Bagian 14
Perasaan paling hangat
Paginya aku terbangun dan kulihat Dirga baru saja keluar dari kamar mandi. “Hanna, boleh aku titip Rania sebentar?. Aku harus menandatangani sesuatu di kantor."
"Bukankah Dewi akan datang?.” Tanyaku. Bukan tidak ingin menjaga Rania, tapi jika Dewi datang saat aku ada kan itu akan membuat dia tidak suka dan aku merasa bersalah.
Dirga menunduk dan membuang nafasnya. “Dewi bilang ada sesuatu yang mendadak jadi dia tidak bisa datang hari ini.” Aku hanya mengangguk-ngangguk dan berkata baiklah. “Dirga, hari ini hasil tes darah Rania keluar."
"Jika aku belum kembali, tolong gantikan aku ya untuk penjelasan dokter tetang Rania." Pintanya.
"Tapi apa tidak apa-apa?.”
"Tidak, justru aku yang ingin bertanya. Apa kamu tidak keberatan aku meminta bantuanmu?.”
"Tentu tidak," jawabku dengan senyum simpul.
"Terima kasih Hanna, kalau aku sudah selesai aku akan segera kemari dan kamu bisa pulang untuk beristirahat."
"Tenang saja. Tidak usah memikirkanku, aku tidak apa-apa. Aku akan menjaga Rania, tapi...." Aku ragu untuk meminjam handphonenya, tapi aku tidak punya pilihan lain.
"Tapi... katakan saja Hanna, jangan ragu. Aku akan membantumu." Potong Dirga lembut.
"Boleh aku meminjam handphonemu?. Handphoneku ada di sekolah, aku ingin menelepon temanku agar handphoneku dibawa kesini." Jawabku merasa tidak enak.
"Kamu susah payah ternyata hanya untuk meminjam handphoneku?.” Dirga tersenyum sangat lembut, sementara aku hanya mengangguk ragu. “Tentu, ini." Dirga menyodorkan handphonenya padaku. Aku pun mengambilnya.
Didekat jendela, aku langsung mengetikkan nomorku dan langsung kudapati nomorku dengan nama "white". Aku mengernyit, apa maksudnya namaku white?. Tapi aku hanya diam saja dan menunggu jawaban. Hanya terdengar bunyi operator, mungkin Winni meninggalkan ponselku ditasnya. Nomor Winni kini yang tersambung dan deringan ketiga teleponku diangkat olehnya. “Hanna ini gawat..." ucap Winni langsung saat mengatakan kalau aku yang menelepon saat ini memakai nomor Dirga.
"Ada apa Winni?.”
"Vino, semenjak semalam menghubungimu tidak berhenti dan maafkan aku Hanna aku mengangkatnya. Saat aku angkat dia marah besar." Terang Winni cemas.
"Itu sudah biasa," jawabku pelan dan menunduk
"Tapi dia sampai datang tadi pagi dan mengamuk disini. Dia juga membawa ponselmu."
Tubuhku mematung, aku tidak menyangka dia menjadi seemosi itu sekarang. “Mengamuk bagaimana Winn?.”
"Dia menggeledah tiap tenda lalu aku mengatakan kalau kamu sedang mengurus murid yang sakit. Dia tidak berkata apa-apa lagi, tapi setelah itu dia meneleponmu sepertinya untuk memastikan dan saat itu ponselmu berdering. Vino mengambilnya lalu dia pulang." Aku menghembuskan nafs kasar-kasar rasanya sesak mendengar Vino seperti itu. Secara tidak langsung dia telah mempermalukanku di sekolah. Aku tau aku salah, tapi apa harus dia seperti itu?. Kupejamkan mataku erat untuk menghalau segala kemarahan yang ada dalam diriku.
"Ya sudah, bairkan saja. Aku minta maaf padamu karena aku kamu harus menghadapi Vino. Untuk pihak sekolah nanti aku akan minta maaf langsung."
"Jangan berkata seperti itu, aku ini kan teman dekatmu. Kamu harus hati-hati ketika pulang nanti ya." Winni terdengar cemas dan khawatir padaku.
"Baiklah, terima kasih Winn." Tepat ketika aku akan berbalik Dirga sedang memperhatikanku dari kursi sofa.
"Apa Vino marah karena kamu menunggui Rania disini?.” Aku langsung menggeleng cepat. 9Tidak..Tidak.. Vino marah karena....."
"Karena apa Hanna?.”
"Karena aku ikut perkemahan," jawabku dengan menunduk dan sepertinya dia menyadari sesuatu dari cerita masa laluku.
"Lalu apa yang terjadi disekolah. Aku dengar kamu meminta maaf pada Winni. Maaf aku tidak bermaksud menguping, tapi aku takut karena Rania kamu dan suamimu..."
"Aku dan Vino memang sudah rusak," potongku cepat dengan senyuman yang sebisa mungkin kutampilkan padanya.
"......"
"Ini bukan karena Rania, kamu tenang saja. Dia memang senang mengamuk seenaknya jadi tidak usah khawatir," tambahku. Dirga mendekat padaku kemudian memegang kedua tanganku. “Ada aku disini," kata-kata yang selalu diucapkan saat aku merasa di titik tersulit akhir-akhir ini. Kata-kata yang mampu mebuatku merasa aku bisa bangkit lagi.
"Terima Kasih," Ungkapku tulus padanya dan dengan jawaban Dirga yang hanya sebuah senyuman membuatku seakan beban terberat dalam hidupku saat ini terangkat.
"Oh ya nanti kamu tidak bisa menghubungiku dulu sebelum aku yang menghubungimu duluan karena handphoneku sekarang ada di Vino," beritahuku.
"Baiklah, aku akan ke kantor dulu. Aku titip Rania." Tanpa kuduga sama sekali, dia mendekatkan wajahnya dan mencium keningku lama. Perasaan asing yang sangat-sangat hangat menelusup langsung kedalam jiwaku hingga rasanya aku tidak mampu bergerak sedikitpun bahkan aku merasa bahwa aku tidak sanggup lagi berdiri.
“Aku pergi dulu.” Dirga mengusap pipiku lalu mengambil jasnya di sofa dan keluar dari kamar ini. Sementara itu aku masih berdiri lalu terduduk lemas di sofa. Perasaan apa ini?. Satu pertanyaan yang kini hinggap di benakku. Perasan asing ini, perasaan yang berbeda. Sangat hangat, mungkin ini perasaan yang paling hangat dan nyaman yang pernah kurasakan. Vinopun dulu tidak pernah membuatku merasakan ini sebelumnya.
Apa yang kami lakukan memang bukan sebuah hubungan intim tapi entah kenapa aku merasa perasaanku begitu dalam padanya. Apakah dia juga memiliki perasaan yang sama denganku?. Oh ya ampun, aku sepertinya tidak mampu menghalau perasaan ini. Kenapa perasaanku seperti ini disaat kemarin aku ingin menjauh darinya demi kebahagiaannya, yang kudapat sekarang perasaanku malah semakin tidak terbendung lagi, bahkan tak menyisakan ruang lagi untuk nama lain.
**
Rania menyebut namaku ketika hari sudah mulai terang. Ketika tanganku menempel pada keningnya kurasakan panasnya tidak setinggi malam. Rania tersenyum dan menggenggam tanganku. “Bu Hanna, temani Rania ya,” pintanya dengan suara yang lemah dan aku tidak akan sanggup menolaknya. Cukup aku egois saat itu pada Rio dan aku tidak akan seperti itu lagi. Cukup satu penyesalan dalam hidupku yang terus menyiksaku hingga kini.
Pintu ruangan Rania terbuka dan dokter yang kemarin menangani Raniapun datang. “Bagaimana keadaanmu Rania?." Tanyanya melihat nama di ranjang Rania.
"Sudah lebih baik dokter," jawabnya dengan senyuman
"Bagus, kalau begitu bisakah saya berbicara berdua dengan ibu?.” Aku mengangguk ketika mata dokter itu memintaku untuk berbicara mengenai Rania. Lagipula Dirga sudah memberi izin, pikirku.
Ruangan bernuansa putih yang dipadupadakan oleh warna-warni cerah bunga dan tokoh kartun membuat ruangan dokter anak ini terlihat ramai. Ada berbagai macam permen di mejanya, ketika aku dipersilahkan duduk dihadapannya. “Bagaimana keadaan Rania dok?.” tanyaku langsung
"Dari hasil tes darah Rania benar bahwa dia terkena tifus, itu sebabnya Rania saat pagi hingga siang akan terlihat baik-baik saja tapi ketika sore dia akan demam dan sakit. Bukankah begitu?.” Aku memikirikannya, memang kemarin saat bertemu disekolah Rania tidak apa-apa tapi malamnya dia tiba-tiba demam. Akupun mengangguk memberi jawaban.
"Itu artinya Rania harus di rawat disini beberapa hari dan setelah keluar dari sini nanti saya mohon untuk memperhatikan pola dan jenis makanannya. Rania harus teratur minum obat juga. Jadi maksud saya nanti tolong perhatian lebih untuk Rania." Jelasnya.
"Baik dok, jadi untuk beberapa hari kedepan Rania harus dirawat disini ya?.” Tanyaku untuk memastikan.
"Iya benar dan untuk permohonan pemindahan ruangan ke ruang VVIP akan dilaksanakan nanti siang harap dikemas saja barang bawaannya. Saya kira cukup itu saja yang harus saya katakan,"
"Oke, baik kalau begitu dok saya permisi dulu." Dokter itu hanya mengangguk dan aku langsung berdiri dari tempatku untuk keluar dari ruangan ini.
**
Pintu ruang rawat inap Rania terbuka menampilkan sosok Dirga saat aku sedang menyuapi makan siang Rania. Aku tersenyum padanya dan entah kenapa dia hanya diam saja menatapku dengan pandangan yang baru kulihat. Apakah mungkin dia menghadapi masalah di kantor?, Atau karena Dewi ataukah karena cemas pada Rania?, Atau.. Vino?. Tidak..tidak... aku tidak ingin Vino menyeret Dirga dalam maslaah ini. lAda apa?,” tanyaku padanya.
"Iya ada apa ayah?, kenapa ayah diam disitu?.” Rania kini membuka suaranya karena merasa aneh juga pada sikap Dirga.
Suara Rania, seakan menarik Dirga ke dunia ini. Dengan gelagapan Dirga berkata. "Ah, tidak...tidak. Maaf ayah tadi melamun," lalu dia masuk dan mendekati Rania. “Bagaimana keadaan Rania?.”
"Rania..." ucap Rania dengan mulut yang penuh bubur setelah kusuapi barusan.
"Dimakan dulu makanannya," ucapku kini.
"Ehmm.. Rania sekarang merasa sehat ayah, semua karena Bu Hanna merawat Rania. Daritadi Bu Hanna menemani Rania, menyuapi Rania dan selalu menjaga Rania." Jawabnya dengan senyum yang mengembang.
"Kalau begitu bilang apa pada Bu Hanna?.”
"Terima Kasih Bu Hanna." Aku hanya tersenyum dan mengangguk pada Rania sambil berkata. "Iya, kita kan teman. Paling penting Rania harus cepat sehat.”
"Oh iya terima kasih juga untuk yang semalam ya bu.” Aku mengernyit bingung. “Rania ingat Bu Hanna menangis saat membawa Rania ke rumah sakit. Bu Hanna menggendong Rania di punggung Bu Hanna dan tidak memakai alas kaki," ucapnya polos yang membuat aku menunduk karena malu. Sementara Dirga kini menatapku seperti pandangannya tadi saat dipintu.
"Ibu takut Rania sakit, jadi Bu Hanna seperti itu. Ayo satu sendok lagi buburnya, setelah itu Rania harus minum obat." Rania menurut padaku. Rania memang anak yang sangat baik dan penurut. Sebenarnya tidak sulit untuk menjaga dan mengurus Rania, tapi betapa malangnya Rania. Dia selalu kesepian.
Anehnya Dirga tetap diam dan duduk dikursi saat aku sudah membuat Rania meminum obatnya dan tertidur lelap. Namun, baru saja aku akan berdiri Dirga lebih dulu berdiri. "Ayo kita menghirup udara segar sebentar di taman."
"Tapi Rania..."
"Tidak apa-apa, kita hanya sebentar. Kita titipkan sebentar pada perawat." Aku sebenarnya tidak tega meninggalkan Rania sendiri walaupun sebentar dengan keadaan sedang sakit seperti ini, tapi Dirga sepertinya memang butuh udara segar jadi aku mengiyakan ajakannya.
**
Semerbak wangi rumput basah dan tanah basah sesaat setelah hujan selalu kusuka. Di bangku yang menghadap ke taman rumah sakit aku duduk berdua dengan Dirga menatap langit yang masih mendung karena hujan. Kami hanya diam, suara langkah kaki banyak orang seakan tidak ada ditelingaku. Hanya kesunyian yang ada. Hingga akhirnya suara Dirga hadir. Seketika hatiku tersadar apakah ini yang dinamakan jika kita sedang jatu hati maka dunia ini berasa milik berdua. Ah kenapa aku seperti remaja labil seperti ini, aku tidak pantas untuk seperti ini di usiaku yang sudah mau mencapai kepala tiga.
"Hanna..."
".."
"Aku merasakan perasaan asing saat melihat kamu tadi sedang menyuapi Rania dan saat aku mendengar apa yang dikatakan Rania." Apa yang dirasakannya?. Apa perasaan tidak suka?.
"Perasaan apa itu?.”
"Entahlah, perasaan yang aku sendiripun tidak tau apa namanya, tapi satu hal yang pasti. Sebuah kebahagiaan, sebuah dunia yang selama ini kucari tapi entah harus menemukannya dimana dan aku menemukannya hari ini.”
"...."
"Aku belum melihat ada yang menjaga Rania seperti kamu, belum ada yang khawatir pada Rania sampai seperti itu dan belum ada yang menyanyangi Rania seperti kamu. Terlebih ibu Rania sudah ,eninggal semenjak melahirkan Rania." Terang Dirga.
"Jangan berlebihan Dirga, Dewi juga pasti akan seperti itu jika dia yang berada diposisiku."
"Tidak, bahkan saat kuberitahukan pun dia tidak betanya Rania sakit apa, atau hal lainnya. Dia hanya meminta ku menyuruh pembantu rumah untuk menjaga Rania atau menghubungi ibunya," Aku tidak percaya dengan apa yang kudengar dari mulut Dirga, apa mungkin Dewi seperti itu?. Walaupun Rania bukan anak kandungnya tetap saja Rania itu adalah anak dari laki-laki yang sudah menikahinya. Ya ampun aku tidak boleh menghakimi sepihak begini pada Dewi. Mungkin dia memang memiliki urusan yang sangat penting.
"...."
"Aku mengerti, dia memang tidak pernah menyanyangi Rania seperti anaknya sendiri. Dulu aku menikah dengannya karena ibunya Ayu yang merupakan nenek dari Rania memintaku untuk menikah. Aku waktu itu terlalu lama menyendiri. Dia langsung menjodohkanku dengan adiknya Ayu. Saat itu aku memang tau kalau Dewi memiliki perasaan padaku walaupun aku tidak.”
"Tapi pada akhirnya aku menikahi Dewi karena ayah Dewi sakit dan memintaku menikahi putri keduanya yang hanya beda beberapa menit dengan putri pertamanya, Ayu. Aku tidak bisa menolak lagi, lagipula aku berpikir mungkin dengan seperti itu tidak akan ada ibu tiri kejam yang menyiksa anak tirinya karena memang Rania keponakannya sendiri.”
Entah kenapa hatiku berkedut mendengarnya, Dirga ternyata tidak tau apa yang dilakukan Dewi pada Rania. Teka teki apa yang sebenarnya antara Dewi dan Ayu sampai-sampai aku mencium bahwa mereka mempunyai masalah, karena kalau tidak Dewi tidak akan mengancam Rania dengan foto kembarannya sendiri.
"Aku salah ternyata walaupun Rania keponakannya Dewi tidak peduli pada Rania. Dia selalu mementingkan pekerjaannya." Lanjutnya lagi dengan menunduk, aku tidak dapat berkata apa-apa. Aku hanya diam saja.
"..."
"Selama ini, aku bertahan dengan rumah tanggaku. Aku sudah coba berusaha untuk mencintainya. Aku juga sudah berusaha sebaik mungkin untuk jadi suami yang baik, tapi sampai saat ini entahlah yang kurasakan hanyalah kehampaan. Sementara Dewi merasa kalau kami baik-baik saja dan bahagia atas pernikahan ini." Terangnya. Aku tersadar kami berdua ternyata memiliki sebuah persamaan yaitu kami berjuang sungguh-sungguh untuk pernikahan kami tapi pasangan kami merasakan baik-baik saja atas semua ini.
Mereka mungkin lebih mementingkan ego mereka maasing-masing, tapi apakah itu yang dinamakan sebuah pernikahan?. Bukankah pernikahan yang sebenarnya adalah sebuah hubungan yang diharuskan selaras dan sama-sama berjuang jika ada suatu masalah?. Tapi disudut hatiku yang lain bersuara apakah hubunganmu sekarang dengan Dirga bukan sebuah ego karena ketidak bahagiaan kami di pernikahan kami masing-masing?. Apakah benar kami saling mencintai?.
Pertanyaan-pertanyaan itu tiba-tiba terus terulang di pikiranku hingga ada satu suaru menyerukan jawabannya. "Jika memang kami tidak tulus saling mencintai tidak mungkin kami bahagia hanya dengan saling menatap, tidak mungkin kami bahagia hanya dengan saling berbicara dan tidak mungkin kami bahagia hanya dengan saling menguatkan dari belakang tanpa harus berada disamping dan paling depan walaupun tidak bisa kupingkiri ada perasaan tidak suka yang menelusup saat aku melihat Dirga dengan istrinya.”
Aku kini baru menyadari kalau cinta itu tidak berbuat sesukanya untuk mendapatkan cinta yang diinginkan dan cinta itu tidak kasar. Dulu aku merasa bahagia dengan sikap Vino yang selalu sesukanya dengan alasan cemburu atau dia tidak ingin kehilanganku dan dia juga bersikap agak kasar dengan alasan cinta seperti mencekal tanganku keras saat aku tidak setuju dengan kecemburuannya. Dulu Vino sering mengatas namakan cinta, betapa sering juga dia mengatakan cinta padaku. Tapi sekarang setelah kisah ku bersama Dirga, aku menyadarinya.
Cinta itu lembut, seperti sikapnya yang selalu lembut padaku. Cinta itu sabar, seperti Dirga yang selalu tersenyum padaku dengan apapun yang terjadi dengan kami tanpa kasar dan mengatas namakan cinta. Cinta juga saling menghargai, seperti Dirga yang selalu menghargaiku. Tidak pernah dia berbuat sesuka hatinya dan mengatas namakan cinta. Dirga juga tidak banyak mengumbar dan mengatakan cinta setiap hari tapi dengan tindakannya aku tau apa yang dirasakannya. Dan saat dia mengatakan cinta dengan kesungguhan hatinya, hatiku merasakan suatu perasaan cinta yang lebih berharga dari apapun yang pernah kurasakan sebelumnya. Dirga selalu mengungkapkan apa yang dirasakannya dengan manis dan kata-kata yang menyentuhku
"Terima Kasih Hanna telah hadir dihidupku," ungkap Dirga mengembalikanku pada dunia nyata.
"...."
"Kehadiranmu sudah membuat hujan yang tidak berpelangipun menjadi indah untukku," katanya dengan kalimat yang indah.
"Dan kamu telah membuat langit mendungpun menjadi indah." Dirga tersenyum manis padaku.
"Oh iya, bagaimana kata dokter mengenai Rania?.”
"Rania... benar-benar terkena tifus. Dia harus dirawat beberapa hari disini dan untuk selajutnya dokter meminta untuk lebih memperhatikan pola makan Rania, apa yang dimakan Rania, istirahat Rania dan obat Rania. Dan untuk pemindahan ke kamar VVIP akan dilaksanakan siang ini."
"Baik, kalau begitu. Terima kasih Hanna. Semua terbantu karena kamu."
"Sudahlah, aku memang tulus menyanyangi Rania. Dia teman dan murid terhebat.” Aku bukan membedakan murid atau apapun tapi dia adalah emmang anak terkuat dan terhebat dengan segala ujian hidupnya disaat usianya baru menginjak sepuluh tahun "Lebih baik kita kembali ke kamar Rania, aku takut kalau dia bangun tidak ada siapa-siapa,” sambungku lagi.
"Kamu sudah makan?,” tanya Dirga tiba-tiba.
"Belum tenang saja aku bisa makan nanti."
"Hanna please jangan seperti itu, pikirkanlah dirimu sendiri."
"Tidak apa-apa aku senang menjaga Rania," ucapku tulus padanya karena aku memang senang bisa menjaga Rania.
"Jangan membuatku semakin bersalah, makanlah dulu. Aku akan antar kamu untuk makan, ganti baju dan istirahat. Nanti aku akan menjemputmu lagi jika kamu mau menjaga Rania kembali." Akhirnya aku pasrah pada Dirga karena memang aku tidak membawa ganti. Aku sebenarnya ingin menjaga Rania, untuk menemaninya dan merawatnya hingga sembuh. Tapi aku tau, Dirga mungkin merasa tidak enak dan taku terlihat orang. Kalau saja ada Dewi yang menjaganya tentu aku akan tenang.
"Tapi berjanjilah, itu setelah pemindahan kamar Rania dan jika nanti sore Rania tidak ada yang menjaga ijinkan aku untuk menjaganya."
"Pasti. Kamu yang terbaik," ucapnya lalu langsung berdiri dan mengulurkan tangannya untuk ku genggam.
Aku terdiam dan hanya memadang tangan Dirga yang terulur dan kembali menatap kembali matanya. Seakan mengerti keraguanku, dia menyentuh satu jariku dan menuntunku untuk berdiri lalu jalan kembali ke ruang rawat inap Rania.
"Kalau begini kamu tidak keberatankan?,” tanyanya lembut seraya tersenyum padaku dan aku hanya menundukkan kepalaku menahan perasaan bahagia senang dan malu. Aku tau Dirga hanya memegang satu jariku, tapi entah kenapa sentuhan itu begitu manis dan membuatku kembali merasakaan perasaan hangat itu. Perasaan yang selalu kurasakan saat bersama Dirga.
**
