Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 7

Tetaplah menjadi langit jingga keemasan maka aku akan jadi hujan

Saat jam pelajaran usai Rania seperti hari kemarin menghampiriku dengan senyuman yang mengembang. “Apa Rania begitu senang mendapatkan teman baru seperti ibu?," tanyaku. Rania langsung mengangguk bahagia.

"Apa ibu akan mewujudkan berbagai macam hal yang Rania impikan?.” Aku kebingungan dan mengernyitkan kening mendengar pertanyaan Rania. Dan seakan mengerti dengan kebingungan ku Rania melanjutkan kalimatnya, “Banyak hal yang ingin Rania lakukan bersama seseorang.

“Dan Rania ingin melakukannya dengan ibu?.” Rania langsung mengangguk bahagia menjawab pertanyaanku.

"Baiklah, Rania kan teman bu Hanna." Rania tertawa hingga sosok itu kembali terlihat untuk hari ini. Berdiri tegak dengan wajah yang sangat ramah dan manis. Ya Tuhan kenapa aku sebegitu detailnya melihat Dirga?. Sudah siap?.” Tanya Dirga. Rania mengangguk, begitupun denganku.

Tak cukup lama perjalanan dari sekolah ke rumah Rania, hingga ketika kami turun dari mobil aku melihat sosok wanita. Sosok wanita yang ada di bingkai pohon itu. Wanita dengan rambut pendek. Dia tersenyum sangat cantik. Aku mematung seketika. Bibirku rapat dan kakiku rasanya tak sanggup untuk melangkah. “Hai Rania, hai sayang," ucapnya mesra lalu menghampiri kami. Terlihat Dirga menoleh ke arahku dan aku tak sanggup untuk menegakkan kepala. Aku menundukkan kepala menatap sepatuku.

"Hai Tante." Aku terkejut oleh panggilan Rania pada wanita itu sehingga aku mengangkat wajahku. Tapi sedetik kemudian apa yang jadi pertanyaan dalam otakku terjawab. “Kan sudah aku bilang, aku sekarang ini mamammu Rania. Panggil aku mamah."

"Tidak," balas tegas Rania lalu mendekat padaku dan menggenggam tangan kananku. Aku cukup aneh dengan reaksi Rania. Tidak ada tatapan mata senang dengan keberadaan ibu yang dipanggil tante oleh Rania itu. Yang ada hanya tatapan rasa takut dan tidak mau didekati.

Dirga sepertinya sadar aku merasa tidak nyaman dengan keadaan ini, dia mengalihkan perhatian istrinya. “Oh ya, kenalkan ini guru les privat Rania.”

"Ya aku sudah tau dari Bi Lastri. Kenalkan saya ibu dari Rania, nama saya Dewi Utomo." Perempuan cantik yang bernama Dewi itu mengulurkan tangannya padaku dan dengan susah payah aku menerima uluran itu. "Nama saya Hanna Sastrajaya. Wali kelas dan guru privat Rania.” Aku sedikit menelisik penampilannya. Berbeda sekali denganku. Dia memakai baju berwarna senada dengan lipstiknya merah menyala, dengan paduan tas dan juga sepatu berwarna hitam. Sedangkan aku sekarang memakai baju berwarna hijau mint dengan tas putih dan juga sepatu senada.

"Senang berkenalan dengan anda.” Katanya membuyarkan lamunanku, sepertinya dia juga sedikit menelisik penampilanku. Aku menjawab hal serupa dengan sebuah senyuman. Kemudian tidak berselang lama Dewi pamit untuk pergi bekerja kembali.

"Mau ku antar?,” suara Dirga tiba-tiba terdengar ketika Dewi akan beranjak menuju mobilnya. Entah kenapa perasaanku tidak menentu, perasaan terbakar namun ada perasaan yang jauh lebih besar dari itu yaitu sebuah perasaan berasalah. Jadi aku lebih mengabaikannya dan mengelus kepala Rania yang sedang berpegangan tangan padaku.

“Boleh, kalau kamu sempat."

"Kalau begitu naik ke mobilku. Aku akan antar." Seketika aku sadar kalau aku masih berdiri disamping pintu mobil Dirga. Dengan perasaan yang sulit aku jabarkan, aku menggeser langkahku dan memberinya ruang untuk masuk. Sekilas aku bisa melihat mata Dirga, entahlah aku salah atau tidak tapi melihat perasaan seperti merasa bersalah dan kasihan padaku juga menunggu jawabanku. Kepalaku menggeleng cepat dengan senyuman kaku yang aku paksakan, memberitahukannya dengan gerakan kalau aku tidak apa-apa dan tidak seperti apa yang dipikirkannya. Dirga tersenyum balik sebelum masuk ke dalam mobil kemudian pergi meninggalkan aku dan Rania di halaman rumahnya.

“Ayo kita masuk.” Ajakku, Rania mengangguk semangat dan berjalan beriringan denganku masuk kedalam rumah. Mendadak aku ingat apa yang dikatakan Rania tadi mengenai panggilan tante untuk mamahnya. Apa mungkinkah orang itu yang membuat Rania sedih?, karena dari pancaran matanya seperti ada perasaan sangat tidak suka pada wanita yang bernama Dewi itu. Atau itu hanya perasaanku saja?. “Bu Hanna," panggil Rania ketika dia duduk di sebelahku dan memecahkan pikiranku.

"Ya Rania." Jawabku lembut sambil mengelus sayang kepalanya.

"Apa aku bisa menunda les ku untuk hari ini?.” Aku mengernyitkan kening langsung saat mendengar permintaannya. Tumben. Rania adalah anak yang rajin dalam hal belajar. Dia selalu semangat. Pasti ada sesuatu, sampai dia tidak ingin les hari ini. Aku pun bertanya kenapa. Rania menjawab dengan kepala yang menunduk malu. Mungkin dia takut aku tidak akan mengizinkannya dan memandang alasan yang diberikannya itu hal konyol. “Aku hari ini hanya ingin berbagi rahasia dengan temanku.” Aku terkejut dengan jawaban Rania. Apa rahasia yang akan dikatakan Rania adalah alasannya selama ini memiliki ekspresi yang sedih?. Dengan senang hati, aku pun mengabulkan keinginannya. Sorot mata Rania berubah total saat aku mengelus kepalanya dan mengabulkan keinginannya. Senyumnya terkembang sempurna. Tapi sesaat kemudian dia bertanya kenapa dia langsung mengizinkannya.

“Jika itu yang kamu inginkan sayang. Tentu boleh. Apalagi Rania selama ini selalu rajin dan enggak pernah mengeluh." Jelasku pada Rania. Tidak tunggu lama, dia langsung menarik tanganku ke kamarnya yang ada dilantai dua. Biasanya kami belajar di ruang tengah. Pertama kali aku melihat kamarnya, jujur aku takjub dengan kamarnya. Semua didominasi oleh warna pink dengan banyak barang yang tertata rapih juga bersih. Luas kamarnya pun dua kali lipat besarnya dati kamar ku sekarang dengan Vino sepertinya. “Sini Bu Hanna duduk.” Rania menarikku untuk duduk di atas karpet putih tebal dengan posisi Rania yang tertidur di atas pangkuanku . Aku mengikuti apa yang diinginkannya.

“Bu Hanna mau mulai mendengar rahasiaku?.” Aku mengangguk antusias. “Sudah lama aku tidak melakukan ini," monolognya. Sesaat aku menatapnya sendu. Kesedihan yang terlihat di raut wajah Rania bisa aku rasakan. Ada apa sebenarnya dengan Rania?. Hal kecil seperti ini saja bisa membuatnya begitu bahagia?. Sebegitu kesepian kan dia?.

"Baiklah, rahasiaku adalah .... dimulai dari wanita yang bernama Dewi itu. Dia bukan ibu Rania, dia adalah saudara kembar ibu Rania. Oh ya, Ibu Rania meninggal ketika Rania kecil. Ayah menikah dengan tante Dewi karena nenek yang meminta, itu Rania tau karena nenek dulu yang mengatakannya pada Rania agar Rania mau cepat-cepat memperbolehkan tante Dewi jadi ibu baru Rania.” Jelas Rania dengan mata yang menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Seakan Rania mencoba kembali ke masa dia bercerita.

"Tante Dewi selalu sibuk dengan pekerjaannya hingga dia melupakan kalau dia sudah berjanji pada Rania. Sebelum menikah, Rania mengajukan syarat. Tante Dewi boleh jadi ibu Rania asalkan dia selalu mau menemani Rania. Tapi... setelah menikah dengan ayah, dia lupa janjinya dan selalu sibuk. Jika Rania tanya, dia akan menjawab kalau pekerjaan adalah nomor satu untuknya karena dengan bekerja tante Dewi merasa senang. Tante Dewi hanya selalu menyuruh bibi buat menemani Rania bermain." Aku terdiam akan penjelasan Rania. Merasa kasihan dengannya, dia di abaikan oleh orang terdekatnya. Rania membutuhkan teman. Sebelum mengatakan hal selanjutnya, Rania mengalihkan pandangannya ke bawah. Bahkan nada yang keluar dari mulut Rania selanjutnya pelan dan terasa seperti berbisik. “Bu Hanna tau rahasia apalagi yang membuat Rania sedih?.” Katanya. Aku menggeleng padanya dengan tangan yang tidak berhenti mengelus kepalanya.

"Tante Dewi mengancam kalau Rania rewel dan merengek pada ayah. Dia bilang akan membawa ayah pergi keluar negeri dan menetap disana meninggalkan Rania disini sendirian. Atau Rania yang akan di pindahkan ke luar negeri sendirian." Reaksiku setelah mendengarnya adalah yang pasti kesal. Haruskah dia sampai mengancam seperti itu kepada seorang anak kecil seumur Rania?. Ternyata rahasia Rania belum berhenti sampai di situ. Matanya kini menutup saat mengatakannya. Bahkan kedua tangannya ikut menutupi wajahnya. “Satu kali Tante Dewi pernah sangat emosi pada Rania. Waktu itu Rania rewel minta ditemani berenang di kolam renang." Aku langsung kaget dan bertanya, "Apa tante Dewi mumukul Rania?.”

Rania mengangguk dan dari celah tangannya ada air mata yang menetes. Rania menangis untuk pertama kalinya. Dan hatiku remuk melihatnya. “Dia memukul pipi Rania." Tanganku dengan sendirinya memeluk kepala Rania sambil menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Dan mencoba untuk terus menenangkannya. Jiwa Rania pasti terluka. Dan mungkin kejadian itu akan terus diingatnya sampai besar nanti. Malang Rania.

"Rania tidak cerita pada ayah?.” Tanyaku setelah Rania agak tenang.

"Tidak, Rania tidak mau membuat ayah khawatir. Selan itu Rania tidak bisa mengatakannya karena tante Dewi punya rahasia besar dari ibu Rania. Kalau ayah tau, ayah akan sangat hancur. Dan Rania tidak mau ayah terluka.” Penjelasan Rania dari awal sampai terakhir ini membuat aku diam dan merasa tidak percaya anak sekecil Rania harus mengetahui dan memikul beban yang berat. Tidak seharusnya. Sampai aku berpikir satu hal, apa benar Dewi tau rahasia ibu Raniaa?. Bagaimana kalau ternyata dia juga berbohong hanya untuk membuat Rania diam?.,

"Rania yakin itu rahasia ibu Rania?. Bagaimana jika tante Dewi berbohong?,” tanyaku hati-hati pada Rania. Mendadak aku merasa kesal kalau apa yang aku pikirkan dan kesimpulan yang aku dapat itu benar. Rania mendapatkan permainan serumit ini dari seorang wanita dewasa yang menyukai laki-laki dewasa. Hana, jangan berpikir yang macam-macam dulu tanpa mengetahui semua cerita lengkapnya. Peringkatku pada diri sendiri.

"Rania liat sendiri buktinya.” Jawab Rania lemah. Keningku kembali mengkerut. “Bukti apa?.”

Sebelum menjawab pertanyaanku, mata Rania menatapku lekat-lekat. Aku tidak tau kenapa Rania melakukannya?. Apa dia ragu untuk bercerita?. Aku yang tidak ingin membuat Rania merasa di tuntut untuk bercerita aku sudah akan berkata kalau dia tidak cerita pun tidak apa-apa. Mungkin itu adalah rahasia yang sulit dia katakan. Tapi belum aku berkata, Rania sudah membuka mulutnya dan menjelaskan. “Foto berdua mamah bersama laki-laki lain," jawabnya yang membuatku seketika memeluknya lagi. Sungguh kesal, haruskah Dewi menceritakan hal tidak pantas seperti itu pada Rania?. Gadis yang baru berumur 10 tahun. Dimana hati nuraninya itu?, setelah mengancam dan memukul Dewi membuat hari-hari gedis kecil ini begitu sedih. Padahal Rania adalah keponakannya sendiri. Haruskah Rania memikul masalah dan beban seberat ini?.

Aku mendekapnya erat-erat. "Rania tenang, ada ibu disini," ucapku dengan tangis yang mulai mengalir. Beberapa kali aku mengecup puncak kepalanya dengan lembut. Berharap Rania merasakan kasih sayangku padanya. Dan berpikir kalau di dunia ini masih banyak orang yang menyanyanginya termasuk aku. Walaupun aku hanya gurunya, tapi bukankah guru juga orang tua untuknya juga saat di sekolah.

Rania melepas pelukanku dan mendongak. "Apa ibu akan menjaga rahasia Rania sampai kapanpun?.” Ternyata benar dari awal tadi sebenarnya yang Rania takutkan itu adalah aku tidak dapat menjaga rahasianya. Dengan yakin dan pasti aku pun mengangguk. "Tentu Rania, mulai sekarang berbagilah rahasia dengan bu Hanna kalau Rania rasa tidak dapat memendamnya sendirian dan sedih. Ibu akan selalu ada untuk Rania dan yang pasti ibu tidak akan menceritakannya pada siapapun." Kali ini Rania yang mengangguk antusias. Mungkin karena merasa lega telah berbagi bebannya denganku, Rania kembali merebahkan dirinya di pangkuanku. Aku pun menawarinya untuk dibacakan cerita, Rania langsung menyetujuinya dan tak lama Raniapun tertidur.

Merasa mengantuk juga, aku merebahkan kepalaku pada ujung ranjang milik Rania. Aku pikir sebentar saja ikut tertidur karena membangunkan Rania dan memindahkannya pun tidak tega. Tepat saat aku bangun, aku merasakan tangan kekar seseorang menyangga kepalaku dan menjadi bantal untuk aku tidur. Tentu aku langsung terkejut dan terkesiap saat melihat Dirga duduk disampingku dan tersenyum saat aku menoleh. “Maaf, tanganmu pasti pegal menyangga pada ujung ranjang yang keras.” Aku langsung menegakkan kepalaku dan membenahi rambut panjangku yang agak berantakan. “Rania tertidur setelah aku bacakan cerita. Hari ini suasana hatinya sedang tidak baik jadi aku hanya menemani dan membacakan cerita saja. Tapi aku juga malah jadi mengantuk dan tertidur disini." Jelasku takut dia berpikir yang macam-macam. Seperti biasanya, tanpa banyak bicara Dirga hanya membalas perkataanku dengan tersenyum.

"Aku akan memindahkan Rania ke ranjang. Aku rasa kakimu juga pegal karena lama menjadi bantal untuk Rania juga."

"Tidak masalah." Dengan sigap Dirga memindahkan Rania ke ranjangnya. Selanjutnya aku merutuki kebodohanku, karena pada saat akan berdiri aku merasakan kakiku kram sampai tubuhku agak limbung. Dirga menangkap tubuhku dan kedua tanganku kini bertengger di bahunya. Mata kami bersirobok dan menimbulkan perasan aneh. Bodohnya, aku diam dengan posisi itu agak lama hingga setelah beberapa detik aku tersadar dan mencoba melepaskan diri darinya walaupun dengan kaki yang masih agak pincang. "Maaf, kakiku kram tadi.” Ungkapku dengan wajah yang terasa panas. Ada apa denganku ini?.

"Mau menghabiskan waktu denganku sore ini?. Duduk melihat langit dengan buku dan teh hangat?.” Tawarnya puitis dan aku terdiam memikirkannya. Haruskah aku menerimanya?. Aku menunduk lama memainkan jariku, menimang untuk menerima ajakannya atau tidak. “Aku ikut ke toilet dulu.” Aku terlalu gugup. Jadi daripada terus dilihat Dirga aku memilih bersembunyi didalam toilet. Selain untuk meredakan jantungku aku juga tidak mau salah mengambil keputusan untuk menerima ajakannya atau tidak. “Di sini aja, kamar Rania ada toilet juga.” Dirga menunjuk toiletnya. Aku mengangguk terima kasih kemudian kabur ke dalam toilet.

Didalam toilet aku memegang dadaku dan langsung membilas wajahku dengan air agar aku bisa sadar. Tapi bukannya reda, wajahku malah semakin memanas saat ponsel yang ada di dalam saku rokku berbunyi dan satu pesan masuk.

From : Ayah Rania

Aku merindukanmu.

Sebaris kalimat itu membuat aku semakin gila dan tidak mampu menolak karena di dalam hatiku yang paling dasar aku juga merasakan hal yang sama. Ya Tuhan.

**

Saat keluar dari toilet pemandangan pertama yang aku lihat adalah senyuman Dirga. “Bagaimana?.” Tanya Dirga lagi dan aku mengangguk lemah. “Ayo.” Ajaknya sambil membawakan tasku yang ada di atas karpet kemudian menyerahkannya padaku. Aku mengikuti saja setiap langkahnya keluar dari kamar Rania, berjalan dibelakangnya. Hingga ketika disamping mobilnya Dirga membukakan pintu mobilnya untukku sebelum kemudian mempersilahkan aku untuk masuk. Ketika aku sudah masuk, saat aku akan memakaikan safety belt. Dirga juga menarik kan safety belt untukku dan memakaikannya. Aku hanya diam dan memandanginya. Ada perasaan yang tidak biasa. Aku jarang dapat perlakukan seperti Ratu saat bersama Dirga. Ya Tuhan kenapa aku berpikir seperti ini?. Aku menghilangkan pikiran kacau ku bersamaan dengan mobil Dirga yang perlahan meninggalkan pekarangan rumahnya.

Selama diperjalanan aku hanya menatap lurus kedepan begitupun dengan Dirga, sampai kami tepat ada didepan perpustakan yang saat ini banyak orang yang duduk di taman sambil membaca. Tidak seperti pertama kali aku datang, mungkin karena hari ini tidak hujan. Aku berjalan kembali dibelakang Dirga dan mengikuti langkahnya. Lalu kami berhenti didepan Fera dan sepupu laki-laki Dirga. “Tolong bawakan dua cangkir teh hangat ya untukku." Katanya ramah.

"Kamu harus jelaskan dulu pada kami," ucap Fera dengan pelan namun masih terdengar olehku hingga membuat Dirga berbalik menoleh padaku dan tersenyum. Dirga tidak terlihat panik seperti ku saat ada yang bertanya speerti itu, dia masih tenang. Mungkin karena pembawaannya dan tidak aku tambah panik. “Hanna carilah dulu buku yang ingin kamu baca. Aku harus bicara sebentar dengan mereka." Dengan patuh aku mengangguk pada Dirga kemudian pamit pada kedua sepupunya.

Aku berjalan menyusuri satu persatu rak yang ada. Mencari novel romance yang menarik untukku. Satu persatu aku menelaah synopsis buku-buku di rak dan membuka satu persatu buku-buku novel itu. Langkahku terhenti lama saat menemukan satu novel menarik kemudian langsung membawanya ke meja untuk dibaca. Tidak tau karena Dirga yang mengobrol lama atau karena mataku yang memang mengantuk sebab tidak tidur nyenyak semalam, aku kembali tertidur di meja dengan buku yang masih terbuka.

Saat kubuka mata Dirga sudah duduk disampingku dan tangannya telah kembali menjadi bantal untuk ganjalan tidurku. Dirga tersenyum sangat manis padaku. Untuk saat itu aku ingin egois dan diam saja memandang wajahnya saja. "Aku yakin kamu hanya tidur sebentar malam sampai-sampai sudah dua kali kamu tertidur seperti ini.” Katanya dengan lembut dan pelan.

"Sudah berapa lama aku tertidur?.” Balasku tidak mau membahas lebih panjang mengenai kenapa semalam aku tidak bisa tidur nyenyak. Aku akan menceritakan sikap Vino yang lagi-lagi seenaknya, tidak pulang dan pulang pagi-pagi hanya untuk sarapan juga berganti baju.

Dirga memutar bola matanya ke atas, persis seperti sedang mengerjai Rania kemarin. Pura-pura terlihat sedang berpikir keras. “Mungkin satu jam.” Jawabnya santai.

"Maaf, tanganmu pasti kram." Merasa tidak enak karena diam saja dengan posisi seperti itu aku menegakkan kepala dan memijit-mijit tangannya pelan. Lalu aku tersadar saat Dirga tersenyum dan memandangku lekat-lekat. Aku buru-buru melepas tanganku. "Maaf.”

"Kamu senang sekali mengatakan maaf." Aku hanya bisa tersenyum lagi untuk pertanyaannya. “Ayo bawa bukumu, kita kehalaman belakang sambil meminum teh.” Kemudian tanpa kuduga Dirga mengambil tangan yang ada diatas pangkuanku dan menggenggamnya. Wajahku terangkat untuk melihatnya dan dia hanya kembali tersenyum. Sorot matanya lembut. Dirga menuntunku terus bahkan saat kami harus melewati Fera dan sepupunya, aku hanya menundukan kepalaku saat itu. Namun Dirga terus menuntunku sampai di halaman.

Saat disana Dirga berhenti dan menggenggam kedua tanganku dengan kedua tangannya. “Apa kamu baik-baik saja?, tadi saat aku......” tanya Dirga hati-hati dan menggantung. Aku menatap melihat kedalaman kedua matanya. Aku tau maksud dari kata-katanya itu. Pasti karena tadi aku melihat dia dan Dewi, bukan karena mataku yang terlihat habis menangis semalaman. Dirga tidak pernah menanyakan hal mengenai Vino, kami saling tau aturan yang telah kami bicarakan sebelumnya.

"Tentu, kenapa aku harus tidak baik-baik saja." Jawabku agak gugup karena takut Dirga menemukan hal yang tadi aku rasakan saat melihatnya bersama Dewi.

"Aku merindukanmu," balasnya lalu kami saling berpandangan. “Jangan menangis lagi, aku ada disini." Dirga mengelus pipiku, tapi aku menahan tangannya dan menurunkannya.

"Terima kasih. Aku juga." Aku melepas tangannya karena aku takut apa yang tidak kuinginkan terjadi. “Ayo duduk, kita mengobrol sambil melihat pemandangan. Sayang kalau dilewatkan." ucapku lalu duduk di bangk dan diapun ikut duduk disebelahku dengan cangkir berisi teh yang sudah tersedia di meja.

Kami pun larut dengan keindahan langit sambil sesekali menyesap teh yang sudah agak dingin. Tapi terasa hangat. “Kenapa kamu menangis?,” tanyanya tenang. Sementara aku kebingungan, apa aku harus menceritakannya?.

Diam agak lama kemudian akhrinya menjawab dengan pelan. “Karena suamiku."

"Apa aku boleh tau kenapa?,” ucapnya lembut dan sopan. Tidak ada nada menuntut apalagi memaksa.

Aku menjawab dengan sesantai mungkin. “Karena dia tidak mencintaiku lagi. Sepertinya." Hanya jawaban itu yang ada dalam otakku. Bingung harus menceritakan semuanya. Terlalu panjang kisahku untuk kujawab dengan satu kalimat. Karena masalah kami memang sudah berlarut-larut dan kurasa itu adalah rahasia dari keluargaku.

Dirga tidak merespon apapun atau menuntut cerita nya lebih jauh. Aku bernafas lega. Dirga hanya menyesap kembali tehnya kemudian berkata, “apa kamu tau alasanku suka menatap langit di saat sore speerti ini?.” Aku menggeleng.

Dirga menatap langit sore ini dengan serius. Bahkan seperti sedang bercumbu dengan langit saking dia menyukai dan memuja langit saat matahari akan terbenam. “Karena aku tau jingga ini akan membawa warna baru pada langit dan hari yang baru. Itu artinya juga membawa harapan baru jika cerita kita hari ini buruk maka akan diganti dengan cerita yang menyenangkan esoknya.” Jelasnya penuh penghayatan. “Dan kamu tau kenapa aku juga menyukai hujan?,” tanya Dirga lagi padaku. Aku kembali menggeleng.

"Hujan membuat kita lebih meluangkan waktunya untuk seseorang. Hujan juga membuat kita dapat melihat ketulusan seseorang dan hujan juga yang menahan kita disini. Membawa cerita baru yang indah dan cerita baru yang itu adalah kamu, Hanna." Selesai mengucapkan itu semua Dirga kemudian menatapku. Aku jadi ikut menatapnya hingga pandangan kami bertemu dalam waktu yang lama. Tidak speerti sebelum-sebelumnya, dimana aku akan mengalihkan pandangan ku atau menolehkan wajahku ke arah lain.

“Tetaplah menjadi hujan yang selalu menahanku disini. Duduk berdua bersama kamu sambil melihat langit dan merasakan kalau hidupku ini masih ada sesuatu yang biasa dibilang oleh orang itu cinta." Lanjut Dirga padaku dengan mata yang teduh dan pandangan yang menghangatkan. Namun walaupun begitu dapat aku lihat setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah sebuah keseriusan.

"Dan tetaplah menjadi langit berwarna jingga keemasan yang membuatku datang kemari untuk duduk berdua denganmu dan merasakan kalau aku masih bisa merasakan kenyamanan." Balasku padanya.

Dirga hanya tersenyum, begitupula juga denganku. Kami kembali menatap langit sore hari sambil menyesap teh yang dingin namun membuat hatiku menghangat. Ya ampun kenapa aku begitu merasa nyaman dan hangat bersama laki-laki ini. Laki-laki yang bernama Dirga, laki-laki yang menjadi ayah Rania——- muridku dan laki-laki yang merupakan suami dari Dewi. Aku tidak tau apa yang akan terjadi kedepannya, tapi aku harap hubunganku ini dengannya tidak akan merubah apapun.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel