Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 4

Matanya dan mataku

Keesokkan harinya aku menghampiri Winni yang sedang asyik dengan laptopnya. Aku ingin menanyakan apa aku boleh melihat contoh RPP sekolah ini karena aku ingin menyamakan dengan kepunyaanku barangkali ada yang kurang atau salah. "Winn, boleh aku pinjam contoh RPP sekolah ini?," tanyaku yang membuat Winni melihat kearahku.

"Boleh dong Hann. Ada di flashdiskku. Udah yang punyaku beres, aku pinjemin ke kamu ya. Kamu udah beres buat RPP satu tahun kedepan?."

"Udah. Aku pinjem punya kamu buat ngecek, takutnya ada yang kurang atau salah sama yang aku buat."

"Syukur kamu udah beres, soalnya kepala sekolah disini tegas banget. Semua guru harus menyelesaikan RPP untuk dipakai selama satu tahun kedepan sebelum tahun ajaran sekarang berakhir. Sepertinya karena kamu baru pindah, Pak Rendra memberikan kelonggaran." Jelas Winni memberi tahu.

"Iya aku beruntung dapat keringanan. Oh ya, aku sekarang bakal mulai jadi guru les privat Rania." Winni langsung terdiam ketika mendengarkan perkataanku dan langsung menyingkirkan laptopnya.

"Waw, bagaimana bisa?." Aku heran kenapa reaksi Winni sebegitu hebohnya.

"Ayah Rania nawarin aku karena dari kemarin aku nemenin Rania buat belajar sama-sama sambil nunggu ayahnya jemput. Kan tau sendiri ayah Rania sibuk banget. Jadi sering telat buat jemput." Jawabku.

Mata Winni berbinar-binar mendengarku. "Wah kamu beruntung, Hann."

"Hah?.Berntung?." Aku semakin tidak mengerti dengan reaksi Winni.

"Ayah Rania itu kan ganteng banget." Langsung saja tawaku pecah. Aku kira hal yang serius.

"Jadi karena itu kamu anggap aku beruntung?."

"Iyalah, kamu bisa tiap hari ketemu cowok ganteng. Eh lupa kamu kan udah punya suami. Beda sama aku yang jomblo. Laki-laki yang tiap hari diliat ya papah sama Ka Kenzo aja." Aku hanya geleng-geleng mendengar jawabannya. Tiba-tiba saja aku teringat wajah ayah Rania. Ya ampun ada apa denganku?. Kenapa aku tiba-tiba memikirkannya.

"Hanna ini flashdisknya, kenapa kamu jadi ngelamun?." Aku jadi gelagapan karena terpergoki sedang melamun oleh Winni. 

"Ah maaf, makasih ya Winni."

"Jangan bilang kalau kamu jadi ngebayangin ayah Rania, Hanna." Winni tertawa cekikikan dan untuk kali kedua dalam hari ini aku menggeleg geleng untuk kelakuan Winni dan mengabaikan perkataannya. Padahal hatiku ketar-ketir ketakutannya.

Jam pelajaran baru usai, Rania terlihat berbinar-binar. Dia berdiri, menunggu teman-temannya keluar dan saat teman-temannya sudah keluar dia menghampiriku. "Wah seneng sekali teman ibu satu ini," godaku padanya.

"Tentu dong aku seneng, hari ini aku bakal pulang sama temanku. Jadi aku tidak akan kesepian dirumah." Aku menjadi tidak menyesal mengambil keputusan untuk menjadi guru les Rania jika Rania sesenang ini. Membuatku jadi ikut tersenyum dan mengatakan kalau aku juga senang akan ikut pulang bersamanya.

Tidak lama dari itu ayah Rania muncul dengan penampilan yang selalu membuatku kagum. Setelan kerja yang berwarna biru navy begitu kontras dengan kulit putih terangnya. Aku terpana untuk beberapa saat dengan penampilannya. Hingga aku menyadari kalau aku telah melakukan kesalahan. "Ayo" ajaknya yang langsung membuatku dan Rania membereskan tas kami dan beranjak untuk mengekorinya. Rania mengulurkan tangan, meminta tanganku untuk digenggamnya dan jalan bersama.

Aku sedikit berbisik padanya. "Rania gandengan sama ayah Rania aja, biar ibu jalan dibelakangnya." Bukan Rania yang menjawab, tapi ayahnya langsung menoleh padaku dan berkata. "Tidak apa-apa Bu Hanna, biar saya saja yang jalan dibelakang kalian. Ladies first."

Ayah Rania langsung menghentikan langkahnya dan mempersilahkan aku dan Rania untuk berjalan terlebih dahulu. Oh sungguh sikapnya ini membuatku terharu, dia begitu sopan dan menghormati wanita. Entah kenapa baru beberapa hari aku berkenalan dengannya tapi aku sudah menangkap berbagai sifat yang baik darinya dan tidak bisa kupungkiri aku terkesan olehnya. Satu sikap yang tidak dimiliki Vino. Vino memang baik, perhatian tapi disamping itu dia selalu bersikap seenaknya sendiri dan mengambil keputusan sendiri. Ah kenapa aku menjadi membandingan ayah Rania dengan suamiku Vino, batinku mempertanyakan itu. Tidak seharusnya seperti itu.

Aku bergandengan dengan Rania sementara ayahnya mengikuti di belakang. Rania berhenti pada sebuah mobil Mercedes Benz silver. "Silahkan Bu Hanna," ayah Rania membukakan pintu mobil didepan dan mempersilahkanku masuk.

"Ah tidak, Rania saja didepan biar saya dibelakang," sanggahku tapi Rania tidak mendukungku. "Tidak, Bu Hanna didepan saja aku tidak suka duduk didepan." Kata Rania.

"Anda duduk didepan saja, nanti saya disangka sopir." Candanya dengan senyuman yang menampilkan mata kucingnya dan untuk pertama kalinya lagi aku melihat ekspresi lain dari ayah Rania. Sehingga aku tidak bisa menolak.

Di perjalanan kami semua tidak ada yang bersuara, hanya ada suara musik dari radio. Raniapun hanya memandang ke arah luar jendela. Aku yang merasa gugup memutuskan untuk melakukan hal yang sama seperti Rania. Sampai suaranya mengalihkanku. "Apa Rania memiliki kesulitan di mata pelajaran tertentu Bua Hanna?."

Entah aku bodoh atau bagaimana, aku malah gugup dan bertanya ulang apa yang dia tanyakan. Dia langsung tertawa.

"Ayah jangan menertawakan Bu Hanna, nanti Bu Hanna tidak mau jadi guru les Rania lagi." Ancaman bersuara tenang Rania malah menambah volume tawanya. Aku dibuat terkesima, dia begitu senang sekali sepertinya. Aneh, perasaanku malah merasa ikut senang.

"Baiklah Princess, ayah tidak akan menertawakan temanmu lagi." Ayahnya melirik Rania yang ada dibelakang lewat spion dan melihatku sambil berkata maaf. "Jadi, apa Rania memiliki kesulitan adalam pelajaran tertentu Bu Hanna?." Tanyanya ulang.

"Tidak, Rania anak yang sangat pintar dan cerdas. Dia cepat menangkap apa yang diajarkan oleh saya maupun guru yang lainnya." Jawabku jujur.

"Dengar ayah, aku anak yang pintar dan cerdas jadi ayah harus siap-siap dengan hadiah yang aku minta nanti."

"Baiklah, apapun yang kamu inginkan My Princess."

Seketika mataku berair karena terkesan dengan hubungan antara ayah dan anak ini. Jujur, aku memimpikan keluarga seperti ini. Apa aku dan Vino bisa mempunyai keluarga seperti Rania?. Aku langsung memalingkan wajahku ke jendela ketika merasa kalau air mataku tidak akan sanggup lagi kutahan. Dan benar saja air mataku turun tanpa permisi seperti biasanya, membuatku harus terus menghapusnya dengan tanganku secara cepat. Aku tidak ingin menghancurkan kebahagiaan Rania dan ayahnya.

"Pakai ini." Ayah Rania mengulurkan sebuah sapu tangan biru langit dengan inisial di ujungnya ‘DI’. Aku langsung menoleh kaget padanya dan bertanya didalam batinku sendiri jadi dia melihatku menangis?.

Seakan mengerti kebingunganku, dia tersenyum simpul padaku. "Walaupun saya tidak tau karena apa, tapi mohon terimalah. Dan.... sepertinya anda tidak menyadari kalau kita sudah sampai." Aku langsung melihat ke luar jendela dan benar saja kalau mobilnya sudah berhenti. Rania juga sudah berlari masuk ke rumahnya yang besar itu. Aku heran, apa tadi Rania melihatku sampai berlalu begitu saja tanpa aku?. "Rania tadi memanggil anda untuk turun, tapi anda tidak menjawab jadi saya menyuruhnya untuk masuk lebih dulu." Ayahnya selalu bisa membaca apa yang aku pikirkan.

"Maaf... saya... saya..." Entah kenapa bibirku terlalu gugup untuk mengatakan sesuatu dan sejujurnya aku bingung harus mengatakan apa.

"Tidak perlu dijelaskan dulu jika sulit, tapi hapus dulu air matanya dengan ini." Tangannya kembali mengulurkan sapu tangan berinisial itu dan aku sekarang menerimanya sambil mengucap terima kasih.

Sapu tangan itu langsung kugunakan untuk menghapus air mataku dan seketika wangi lembut tercium oleh hidungku. Biasanya laki-laki menggunakan wangi-wangian yang tajam seperti yang selalu Vino gunakan, namun wangi ini begitu berbeda sehingga membuatku lebih tenang.

"Apa anda akan diam dulu di mobil untuk menenangkan diri?." Dia bertanya dengan lembut dan berhati-hati, membuatku merasa sungguh tersentuh dengan sikapnya. Vino bahkan selama ini setelah kejadian itu selalu berdiam diri saja saat aku menangis, bahkan menganggapku tidak ada. Oh ya ampun kenapa aku membandingkan lagi Vino dengan ayahnya Rania ini. Ada apa denganmu Hanna?. Kamu harus sadar.

"Tidak, tidak. Saya akan turun sekarang. Rania pasti kecewa kalau saya diam lama disini."

"Anda tidak usah memaksakan diri. Saya bisa menjelaskan pada Rania."

"Tidak apa-apa." Aku tersenyum padanya. Lalu membuka pintu dengan cepat.. Tidak lama dia juga keluar dari mobilnya.

"Mari masuk"

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel