Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 2

Hujan dan kita

Kelas sudah selesai dan anak-anak sudah pulang semua kecuali Rania. Dia masih diam dikelas dengan arah pandang yang sama. Membuatku masih bertanya dengan pertanyaan yang sama. Apa Rania tidak bosan melihat satu objek sesering itu?. Aku menghampirinya untuk bertanya. "Kenapa Rania belum pulang?." Rania menoleh dari jendela dan kini menatapku.

"Aku sedang menunggu ayah, Bu Hanna." Aku hanya mengangguk mendengar jawabannya sambil berpikir bagaimana cara untuk mulai mendekati Rania sehingga dia nanti mau berbagi cerita denganku.

"Baiklah ibu akan menemani Rania disini sampai ayah Rania datang. Boleh kan?." Aku bersyukur Rania menjawab dengan anggukan. "Rania mau ngobrol dengan ibu?. Ibu bosan enggak ada temen buat diajak cerita." Ujarku dengan nada merajuk padanya. Tidak disangka Rania meresponsnya dengan tersenyum jenaka. Ya ampun wajahnya sangat cantik.

"Bu Hanna sudah besar, tapi seperti anak kecil." Kata Rania dengan wajah menggemaskan.

"Memang ibu gak boleh bosan seperti anak kecil kalau gak ada temen?." Tawa Raniapun pecah dan aku kaget karena tawanya sangat indah. Aku baru kali ini mendengar Rania tertawa.

"Bu Hanna benar-benar seperti anak kecil."

"Biarin, ibu juga kan pengen punya temen." Balasku sambil menjawil hidung mancung miliknya. Menggemaskan sekali.

"Jangan cubit hidungku bu. Nanti hidung mancung yang turun dari ayahku ini hilang." Sekarang giliran tawaku yang pecah dan Rania mengerucutkan bibirnya. Oh aku sungguh suka dengan Rania yang seperti ini.

"Kalau gitu jadi temen Bu Hanna. Kalau Rania mau, ibu tidak akan menjawil hidung Rania lagi. Bagaimana?, mau jadi temanku?." Tawarku padanya dan dia tampak lama memikirkannya hingga aku akhirnya menyerah lalu berdiri. "Ya sudah kalau Rania belum bisa jadi teman Bu Hanna gak apa-apa." Sambungku sambil tersenyum dan mengelus rambutnya. Aku tidak ingin membuat Raina merasa tidak enak atau merasa bersalah.

Baru aku akan pergi meninggalkan meja Rania, kalimatnya menghentikan langkahku. "Baiklah, aku mau jadi teman Bu Hanna." Rania tersenyum lebar kemudian menyodorkan kelingkingnya untuk pinky promise. "Tapi janji Bu Hanna bakal nemenin Rania kalau Rania kesepian." Aku yang mendengarnya tersenyum lebar dan langsung menerima syarat itu. Pikirku, jika aku jadi temannya walaupun aku tidak dapat menemukan penyebab Rania sedih aku dapat menghiburnya saat dia bersedih.

"Tapi janji juga jadi teman ibu kalau ibu sedang bosan." Rania dan aku saling mengaitkan jari dan kami berdua tertawa bersama. Sampai satu suara menghentikan tawa kami berdua.

"Rania." Kami berdua menoleh berbarengan ke arah pintu kelas. Disana sudah berdiri laki-laki dengan perawakan tegap memakai kemeja biru laut dan celana kerja hitam yang kontras dengan kulitnya yang putih bersinar. Tampilannya sangat rapi, mulai dari atas sampai bawah. Laki-laki itu sangat tampan. Aku menyadari kalau dia sepertinya ayah Rania. Terlihat dari wajah mereka yang serupa.

Cukup lama kami hanya diam saling berpandangan. Aneh sekali. Buru-buru aku menyadarkan diri dengan memutuskan pandangan dan menoleh pada Rania. "Rania, itu ayah Rania?." Rania mengiyakan. Langsung aku berdiri untuk membantunya mambawakan tas dan mengekori Rania berjalan ke arah ayahnya.

"Maaf ibu guru saya terlambat menjemput Rania." Kalimat pertamanya padaku membuatku terdiam lagi entah karena apa. Ya Tuhan, ada apa denganku?.

"Ya... Tidak, tidak apa-apa." Aku merutuki diriku sendiri yang menjawab dengan agak gugup.

"Terima kasih sudah menemani Rania."

"Sudah jadi kewajiban saya. Perkenalkan saya wali kelas baru Rania. Nama saya Hanna Sastrajaya." Aku mengulurkan tangan untuk dijabatnya dan ketika tangannya menjabat tanganku tidak tau kenapa aku merasakan sesuatu yang lain lagi. "Saya ayah Rania, nama saya Dirga Argantara. Senang berkenalan dengan anda Bu Hanna." Mata kami benar-benar saling bertemu dan bertatapan.

"Senang berkenalan dengan anda juga." Aku yang takut karena merasakan hal yang berbeda apalagi saat menatap mata lawan jenis langsung melepaskan jabat tangannya dan menyerahkan tas Rania pada ayahnya. Kemudian mereka pun pamit dan aku masih diam. Apa mungkin karena dia mirip dengan Vino yang rapi, wangi dan tegap sampai-sampai aku merasakan hal yang aneh?. Aku menggeleng gelengkan kepala.

Setelah dari kelas aku langsung menuju ruang guru. Ketika sampai ternyata ruang guru sudah lumayan sepi, hanya ada Pak Rega dan Bu Nisa yang sedang sibuk masing-masing dengan laptopnya. Melihat jam, ternyata aku cukup lama menemani Rania tadi. Segera aku membuka laptop untuk mengerjakan RPP. Sebenarnya bisa saja aku mengerjakan RPP dirumah, tapi aku malas pulang jadi lebih baik aku mengulur waktu agar bisa berada di sekolah sampai sore.

Aku malas bertemu dengan Vino karena sekarang dia tidak ingin mengobrol berlama-lama denganku. Selalu saja ada alasannya dan pergi. Ah ya ampun mengingat Vino seperti menabur garam pada luka. Kupejamkan mataku erat-erat. Berkali-kali berharap jika kubuka mata semua ini hanya mimpi dan lukanya sudah hilang. Hubunganku dengan Vino bisa kembali seperti semula, sebelum peristiwa itu terjadi. Peristiwa yang menyakitkan dan membawa semua kesakitan ini. Selalu saja, air mataku mengalir tanpa dijinkan setiap kali aku mengingat Vino. Takut terlihat yang lain, aku memilih menenggelamkan wajah di atas meja. Mengobati diri sendiri dengan mengatakan kalau mungkin semua ini memang salahku sehingga aku pantas mendapatkannya dan dia pantas berbuat seperti itu.

Mengerjakan RPP membuat waktu tidak terasa. Sudah pukul lima sore dan diluar hujan turun lebat sekali. Aku menghembuskan nafas. Aku suka hujan karena suara, irama dan baunya tapi aku benci jika harus melewatkan hujan sendirian. Dulu Vino akan berbagi selimutnya dan kami duduk berbarengan sambil bercerita tentang apapun. Sekarang ini jangankan duduk berbagi selimut, duduk biasa pun dia menjaga jarak dariku. Tidak mengobrol apapun, hanya saling diam memandang hujan dari jendela yang berbeda dan telinga kami masing-masing mendengarkan lagu yang berbeda.

Sungguh menyakitkan dengan kenyataan bahwa kita berada dibawah satu atap rumah yang sama, tapi kami seakan hanya dua orang asing yang tinggal bersama.

Keluar dari ruang guru, aku berjalan ke arah ruang kelas. Aku duduk didepan kelas yang kebetulan tidak jauh dari ruang guru, mengeluarkan handphone untuk menyetel playlist kesukaanku dan juga headset yang langsung kupasangkan pada telinga. Kemudian memejamkan mata untuk menikmati lagu dan hujan yang masih samar-samar kudengar juga bau yang sangat kusuka. Lebih baik aku disini dulu bukan daripada dirumah?. Setidaknya kalau disini aku merasa bebas.

Tanpa sadar, aku menggumamkan lagu-lagu yang kudengar dari playlist hingga waktu kubuka mata aku melihat seseorang memakai payung biru tua sedang berjalan ke arah ku. Aku tidak tau siapa itu karena wajahnya terhalang oleh payung, namun ketika dia dihadapanku dan mengangkat payungnya aku bisa melihat wajah laki-laki itu kembali, ayah Rania. Aku menatapnya bingung dengan alasan kenapa dia ada dihadapanku saat ini. Cukup lama aku memandanginya begitupun dengan dia. Tiba-tiba aku sadar kalau ada satu kesamaannya dengan Rania yaitu kedalaman matanya. Ada kesedihan dan kesepian juga. Tidak tau kenapa aku jadi merasa iba. Pertanyaannya kenapa keluarga harmonis yang disebut oleh Winni ini memiliki sorot mata kesepian seperti.... sorot mataku saat aku berkaca di cermin?.

Aku terus memandang dan menunggunya untuk berbicara, tapi nyatanya ayah Rania ini tidak juga berbicara hingga kuputuskan untuk berbicara terlebih dahulu karena tidak semestinya aku dan dia berpandangan seperti ini. Walaupun aku tidak tau menurutnya wajar atau tidak, pantas atau tidak, tapi bagiku tidak pantas. "Maaf ada keperluan apa anda kembali lagi ke sekolah?." Tanyaku sopan.

"Ahh.. maaf. Saya ingin mengambil buku Rania yang ketinggalan di lokernya." Jawabnya jelas.

"Baiklah, saya akan memanggil Mang Ujang untuk membukakan kelas karena kalau sudah sore kelas pasti sudah dikunci." Akupun berdiri dan menuju rumah Mang Ujang yang ada di dekat kantin sekolah sendirian. Tapi sayang, istrinya bilang Mang Ujang sedang ke rumah Pak Kepala Sekolah, Rendra. Akhirnya aku meminta nomor Mang Ujang saja agar ayah Rania bisa menghubungi Mang Ujang jika memang bukunya harus dibawa.

Sekembalinya kesana, ayah Rania sedang bertumpang kaki di tempat duduk yang tadi kududuki sambil memandang hujan.

"Maaf, Mang Ujang sedang kerumah kepala sekolah didekat sini. Apakah anda akan menunggu atau bagaiamana?." Ayah Rania tampak berpikir, lalu dia menjawab "Saya akan tunggu saja, Rania bilang itu buku untuk hapalan tes besok."

Aku mengangguk mengerti karena memang tadi aku bilang bahwa besok akan ada tes tulis mengenai Ilmu Pengetahuan Alam. "Ini hubungi saja Mang Ujang untuk kesini dan membuka pintu kelasnya." Aku menyerahkan kertas berisi nomor Mang Ujang itu padanya.

"Terima kasih." Ujarnya sambil menerima kertas dariku kemudian keheningan menyelimuti kami.

"Maaf..., kalau begitu saya pulang duluan." Segera aku menyambar tas yang berada disebelah tempat duduknya. Namun saat aku akan melangkahkan kaki untuk menembus hujan ayah Rania berkata, "biar saya antar sampai depan dengan payung saya."

Aku menggeleng, "tidak apa-apa, tidak usah. Saya hanya perlu menembus hujan sedikit."

"Terimalah kebaikan saya Bu Hanna, anggap saja sebagai rasa terima kasih karena anda membantu saya. Anda tadi kan sudah tidak membiarkan saya ikut ke rumah Mang Ujang," lalu akupun tidak tau harus berkata apa sampai akhirnya mengangguk.

Ayah Rania berbagi payungnya denganku, kami berjalan bersama-sama dengan ribuan rintik hujan yang turun membasahi payung biru tuanya dan membentuk suatu irama yang indah sampai akhirnya ayah Rania membuka suaranya. "Apa anda guru baru disekolah ini?."

"Iya, saya baru mengajar dua hari disini. Tapi sebelumnya sudah mengajar di tempat lain selama lima tahun." Terangku.

"Menyenangkan menjadi guru disekolah ini?," dia bertanya dengan senyuman yang sama persis seperti Rania.

"Dimanapun tempatnya, bagi saya mengajar itu sangat menyenangkan." Aku menjawab sambil tersenyum, senyumannya seperti menular padaku.

"Semoga Rania tidak merepotkan Bu Hanna." Ungkapnya dengan tulus.

"Tentu saja tidak, Rania anak yang sangat manis dan cantik. Lagipula didunia ini semua anak itu tidak ada yang merepotkan. Hanya cara mereka untuk menarik perhatian orang dewasa berbeda-beda. Kita sebagai orang dewasa harus lebih sabar untuk memahaminya." Jawabanku membuatnya tersenyum hangat dan seperkian detik memandangku. Kenapa kami terus saling berpandangan dari awal bertemu tadi?. Itu salah kan?.

Mengobrol membuat aku tidak sadar kalau kami sudah berjalan hingga depan sekolah dan sudah sampai di area parkir. Aku menunjuk Honda Jazz putihku lalu dia mengantarkanku sampai depan mobil. Tepat saat akan berterima kasih, aku melihat kemeja di bagian bahu ayah Rania basah karena ternyata payungnya lebih banyak menutupi tubuhku daripada dirinya sendiri. “Maaf kemeja anda jadi basah." Aku mengatakan permintaan maaf dengan sangat merasa bersalah, namun dia hanya menjawab dengan senyum simpul saja. Seakan itu bukan hal besar. "Tidak apa-apa."

"Tapi..."

"Tidak apa-apa, tenang saja." Potongnya cepat.

"Baiklah, terima kasih anda mau mengantar saya sampai sini."

"Sama-sama." Aku mengangguk pada ayah Rania dan saat sudah berbalik dia kembali membuka suaranya, "mungkin lain kali kita bisa membicarakan mengenai Rania."

"Tentu saja." Buru-buru aku masuk ke dalam mobil walaupun aku tau ayah Rania masih memayungi tubuhku agar tidak kehujanan.

"Terima Kasih." Ucapku sekali lagi padanya setelah membuka kaca mobil dan dia kembali mengangguk dengan senyum yang membuat hatiku menghangat. Kulihat dia belum beranjak, mungkin dia menungguku untuk pergi lebih dulu dan benar saja setelah mobilku menjauh dari gerbang sekolah ayah Rania baru pergi dari tempat tadi dia berdiri.

Entah kenapa aku merasa satu kata yang menggambarkan ayah Rania adalah sosok yang hangat dan perhatian, walaupun aku baru mengenalnya hari ini aku dapat merasakan dari setiap perlakuannya tadi terhadapku. Aku rasa apa yang dikatakan Winni benar kalau Rania tidak memiliki masalah dengan ayahnya.

Sesampainya di rumah aku tidak melihat Vino, hanya ada catatan menempel di pintu kulkas. "Aku ada lembur malam ini, pekerjaan lagi banyak." Tidak bisa mengeluh, aku hanya bisa menghembuskan nafas kasar. Dalam hati, aku tau kamu menghindariku Vin.

Dia tau kalau aku selalu meminta dia menemaniku saat hujan walaupun beribu penolakan terus dia berikan. Jadi mungkin dia sengaja berdiam diri di kantor. Atau mungkin berdiam diri dengan Sivia?. Sakit ketika membayangkannya. Sampai mana aku bisa kuat dan sabar menghadapi semua ini?. Aku rasa baru dua tahun saja aku melewati ini, tapi rasanya seperti sudah beribu-ribu tahun dan hatiku juga sudah hancur berkeping-keping.

Aku tidak sanggup lagi menahan air mata yang akan keluar dari mataku, hingga akhirnya aku hanya bisa menangis didapur dengan isakan tertahan. Mencoba untuk tidak menangis dan tidak menjadi lemah karena jika aku lemah maka pasti aku akan hancur dan menyerah atas pernikahan ini. Aku ingin menikah sekali seumur hidup.

**

Keesokkannya aku terbangun dengan wajah yang sembap. Kulihat Vino sedang mengancingkan lengan kemejanya. Aku tidak membuka mulutku sedikitpun untuk menunggu apakah dia akan membuka mulutnya terlebih dahulu atau tidak. Nyatanya, sampai aku sudah beres mandi dan memakai bajupun, Vino masih sibuk dengan urusannya sendiri. Membereskan berkasnya dan sepertinya sama sekali tidak berniat mengobrol denganku. Aku hanya berdoa semoga hatiku ini diberi kekuatan lebih.

"Mau sarapan apa?. Aku siapin." Tawarku pada Vino, namun dia masih saja sibuk dengan berkasnya. Aku mencoba menunggunya menjawab, namun dia diam saja. Tidak tahan diabaikan, aku memanggil namanya supaya dia menoleh padaku. "Vino." Akhirnya dia mengangkat wajahnya kemudian menatapku sekilas.

"Aku ingin sarapan omelete." Jawabnya singkat kemudian kembali dengan berkasnya yang membuatku memutar mata jengah. Kenapa dari tadi dia malah diam saja jika sudah tau aku bertanya?.

Saat akan pergi dari hadapannya dia tiba-tiba berkata, "jangan lupa..."

"Hanya memakai wortel dan harus matang dengan sempurna," sambungku yang sudah hapal diluar kepala.

"Bagus, kalau kamu masih ingat apa yang disukai suamimu." Dengan spontan aku menggeram kesal. Apa dia lupa kalau aku selama ini selalu membuatkannya sarapan sebisa mungkin dengan segala kebiasaan uniknya?. Untuk apa dia berkata seperti itu?. Apa aku ini istri yang sangat buruk di matanya sampai-sampai dia harus seperti itu disaat aku hanya menanyakan soal sarapan?.

"Aku tau aku pernah melakukan kesalahan besar, tapi bukan berarti kamu berhak berkata apapun sesukamu." Akhirnya hanya kata itu yang mampu aku ucapkan dari bibirku sambil menutup pintu kamar dengan agak keras. Apa Vino belum puas menghukumku setiap hari dari dua tahun yang lalu dengan kata-katanya yang pedas?.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel