Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 13

Sekotak bekal dan sebuah pelukan

Aku bergantian jaga dengan Dirga, kini Dirga yang berada disamping ranjang Rania sementara aku duduk disofa. Sampai pukul dua belas seperti ini kami tidak bisa memejamkan mata barang sedikitpun. Meski Rnia tadi sempat terbangun dan meminta minum karena haus, perasaan khawatir masih kami rasakan karena demam Rania baru turun sedikit.

"Dirga, kamu tidak memberitahu Dewi mengenai Rania?,” tanyak hati-hati.

Dirga tidak langsung menjawabnya dia hanya berdiri dari kursi yang ada disampiang ranjang Rania lalu duduk disamping ku. “Aku sudah memberitahunya di awal tadi, tapi dia mengatakan sedang ada meeting penting dan baru akan datang besok pagi."

"Kalau begitu kamu pulanglah dan istirahat di rumah. Kamu pasti capek, biar aku saja yang jaga Rania."

"Enggak, aku gak bisa pulang. Aku pasti gak bisa tidur dirumah. Lagipula disini ada kamu. Kamu tidur lah."

"Enggak, aku juga gak bisa tenang. Oh ya kamu bisa tidur disini biar aku yang duduk di samping ranjang Rania saja." Memang Rania dirawat di rung rawat inap anak biasa, Dirga ingin Rania dipindahkan ke ruangan VVIP, tapi dokter bilang besok saja karena Rania baru saja istirahat jadi kami hanya punya satu sofa. Saat aku akan beranjak Dirga menahan lenganku dengan lembut.

"Bisakah sebentar saja aku tidur di bahumu?,” tanyanya dengan wajah lelah. Aku tidak sanggup menolak permintaannya, tapi aku juga kasihan kalau dia tidur di bahuku karena pasti lehernya akan pegal. Dirga kembali memohon, akhirnya setelah berpikir panjang aku menggeser tempat dudukku hingga ke pojok sofa. Dirga tampak bingung, tapi setelah apa yang kukatakan dia baru mengerti.

"Kamu bisa tidur disini," ucapku menunduk.

Dirga tersenyum lembut lalu menaruh kepalanya di pahaku dan tidur dengan terlentang. Kami diam cukup lama dan Dirga hanya memandang langit-langit lalu berkata dengan penuh kesedihan. "Aku terlalu sibuk sampai membuat Rania menjadi seperti ini.” Belum menjawab, ternyata Dirga sudah tertidur. Aku memandangnya lama. Perlahan tanganku mengusap rambut lembutnya. “Kamu sudah menjadi ayah terbaik untuk Rania.” Monologku.

Aku terbangun dan kaget kalau aku ternyata sudah tertidur. Segera aku melihat jam. Syukur, aku hanya tertidur selama 45 menit. Ah kegelisahan seperti ini membuatku tidak merasa tenang. Aku lihat Dirga masih tidur kemudian tidak lama perlahan dia membuka matanya karena pergerakan kakiku yang sudah sedikit agak kram. “Kamu bangun?,” tanyaku. Dia menatapku lalu tersenyum.

"Apa aku berat?.”

"Sedikit. Lebih baik kamu tidur lagi saja ini baru jam dua pagi." Tanpa kuduga Dirga menarik wajahku dan mengecup bibirku lembut. “Terima Kasih untuk keberadaanmu di sampingku," katanya sementara aku hanya diam merasa malu.

Dirga bangun dari duduknya dan perut yang tak tau tempat ini berbunyi karena memang semenjak tadi siang aku terlalu sibuk sehingga belum sempat memakan sesuatu. “Kamu belum makan ya?,” tanya Dirga. Aku mengangguk dan menunduk malu. “Kalau begitu aku belikan dulu makanan untuk kamu."

"Tidak usah, tidak apa-apa. Aku makan nanti saja." Tolak ku saat Dirga akan bangun dari duduknya.

"Kamu harus makan, aku yakin kamu dari tadi sibuk dengan acara kemah dan khawatir dengan Rania jadi belum sempat makan. Lagipula aku juga daritadi meeting. Aku juga belum makan." Dirga tersenyum lalu bangkit. “Tunggu ya, biar aku yang beli makan. Kamu mau makan apa?.”

"Apa saja," jawabku sambil tersenyum. Dirga hanya mengangguk dan keluar dari kamar ini. Aku memegang pipiku yang terasa panas. Ah pasti semenjak Dirga mencium ku, pipiku merah. Aku benar-benar malu.

**

Saat aku sedang menunggu Dirga, Rania bangun dan menyebut namaku "Bu Hanna...". Secepat kilat aku mendekatinya. “Ada apa Rania?. Apa Rania butuh sesuatu?. Atau Rania merasakan sesuatu?,” tanyaku beruntun tapi Rania tersenyum lembut dengan lemah.

"Rania baik-baik aja, Rania hanya pengen ibu disamping Rania." Lalu aku menggenggam tangan Rania erat.

"Ibu ada disini, Rania jangan khawatir." dan Rania kembali tertidur.

Ternyata sedari tadi Dirga sudah berdiri di dekat pintu. Dia mendekat dengan satu bungkusan plastic besar. Aku mencoba melepaskan pegangan Rania, tapi saat itu dia menjadi terganggu tidurnya. “Bu Hanna...,” lenguhnya ketika aku mencoba melepaskan genggaman tangannya. Dirga tampak menyiapkan makanan kami.

"Maaf, sudah jam segini jadi hanya ada makanan cepat saji."

"Tidak apa-apa itu sudah cukup." Kemudian kulihat Dirga melangkahkan kaki keluar dari kamar ini. Aku bingung dengan apa yang dilakukannya, tapi ternyata dia kembali dengan satu kursi duduk yang sama dengan yang aku duduki. Kini dia telah duduk disamping ku dengan tangan yang membawa makanan cepat saji itu.

"Buka mulutnya," ucapnya yang membuatku bingung. Entahlah aku merasa seperti orang bodoh, padahal aku tau maksudnya tapi yang kuucapkan malah. "Hah?.”

"Iya buka mulutmu Hanna, ayo makan." Sendoknya semakin dekat dengan mulutku.

"Tidak apa-apa Dirga aku bisa makan sendiri nanti."

"Ayolah Hanna, aku tau pasti kamu sangat lapar. Aku tidak mau kamu sakit. Ayo buka mulutmu." Tanpa bisa menolak lagi aku akhirnya mmbuka mulutku. Aku melihatnya tersenyum lega. “Kamu pasti tidak bisa makan dengan tangan yang terus digenggam Rania."

"Iya tadi Rania sempat terbangun entah karena mimpi buruk atau demamnya, Rania meminta aku jangan meninggalkannya."

"Buka mulutmu dulu." Lalu Dirga kembali menyuapiku, jujur untuk kesekian kalinya aku dibuat terharu oleh laki-laki dihadapanku ini.

"Lebih baik kamu makan, jangan hanya aku. Maaf aku tidak bermaksud memaksamu untuk makan satu sendok berdua denganku. Aku tau kamu mungkin...."

"Ssstt.. kamu itu selalu mempunyai pikiran sendiri seperti itu. Aku sebenarnya ingin makan berdua, tapi aku justru takut kamu yang merasa seperti itu. Ya sudah kalau kamu tidak keberatan, dengan senang hati aku juga akan makan ini juga." Dirga lalu menyendokkan nasi ke mulutnya dengan penuh. "Ternyata makan satu sendok membuat makanan yang biasa aku makan 3x lipat jauh lebih enak.” Guraunya.

"Kamu bisa saja," ucapku seraya tertawa. “Tunggu kamu biasa makan makanan cepat saji?.”

"Ya bagaimana lagi kehidupanku di kantor," jawab Dirga enteng dan seketika aku ingat ucapan Raina yang mengatakan kalau Dirga jarang pulang ke rumah dan menghabiskan waktunya dikantor.

"Apa kamu tidak pernah membawa bekal?.” Tanyaku hati-hati.

"Tidak, Dewi sangat sibuk. Kami hanya makan dengan apa yang disediakan oleh pembantu rumah tangga saja," ucapnya dengan senyum yang tetap mengembang.

"Kalau aku buatkan, apa kamu mau?.” Entah kenapa tiba-tiba kata itu keluar dari mulutku. Aku seketika menunduk malu saat menyadarinya. Dirga mengangkat wajahku dengan jarinya lalu tersenyum dengan mata yang berbinar. “Aku akan sangat senang jika itu kamu lakukan," dan hatiku menghangat mendengarnya sehingga aku tersenyum padanya.

"Mungkin Rania seperti ini juga karena makan sembarangan dan tidak diperhatikan jam makannya," tambah Dirga sedih membuat hatiku juga sedih.

"Aku akan memperhatikannya nanti jika sedang disekolah." Sekilas aku genggam tangan Dirga untuk memberikan kekuatan.

"Aku senang," hanya itu yang Dirga ucapkan lalu kami berdua makan bergantian dalam hening.

Setelah kami selesai makan Rania mulai terlelap dan dengan sendirinya melepaskan tanganku. "Istirahatlah kamu pasti sangat capek," ujar Dirga seraya menyentuh bahuku. Aku mengangguk kemudian kami berdua duduk di sofa. Tiba-tiba Dirga menyenderkan kepalaku di bahunya. Aku awalnya menolak, tapi akhirnya aku menyender di bahunya karena perasaan nyaman.

"Kamu tau tadi sore aku mengobrol bersama Rania," ceritaku tiba-tiba memecah keheningan diantara kami.

"..."

"Aku menanyakan padanya, kenapa selama ini dia selalu sedih dan memandang ke arah luar jendela?. Rania selalu menatap satu pohon tua besar yang ada dilapangan. Satu teka-teki yang bahkan diketahui oleh satu sekolah! tapi tidak ada yang tau kenapa dan hari ini aku mendapatkan jawabannya. Rania berkata kalau dia mendapatkan buku darimu dulu sebelum... maaf menikah dengan Dewi. Di buku itu bercerita mengenai sebuah  keluarga yang seperti pohon. Akan terus berkembang dan menjadi kuat seiringnya waktu walaupun satu-persatu daun akan jatuh berguguran namun pohon itu akan terus tumbuh dan juga kuat."

".."

"Rania selalu melihat pohon tua yang berada dilapangan karena merasa pohon itu begitu kuat dan besar walaupun diterpa angin dan hujan setiap hari. Daunnyapun sering berguguran. Rania bertanya padaku satu hal yang aku ketahui jawabannya, tapi

sulit untuk aku katakan padanya."

"Apa itu?,”tanya Dirga penasaran

"Rania ingin tau jika dia ingin mempunyai keluarga yang punya akar kuat seperti pohon itu, apa yang harus dimiliki oleh keluarganya?.” Ku rasakan Dirga menegang. Aku mengelus punggung tangannya dan terasa dia muai melemas.

"..."

"Aku tau satu jawaban untuk itu, tapi..... aku juga tau itulah yang tidak dimilikinya. Maka ketika akhirnya aku jujur padanya bahwa yang harus dimiliki adalah kasih sayang. Rania sedih, dia merasa kamu dan Dewi tidak memiliki itu. Seringlah pulang kerumah Dirga, Rania kesepian. Dia butuh kasih sayang dalam keluarganya." Dirga tampak mengatur nafasnya. Aku mengelus tangannya. Namun seketika dia memelukku dan menangis di bahuku. Hatiku pilu mendengar tangisannya. Yang bisa kulakukan adalah memeluknya kembali dengan erat.

"Rania hanya kesepian, kamu telah menjadi ayah hebat untuknya. Kamu hanya kurang meluangan waktu untuknya." Hibur ku. Aku tau pasti Dirga sekarang merasakan perasaan bersalah yang sangat besar.

"Aku...aku ayah yang paling buruk," ucapnya dengan isak tangis yang masih terdengar.

"Tidak, kamu yang terbaik." dan pelukan Dirgapun semakin erat, entah kenapa airmatkupun tak dapat kutahan lagi mendengarnya menangis seperti itu. Hingga akupun ikut menangis dengannya. Aku paham betul dengan perasaan yang Dirga rasakan saat ini. Perasaan bersalah ku untuk Rio, anakku.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel