Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 3

Teman

Di sekolah tawa riang anak-anak seakan menjadi penghapus segala rasa sakit yang kurasakan tadi dirumah. Inilah kenapa aku memilih pekerjaan menjadi seorang guru tanpa ragu. Aku suka dengan anak-anak dan aku merasa terhibur dengan tawa riang mereka. Jika sedang berada disekolah seperti ini aku merasa perlakuan menyakitkan apapun yang Vino berikan aku merasa dapat menghadapinya dengan kuat. Hingga aku menoleh pada Raina, sungguh sedih hati ini disaat kulihat Rania tidak ikut tertawa bersama teman-temannya dan hanya menunduk memainkan pensilnya dibuku. Entah apa yang menjadi kesedihannya setiap hari seperti itu.

Suara bel yang kencang dan memekakan telinga namun membuat hati para siswa senang terdengar. "Baik, pelajaran kita hari ini sampai disini. Terima kasih semuanya dan sampai berjumpa lagi besok ya." Semua muridku berhamburan keluar kecuali Rania. Dia masih duduk dibangkunya dengan memandang lagi ke arah yang sama. Aku menghampirinya dan dia menyambutku dengan senyumannya, ada perasaan menghangat setiap kali melihat senyumnya itu. “Rania menunggu ayah?," tanyaku dan dia langsung mengangguk. “Boleh Bu Hanna temani?," tanyaku lagi, mencoba mengobrol lebih banyak lagi dengannya.

"Boleh, Bu Hanna kan sudah jadi teman Rania jadi harus menemani Rania." Aku sangat senang dan langsung saja duduk disebelahnya lalu mengelus kepalanya.

"Rania, sering menunggu ayah menjemput seperti ini?."

"Iya, ayah sangat sibuk tapi dia selalu menyempatkan diri untuk menjemput aku. Makanya aku tidak langsung keluar kelas kalau sudah bel karena tau ayah pasti terlambat paling sebentar 20 menit. Jadi katanya aku harus menunggu ayah dikelas saja, jangan diluar." Aku paham sekarang, jadi itu alasan Rania yang tidak langsung keluar kelas saat bel sekolah berbunyi.

"Oh begitu, apa ayah saja yang selalu menjemput Rania?." tanyaku lagi.

"Tidak, kadang supir di rumah yang menjemput Rania kalau ayah sedang ada di luar kota atau luar negeri," jawabnya polos.

"Ibu Rania?." Saat aku bertanya itu ekspresi Rania langsung berubah, aku tidak mengerti kenapa Rania seperti terlihat sedih dan langsung menunduk. Aku merutuki kebodohanku karena pertanyaan itu, apa mungkin penyebab kesedihan Rania adalah ibunya sendiri?. Ah tapi aku tidak bisa mengambil kesimpulan langsung.

"Maaf Rania kalau pertanyaan ibu membuat Rania sedih." Rania langsung mengangkat kepalanya dan menggeleng dengan senyuman yang sangat lebar. Terlihat kalau dia sedang berusaha menutupi sesuatu.

"Bu Hanna, bagaimana kalau ibu sekarang yang berbicara tentang kehidupan ibu?." Rania begitu antusias, akupun mengangguk. Aku tau sekarang sepertinya dia tidak ingin membicarakan ibunya, memang lebih baik mengobrol hal lain jika Rania tidak mau. Aku tidak ingin Rania menjadi tidak ingin berteman denganku.

"Baiklah, Rania ingin tau apa tentang Bu Hanna?." Rania tampak berpikir dengan ekpresi yang lucu dan gumamannya.

"Mmmhh.. Apa Bu Hanna sudah bekeluarga?"

"Sudah," jawabku kemudian menunjukan cincin nikahku. Seketika aku teringat bagaimana Vino melamarku dulu dengan romantis dan penuh cinta.

"Bu Hanna?." Rania membuyarkan lamunan. Aku hanya bisa tersenyum kikuk padanya.

"Apa Bu Hanna sudah mempunyai anak?," kali ini giliran aku yang terdiam dan menunduk. Bagaimana aku menjelaskan pada anak seumur Rania?. Bingung. Seperti mengerti kalau aku kebingungan untuk menjawab, Rania langsung berkata, "tidak apa-apa bu. Jika Bu Hanna tidak mau menjawabnya Rania mengerti kok."

Aku dibuat heran dengan sikap Rania. Dia masih kelas empat SD, tapi seperti sudah dewasa dan mengerti masalah orang dewasa. Apa karena sebenarnya tadi dia juga merasakan seperti aku, jadi dia mengatakan itu?. Aku berucap terima kasih padanya dan memeluknya. Aku dibuat terkesan oleh kedewasaannya. Tidak salah aku memilih teman seperti Rania ini.

"Bu Hanna, suatu saat Rania akan menceritakan rahasia Rania." Katanya ketika berada dipelukanku. Aku tentu saja langsung terdiam dan mengurai pelukanku untuk melihat wajahnya. "Aku sekarang tau kalau ibu tulus ingin menjadi temanku." Sambungnya lagi yang seolah mengerti dengan keterjutanku.

"Terima kasih sudah mempercayai ibu." Tidak tau bagaimana membalasnya karena saking kagumnya. Bagi anak seperti Rania memberikan kepercayaan itu sangat sulit. Walaupun Rania terlihat dapat berteman dengan siapa saja, tapi dia sangat sulit untuk dekat dengan seseorang.

"Bagaimana kalau sambil menunggu ayah Rania kita membahas mengenai pelajaran Matematika hari tadi?," usulku yang langsung disambut bahagia oleh Rania. Dia anak yang rajin dan pintar jadi wajar reaksinya saat diajak untuk belajar adalah sangat senang. Lama kami mengerjakan Matematika dengan serius, namun tetap tertawa kalau menemukan sesuatu yang lucu. Tidak ingin jika muridku merasa kalau belajar itu sesuatu yang membosankan dan menakutkan.

Bunyi pintu yang diketuk membuat kami serempak menoleh ke asal sumber suara. Terlihat ayah Rania yang memakai setelan kerja berwarna abu dengan rambut dan sepatu yang mengkilap sedang berdiri di dekat pintu. Dia tersenyum ke arah Rania lalu ke arahku. Seperti hari kemarin dia lama menatapku dengan pandangan yang tidak aku mengerti, membuatku kembali menatapnya untuk mencari tau ada apa. "Apa ayah sudah berdiri lama disitu?." Suara Rania membuat kami menoleh pada Rania bersamaan.

"Ehm.. bisa dibilang begitu." Wajahnya dibuat lucu, seperti seorang anak sedang berpikir.

"Semenjak kapan?," lalu ayah Rania melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Sepertinya sekitar 15 menit yang lalu." Apa selama itu?. Untuk apa dia berdiri lama didekat pintu.

"Apa ayah mengintip kami?," tanya Rania dengan bibir yang dibuatnya mengerucut.

"Ya begitulah." Ayah Rania tertawa dengan tawa yang baru pertama kali ini kudengar. Seperti Rania, tawanya indah. Dulu juga Vino memiliki tawa seperti itu, namun semenjak dua tahun lalu aku tidak pernah mendengar tawanya lagi untukku.

"Kenapa ayah mengintip?.”

"Ayah ingin melihat kamu belajar sayang."

"Baiklah, kemasi tas Rania sekarang. Ayah harus segera kembali ke kantor." Rania hanya mengangguk dan aku membantu Rania untuk membereskan tasnya lalu mengekori Rania yang berjalan ke arah ayahnya.

"Terima Kasih Bu Hanna sudah menemani Rania," ayah Rania begitu sopan.

"Sama-sama, saya senang bisa menghabiskan waktu bersama Rania."

"Kalau begitu Rania pulang dulu ya. Besok kita bermain lagi, oke?." Rania berkata dengan mata yang berbinar-binar dan senyum yang memperlihatkan deretan gigi putihnya. Aku senang melihat Rania seperti ini. Tidak seharusnya Rania dewasa lebih dulu sehingga membuatnya melupakan masa anak-anaknya karena sesungguhnya ketika dia dewasa nanti masa ini tidak akan terulang lagi untuknya.

"Tentu, kita kan teman"

**

Tiga hari telah berlalu semenjak Rania mulai percaya kepadaku, namun Rania belum memberitahukan rahasianya padaku seperti apa yang dikatakannya tempo hari. Ketika kami sedang belajar seperti biasanya di kelas, ayah Rania datang menjemput. Namun anehnya kali ini ayah Rania masuk dan menghampiri kami, dia duduk dibangku samping kami. Lalu dia meminta Rania untuk bermain dulu diluar karena dia perlu berbicara sesuatu yang penting denganku.

"Bisa kita bicara?." Dia berpindah duduk ke tempat Rania tadi duduk.

"Ada apa?." Aku penasaran dengan hal yang akan dia bicarakan. Apa mengenai Rania?.

"Maaf sebelumnya, beberapa hari ini saya memperhatikan Bu Hanna dan Rania. Dia sepertinya senang bisa belajar bersama dengan Bu Hanna dan saya merasa Rania juga seperti senang karena mempunyai punya teman baru. Bu Hanna mungkin tidak tau kalau Rania memang gampang akrab dengan siapa saja, tapi dia tidak bisa berteman dengan mudah. Dia mengalami krisis kepercayaan kepada seseorang. Dan tiga hari ini Rania bercerita kalau dia selalu menunggu jam pulang sekolah agar bisa mengobrol dengan anda dan belajar bersama." Penjelasannya membuat aku tersenyum karena bahagia. Tidak menyangka Rania selalu menunggpelajaran berakhir untuk mengobrol dan belajar bersamaku.

"Saya sangat senang mendengarnya." Ungkap ku dengan bahagia.

"Begini, saya hanya ingin Bu Hanna menjadi guru les privat Rania." Aku kaget dengan pertanyannya, aku takut dia menyangka kalau aku selama ini mendekati Rania bahkan belajar bersama Rania karena ingin mendapatkan pekerjaan sebagai guru les privatnya.

"Maaf pak, saya tidak bermaksud kalau selama ini saya..."

"Belajar bersama Rania bahkan bermain bersama Rania untuk mendapatkan pekerjaan sebagai guru les privat Rania?." Aku mengernyit karena heran. Bagaimana dia bisa tau apa yang kupikirkan?. Apakah dia memang menyangka seperti itu?.

"Saya tau Bu Hanna tidak seperti itu. Hanya saja jika Bu Hanna sebagai guru les privat saya akan menjadi lebih nyaman. Jujur saya tidak enak merepotkan Bu Hanna setiap hari, dari itu tolong terimalah tawaran saya." Aku bingung apa harus menerima tawaran itu atau tidak?. Aku senang karena aku dapat melihat sendiri bagaimana keluarga Raina, tapi aku takut jika ini membawaku pada sesuatu yang lain. Aku tidak tau jelas apa yang aku takutkan ini, tapi benar aku tidak ingin mengambil sebuah resiko yang besar. Entahlah, perasaanku berkata begitu.

"Saya mohon bu, Raina sendiri juga sangat menginginkannya. Saya tau mungkin tidak seharusnya saya berkata seperti ini, tapi saya tau Raina sudah percaya pada anda." Ayah Raina seperti tampak berpikir untuk mengatakannya atau tidak, tapi akhirnya dia berkata. "Raina kesepian di rumah jika saya sedang bekerja. Raina hanya sendiri. Saya mohon. Saya tau itu hanya dua atau tiga jam anda bersama Raina untuk les, tapi selama beberapa hari ini Raina tampak berbeda karena menghabiskan waktu bersama anda Bu Hanna."

"Tapi saya heran kenapa Raina tidak dekat dengan teman-temannya?. Tidak percaya pada temannya." Walaupun takut aku bertanya padanya dan ayah Raina menghembuskan nafasnya.

"Raina takut. Dulu dia mempunyai teman yang dianggapnya sahabat, tapi tidak dengan temannya. Dia menggap Rania hanya teman saat dia butuhkan saja. Jadi disaat Raina mengatakan tentang perasaannya dia hanya dipermalukan oleh temannya itu dan satu gengnya. Padahal Rania sudah menceritakan segalanya, sampai-sampai apapun yang temannya inginkan dia berikan." Penjelasan panjang ayah Rania membuatku mengerti kenapa selama ini Raina tidak mudah percaya pada orang lain.

"Kalau boleh saya tau apakah sahabatnya itu adalah teman sekelasnya?."

"Bukan. Teman les pianonya. Raina sampai ingin berhenti les darisana dan dia jadi lebih banyak menyendiri setelah itu." Aku jadi semakin yakin kalau Raina sering menyendiri adalah karena hal itu, tapi aku tidak yakin hanya alasan itu yang selalu membuat Raina sedih.

"Tapi kenapa Raina mempercayai saya ya?." Tanyaku heran.

"Mungkin karena dia yakin orang seperti anda tidak akan mengecewakannya dan mungkin dia merasa anda tulus." Aku seketika gugup karena lagi-lagi dia tersenyum sambil menatap langsung ke dalam mataku, membuat aku menundukan kepala. “Saya harap anda tidak akan memberitahukan hal ini pada siapapun, saya percaya pada anda, Bu Hanna."Aku masih tidak berani melihat matanya. Dan karena diamnya, mungkin dia menunggu jawabanku. Aku pun menghirup nafas dan menenggakkan kepala untuk melihatnya kembali.

"Tenang saja."

"Lalu bagaimana dengan tawaran saya?." Aku kembali bingung setelah ayah Rania bertanya lagi. Setelah kupikir lagi sepertinya menjadi guru les Rania akan membuat kami semakin dekat dan mungkin dengan cara itu aku akan lebih tau apa yang dialami Rania. Jadi sepertinya tidak salah.

"Mmmh..., baiklah Pak Dirga." Kulihat matanya menjadi berbinar-binar setelah mendengar jawabanku. Aku jadi berpikir, apakah dia senang aku menjadi guru les privat Rania?. Ah kamu daritadi terlalu berpikir aneh-aneh Hanna, batinku memperingati.

"Terima Kasih Bu Hanna, Rania pasti akan senang mendengar hal ini." Dia mengulurkan tangannya padaku. Aku menerima uluran tangannya dengan ragu namun dapat kurasakan genggamannya begitu kuat dan hangat. Apalagi dengan tatapannya. Ya ampun ini salah, aku langsung melepaskan jabatan tangannya.

Bodoh, aku malah terlihat salah tingkah. "Saya akan mencari Rania." Aku keluar dengan langkah terburu-buru dan ketika sampai diluar kelas aku bersandar pada tembok sambil mengatur nafas. Terus mengingatkan diriku sendiri kalau ini salah. Rania yang baru datang dari arah kantin, keheranan melihatku. "Bu Hanna kenapa?."

"Hah?. Kenapa apanya Rania?." Aku malah balik bertanya.

"Wajah Bu Hanna merah sekali dan tampak ngos ngosan. Seperti habis berlari jauh." Spontan aku langsung memegang pipiku yang ternyata hangat. Oh ya ampun malu sekali aku dengan ayahnya kalau tadi mukaku seperti ini.

"Oh itu..., benar tadi Bu Hanna habis berlari."

"Berlari?. Lalu ayah kemana?."

"Ehmm...." Kenapa otakku jadi tidak bisa berpikir seperti ini?. Aku tiba-tiba merasa bodoh dan malu, apalagi saat suara ayah Rania terdengar. “Ayah ada didalam kelas sayang. Tadi Bu Hanna mencari Rania, makanya Bu Hanna berlari. Ayo kita pulang. Bereskan tas mu ya." Beruntung Rania tidak banyak bertanya lagi, dia langsung berlari masuk kelas.

Saat Rania berlari masuk ke kelas, ayahnya menghampiriku dan menatap dengan senyuman yang hangat namun tetap tampak sopan dan bertanya. "Bisa kita berteman?." Aku langsung diam membeku. "Teman mengobrol sambil minum teh atau kopi?," tanyanya lagi yang semakin membuatku gugup. "Teman antara orang tua murid dan guru," sambungnya lagi yang seakan mengerti apa yang menjadi kebingunganku. Aku akhirnya hanya bisa mengangguk.

"Baiklah." Tanpa sadar ternyata aku sudah menatapnya terlalu intens sehingga aku tidak berkata apa-apa lagi dan langsung masuk ke kelas untuk membantu Rania. Apa dia mengerti apa yang kurasakan?.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel