Bagian 10
Langit cerah dan hujan enggan untuk turun ke bumi
Dirga sudah siap akan keluar dari ruangan ini, tapi tiba-tiba keraguan menyergapku. Apa yang dipikirkan karyawannya jika mereka melihat atasannya tiba-tiba keluar bersama seorang perempuan yang tidak diketahui kedatangannya. Aku tidak ingin reputasinya di kantor tercemar. "Ada apa Hanna?.” Dirga tampak bingung.
"Dirga sepertinya aku tidak bisa keluar sebelum malam. Apa yang akan orang kantor ini katakan bila melihat kamu tiba-tiba keluar dengan seorang perempuan yang tidak diketahui?.”
"Hei, aku sudah memikirkannya."
"Hah?.” Aku heran padanya sementara dia hanya tersenyum lembut padaku. "Aku sudah menyuruh sekretaris untuk diam dan tutup mulut. Dia orang yang Nisa dipercaya.” Terangnya.
"Lalu bagaimana dengan yang melihat kita dilantai bawah?.’
"Tidak apa-apa lagipula aku yakin mereka tidak akan peduli.” Aku menggeleng untuk menolaknya. “Lalu kamu ingin bagaimana Hanna?.” Tanyanya pasrah padaku.
"Aku akan menunggu saja di ruangan pribadimu sampai nanti para karyawan pulang." Kataku akhirnya.
"Aku tidak masalah, tapi kamu belum makan Hanna."
"Itu gampang, kamu bisa jemput Rania sekarang. Cepatlah dia akan kesepian karena tidak ada aku di kelas buat menemaninya."
"Baiklah, aku hanya akan menjemput Rania."
"Tidak masalah, lakukan hal lain. Aku tidak apa-apa disini sendiri. Aku tidak ingin menghalangi kegiatanmu," jawabku.
"Pakailah laptop yang ada di ruang pribadiku kalau kamu bosan. Passwordnya ada dibawah laptop." Dirga mulai beranjak dari tempatnya. Saat Dirga akan membuka pintu, dia berbalik dan menanyakan hal yang membuatku diam. "Kapan kamu akan memikirkan dirimu sendiri Hanna?.”
"......"
"Tapi karena itulah aku mempunyai perasaan untukmu." Kemudian dia tersenyum dan keluar dari ruangan ini.
Aku tidak mengerti dengan yang dikatakannya. Dia selalu tersenyum dan aku seakan tertelan kedalam dunianya. Dunia yang bagaikan ada dalam negeri dongeng saja. Cerita yang memiliki pangeran baik hati didalamnya. Aku jadi penasaran. Apakah dia memang selalu tersenyum seperti itu pada setiap orang?.
**
Saat menunggu Dirga, aku menulusuri rak buku yang ada disamping sofa abu. Buku yang sudah usang kutemukan dideretan paling akhir. Buku itu sangat mencolok dan berbeda dari buku yang lainnya. Saat aku ambilbdan buka ternyata itu adalah album kenangan masa SMA Dirga. Satu persatu halaman kubuka, hingga kutemukan wajah Dirga yang tidak jauh berbeda dengan sekarang hanya tampak lebih kekanak-kanakan saja. Terus kubuka satu persatu halaman itu hingga kutemukan wajah ibu Rania dan kembarannya. Ibu Rania ternyata bernama Ayu. Jadi mereka adalah teman semasa SMA. Setelah kutemukan foto itu, segera kututup albumnya.
Entahlah, aku mau menyangkalnya atau tidak ternyata ada perasaan terluka sat melihat mereka.
Kali ini jariku berhenti di satu buku novel romance. Aku menarik dan mulai membacanya sambil duduk disofa. Angin yang datang dari jendela yang kubuka dan empuknya sofa yang aku duduki membuatku terbuai sehingga mataku perlahan-lahan mulai menutup dengan buku yang berada diatas wajahku.
Entah apa yang membuatku terbangun dan melihat sosok Dirga yang sedang berjongkok dihadapanku. Aku salah tingkah dibuatnya hingga aku buru-buru duduk tegak dari posisi ku tadi. Dirga hanya tersenyum padaku. "Maaf, aku ketiduran." Aku merapihkan rambutku dan tangan Dirga ikut merapihkan anak rambutku.
"Tidak apa-apa. Maaf ya aku lama."
"Tidak apa-apa. Aku kan bilang jangan merasa terganggu karena keberadaanku. Kamu bisa beraktifitas seperti biasa dan menganggapku tidak ada."
"Hei, mana mungkin aku menganggapmu tidak ada Hanna. Aku senang karena ada kamu disini." Jujurnya yang membuat wajahku memanas. Ya Tuhan, kenapa ini bisa terjadi?. Aku bukan anak ABG lagi. “Ayo kita makan, aku bawa beberapa makanan untuk kita makan siang." Dirga mengeluarkan beberapa makanan jepang yang ada di kantung. Aku membantunya merapihkan makanan tersebut. Namun, ketika itu dering dari ponsel Dirga terdengar. Kami menoleh secara bersamaan, Dirga mengabaikannya.
"Angkatlah, siapa tau itu penting." Kataku.
"Tidak.” Dirga tetap pada pendiriannya.
"Ayolah, tidak apa-apa. Aku nanti akan kerasa tidak enak.” Ada akhirnya Dirga menyerah dan mengeluarkan handphone dari saku jasnya. Namun, saat melihat layar handphone Dirga terdiam dan malah memandangku. Di handphonenya tertera nama Dewi ketika kulirik. Aku langsung mengerti. “Angkatlah pasti penting.” Kataku dengan perasaan yang sulit ku gambarkan.
Dirga menghembuskan nafasnya. “Hallo"
".."
"Aku sedang dikantor." Dirga melirikku, aku kembali pura-pura menata makanan jepang yang dibawanya.
"..."
"Ada apa? tumben sekali kamu mengajakku bertemu."
"..."
"Aku tidak bisa." Aku mengerti apa yang dibicarakan. Aku membuka mulutku tanpa membuka suara, Dirga tampak tidak mengerti kemudian dia meminta Dewi untuk menunggu sebentar. Aku ambil secarik kertas yang ada dimejanya kemudian menuliskan "Pergilah, aku tidak ingin membuatmu berubah pada keluargamu.”
Dengan lemas Dirga berkata pada Dewi. "Baiklah, tunggu aku. Aku akan ke kantormu sekarang.”
"Kamu yakin tidak apa-apa aku menemui Dewi sebentar?,” tanyanya merasa bersalah padaku setelah memutuskan sambungan telepon dengan Dewi. Kutampilkan senyum yang paling bisa, walaupun jujur hatiku mulai merasakan sesuatu yang tidak kusukai.
"Tidak apa-apa. Pergilah. Aku akan menunggumu."
"Baiklah, Dewi biasanya hanya bertemu sebentar. Dia orang yang sangat sibuk." Jelasnya yang membuat aku mengangguk. Ketika Dirga akan beranjak, tiba-tiba dia menyentuh sebelah pipiku sambil berbisik. "Tunggu aku.” Dirga berlalu dari hadapanku. Sementara aku langsung duduk karena lemas.
Hubungan apa yang kumulai ini?. Aku telah mencoba bermain-main dengan perasaanku sendiri. Tapi aku tidak bisa pungkiri kalau aku membutuhkannya. Bagaimana ini?. Tapi aku tidak mau melukai siapapun. Aku menutup wajah dengan kedua tanganku. Ah sungguh berat rasanya.
Aku menunggu hingga satu jam, tapi Dirga belum datang juga. Makanan yang tadi dibawanyapun sudah dingin. Aku seharusnya tidak membebaninya disini. Aku seharusnya sudah pulang dari sini. Tapi jika aku pulang, aku akan membuat orang mengetahuinya. Aku cukup lama bergelut dengan pikiranku sendiri hingga akhirnya aku tertidur sendiri. Aku terbangun karena suara seseorang yang membuka pintu dan disana Dirga sudah berdiri dengan nafas yang terengah-engah. “Ma..maaf Hanna. Ternyata Dewi tadi meminta menemaniku ke rumah ibunya karena ada masalah keluarga." Aku lihat handphoneku, ternyata sudah empat jam berlalu dari semenjak Dirga pergi dan ruanganpun sudah gelap. Waktu menunjukan pukul tujuh malam.
"Tidak apa-apa. Tapi kamu sudah makan kan?.” Tanyaku. Dirga duduk disampingku dan menatapku. "Aku tadi dipaksa makan oleh ibu mertuaku.” Balasnya.
Dengan bodoh dan gugupnya aku berkata. "Ya tentu kamu harus makan jika berada di rumah mertuamu."
"Tapi kamu belum memakan ini sedikitpun?. Kamu menungguku?,” tanya Dirga dengan raut wajah yang masih menampilkan rasa bersalahnya padaku.
"Tidak, aku hanya tertidur lagi tadi setelah kamu pergi. Aku akan makan ini sekarang." Aku tersenyum padanya agar dia tidak merasa bersalah, namun ternyata dia makin terlihat merasa bersalah padaku.
"Maafkan aku Hanna. Jangan dimakan ini sudah dingin."
"Tidak penting makanan ini masih hangat atau dingin. Aku makan di samping kamu. Itu kan yang penting." Hibur ku pada Dirga.
"Hanna...."
"Hei jangan terus menyebutkan namaku terus." Gurauku yang mencairkan suasana sambil membuka sumpit dari plastiknya.
"Hanna, bagaimana kalau kita makan malam diluar?. Sebagai permintaan maafku." Usulnya. Sepertinya untuk menebus rasa bersalahnya.
"Tidak perlu." Tolakku.
"Ayolah aku mohon." Dirga memelas dengan wajah yang sangat memohon dan akupun tidak tega menolaknya hingga akhirnya dengan pasrah aku katakan iya. Dan menyimpan sumpit tadi kembali di atas meja.
"Kantormu sudah kosongkan?.” Tanyaku memastikan.
"Tentu, karyawan sudah pulang jam lima sore tadi."
Kami pun akhirnya keluar bersama dari kantornya. Beruntung kami hanya dilihat oleh satpam. Tapi ada yang aneh, mobil Audi hitam Dirga berhenti disebuah butik ternama. Aku menoleh bingung padanya. Dirga yang sadar dengan kebingunganku langsung menjelaskan. "Kamu belum mengganti bajumu, Hanna. Apa kamu mau para pelanggan restaurant lain kabur karena kamu bau?." Aku langsung mengendus badanku sendiri. Apakah iya aku bau?. Dan tawa Dirgapun pecah.
"Hei aku tidak sebau itu." Seruku. Tawa Dirga semakin kencang. Aku mengerucutkan bibir.
"Kamu seperti Rania kalau sudah marah. Sudah ya jangan marah. Aku hanya bercanda." Bujuk Dirga namun aku masih pura-pura marah untuk kembali mengerjainya.
"Semua wanita itu sama kalau marah." Tambahku.
"Baiklah, maaf aku hanya bercanda.”
"Bilang saja aku benar-benar bau."
"Hei kamu menganggapnya serius?.” Tanya Dirga dengan raut wajah tidak percaya.
"Menurutmu?.” Tanyaku dengan nada sarkastik yang dibuat-buat. Rasanya ingin sekali aku tertawa saat ini, ternyata mengerjainya lucu juga.
"Ah maafkan aku Hanna. Aku suka wangi lavendermu. Kamu senang dengan wangi lavender kan?. Dari pertama kita bertemu kamu wangi selalu meninggalkan aroma lavender.” Aku menoleh padanya. Kali ini tidak terlihat wajah jahil seperti sebelumnya. Entahlah, kata-kata sesederhana itu dan tatapan itu membuat jantungku berdegup lebih kencang.
"Aku.. aku hanya bercanda Dirga," ucapku gugup. Aku rasa aku harus keluar dari sini secepatnya namun saat aku akan keluar Dirga mencekal tanganku. “Aku suka setiap tetesan hujan yang turun, tak terkecuali." Dan jantungku kini dua kali lebih capet berdetak. Aku mengerti dari kalimat yang diucapkannya itu. Tubuhku tidak dapat bergerak. Mataku terus menatapnya begitupun dia. Hingga kesadaran kembali mengembalikanku. "Dirga ayo turun, aku sudah lapar." Kilahku. Wajahku akan sangat memerah jika terus seperti ini.
"Aku hanya ingin memandangmu sebentar." Lalu dia melepaskan tanganku dan kami berduapun turun.
Dirga minta aku memilih baju sendiri saat sudah memasuki butiknya. Namun, aku meminta dia saja yang pilihkan. Pilihannya pun jatuh pada dress hitam semata kaki dan tidak berlengan hanya dua tali yang menghubungkannya. Tas hitam yang senada dan sepatu yang senada. Setelah itu kami pun masuk kembali ke dalam. Kupoles lipstick nude dan kugelung rambutku.
"Kita mau makan dimana Dirga kenapa seformal ini?. Oh ya nanti kuganti uangmu. Aku hanya membawa dompet dengan uang seperlunya.” Kataku merasa tidak enak kalau harus Dirga yang membayar semuanya.
"Tidak perlu Hanna. Aku mohon. Aku hanya membelikan dress tas dan sepatu saja." Akhirnya aku pasrah padanya. “Hanya?. Tidak, itu banyak Dirga."
"Ayolah.” Bujuk Dirga dengan wajah yang memohon. Aku menghembuskan nafas pasrah. “Baiklah, anggap ini sebagai bayaran guru les untuk Rania."
"Hei." Protesnya tidak terima.
"Aku tidak mau berutang padamu." Kataku tegas.
"Baiklah, nona keras kepala. Siap?.” Dirga menginjak pedal gasnya setelah aku mengangguk kemudian membawa mobil Audi hitamnya hingga ke depan sebuah restaurant besar. Terlihat mewah, eksklusif dan mahal. “Dirga kita makan disini?.”
"Ya. Ayo." Lalu kami berduapun turun dari mobil Audi hitam itu. Dirga mengulurkan tangannya untuk bergandengan denganku, tapi aku menggeleng. Dia sempat tampak kecewa, namun akhirnya dia paham dengan aku yang tidak ingin membuat siapapun yang mengenal kami melihatnya.
Pertama masuk restaurant, kesan pertama yang aku tangkap sama dengan saataku melihat restaurant ini dari depan. Bangunannya sangat megah dengan nuansa emas. Pasti mahal. Duduknya pun sangat berjarak sehingga privasi pelanggan sangat diutamakan. Vino dulu memang suka mengajakku ke restaurant seperti ini namun ini lebih mewah dan megah lagi interiornya. Aku yakin tidak sembarang orang bisa makan disini dan mungk8n harus reservasi dari jauh-jauh hari. Pelayannya pun melayani kami dengan sangat baik. Tentu sebuah restaurant mewah akan dilengkapi oleh pelayanan yang sangat baik. "Hanna kamu mau pesan apa?.”
"Apapun yang menurutmu enak," jawabku. Dirga pun menyebutkan beberapa makanan pada pelayan tersebut kemudian terlihat seperti berbisik sesuatu. Selagi menunggu Dirga memesan makanan, aku mengendarkan pandangan untuk melihat sekeliling yang memang luar biasa dengan pemain piano yang memainkan alunan lagu yang indah dan lampu yang berkilauan. Aku dibuat takjub. "Kamu sering datang kesini bersama..... istrimu?.” Tanyaku penasaran setelah pelayan tadi pamit pergi. Dirga sempat bingung ditanyakan seperti itu. “Aku hanya ingin tau saja kok.” Dustaku.
Aku berbohong, bagaimanapun aku sudah mempunyai rasa pada laki-laki dihadapanku ini jadi rasanya tidak mungkin aku tidak apa-apa dan biasa saja mendengar dia dan istrinya. “Tidak.” Jawab Dirga singkat.
"Hah?.” Aku merasa tidak percaya.
"Benar, aku tidak pernah mengajak Dewi kesini. Ayu yang pernah aku ajak kesini." Perkataan Dirga membuat aku harus mencernanya dengan benar. Aku tidak ingin salah paham dan semakin mencintainya. Aku tau, Ayu adalah ibu Rania. Apakah mungkin aku juga sespesial seperti ibu Ayu?. Pikiranku sudah melantur.
"Ayu itu, ibu kandung Rania kan?.” tanyaku hati-hati, Dirga tampak terkejut. “Aku tau dari Rania," ucapku sendiri untuk menjawab kebingungannya.
"Ah.. dia pasti cerita. Ya begitulah."
"Kenapa kamu tidak pernah mengajak Dewi?.” Hanna, kenapa kamu ingin tau sekali?. Rutukku pada diri karena tidak dapat menahan rasa penasaranku. "....." Dirga hanya diam. Apakah aku melukainya dengan pertanyaan itu?. Seketika aku meras bersalah.
"Maaf aku tidak bermaksud." Ungkapku.
"Tidak apa-apa. Dewi selalu punya kesibukan yang lebih daripada aku. Pekerjaan adalah yang nomor pertama untuknya. Aku tidak boleh egois. Dan aku rasa pernikahanku hanya sekedar sarapan pagi dirumah," jawaban Dirga dengan senyumannya.
"Tapi kamu mencintainyakan?,” tanyaku hati-hati. Lihatlah kamu Hanna, kamu semakin ingin tau saja. Aku memarahi diriku lagi.
"Emmm. Aku tidak tau, tapi yang jelas apa yang kurasakan dengan Ayu dan kamu, aku tidak merasakannya pada Dewi." Jawaban Dirga membuat hatiku menghangat dan bahagia namun ada disudut hatiku yang lain tertawa karena aku bahagia di atas penderitaan wanita lain yang tidak dicintai suaminya.
"..."
"Maaf ini pesanannya." Kedatangan pelayan memecah perbincangan kami. Pelayan itu meletakkan piring besar yang ditutup. Ketika pelayan itu membukanya kutemukan sebuah kertas putih di pinggirnya.
Kamu cantik sekali malam ini, Hanna
Dirga.
Aku langsung mendongak pada Dirga dan dia tersenyum sangat manis dengan mata kucing yang selalu kusuka. Akupun ikut tersenyum dan ingin menyimpanya. Namun saat ingin menyimpannya aku tidak menemukan tasku. Ah aku lupa tasku didalam mobilnya. “Kenapa Hanna?.”
"Aku meninggalkan tasku di mobil."
"Tidak usah dibawa, nanti makananya keburu dingin."
"Ah baiklah, tapi aku ke toilet dulu." Dirga mengangguk lalu aku pergi ke toilet. Aku menggenggam kertas itu bersama dengan handphoneku dan senyumkupun mengembang. Rambut kurapihkan dan berjalan kembali keluar hingga saat aku akan kembali ke meja, Dirga terlihat bersama dengan seorang perempuan, Dewi. Dirga melihatku dari jauh. Tiba-tiba hatiku benar-benar merasakan sesuatu yang menyakitkan. Dengan tangan bergetar aku mengetikkan satu pesan padanya.
To : Rain
Aku rasa hari ini kita tidak berjodoh untuk makan bersama.
Dirga terlihat melirik kebawah meja dan aku buru-buru berjalan sebelum Dirga menoleh ke arahku karena itu akan menyakitiku. Kulangkahkan kaki dengan wajah yang menunduk. Saat berjalan keluar restaurant, kaki dan tanganku gemetaran sampai-sampai aku tidak sengaja menabrak seseorang dan menjadi sorotan banyak pengunjung. Termasuk Dirga, dari jauh dia melihatku. Terlihat wajah terkejut dan kaget. Dirga sudah akan menghampiriku, tapi secepat kilat aku meminta maaf pada orang yang kutabrak tadi dan berlari keluar.
Aku terus berlari hingga tersandung sebuah batu. Hingga kuputuskan untuk menenteng sepatunya saja dan terus berjalan tanpa alas kaki. Kaki dan tanganku belum berhenti gemetaran, mungkin karena aku merasa sudah melakukan sebuah kejahatan besar dan hampir tertangkap basah. Banyak orang yang melihat ke arahku tapi aku tidak pedulikan. Aku lebih peduli dengan apa yang kurasakan. Rasanya aku benar-benar buruk saat ini. Aku melihatnya. Aku melihat dia bersama istrinya dan hatiku hancur.
Aku tau tidak semestinya seperti ini, tapi air mataku seakan menegaskan bahwa aku terluka karenanya. Aku membohongi diriku sendiri kalau hubungan yang ku jalani ini baik-baik saja tanpa menjadi yang pertama, baik-baik saja hanya dengan berada dibelakangnya dan baik-baik saja hanya dengan menatapnya. Nyatanya ketika aku melihatnya bersama dengan yang lain, hatiku tidak bisa berbohong untuk mengatakan kalau aku baik-baik saja.
Tanganku yang belum juga berhenti gemetaran ternyata masih menggenggam kertas berisi kenangan manis tadi dan handphoneku juga terus bergetar sedaritadi menampilkan nama ‘Rain’. Aku tidak punya pilihan lain selain mengangkatnya setelah aku masuk ke dalam taksi yang kuberhentikan. “Halo.” Ucapku berusaha sekuat mungkin tidak bergetar dan menangis.
"Hanna... kamu dimana?, Tunggu aku, aku antar kamu pulang. Kamu baik-baik saja?.” Katanya dengan panik dan khawatir.
"Hei, jangan bertanya beruntun seperti itu." Gurauku dengan suara yang mulai bergetar.
"Jangan tertawa, Hanna. Aku benar-benar khawatir. Tas kamu juga kan ada dimobilku."
"Tidak usah khawatirkan aku. Aku sudah naik taksi. Makan malamlah dengan Dewi." Susah payah aku mengatakannya.
"Kamu tidak apa-apa?,” tanya Dirga, aku tidak mau berbohong saat ini maka dari itu aku tidak menjawabnya. Hatiku benar-benar hancur.
"Kamu tau?, Langit malam ini cerah sekali. Tau artinya?. Hujan tidak akan datang karena hujan sedang tidak ingin turun." Kataku dengan air mata yang sudah mengalir kembali. Suara ku pun juga sudah sangat bergetar.
"Hanna kamu menangis?.”
"Aku ingin menepati janjiku padamu untuk tidak membuat hubungan mu dengan istrimu berubah karena aku. Ya sudah, aku tutup ya." Aku putuskan sambungan telepon Dirga sebelum aku semakin menangis dan Dirga tau kalau aku sangat terluka.
"Hujan tidak akan turun Dirga, karena hujan sudah turun dari mataku." Gumamku seraya melihat langit malam dari jendela. Langit yang memang benar-benar cerah, menahan gumpalan air untuk turun.
**
