baru pulang?.”

"Aku harus menyelesaikan RPP dulu tadi, apa kamu sudah makan?,” tanyaku padanya.

"Sudah," jawabnya pendek dan dingin. Aku hanya bisa menghela nafas, laki-laki yang bertittle sebagai suamiku ini memang dingin sekali sekarang padaku.

"Aku masuk dulu kalau begitu, aku perlu mandi dan mengganti baju.” Aku berlalu meninggalkannya seorang diri di teras.

Masuk dapur, aku mengambil minum dan kuteguk banyak-banyak hingga aku usap mulut oleh punggung tanganku saat air putih tadi banyak berjatuhan.

"Aku mau ke kantor dulu, tadi tiba-tiba ada telepon dari sekretarisku kalau aku ada meeting malam ini.” Beritahunya dengan pandangan lurus kedepan tanpa menoleh padaku. Apa aku sebegitu menjijikannya sampai-sampai dia tidak mau menatapku?.

"Meeting dengan teman lamamu yang bernama Sivia itu, Vino?,” tanyaku tanpa takut sambil kembali meneguk air putih kembali. Ya, laki-laki yang menjadi suamiku ini bernama Vino Rajasa. Pemilik perusahaan yang bergerak dibidang periklanan. Memang perusahaan kecil, tapi dia mampu mendirikan perusahaannya sendiri tanpa bantuan keluarganya sedikitpun. Dan Sivia adalah perempuan yang dikenalkan Vino sebagai teman kuliahnya dulu di Australia. Sampai sekarang aku tidak pernah tau apa hubungan mereka sebetulnya karena sebenarnya aku tidak yakin Sivia hanya seorang teman.

"Kenapa diam?. Benar bukan?. Tidak masalah, kamu bisa pergi Vino. Sebenarnya tanpa membohongiku dengan alasan meeting juga kamu bisa pergi. Aku tidak akan menghalangimu." Kataku dengan pandangan lurus tanpa menoleh padanya yang masih mematung di tempat. Aku berjalan tegak menaiki tangga dan ketika aku sampai kamar tubuhku langsung meluruh ke lantai. Mencoba meredam isak tangisku. Aku rasa hatiku tak kan pernah biasa-biasa saja semenjak dia berubah saat itu.

**

Keesokkannya aku sudah rapi dengan dress selutut berwarna biru tuaku. Lengkap dengan blazer hitam dan high hells juga tas biru navy ku. Vino sudah rapi dengan setelan jas kerjanya di kamar. Saat aku hendak meraih tasku, Vino mencekal lenganku. “Bantu aku memakai dasi.”

Tanpa bicara aku membantunya memakaikan dasi. Ketika itu Vino terus menengadah ke langit-langit. Sepertinya aneh sekali seorang suami yang menghindari menatap wajah istrinya apalagi dengan jarak kami saat ini yang begitu dekat. Mungkin memang aku menjijikan untuknya, pikirku.

"Sudah. Baiklah aku pergi dulu. Sarapan sudah kusiapkan." Kemudian aku menyambar tasku kembali dan keluar rumah dengan mobil Honda Jazz silverku.

Sekolah masih pagi, aku sengaja datang ke sekolah pagi-pagi sekali untuk melihat Rania. Mungkin aku akan mendapatkan petunjuk mengenai Rania dan mungkin mencari tau dulu dari teman-temannya adalah hal yang tepat.

Sayang, nyatanya pagi ini aku tidak menemukan apa-apa. Aku hanya melihat Rania tersenyum pada teman-temannya dan kembali duduk di bangkunya dengan arah pandangan yang sama dan masih penuh kesedihan. Oke, aku akan melanjutkan pencarianku mengenai hubungannya dengan teman-temannya hingga satu minggu kedepan.

Seusai jam pelajaran pertama, Rania masih seperti hari kemarin hanya diam dibangkunya namun dia tidak memandang keluar jendela tapi membaca bukunya. Tetap saja bukan itu terasa aneh, karena semua teman-temannya berhamburan keluar kelas untuk bermain atau memakan bekalnya dikantin. Namun,  Rania hanya diam dikelas menyendiri.

Aku kembali menghampiri Rania seperti hari kemarin dan seperti kemarin pula Rania tersenyum hangat kepadaku saat melihat aku menuju ke arahnya.

"Rania tidak istrahat bersama teman-teman lain diluar?,” tanyaku dan duduk kursi sebelahnya.

"Tidak bu Hanna, aku akan membaca buku saja." Jawabnya sambil mengangkat tinggi-tinggi buku yang dipegangnya. Buku cerita mengenai sebuah pohon.

"Baiklah, tapi apa Rania tidak ingin makan sesuatu?.” Rania hanya menggeleng dan mengatakan kalau dia sudah sarapan banyak tadi pagi dan belum lapar.

"Baiklah kalau begitu, bu Hanna keluar dulu." Aku keluar dari kelas dan mencoba mencari teman sekelas Rania yang duduk berdekatan dengannya bernama Tita. Aku mengelilingi kantin, hingga mataku menangkap sosok Tita sedang duduk bersama teman-temannya, tertawa-tawa.

"Hai Tita," sapaku. Anak berwajah oriental itu menoleh dan tersenyum padaku.

"Hai bu Hanna, ada apa?. Apa ada sesuatu dengan nilaiku?. Apa aku berbuat nakal?,” tanyanya dengan lugu dan beruntun. Sungguh menggemaskan melihatnya, aku hanya menggeleng sebagai jawabannya.

"Lalu ?.”

"Ibu hanya ingin bertanya sesuatu, boleh kamu ikut ibu sebentar?.” Tita hanya mengangguk dan mengikuti langkahku menuju ruang guru. Di ruang guru tidak seramai dikantin tadi dan tidak akan banyak yang menguping.

"Baiklah, ibu hanya akan bertanya mengenai Rania. Apa kamu tau penyebab Rania selalu sendiri saat jam istirahat?,” aku bertanya dengan hati-hati. Tita hanya menggeleng dan wajahnya yang tadi ceria berubah menjadi menunduk sedih.

"Aku tidak tau bu Hanna, aku juga bingung kenapa Rania menjadi seperti itu. Padahal dulu Rania adalah teman Tita yang lucu dan selalu buat Tita tertawa juga senang. Tapi sekarang Rania menjadi pendiam." Aku mengangguk-ngangguk dengan jawaban Tita, aku tau anak dihadapan ku ini tidak berbohong. Tita juga merasa kehilangan akan sosok Rania.

"Baiklah, maaf ibu membuat Tita menjadi sedih. Kalau begitu karena Tita membantu ibu, ibu akan memberi Tita permen. Tita mau?.” Aku mengeluarkan permen yang sudah kupersiapkan tadi pagi. Permen lollipop yang selalu disukai anak-anak. Dan benar saja mata Tita berbinar-binar melihat permen yang kukeluarkan dari dalam tas.

"Makasih bu Hanna." Katanya dengan senyum yang sangat lebar dan memperlihatkan gigi yang putih namun ada beberapa gigi yang ompong.

"Sama-sama, tapi jangan makan terlalu banyak permen ya. Nanti gigi Tita hilang semua.” Titapun tertawa dan berkata baik padaku dengan semangat lalu keluar dari ruang guru untuk kembali main bersama-sama temannya.

Setelah Tita keluar, otakku semakin berpikir. Aku harus mencari tau bagaimana lagi untuk mendapatkan akar masalah Rania. Baiklah, nanti kupikirkan lagi saja barangkali nanti aku mempunyai ide.

Sekarang perutku minta diisi dan aku akan membeli makan dengan meminta Pa Ujang membelikannya karena rasanya memecahkan teka teki Rania menguras tenaga lagipula tadi pagi aku tidak sarapan karena malas melihat wajah Vino yang hanya akan membuatku sakit hati.

**