Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 6

Buku dan kopi

Setelah melihat pemandangan sore, Dirga mengantarkan aku pulang. Dengan pakaian yang sudah berganti tentunya, yang dibawakan Fera. Jika aku tidak mendapatkan pakaian ganti, aku tidak tau harus pulang bagaimana. "Aku tidak tau kamu akan suka atau tidak, tapi tadi aku meminta tolong Fera membelikan baju ganti untuk kamu." Dirga menyodorkan paper bag cukup besar.

"Aku akan ganti. Maaf aku tidak membawa dompet."Ungkapku malu karena terus merepotkannya.

Sambil berlalu Dirga berkata, "tidak usah itu tidak seberapa kok. Aku tunggu di luar ya." Aku jadi merasa tidak enak, dia baik sekali. Aku tau harga baju ini memang tidak seberapa untuk dia seorang pengusaha, tapi aku sangat merasa tidak enak. Aku akan mengganti uangnya nanti. "Kamu suka?." Itu yang Dirga katakan pertama kali ketika aku keluar dari rumah mungilnya.

"Suka, terima kasih."

"Sudah aku bilang, jangan ucapkan itu terus. Kamu memang cantik." Pipiku rasanya langsung memanas mendengar pujiannya. "Tadi aku bilang pada Fera kalau kamu sepertinya suka model sederhana dan berwarna soft."

"Dari mana kamu tau?."

"Aku hanya menebak saja. Dan ternyata tebakanku benar." Dirga terlihat seperti seorang anak kecil yang sedang menyombongkan kemampuannya menyelesaikan soal matematika. Tanpa sadar aku tertawa kecil karena tingkahnya itu. Dia bisa juga bersikap seperti itu, pikirku. Dan dia pun ikut tertawa.

Ketika mobil Dirga akan memasuki komplek, aku memintanya berhenti dan menurunkan aku. Dirga bingung kenapa aku ingin diturunkan di depan komplek bukan didepan rumah?. "Aku takut ada yang lihat." Jawabku gugup. 

Dirga tidak merespon apa-apa, dia hanya diam menunduk. Sementara aku tidak tau kenapa hanya diam saja sambil memainkan jari-jariku. "Ehm..., terima kasih sekali lagi untuk hari ini." Dengan malu aku mengatakannya sembari membuka sabuk pengaman.

"Sampai bertemu lagi besok." Ucapan Dirga membuat aku diam beberapa saat untuk mencerna perkataannya, namun akhirnya mengangguk. "Selamat malam Hanna." Dirga melengkungkan bibirnya dengan begitu indah karena ketulusannya, membuat aku ikut tersenyum. "Selamat malam Dirga."

Setelah turun dari mobilnya aku berjalan sendiri dengan tatapan lurus. Tidak ingin menoleh dulu ke belakang, tapi setelah beberapa langkah aku menengok ke belakang ternyata mobilnya tidak bergerak sedikitpun. Malahan lampu mobilnya menyoroti aku. Sepertinya untuk menerangi langkahku karena memang lampu didepan komplek ini tidak begitu terang dan suasananya juga sepi. Seketika aku tidak merasa sedang berjalan sendirian.

Bibirku tersenyum dengan refleks. Setiap perlakuan dan sikapnya begitu menghangatkan. Perhatian kecil, tapi mampu memberi efek besar.

Saat sedang berjalan tiba-tiba handphone yang ada digenggamanku berbunyi. Kulihat ada dua pesan masuk.

From    : 08***

Jangan takut. Kamu tidak berjalan sendiri.

Aku masih disini.

Dua pesan itu kembali membuat aku tersenyum. Sengaja, aku tidak membalas pesannya. Cukup seperti ini saja hatiku sudah menghangat di tengah udara malam yang sangat dingin ini karena bagi ku tidak perlu perasaan menggebu, seperti sekarang ini lebih baik. Perasaan yang tenang, tapi tidak akan cepat berakhir. Apa yang baru saja aku katakan?. Apa aku baru saja mengharapkan ini akan berjalan lama?.

**

Sesampainya di rumah, keadaan gelap, sepi dan kosong. Aku menyalakan seluruh lampu rumah dan berjalan ke atas. Kubuka pintu kamar dan tidak ada Vino disana. Aku menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya besar lalu berbaring di kasur dengan lemas. Meanatap jendela kamar yang gelap dengan gorden yang menari kesana kemari mengikuti arah angin seperti aku yang hanya mengikuti kemana takdir akan membawaku. Tidak tau kenapa aku begitu ingin menekan call di kontak yang kusimpan sekarang dengan nama Rain. Beberapa kali aku akan menekan call namun aku terus mengurungkannya, sampai akhirnya aku benar-benar menekannya dan panggilanku langsung diangkat.  "Hai." Sapanya langsung dengan nada ceria?.

"Apa aku menganggu?." Tanyaku dengan agak gugup, takut kalau aku mengganggunya.

"Tidak. Aku sedang di kantor mengerjakan beberapa pekerjaan yang belum selesai, tapi sekarang aku sedang beristirahat melihat pemandangan kota." Aku benar-benar lega mendengarnya.

"Syukurlah. Ehm...., apa kamu merasa kesepian?." Tanyaku yang membuat dia diam karena sepertinya dia harus mencerna terlebih dulu pertanyaanku yang mendadak. Selang beberapa lama, dia akhirnya menjawab "Iya. Sekarang ini didepanku cuma ada kaca besar yang diam dan tidak bersuara. Apa kamu dirumah sendiri?."

"Ehm..." Bingung harus menjawab apa karena aku tidak mau dianggap yang bukan-bukan atau dia pun berpikir hal yang lain.

"Apa kamu sering sendiri?." Tanyanya lagi.

.....

"Suamimu?."

"Tidak tau, sepertinya meeting. Istri kamu?."

"Katanya meeting."

"Apa kamu ingin bertemu di coffe shop?." Tanyanya ragu setelah kami sama-sama tidak bersuara dan hanya terdengar suara hembusan nafas.

"Tidak. Aku tidak ingin mengganggumu."

"Tunggu kalau begitu." Lalu sambungan diputus olehnya. Aku sangat terkejut setelah mencoba mengerti apa yang akan dia lakukan?. Apa dia akan datang kerumahku?. Oh tidak, aku tidak ingin. Aku benar-benar cemas. Mendadak aku mondar mandir di kamar sampai satu pesan masuk. "Keluarlah sebentar, aku hanya ingin memberikan sesuatu." Awalnya ragu, apakah aku harus menghampirinya atau tidak, tetapi akhirnya seperti ada suatu dorongan yang aku tidak yakin apa itu tapi membuatku berlari menuruni tangga ke lantai bawah dan segera membuka pintu. Benar saja ada mobil Mercedes Benz silver di depan. Aku membuka pagar dan kulihat dia langsung keluar dengan baju yang sama dengan memegang satu kopi Starbuck dan buku.

"Supaya kamu tidak kesepian." Dirga menyodorkan buku dan kopi yang dipegangnya. "Buku bisa membuat rumah kamu terang dan kopi bisa membuat kamu hangat." Hari ini beberapa kali aku dibuat takjub oleh sikapnya. Belum pernah kudapatkan perhatian kecil seperti ini dari seseorang dan hatiku sangat tersentuh.

"Terima Kasih. Kamu sampai-sampai menyempatkan waktu untuk ini."

"Hanya 30 menit dari waktuku selama 20 jam untuk bekerja. Jadi bukan hal yang besar." Ucapan tulus Dirga diakhiri dengan senyumannya. "Aku pergi dulu ya."

"Iya, sekali lagi makasih." Dirga langsung membuka pintu mobilnya dan saat dia akan masuk aku memberanikan diri untuk berkata, "hati-hati" ucapku lalu berjalan cepat memasuki rumah.

Tepat ketika akan menutup pintu, aku menoleh lagi kebelakang. Ternyata Dirga masih disana dan tersenyum padaku. Jantungku seketika berdetak lebih cepat dari biasanya, karena merasa takut ketahuan Dirga aku langsung menutup pintu dan menghirup nafas dalam-dalam untuk menetralkan detak jantungku. Ya ampun aku tidak pernah mengalami hal ini lagi.

"Lucu sekali aku mengalami hal seperti ini lagi," gumamku sendiri dan aku melihat coffe cup dan buku yang ada ditanganku.

**

Paginya aku terbangun dengan baju sama yang kupakai hari kemarin. Buku dan kopi itu sudah dingin di atas nakas. Aku memandanginya. Aku tidak meminum kopi atau membaca bukunya. Aku hanya menatapnya. Aku rasa itu cukup bagiku untuk merasa tidak kesepian. Ku edarkan pandanganku, namun aku tak menangkap keberadaan Vino. Ku raih handphoneku di dekat bantal, ku buka riwayat panggilanku kecewa yang kudapat karena tidak menemukan nama Vino masuk, lalu kubuka kotak masuk atau bbm atau line atau whatssapp ku tapi tak kutemukan satupun notif darinya. Hingga aku menemukan satu pesan masuk dari Dirga.

"Pagi, semoga harimu menyenangkan." Sapaan yang biasa namun membuat hatiku menghangat sehingga aku bisa tersenyum tanpa kusadari. Jarikupun dengan sendirinya mengetik huruf demi huruf membentuk kalimat sapaan yang sama padanya. "Semoga harimu juga menyenangkan."

Lalu kuhapus pesannya.

Cukup sederhana, tapi membuatku dapat memulai hari dengan perasaan baik walaupun suamiku membuat aku mengawali hari dengan sakit yang teramat di hatiku. Hingga kuputuskan untuk menghubungi Vino, berharap dia akan mengangkat dan membeikan penjelasan kenapa dia tidak pulang semalam namun yang kudapat hanya suara operator yang mengatakan kalau sang pemilik tidak mengaktifkan nomornya.

Aku menghembuskan nafas kasar, berbicara pada diriku sendiri bahwa aku tidak boleh serakah. Cukup dia mengirimku pesan, aku bahagia, aku tidak boleh berharap banyak pada Vino yang berstatus sebagai suamiku sendiri. Tapi setelah kalimat itu hati kecilku bersuara "Pantaskah aku mengatakan itu?."

Satu jam aku sudah bersiap-siap dan saat aku akan keluar dari kamarku, laki-laki yang selalu menyakiti hatiku itu datang dengan kantung mata dan dasi yang sudah longgar. Apa dia tidak tidur? Ada apa dengan dasinya?. Apa dia bersama Sivia malam tadi?. "Kamu mau berangkat sekarang?," tanyanya sembari merebahkan diri di kasur.

"Hmm..."

"Apa kamu akan membuatkanku sarapan dulu?l"

"Hmm.."

"Apa kamu sudah tidak ingin berbicara dengan suamimu lagi?." Aku menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi emosi yang kini sepertinya akan tumpah jika sedikit lagi Vino memancing emosiku.

"Apa yang kamu inginkan Vino?," tanyaku dengan dibuat setenang mungkin.

"Tidak ada, aku hanya ingin kamu menjadi istri yang baik." Aku tarik lagi nafas dalam-dalam, kenapa sesesak ini berbicara dengan Vino sekarang?. "Baiklah. Jelaskan padaku bagaimana menjadi istri yang baik menurutmu?."

"Aku ingin kamu menatap mata suamimu ketika kamu berbicara dengannya." Aku pun berbalik dan menatap matanya. "Aku sudah menatapmu, apa lagi yang kamu inginkan biar aku menjadi istri yang baik untukmu?."

"Aku akan mengatakannya satu persatu sampai akhir hidupmu." Vino lalu duduk dan berjalan melewatiku.

"Apa kamu sadar sudah menyakiti hatiku?," tanyaku yang membuatnya berhenti namun dia tidak menjawab dan melanjutkan lagi langkah kakinya masuk ke dalam kamar mandi. Aku memejamkan mataku erat-erat, kenapa tidak ada kebahagiaan sedikitpun dalam rumah tangga ini setelah kejadian itu?," padahal rasaku padanya tetap sama. Apa dia belum merasa cukup untuk menghukumku selama dua tahun ini?.

Setelah pertengkaran kecilku dengan Vino, aku membuatkannya sarapan. Omelete seperti biasanya, namun memang belum cukup sepertinya dia membuat hatiku sakit. Dia turun dan mengatakan. "Ini hari kamis, dan kamu lupa?. Aku selalu menginginkan salad untuk hari kamis  dan selasa karena kedua hari itu perusahaanku selalu ada acara makan siang bersama. Jadi aku tidak ingin sarapan yang mengenyangkan."

Aku benar-benar lupa, karena memang Vino termasuk laki-laki yang menjaga makanannya dan sedikit rewel terhadap apa yang dia makan. Jadi dia mempunyai jadwal menu untuk apa yang dia makan pada hari tertentu yaitu kamis dan selasa karena menurutnya agar kadar kalori yang ada pada makanan kantor akan terseimbangi pada sarapan paginya. Seketika aku hembuskan nafas, membuang rasa kesal karena kecerobohanku sendiri. "Maafkan  aku, makan saja omelete ini. Untuk minggu depan aku tidak akan lupa." Putusku.

Dia melirikku kemudian ambil piring omelete itu, aku kira dia akan memakannya tapi ternyata dia membuang omelete itu ke tempat sampah. "Kalau kamu tidak ingin membuatkan salad untukku, kamu tinggal bilang saja,"

"Bukan itu maksudku: aku sudah terlambat. Anak-anak pasti menunggu." Belaku.

"Aku tidak menyuruhmu bekerja dan aku tidak suka kamu menjadi guru." Katanya tegas.

"..."

"Kamu lebih mencintai anak orang lain, daripada anakmu sendiri hingga kamu membuat anak kita pergi," perkataannya seakan sedang menancapkan belati padaku.

Aku berpegangan pada kitchen set, tau jika sebentar lagi aku tidak berpegangan maka tubuhku akan meluruh ke lantai. Harus berapa kali dia mengatakan kalau aku penyebab kematian anak kami?, Dan harus berapa kali dia mengingatkanku sebagai pembunuh anakku?. Apakah dia tidak tau disini hati siapa yang paling terluka? Aku ibunya lebih terluka daripadanya, walaupun aku tau dia sangat menyanyangi dan mendambakan kehadirannya.

"Aku sudah tidak berselera," lalu dia pergi dengan dingin dan tidak lama dari itu terdengar suara deru mobil. Saat itu pula tangisku pecah, aku meraung-raung sejadi-jadinya menumpahkan segala emosi dan rasa sakit yang kuterima karena perlakuannya padaku. Harus bagaimana lagi aku menebus semua salahku itu?. Harus bagaimana lagi aku untuk membuat suamiku itu kembali seperti semula?.

**

Karena kejadian tadi pagi, aku terlambat datang 40 menit kesekolah. Winni yang pertama kali kulihat sudah ada di mejanya sedang mengerjakan sesuatu. "Hai Winni," sapaku. Winni mendongakkan kepalanya dan seketika langsung mendekat pada wajahku.

"Kamu menangis?," tanyanya yang membuatku meraba wajahku sendiri. Apa karena terlalu sering aku menangis?. Atau karena tadi pagi saj akau terlalu lama menangis?.

"Ah..masa...?," jawabku gugup.

"Iyalah Hanna, mataku ini sehat ya bisa melihat dengan jelas. Lagipula lingkaran hitam dan mata kamu yang bengkak itu nyata. Apa kamu ada masalah?. Kamu bisa percaya dan cerita sama aku." Katanya dengan tulus membuatku tersenyum.

"Aku gak apa-apa kok. Tenang aja. Iya aku pasti cerita sama kamu." Winni pun ikut tersenyum padaku.

"Permisi, selamat pagi." Satu suara yang membuatku menegang dan langsung membalikkan tubuh. Benar saja di pintu sudah ada laki-laki yang malam membuat hatiku tidak karuan.

"Ya, ada yang saya bisa bantu Pak Dirga?." Tanya Winni. Darimana dia tau? Ah dia ini kan kalau sama yang tampan pasti langsung ngeh.

"Ya, saya ingin bertemu dengan wali kelas Rania," jawabnya. Aku langsung menunduk.

"Oh ini dia. Kalau begitu saya tinggal dulu, jam pelajaran saya hampir dimulai." Winni pergi dan aku mengangkat kepalaku lalu menatapanya.

"Ada keperluan apa Pak Dirga?. Silahkan masuk." Aku duduk dikursiku dan dia duduk dihadapanku.

"Saya ingin mengembalikan raport Rania yang sudah di tanda tangan."

"Oh kenapa tidak titip Rania saja?." Tanyaku heran.

"Lebih sopan kalau saya sendiri yang memberikannya," jawabnya kemudian dia seakan meneliti wajahku. Aku langsung mengalihkan pandangan kemanapun, takut dia melihatnya dan menyadari sesuatu. "Apa itu saja?." Dia mengangguk dan berkata, "kalau begitu saya permisi." Aku pun mengangguk dan dia kini mengulurkan tangannya untuk dijabat.Aku memandang uluran tangan itu lalu menjabatnya dengan ragu juga kaku. "Terima kasih, selamat pagi bu Hanna." Kemudian dia benar-benar pergi dari hadapanku, meninggalkanku yang kini duduk di kursi dengan lemas.

Tak lama dari itu handphoneku berbunyi, "Rain". Cukup lama aku menimbang apakah harus mengangkatnya atau tidak?, hingga aku menekan tombol hijau.

"Hallo."

"Kamu tau, sebenarnya aku datang menyerahkan raport itu karena satu alasan." Katanya langsung.

"Apa itu?"

"Aku hanya ingin melihatmu," jawabnya yang membuatku terdiam. Apakah secara tidak langsung dia mengakui kalau dia merindukanku?.

".."

"Apakah kamu menangis semalaman?." Ah aku lupa mata dan wajahku begitu buruk pagi ini.

"...."

"Wajahmu jadi jelek kalau habis menangis seperti itu."

"..." Kami cukup lama terdiam tanpa suara namun sambungan itu masih berjalan. Hingga dia mengatakan satu kalimat yang lagi-lagi membuatku terkesan karena perhatiannya.

"Jangan menangis lagi." Dengan segera kumatikan sambungan itu dan kupegang dadaku yag berdetak kencang. Apakah perhatian sekecil ini saja membuat aku berdegup kencang?. Aku baru mengalami ini setelah dua tahun aku tidak pernah merasakannya lagi.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel