Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 8

Sekarang aku tau kamu mencintaiku dan aku mencintaimu.

Kami masih duduk di bangku yang berada dihalaman milik Dirga dengan lampu yang kini sudah menyala disamping kami. Gelas kami bahkan sudah kosong, namun kami masih betah duduk diam meski langit yang berwarna jingga keemasan itu telah pergi berganti menjadi malam.

"Apa kamu tidak ke kantor lagi hari ini?,” tanyaku padanya memecah kesunyian yang entah kenapa tidak terasa seperti sebuah kesepian bahkan terkesan nyaman.

"Aku akan lembur lagi malam ini.” Jawab Dirga.

"Apa karena aku?,” tanyaku merasa bersalah dan menoleh ke samping. Dirga langsung menggeleng. “Tidak.”

"Benarkah?,” tanyaku lagi memastikan karena tidak percaya.

"Baiklah. Iya, aku akui. Tapi bukankah jika kamu ingin mendapatkan kebahagiaan maka kamu harus berkorban untuknya?. Dan aku tidak keberatan jika harus berkorban hanya dengan bekerja lembur," jawabnya yang membuatku semakin merasa bersalah.

"Tolong jangan lakukan lagi. Aku semakin merasa bersalah. Aku tidak ingin ada yang berubah dari keadaan kita. Aku tidak ingin kamu..."

"Hei.. tidak ada yang berubah. Aku hanya ingin kerja lembur karena percuma aku bekerja kalau yang ada dikepalaku hanya ingin menghampiri kamu. Jadi aku akan gunakan waktu soreku sebaik-baiknya untuk melihat kamu. Jadi ketika aku bekerja nanti pikiranku sepenuhnya ada pada berkasku. Bukan pada kamu.” Potong Dirga. Diamenggaruk kepalanya yang kelihatannya tidak gatal, mungkin dia sedikit grogi dan malu.

Dirga menatapku agak dalam. “Aku semakin tau, kenapa aku mempunyai perasaan ini untuk kamu Hanna," sambungnya yang tidak ku mengerti. Aku hanya menunduk dan memainkan pinggiran gelas teh ku saja.

"Boleh aku tau apa yang kamu bicarakan tadi dengan kedua sepupumu?,” tanyaku hati-hati.

"Aku memberitahu mereka kalau kamu adalah cerita rahasia yang berharga untukku. Maaf aku harus memberitahhu mereka karena aku tidak pernah merahasiakan apapun dari mereka. Mungkin lambat laun mereka akan mengerti kenapa aku mempunyai rasa yang beda untukmu." Jawabnya yang membuatku kembali tersentuh. Laki-laki ini punya cara tersendiri untuk membuatku merasa dihargai dan dibutuhkan.

"Terima Kasih Dirga." Ungkapku tulus.

"Untuk?.”

"Untuk segalanya yang kamu berikan dengan caramu sendiri." Dirga tersenyum manis padaku.

**

Dua minggu sudah berlalu semenjak sore itu. Aku hanya pernah sekali kesana untuk minum teh berdua dengan Dirga seperti yang kami lakukan sebelumnya. Bukan Dirga melupakanku, aku yang menghindar. Aku sering tidak mengiyakan ajakannya karena aku tau sebenarnya dia sangat sibuk dengan pekerjaannya jadi aku tidak ingin membuatnya lembur terus menerus. Meski begitu Dirga sering mengirimku pesan singkat yang hanya berisi beberapa kata, tapi mampu membuatku tersenyum. Akupun terkadang meneleponnya jika merasa hariku buruk atau merindukannya.

Hubunganku dengan Vino tidak ada kemajuan sama sekali. Dia sering berada di kantor. Dia juga selalu menghindariku. Aku selalu mencoba menahan emosi saat berhadapan dengannya dan melakukan apapun yang dia inginkan seperti memasak untuknya, menyiapkan pakaiannya atau memakaikan dasi karena bagaimana pun itu kewajiban ku sebagai istri. Tapi jangan berharap lebih, hubungan kami tidak seperti suami istri pada umumnya. Aku lebih terlihat seperti pengurusnya, tapi walaupun begitu aku bersyukur aku masih mempunyai kesempatan untuk menajdi istri yang baik untuknya meski tidak sepenuhnya. Sementara Rania, semenjak dirumahnya waktu itu dia belum pernah lagi bercerita tentang Dewi. Aku berpikir positif dan bersyukur mungkin itu karena hubungannya dengan Dewi maupuan hubungan Dewi dan ayahnya baik-baik saja.

Hari ini disekolah ramai karena diadakan lomba dan nanti dipenghujung acara akan diadakan pesta pergantian tahun. Acaranya berupa berkemah disekolah. Semua murid maupun guru menyambutnya dengan antusias karena itu artinya semua akan bermalam bersama, mengadakan api unggun dan saling bernyanyi. Tapi mungkin hanya aku disini satu-satunya orang yang tidak begitu antusias. Kenapa?, sebab acara perkemahan mengingatkan aku akan sebuah kesalahan besar yang kubuat sehingga membuat orang yang paling berharga bagiku pergi meninggalkan aku dan Vino dan itulah alasan hingga saat ini Vino memberikan sikap yang selalu membuat aku sakit hati.

Berbeda dengan Rania yang tidak aku sangka akan sangat antusias menyambutnya. Aku jadi senang melihatnya senang seperti itu. Rania terlihat seperti anak pada umumnya yang memiliki semangat. Tapi ada satu kendala, Rania memintaku untuk ikut dan menemaninya. Aku bingung karena aku tidak mungkin meminta ijin pada Vino. Aku yakin dia akan marah besar karena itu akan mengingatkannya pada anak kami. Aku sunggung bingung, tapi aku tidak dapat menolaknya. Aku rasa, aku akan memikirkan caranya nanti. Aku tidak dapat menolak permintaan anak semanis Rania.

Du hari sebelum perkemahan itu aku berniat untuk meminta ijin dari Vino. Aku akan mencoba berbicara dengannya. Aku berharap hari ini dia dapat berbaik hati padaku. “Vino," panggilku ketika dia akan pergi meninggalkan meja makan.

"..."

"Aku ingin bicara sebentar." Vino duduk kembali dengan wajah datar. Aku sungguh gugup untuk mengatakannya, aku coba menarik nafas dalam-dalam untuk membuat keberanian dari dalam diriku. Walau aku tau selama ini dia sudah tidak peduli aku akan pulang jam berapa jika dia sedang berada dikantor. Namun, aku tidak ingin ketika dia tiba-tiba pulang dari kantor dia tidak menemukanku. “Aku ingin meminta izin untuk menginap malam minggu ini," ucapku akhirnya susah payah.

"Kemana?,” tanyanya dingin. Aku bingung, apakah aku harus mengatakan yang alasan sebenarnya atau tidak. “Jangan bilang ke perkemahan karena aku tidak akan pernah mengizinkan mu sampai kapan pun." Lanjut Vino tegas, ketika aku berniat akan mengatakan hal yang sebenarnya. Niatku langsung menciut saat melihat wajah Vino yang sungguh marah dan aku takut.

"Ti..Tidak.”

"Jangan harap, aku sudah berbaik hati padamu Hanna dengan mengizinkan kamu untuk menjadi guru lagi." Kebencian Vino terlihat dari mata dan penekanan dalam setiap kata yang diucapkannya.

"Tapi itu bukan salah anak-anak polos itu Vin, semua salahku. Jangan kamu salahkan anak murid dan pekerjaanku." Sanggahku saat Vino selalu berbicara ke arah itu.

"Tapi karena itu kamu menelantarkan anakmu sendiri!.” Teriak Vino padaku seraya menangkis piring yang ada dihadapannya. Aku memejamkan mata dengan erat. Tetesan cairan bening lolos dari mataku tidak tertahankan. “Apa harus kamu mengatakan itu terus menerus?. Apa harus setiap kita bicara berdua kamu menyakitiku, Vin?. Sampai kota akan terus seperti ini?.” Tanyaku dengan pedih. Aku menangis kembali.

"Jangan tanya sampai kapan aku seperti ini?, karena aku juga tidak tau. Rasanya kebencian dan sakit ini telah menghapus cinta yang aku punya untuk kamu sedikit demi sedikit, Hanna. Bertahanlah sampai waktu yang aku sendiripun tidak tau kapan itu." Jawabnya yang membuatku menutup mata dan menangis terisak-isak.

Aku baru mendengar isi hatinya. Biasanya dia akan diam saja hingga aku harus menerka-nerka isi hatinya, tapi sekarang aku tau apa yang dia rasakan dan seketika itu hatiku hancur hingga tak berbentuk lagi. Aku berdiri membereskan pecahan piring yang tadi dipecahkan olehnya tanpa kupedulikan tanganku sendiri yang mulai terasa sakit karena aku menggenggam pecahan itu sangat kuat lalu aku beranjak dari dapur dan pergi ke kamar. Terlihat Vino duduk di mejanya sedang mengerjakan berkas-berkas. Tak lama teleponnya berdering. “Halo.” Sapanya langsung tanpa melihat nama si penelepon.

".."

"Aku sedang mengerjakan berkas yang diperlukan untuk besok."

".."

"Tunggu aku, kamu dimana?.” Tanya Vino dengan sedikit cemas. “Vi halo?.” Hatiku semakin hancur mendengar nama yang disebut Vino. Kenapa dia tidak menjauh?, setidaknya untuk sekedar menghargai perasaanku karena masih menganggap aku sebagai istrinya.

Saat aku pura-pura tidur, kudengar gerakannya yang mengambil sesuatu dari nakas samping. Lalu dengan agak terburu-buru Vino meninggalkan kamar ini. Aku membuka mataku menahan sakit yang teramat. Air mata ini kembali mengalir. Sampai kapan kamu akan membuat aku seperti ini Vino?. Sapu tangan milik Dirga yang ada didalam tasku segera aku ambil sebelum kemudian aku pergunakan untuk menghapus air mata.

Handphone yang berada di bawah bantal juga aku ambil, sambil menimbang-nimbang apakah aku benar-benar akan menghubunginya atau tidak. Lama aku menatap kontak dengan nama Rain di handphoneku kemudian pada akhirnya aku menekan tombol hijau. Didering kedua suaranya langsung terdengar.

"Halo Hanna." Katanya dengan sambutan hangat.

Aku yang masih terisak-isak hanya bisa memanggil namanya dengan lirih. “Dirga..."

"Hanna kamu baik-baik saja?.” Dirga terdengar khawatir setelah mendnegar isak tangisku.

"Bisa... aku datang ke perpustakaan sekarang?.” Tanyaku akhirnya dengan susah payah dan malu.

"Tentu, tapi saat ini kunci pintunya ada di Fera karena pagarnya tidak pernah dikunci. Fera sedang ke rumah mamahnya di Bogor." Jelas Dirga.

"Baiklah. Kalau begitu maaf aku mengganggu ya." Ungkapku.

"Tidak masalah. Kamu yakin tidak apa-apa?. Apa perlu kita bertemu?.” Tanya Dirga masih dengan nada yang khawatir.

"Tidak perlu, aku tau kamu sibuk. Aku tidak apa-apa. Aku.... cuma ingin kesana aja." Jawabku bohong agar Dirga tidak merasa bersalah. Meski sebenarnya hatiku juga kecewa, tapi aku sadar aku ini siapa dan aku tidak ingin merepotkanl apalagi menganggunya. Tanpa menunggu balasan dari Dirga aki kututup sambungan teleponnya. Aku takut semakin lama berbicara dengannya, maka semakin besar juga keinginanku untuk memintanya datang.

Akhirnya aku memutuskan untuk pergi saja ke perpustakaan itu. Biarlah aku tidak bertemu dengan Dirga yang terpenting aku akan merasakan hatiku membaik karena tempat itu mengingatkan aku akan Dirga dan biarlah aku tidak masuk juga yang terpenting hatiku akan sedikit tenang. Aku memutuskan untuk pergi tanpa mengganti baju, masih tetap dengan dress diatas lututku tadi sore. Rasanya terlalu malas untukku berganti baju.

Aku kemudikan Honda Jazz putihku menuju ke tempat perpustakaan itu dengan pelan. Ketika sudah sampai aku membuka pintu gerbang hitam tinggi itu, lalu kuparkirkan mobil. Aku turun dan langsung duduk di bangku panjang yang bersebelahan dengan lampu taman. Yang aku lakukan hanya duduk dan menatap langit malam. Sepi dan sunyi. Sungguh aku benci kesunyian speerti ini, akhirnya kuputuskan mengeluarkan handphone dan headsetku. Kuputar playlist lagu yang aku suka dan memakaikan headset di telingaku. Mataku terpejam dan mengalirlah kembali air mataku karena putaran kejadian antara aku dan Vino terputar. Air mataku semakin mengalir saat mengingat segala kata-kata Vino untukku.

"Aku tau kamu akan datang kesini," suara Dirga membuat aku membuka mata dan mendongakkan kepala. Dirga berdiri dibelakangku. Entah kenapa aku senang sekali menatapnya saat ini lama-lama sampai aki menangis sejadi-jadinya tanpa berkata apapun. Dan satu kalimat lolos dari bibirku. "Apa aku bisa bertahan sampai akhir hidupku?. Aku takut tidak bisa bertahan.”

"Ada aku sekarang disini," balasnya dan kini Dirga duduk disampingku sebelum kemudian melepas jaketnya untuk disampirkan diatas pahaku. "Malam ini dingin.” Katanya lalu Dirga melihatku dengan dalam.

"Kamu terluka?,” tanyanya panik ketika melihat tanganku. Aku memilih diam tidak menjawab. Aku hanya terus menatapnya. Dirga mengambil tanganku dengan sangat lembut kemudian menelaah lukanya. “Ini luka yang dalam, harus diobati biar tidak infeksi."

"Tidak apa-apa," jawabku.

Pandangannya beralih pada kedua mataku lagi. “Apa karena suamimu?,” tanyanya dengan wajah yang agak mengeras. Mungkinkah dia marah atau tidak suka?.

Aku menggeleng, mencoba mencari alasan tapi... “Ini.."

"Sudah jangan dijawab," potong Dirga dengan cepat dan singkat. Raut wajahnya semakin terlihat mengeras. Ekspresi Dirga ini pertama kalinya aku lihat dan ini membuatku semakin berpikir kalau dia marah.

"Kamu marah?.” Tanyaku memberanikan diri.

"Tidak, hanya kesal." jawabnya lalu aku menundukan kepalaku. "Lebih baik kita obati luka kamu. Kamu ikut aku ke kantor." Putusnya yang langsung membuat aku mendongak untuk memberikan penolakan dan protes. “Tapi nanti...”

"Dikantor jam segini hanya ada satpam dan cs. Kamu bisa diam di ruangan pribadiku. Kamu tidak bisa membantah untuk saat ini." Potong Dirga lagi dengan singkat dan aku tau kalau aku tidak bisa menolak dan hanya bisa memberikan iya padanya.

"Lalu mobilku bagaimana?.” Aku menunjuk mobil Jazz putih ku dengan dagu yang terparkir tidak jauh dari kami.

"Aku akan meminta orang untuk membawanya nanti. Kamu tinggal bilang saja nanti mobilnya mau dibawa kemana."

"Tapi aku tidak mau merepotkanmu..."

"Bisakah kamu tidak terus menerus merasa merepotkanku?. Aku tidak sama sekali merasakan direpotkan, Hanna." Protes Dirga dengan nada lembut.

"Maaf.." Cicitku pelan.

"Dan tolong jangan bilang maaf lagi. Kamu hanya perlu memanggil namaku setiap kamu merasa tidak enak." Katanya dengan tangan yang secara sekilas menyentuh tanganku. Hatiku selalu menghangat karena perlakuannya.

**

Setibanya dikantor Dirga yang memiliki banyak lantai, aku melihat-lihat ke sekeliling. Kantornya sangat besar, megah dan memiliki interior yang mewah. Aku berjalan dibelakang Dirga. Lalu aku mengikutinya yang masuk ke sebuah lift dan dia menekan lantai paling atas. Mungkinkah dia pemilik perusahaan ini?. Aku dan Dirga tidak pernah membicarakan mengenai pekerjaan kami, apalagi pekerjaannya.

Selama di dalam lift kami tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Dan ketika kami sampai di lantai paling atas Dirga mengambil lenganku untuk kemudian dugenggamnya. Aku sempat menggeleng padanya. "Ini lantai khusus untukku. Tidak ada orang lain.” Katanya. Sepertinya dugaanku benar kalau dia adalah pemiliknya. Akhirnya aku biarkan dia menggenggam dan menuntunku. Aku sempat menolaknya karena takut akan ada yang melihat kami.

Dirga membawaku masuk ke suatu ruangan yang didominasi warna abu dengan penataan yang sederhana, namun tetap terkesan mewah. Ruangannya ini sangat rapi persis seperti yang kuperkirakan. Lalu aku dituntunnya masuk lagi ke sebuah ruangan pribadinya yang masih didominasi warna abu. Ada ranjang berukuran besar dengan sprei warna abu pula. Dirga mendudukkanku di sofa yang ada dihadapan ranjang itu. Lalu dia sibuk mencari obat dan perban yang bisa membalut luka akibat serpihan piring tadi.

Dirga duduk disampingku dan mengobati lukaku. Aku dalam diam memperhatikannya. Dari jarak yang begitu dekat aku melihat wajahnya yang tampan dengan kulit putih dan mata yang meneduhkan. Dalam hatiku berkata, pantaskah aku mendapatkan rasa yang tidak biasa dari laki-laki yang begitu sempurna dengan segala ketamampanan dan kepribadian yang di milikinya?.

"Apakah memandangku seperti itu membuat hatimu bahagia?,” tanyanya yang membuatku seketika memalingkan wajah. Sangat memalukan sekali,

"Ti..tidak. Aku hanya sedang melihat lukaku." Dustaku gugup hingga dia tersenyum jenaka padaku. Aku menutup mataku erat sambil merutuki kebodohanku sendiri dalam hati.

"Baiklah jika jawaban itu yang kamu inginkan. Nah lukamu sudah selesai ku obati." Dirga mengelus tanganku dengan lembut. "Aku tidak suka kamu terluka. Kamu tau?. Tangan itu sangat berharga. Jangan sampai lecet sedikitpun." Ucapnya yang membuatku menitikkan air mata. Aku cengeng sekali. Apa karena aku sudah lama tidak pernah diperlakukan lembut oleh Vino sampai-sampai diperlakukan lembut sedikit saja aku terharu?. "Dan jangan terlalu sering menangis." Dirga kini menghapus air mataku dengan lengan kekarnya yang putih dan terasa hangat di permukaan kulit pipiku.

"Aku hanya tidak tau, berapa lama lagi aku dapat bertahan dengannya." Balasku yang membuatnya memelukku. “Seberapa sakit yang kamu rasakan karena suamimu, Hanna?.”

"Sangaaaaat. Sampai rasanya terlalu sakit. Hatiku yang sering dibuat sakit oleh sikapnya." Jawabku dengan tangisan yang semakin keras dan Dirga mengelus-elus punggungku begitu lembut. “Ada aku disini Hanna." Kalimat yang selalu keluar dari mulutnya dan membuatku mengeratkan pelukan padanya.

"Aku tau dia bersikap seperti itu karena aku..aku...membuat anakku pergi selamanya." Kataku lagi disela-sela tangisanku yang semakin menjadi-jadi. Aku merasa emosi dan segala hal yang menjadi beban di hatiku selama ini tumpah didepan Dirga. “Aku membunuh anakku sendiri Dirga." Raunganku semakin kencang dan pelukan Dirga semakin erat padaku.

"Tidak, itu memang sudah takdirnya, Hanna. Aku percaya padamu. Kamu tidak mungkin membunuh anakmu." Bantah Dirga namun tangisku belum berhenti. “Inilah yang selama ini kulihat didalam matamu, kerapuhan dan kesakitan. Dan aku sekarang percaya pada apa yang aku lihat dari matamu Hanna, tapi aku tidak menyangka kalau kamu serapuh ini dan sesakit ini." Aku tidak menjawab bahkan sampai Dirga melepaskan pelukannya dan menatapku. Aku terisak-isak dan menundukkan wajah didepannya karena malu. “Sekarang jawab pertanyaanku, apa kamu masih mencintainya?”

Aku kaget dengan pertanyaan Dirga. “Em... Aku tidak tau, tapi aku merasa aku tidak ingin berada didekatnya seperti dulu. Aku sudah terbiasa tanpanya. Aku tidak pernah peduli dia memperhatikanku atau tidak, tapi entah kenapa aku tidak suka dia hanya menganggapku angin lalu dan tidak menganggapku istrinya saat dia bersama wanita lain. Aku tidak merasakan getaran atau sesuatu saat kulitnya tidak sengaja bersentuhan denganku..."

"Apa kamu mencintaiku?,” potongnya yang membuatku terdiam dan kini memandangnya.

Aku merasakan wajahnya mendekat dan tanpa kusadari bibirnya telah menyentuh bibirku. Aku terdiam, otakku menyuruhku untuk menolaknya tapi yang kulakukan malah kebalikannya yaitu memejamkan mata. Dirga melumat perlahan bibirku dengan penuh kelembutan. Aku masih diam dan tanpa bisa ku kendalikan lagi bibirku sudah membalas ciuman yang penuh kelembutan itu. Hingga Dirga melepaskan bibirnya dan aku membuka mataku lalu menatap matanya.

"Aku tau kamu kini sudah mencintaiku," ucapnya seraya membersihkan mulutku dengan ibu jarinya pelan lalu membingkai wajahku. “Dan aku juga tau aku sudah mencintaimu Hanna Sastrajaya." Pikirku terasa memanas. Jujur, aku malu. Dirga sudah membuatku menyatakan cinta tanpa harus berkata dengan sebuah pengakuan.

"..."

“Kamu bisa tidur disini, aku akan mengerjakan dokumen yang harus kuselesaikan." Aku mengangguk tanpa berkutik. Dirga berdiri dari tempatnya kemudian keluar dari ruangan ini. Tepat ketika aku sedang mengamati apa yang ada diruangan ini Dirga muncul kembali dengan tumpukan kertas yang berada ditangannya. Aku kira dia akan meninggalkan aku sendiri dan mengerjakan berkasnya di ruang kerjanya.

"Tidurlah, kamu pasti lelah." Titahnya.

"Boleh aku temani?.” Tanyaku hati-hati yang disambut oleh hangat senyumannya. Aku merubah posisiku dengan berbaring dikasur yang ada diruangan itu dengan posisi menyamping sambil memperhatikan Dirga di meja. Cukup lama aku memandanginya hingga dia membuka suaraya.

"Apa kamu tidak bosan memandangku seperti itu?,” tanyanya sambil terus melihat ke arah berkasnya. Aku tidak menjawab dan memilih tetap memandanginya lalu keluarlah pertanyaan yang entahlah yang selalu berputar dikepalaku. Tapi tidak berani ku tanyakan. "Seperti apa istrimu itu?.” Dirga mendongakkan kepalanya dari kertas-kertas dimejanya. Aku agak sedikit terkejut, mungkin kah dia tidak suka aku menanyakan hal pribadinya?. “Aku hanya ingin tahu. Kalau kamu tidak ingin menceritakannya tidak apa-apa." Sambungku lagi.

"Dia orang yang begitu tergila-gila dengan pekerjaan. Bagaimana dengan suamimu?.” Dirga bertanya balik. Aku bernafas lega Dirga tidak marah.

"Dia orang yang begitu dingin," jawabku sambil mengubah posisi tanganku. “Kamu suka makanan apa?,” tanyaku yang lain.

"Mmmhh... bukan makanan yang penting tapi yang paling penting adalah siapa yang memasaknya dan dengan siapa kita makan. Itu yang menjadi kesukaanku." Dirga menjawab pertanyaan ku dengan terus menandatangani berkas-berkasnya.

"Apa kamu akan memakan makanan yang aku buatkan?.”

"Tentu.” Jawabnya cepat dan yakin.

"Walaupun itu penuh dengan kalori?”

"Ya," jawabnya dan akupun tersenyum.

"Kenapa kamu sangat membuatku nyaman?.” Akhirnya kalimat itu yang keluar dari bibirku.

"Aku tidak tau jawabannya karena akupun punya pertanyaan yang sama untuk kamu, Hanna." Aku tersenyum lagi karena jawabannya. Lalu aku menemaninya hingga kurasakan mataku sangat berat dan kegelapan datang.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel