Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 5

Awal cerita kita

Setelah selesai mengajari Rania, dia meminta ijin untuk membawa makanan di dapur. Rania memintaku untuk menemaninya sebentar sebelum aku pulang. Aku tidak tega untuk menolak permintaannya, apalagi setelah melihat ke sekeliling rumahnya yang begitu besar namun begitu sepi. Aku merasa Rania juga merasakan hal yang sama persis seperti yang selama ini kurasakan. Kesepian dan terluka. Perasaan yang benar-benar menyiksa dan selalu membuatku seakan ingin berlari jauh dan menemukan kerumunan, tapi disaat menemukan keremunan itu perasaan menyiksa itu anehnya selalu masih ada. Jadi apa yang sebenarnya kucari itu?. Sebuah keramaiankah?. Atau hanya satu orang, tapi yang mampu membuat aku merasa di rumah dan nyaman?. Apa mungkin Rania merasakan hal seperti itu juga?.

Sambil menunggu Rania, aku mengedarkan pandanganku pada sekeliling rumah ini. Aku lihat rumah ini tampak besar namun sangat rapi. Sepertinya hampir tidak ada debu sedikitpun yang menempel. Ah sudah kuduga dari penampilan pemilik rumah ini, ayah Rania sangat rapi dan bersih. Tatapanku terhenti pada sebuah foto berbentuk pohon. Di foto itu, ada foto Rania, foto ayahnya dan dua wanita yang berbeda tapi tampak serupa. Yang satu memiliki mata yang lebih sipit, yang satu tidak begitu. Dan untuk perbedaan lainnya aku melihat dari rambut mereka. Yang satu dengan rambut panjang tergerai agak bergelombang, sementara yang satunya memiliki rambut pendek dan lurus. Apa itu ibu Rania?. Tapi kenapa ada dua foto wanita?.

"Bu Hanna suka ice cream cokelat atau vanila?," Rania muncul dengan dua mangkuk ice cream yang dipegangnya di tangan kiri dan kanan.

Sebelum menjawab, aku memperlihatkan wajahku yang dibuat sedang berpikir. "Ehm... kalau Rania suka yang mana?." Tanyaku balik, bermaksud supaya Rania bisa memakan kesukaannya tanpa mengalah padaku.

"Rania suka dua-duanya, tapi lebih suka yang coklat."

"Kalau begitu ibu mau yang vanilla." Rania memberikan mangkuk ice cream vanilanya padaku. Kami berdua makan ice cream dengan saling melempar canda dan tertawa. Lalu ayah Rania muncul dari satu ruangan.

"Ayah?. Rania kira ayah pergi ke kantor lagi." Rania memekik sambil berlari menghampiri ayahnya.

"Enggak, ayah hanya perlu menandatangani sesuatu saja di ruang kerja. Jadi ayah enggak ke kantor lagi." Jawab ayah Rania dengan mata yang sekilas melihatku.

Aku dengan gugup buru-buru meletakan ice creamku dan berdiri. "Maaf sebenarnya saya tadi sudah selesai, tapi Rania meminta saya menemaninya sebentar. Kalau begitu saya pamit saja. Rania ibu pergi dulu ya." Pamitku langsung karena aku jadi tidak enak pada ayah Rania. Aku takut disangka ingin berlama-lama disini.

"Tidak apa-apa, Bu Hanna tidak perlu pergi terburu-buru seperti itu. Habiskan saja dulu ice creamnya dengan Rania. Biar saya antar saja nanti, Rania memang ingin sekali memakan ice cream berdua dengan temannya." Aku bingung harus menjawab apa dengan tawaran itu, cukup lama aku berpikir hingga ayah Rania kembali bersuara. “Saya harap anda tidak menolak Bu Hanna." Ayah Rania tersenyum lembut memperlihatkan mata kucingnya lagi dan aku kembali tidak bisa menolaknya. Pasrah, aku kembali duduk disamping Rania dan berkata baiklah dengan lesu. Ayah Rania berlalu entah kemana dan aku kembali mengobrol bersama Rania. Oh sungguh anak ini tidak pernah membuatku bosan, dia selalu membuatku tertawa. Hingga percakapan kami pun tidak terasa sudah satu jam dan ayah Rania sudah muncul kembali.

"Bisakah saya pulang sekarang?." Tanyaku hati-hati.

"Tentu, mari."

"Besok kita belajar dan bermain lagi ya." Rania mengecup pipiku.

Aku membalas kecupan sayangnya di pipi. "Pasti sayang, kalau begitu ibu pulang dulu ya Rania."

Seperti sebelumnya perlakuan ayah Rania selalu sopan. Ketika sedang didalam mobil dia menoleh ke arah ku tenang, "bisa kita meminum coffe atau teh dulu sebegai teman?."

Aku terkejut dengan apa yang ditanyakannya, ditambah dengan tatapan meneduhkan itu. Aku senang dengan ajakannya, tapi aku tau ini tidak benar hingga jawaban yang keluar dari mulutku. "Maaf tapi ini sudah terlalu sore." Aku menunduk dan memainkan ujung dress hitamku. Aku tak ingin terlihat berharap karena ajakannya atau kecewa karena menolaknya.

"Oke baiklah." Engah kenapa jawabannya terdengar penuh kekecewaan. Setelah percakapan itu tidak ada yang bicara lagi. Aku tetap diam dan dia pun sama, hingga mobil Mercedes Benznya berhenti tepat di depan pagar rumahku dan Vino. "Terima Kasih sudah mengantar."

"Kamu bisa memanggilku jika kamu butuh teman untuk mengobrol. Ini nomor ku. Panggil saja Dirga." Ayah Rania mengambil kertas ditasnya dan menuliskan nomor handphone. Aku tidak punya pilihan selain menerima secarik kertas itu lalu buru-buru turun. Saat mobilnya sudah mulai menjauh, aku menatap kertas itu dan berpikir apa yang harus kulakukan?. Akhirnya pilihanku adalah meremas kertas itu dan melemparnya ke tong sampah yang ada di depan rumahku.

Tidak di sangka, begitu aku masuk rumahku sendiri ada satu wanita yang sangat tidak ingin kulihat. Dan dia dengan entengnya menyapaku seakan tidak ada yang salah saat ini. "Hai Hanna."

"Oh hai." Jawabku malas pada sapaan perempuan itu.

"Kamu sudah pulang?. Oh ya aku udah masak, ayo kita makan sama-sama." Rasanya aku ingin mengacak-ngacak makanan yang dia buat. Apakah pantas pemandangan dan kondisi seperti ini di rumahku sendiri?. Seorang sahabat perempuan suamimu sedang memasak didapurmu dan dia menawarkan untuk makan bersama seolah dia adalah pemilik rumah ini dan aku tamunya. Lalu dimana suamiku itu?. Apakah dia tau sahabatnya seperti ini?. Ah aku lupa mereka seperti perangko, jadi tidak mungkin dia tidak tau.

"Dimana Vino?," tanyaku dengan suara yang sudah bergetar karena sebentar lagi sepertinya air mataku akan turun.

"Dia diatas, sedang mandi." Ya Tuhan, aku tidak sanggup lagi. Berbagai pikiran buruk mulai bermunculan dikepalaku, tapi aku tau aku tidak bisa mengambil keputusan sepihak tanpa tau dari orang yang bersangkutan. Dengan emosi yang aku tahan aku langsung naik ke lantai atas menuju kamar kami. Kulihat dia sedang menyisir rambutnya. Aku menutup pintu keras hingga berbunyi BLAM.

"Ada apa?, kamu pulang langsung marah-marah begitu." Vino bertanya dengan tenang dan polos. Apa dia memang sedang mempermainkanku?. Emosiku tidak bisa dibendung lagi. Aku yang biasanya diam karena dia tidak pernah berbuat sejauh ini langsung berkata dengan nada dingin. "Apa perasaanku itu sama sekali gak berarti apa-apa buat kamu Vin?. Kamu tau siapa yang ada didapur milikku?." Hatinya benar-benar beku, dia tidak kaget sama sekali dengan perkataanku. Dia tenang malah terkesan dingin.

"Ya, aku tau." Air mataku seketika jatuh mendengar jawabannya.

"Apa kamu masih anggap aku istri kamu?." tanyaku dengan susah payah disela tangisku.

"Jelas, kamu selamanya akan menjadi satu-satunya istriku dan tidak akan berubah sampai kapanpun." Mungkin kata-katanya akan romantis jika suasananya tidak seperti ini dan tidak ada maksud lain dari kata-katanya itu karena sebenarnya aku tau dia tidak akan melepaskanku sebagai istrinya karena dia ingin terus menyiksa dan menghukumku.

Pertahananku rasanya untuk hari ini tidak bisa bertahan lama hingga kuputuskan untuk membuka kembali pintu kamar kami dan pergi dari rumah ini. Dan sebelumnya aku bilang, "Lakukan saja semau kamu, tapi jangan harap ini akan terjadi buat kedua kalinya. Kamu sudah berhasil menyiksaku Vino, sangat."

Vino tidak mengejar atau tidak menahanku. Aku turun tangga dengan tergesa-gesa, ingin segera keluar dari rumah ini. Namun saat didapur suara wanita itu kembali terdengar. "Ayo makan, dimana Vino?. Apa perlu aku panggilkan ke atas?."

"Ke atas saja, aku tidak akan mengganggu acara makan malam romantis kalian." Aku berlalu secepat kilat. Berlari kearah tempat sampah dibawah pohon untuk mencari benda yang kubuang tadi. Tidak lama, aku menemukan kertas yang sudah kugulung. Masih tercetak jelas tulisan dan nomornya. Dengan tangan bergetar dan menahan isak tangis, aku menekan nomor dari kertas itu di ponselku lalu menekan "call". Aku menunggu beberapa saat karena panggilanku tidak langsung diangkatnya. Dalam hati, kalau memang dia tidak mengangkat maka aku akan merobek kertas yang ada ditanganku saat ini.

Takdir. Disaat aku akan menutup telepon itu terdengar suara dari seberang sana "Hallo.”Entah kenapa seketika aku seperti mendapat asupan berharga. Rasanya sama saat aku berada di kelas dan mendengar tawa renyah anak muridku.

"Hallo.... Ini Hanna," ucapku dengan bergetar.

"Kenapa Hanna?, " seketika suaranya berubah panik.

"Bisa kita mengobrol seperti yang kamu tawarkan tadi?." Tanyaku gugup.

"Iya, tentu."

"Aku tunggu didepan komplek ku.” Langsung kututup sambungan teleponnya.

Dari depan rumah aku terus berjalan dengan pandangan lurus kedepan. Menembus hujan yang membuat ku kedinginan. Maaf, bukannya ingin seperti adegan yang ada didalam drama. Aku hanya sudah tidak peduli pada apapun lagi. Aku tidak mempunyai waktu untuk memikirkan bagaimana caranya melindungi sendiri dari hujan dengan payung atau apapun karena nyatanya aku pergi dari rumah begitu saja. Sekarang ini yang aku inginkan hanya pergi menjauh dari Vino.

Sesampainya di depan komplek, aku menunggu beberapa menit sampai akhirnya kulihat Dirga turun dengan terburu-buru dari mobilnya dan membukakan payung lalu menghampiriku. Aku terdiam membeku dan memandangi wajahnya. Dalam pikiranku sendiri, kenapa tadi aku menghubunginya?. Kenapa aku menginginkan dia datang?. Apa karena ajakannya tadi sebelum mengantarkanku pulang?. Berputar-putar otakku mencari jawaban yang tepat, tapi nyatanya yang aku dapatkan adalah karena aku hanya ingin menghubunginya.

Cukup lama kami saling menatap, sampai akhirnya tangan yang besar dan hangat itu menghapus air mataku yang mulai terlihat turunnya setelah dipayungi olehnya. Aku tidak menepis atau melakukan apapun untuk menghalanginya, yang aku lakukan hanya diam saja.

"Jangan menangis," ucapnya ditengah suara air hujan yang turun deras semakin membuatku terus menatapnya dan mengikuti arah bola mata hitamnya yang bergerak.

"Aku.. tidak tau kenapa meneleponmu dan aku juga tidak tau kenapa menginginkan kamu datang. Aku sendiri bingung. Aku terus memikirkan kenapa, tapi aku tidak mendapatkan jawaban yang aku inginkan. Yang aku tau hanya apa yang aku rasakan saat melihat kamu adalah sama seperti ketika aku menemukan anak muridku yang tertawa untukku sehingga membawakan aku sebuah kekuatan yang dibutuhkan oleh ku untuk tetap berdiri disaat aku sama sekali tidak bisa tersenyum atau tertawa," ucapku yang mengalir begitu saja dari mulutku namun tetap ada kegugupan yang tidak bisa kutahan.

Aku tidak tau kalau respon yang akan diberikannya adalah senyuman hangat itu. Senyuman yang membuatku beberapa kali membeku. "Aku senang mendengarnya Hanna."

"Aku juga senang mendengarnya Dirga," balasku. Awalnya aku menyesali telah mengatakan hal tadi. Takut kalau ini hanya kurasakan sendiri, tapi setelah mendengarnya aku tau bahwa aku tidak merasakannya sendiri.

"Ayo masuk ke mobil. Aku tau tempat yang cocok untuk kita mengobrol." Kami berjalan beriringan ke mobil dengan satu payung yang menaungi kami. Aku merasa dejavu dengan ini dan kenangan disekolah seketika terlintas di kepalaku. Baru saja aku duduk di mobil, Dirga membuka jaket yang dipakainya lalu menyampirkannya ke pundakku. "Buat sementara, supaya kamu enggak kedinginan."

Selama di perjalanan, Dirga atau ayah Rania itu tidak membuka suaranya sama sekali. Aku berterima kasih karena dia tidak membuka mulutnya. Entahlah aku merasa tidak ingin membahas mengenai Vino karena itu adalah masalah keluargaku. Biarlah yang jadi urusannya urusanku dan yang jadi urusannya adalah urusannya. Mungkin suatu saat nanti kami akan saling bercerita.

Setelah sekitar 40 menit, Mobil Mercedes Benz Dirga berhenti di sebuah rumah yang tidak terlalu besar namun asri. "Dimana kita?."

"Perpustakaan umum milikku yang dijaga sama dua sepupuku." Senyumku mengembang melihat perpustakaan seindah ini. Dengan halaman hijau yang membentang dan bekas tetesan-tetesan air hujan yang masih terlihat didedaunan. Tau dengan arah pandanganku dia berkata, " biasanya kalau tidak hujan banyak orang yang baca di taman."

"Luar biasa." Senyumku tidak berhentinya mengembang setelah melihat tempat ini. Aku jatuh hati dengan tempat ini pada pandangan pertama. Apalagi ini adalah perpustakaan, salah satu tempat kesukaanku.

"Kamu senang membaca Hanna?." Aku mengangguk antusias. "Tidak salah berarti aku ajak kamu kesini, ayo kita turun." Begitu aku turun, tempat ini terlihat lebih dekat dan jelas. Membuatku semakin jatuh hati. Rumah kayu satu lantai dengan gaya minimalis dan halaman hijau yang luas. Tempat ini harus kuakui sebagai tempat yang sempurna dan hangat.

"Dibelakang ada lagi halaman, tapi itu khusus untuk aku ketika datang kemari. Untuk membaca atau menenangkan diri." Jelasnya?.

"Terima Kasih sudah membawa aku kesini." Dirga hanya tersenyum padaku.

Ketika masuk ke dalam langsung tercium wangi buku lama dan baru yang bercampur. Kulihat rumah yang disulap menjadi perpustakaan ini sangat rapi dengan rak-rak kayu yang tertata rapi dan mengkilat bersih. Ada beberapa orang yang sedang membaca. Lalu ada dua orang dengan satu orang laki-laki dan satu orang perempuan yang sepertinya merupakan penjaga perpustakaan ini. Mereka menyambut kedatangan Dirga. "Wah tumben pak bos yang sibuk ini menyempatkan datang kemari." Kata laki-laki dengan perawakan agak hitam dan rambut yang agak berantakan.

"Iya, pantes aja hujan diluar. Biasanya akhir tahun begini kan lagi sibuk-sibuknya." Timpal perempuan yang manis dengan dress hijau cerah. Aku rasa dia masih berusia sekitar dua puluh tahunan.

Sementara mereka mengobrol, aku diam saja dibelakang Dirga sambil membuka-buka halaman di buku yang berada di atas meja depan. “Menyindir?. Aku pengen mendinginkan otakku. Oh ya Fera kamu punya baju yang disimpan disini?." Pertanyaan Dirga membuat Fera tampak kebingungan dan akhirnya menggeleng.

"Hanya ada beberapa bajumu saja di rumah samping."

"Baiklah, ayo Hanna." Aku yang merasa dipanggail menoleh dan mereka berdua langsung terlihat sangat terkejut melihat keberadaanku. Pasalnya ketika aku dan Dirga datang mereka tampak sedang sibuk sendiri, mungkin tidak teliti dengan siapa Dirga datang. Apalagi penampilanku sangat berantakan dengan rambut yang sudah lepek karena hujan dan baju yang masih meneteskan air hujan. Aku hanya bisa menundukkan wajahku dan tersenyum kikuk karena malu.

"Tolong ya buatkan dua cangkir teh hangat buat kami dan bawa ke halaman rumah samping." Mereka hanya mengangguk bingung sementara aku ditarik Dirga dengan lembut dan dituntun ke rumah samping yang dikatakannya tadi. Sentuhan dan genggaman tangannya membuatku terkejut, rasanya darahku mengalir dengan cepat. Aku tidak tau apa, tapi rasanya hampir sama saat tadi dia menghapus air mataku. Bedanya, efeknya lebih besar.

Di rumah yang sangat kecil atau mungkin bisa lebih tepat disebut kamar yang besar karena hanya terdiri dari satu ruangan yang menyatu dengan dapur juga ruang TV Dirga mengeluarkan kemeja biru muda dan celana kerja hitamnya. “Pakai ini saja dulu supaya kamu tidak kedinginan. Oh iya, kamu bisa mandi disini. Didalam ada air hangat dan handuk baru yang bisa kamu gunakan. Aku tunggu di halaman depan. Kamu bisa menyusul jika sudah selesai." Kenapa dia selalu berkata padaku dengan senyuman yang tidak pernah pudar. Aku menjadi seperti terhipnotis dan hanya bisa mengangguk patuh.

"Maafkan aku merepotkanmu dan .... Terima kasih." Ungkap ku dengan malu.

"Sudah berulang kali kamu mengucapkanya." Dia kemudian pergi meninggalkanku di kamar yang sangat besar ini.

Persis seperti dugaanku kalau kamar ini tertata dengan rapih dan didominasi warna abu muda. Aku langsung tertarik untuk masuk ke kamar mandinya yang memiliki satu bathup dan beberapa handuk yang tertata rapi. Sepertinya aku harus berendam dan menghilangkan penatku. Hampir satu jam aku berendam hingga kulitku putih dan keriput. Setelah selesai mandi, aku memakai baju kemeja biru muda Dirga yang sesuai dugaanku akan kebesaran dibadanku yang kecil ini. Sayang, celana kerjanya sangat besar dan longgar di pinggangku. Celana itu tidak bisa aku pakai sama sekali tidak seperti kemejanya. Tapi berikutnya aku bingung, tidak mungkin aku keluar memakai kemeja ini saja. Tinggiku yang lumayan tidak jauh berbeda darinya membuat kemejanya ini memperlihatkan paha dan kakiku. Aku mondar mandir sampai satu ketukan terdengar. "Hanna kamu baik-baik saja?." Tanyanya dengan nada yang terdengar cemas.

"Ehmmmm..,” aku kebingungan, malu harus mengatakannya bagaimana

. "Itu... celana kerjanya..kebe..saran"

"Oh iya, baiklah aku akan membawakan selimut putih tipis. Kamu bisa memakainya untuk membelit kakimu. Tunggu sebentar." Tidak lama Dirga mengetuk kembali dan ketika kubuka dia langsung mengulurkan selimut putih itu. Aku langsung membawanya dan membelitkan di pinggang. Lumayan, selimut itu menutupi pahaku. Lega rasanya. Bukan apa-apa, aku tidak ingin orang yang melihat membuat ini menjadi fitnah. Aku nanti disangka yang bukan-bukan dengan Dirga.

Ketukan kembali terdengar, "Hanna apa selimutnya bermasalah?."

"Enggak."

"Lalu?."

"Aku merasa tidak enak dilihat orang jika melihat aku...kamu.."

"Tidak akan ada yang melihat, keluarlah. Kita akan duduk dihalaman. Rumah ini tidak sembarangan dimasuki orang." Terang Dirga yang membuat ku kembali menghembuskan nafas lega. “Ehmmm baiklah." Akupun keluar lalu melihat Dirga mengacungkan sebuah buku sambil bertanya, "kamu suka buku romance?."Aku mengangguk. "Aku tadi mengambilkannya untukmu." Kata Dirga.

"Terima kasih."

"Jangan ucapkan itu terus." Ujarnya dengan lembut dan aku mengangguk dengan sedikit gugup. Lalu akhirnya kami duduk di taman hijau yang kecil. Ditemani oleh dua cangkir teh hangat yang membuat badanku kembali hangat dan sebuah buku yang menjadi pelengkap utama. Kami cukup lama terbuai dengan buku kami masing-masing hingga aku menutup bukuku.

"Apa kamu tidak sedang sibuk di kantor?."

"Aku memang biasanya sibuk bulan Desember, tapi aku ingin beristirahat dulu sebentar untuk hari ini." Aku mengangguk-ngangguk mendengarnya.

"Terima kasih."

Aku mengernyitkan keningku. "Untuk?."

"Untuk jadi teman Rania." Jawabnya dengan senyuman hangat yang benar-benar membuat hatiku menghangat.

"Aku yang harusnya berterima kasih padanya karena percaya padaku untuk dijadikan teman. Aku banyak mendapat kekuatan darinya."  Kami sama-sama terdiam, mungkin dia bingung apa harus menanyakan masalahku atau tidak.

"Hubungan apa yang kamu inginkan dari hubungan kita ini?" Pertanyaan yang keluar dari mulutnya membuatku menoleh. Jelas, aku kaget dengan pertanyaannya. Dia ikut menoleh padaku lalu kembali menatap halaman dengan lurus sambil menyesap teh hangatnya. Aku berpikir lama untuk mendapatkan jawaban yang tepat.

"Aku juga tidak tau, tapi yang pasti hubungan yang tidak merusak hubungan kita masing-masing." Jawabku lalu menunduk karena malu.

"Maksud kamu?."

"Aku ingin kita sama-sama bisa mengobrol dan saling menjadi kekuatan, tapi tidak ingin menjadi nomor satu. Apalagi menggantikan yang sudah ada."

"Apa bisa?." Tanya Dirga ragu. Matanya kali ini menatapku.

"Aku juga tidak tau, tapi sepertinya bisa."

"Lalu apa yang kamu harapkan jika kita bisa seperti itu?."

"Aku tidak mengharapkan apa-apa, aku hanya ingin mengobrol dan melihatmu saja seperti sekarang ini." Balasku memandang wajahnya.

"Apa kita boleh bersentuhan?."

"Aku rasa tidak, itu akan membuat perasaan kita semakin besar."

"Apa aku boleh mengatakan perasaanku?."

"Kalau itu aku rasa tidak ada yang salah dengan mengungkapkan perasaan." Aku terus menunduk karena malu.

"Kalau begitu buat pertama kalinya aku bakal bikin pengakuan. Jujur, aku merasa sesuatu yang berbeda dari pertemuan pertama kita. Apalagi saat aku menatapmu. Seperti kamu, aku juga bingung dan tidak tau apa itu. Aku cuma yakin perasaan ini tidak biasa." Pengakuan pertama Dirga membuatku menatapnya dan seketika kutundukkan wajah saat menyadari kalau dia juga menatapku begitu dalam. “Sepertinya aku tau kenapa aku... menyukaimu," sambungnya dengan nada yang sangat pelan. Dan sore itu kuhabiskan untuk melihat halaman dengan langit jingga yang indah dengan buku romance ditanganku dan bersama seseorang yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.

Seseorang yang seharusnya tidak bisa membuat hatiku nyaman dan hangat saat bersamanya. Perasaan yang tidak boleh dimiliki oleh seorang yang sudah menikah.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel