Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 12

Tujuanku setelah dari ruang konsultasi adalah ruang guru. Disana sudah banyak guru yang menata barangnya untuk perkemahan malam ini. Aku bimbang sebetulnya haruskah aku jadi ikut?. Jika kenyataannya Vino tidak memberi ijin. Apalagi kami saat ini sedang bertengkar. Aku sangat bingung. Ditengah kebingunganku ada suara langkah kaki yang mendekat membuatku semakin gamang. Aku paling tidak bisa menolak permintaan malaikat kecil ini.

"Bu Hanna.. Bu Hanna jadi menemani Rania untuk perkemahan nanti malam kan?.” Tanya Rania langsung setelah berlari-lari untuk menghampiriku.

"....." Aku masih merangkai kalimat yang tepat untuk diberikan padanya karena sungguh aku tidak ingin melihat wajah sedih Rania.

"Bu Hanna, aku tidak akan jadi ikut berkemah jika ibu tidak ingin ikut. Aku ikut karena ini salah satu yang ingin kulakukan bersama temanku. Berkemah." Katanya polos disaat aku masih menyusun kalimat, Rania mengetakannya dengan begitu sedih hingga dia menunduk saat mengucapkannya dan kalimat yang kususun seketika hilang menguap entah kemana membuat pikiranku kosong dan hanya menatap Rania.

"Tapi kalau Bu Hanna tidak bisa, tidak apa-apa Rania mengerti mungkin ibu memiliki urusan lain," sambungnya lalu mendongak menatap mataku dan tersenyum selebar mungkin. Aku semakin tidak tega.

Aku dapat melihat pancaran kesedihannya walau dia berusaha tersenyum. Dan dengan tekadku yang sudah bulat aku pun mengangguk tanpa berpikir lagi. Biarlah hubunganku dengan Vino memang sudah rusak tapi tidak dengan Rania. Malaikat kecil yang begitu membuat hatiku menghangat, perasaan sama yang kurasakan kepada Rio waktu dia dulu masih ada. Mungkin memang dengan cara ini lah aku bisa menebus sedikit rasa berssalah kepada anakku yang sudah tenang disana. Dengan membuat hati anak lain yang sedih karena kesibukan orang tuanya bisa bahagia. Dan sekarang bisa kurasakan kebahagiaan Rania karena Rania kini melompat-lompat bahagia kemudian terus berkata terima kasih kepadaku.

"Semoga dengan ibu membahagiakan anak lain yang sedih, kamu bisa memaafkan ibu nak." Lirihku dalam hati untuk Rio, anakku.

Keputusan yang kuambil untuk menemani Rania akhirnya membuatku bergegas pulang ke rumah dan mempersiapkan semuanya dengan cepat. Aku takut Vino pulang dan berakhir dengan perdebatan kami. Aku sudah lelah, aku hanya ingin menebus kesalahanku pada Rio dengan caraku sendiri. Hidup sebagai guru, membuat anak lain bahagia dan aku tidak lagi menangis karena rumah tanggaku yang hancur. Tak lupa aku sudah menyiapkan makanan di meja, takut-takut Vino pulang. Bagaimanapun aku istrinya dan aku tidak akan melupakan apa yang menjadi kawajibanku untuk melayani semua kebutuhan yang diperlukannya kecuali untuk satu hal karena jujur hatiku sudah terluka olehnya dan dia sadar sekali sudah mengosongkan namanya sendiri.

Lagipula setelah kepergian Rio sampai saat ini Vino tidak pernah menyentuhku dengan intim lagi dan aku hargai itu karena mungkin jika Vino melakukannya dia hanya akan menyakitiku. Aku hargai Vino karena itu, walaupun kadang hatiku berkedut sesekali kala mengingatnya. Terlintas di benakku apakah mungkin Vino merasa jijik padaku? Apakah Vino melampiaskannya pada Sivia? Dan aku terus menyangkalnya.

Tapi setelah kejadiaan akir-akhir ini akhirnya aku sungguh tidak ingin tau lagi atau lebih tepatnya tidak peduli lagi. Aku menyanyangi hidupku dan aku lebih memilih tidak membuat air mataku terus jatuh karena pernikahan ini. Aku hanya akan menjalankan peran istri yang baik saja sebatas melayani kebutuhan luarnya saja.

Ah sungguh menyedihkan sekali dalam pernikahanku ini, tapi aku bersyukur takdir itulah yang membuatku bertemu dengannya. Bertemu dengan seseorang yang begitu lembut dan itu terjadi karena malaikat kecil yang aku sayangi. Tapi seketika itu juga perasaanku seakan ditohok tat kala aku menyadari kalau aku sudah bersyukur karena bertemu dengan suami orang lain. Juga jatuh hati padanya.

**

Saat membereskan tas, aku teringat kalau dompetku masih berada di mobil Dirga. Kenapa aku bisa melupakan hal sepenting itu?. Aku mengetikkan pesanku pada Dirga dengan lancar.

To : Rain

Aku lupa dompetku masih ada dalam mobilmu. Apakah aku bisa mengambilnya?

From : Rain

Aku akan ke sekolah nanti saat acara api unggun, tidak apa-apa kan? Saat ini aku masih ada beberapa meeting

To : Rain

Aku akan mengambilnya sendiri saja, kamu titipkan saja di satpam

From : Rain

Aku mohon biar aku yang mengantarnya

To : Rain

Baiklah

From : Rain

Terima kasih. Oh ya doakan aku, aku akan meeting untuk satu tender yang besar

To : Rain

Aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu

From : Rain

Dan kamu adalah yang terbaik dari semua doaku

Seketika senyum yang selalu kukembangkan saat bertukar pesan dengannya berubah menjadi keharuan yang belum pernah kurasakan selama ini.

**

Disekolah aku melihat Rania sedang duduk sendiri di rumput dekat tenda. Semua tampak sibuk didalam tendanya masing-masing, tapi Rania hanya duduk dan melihat ke arah pohon yang selalu dilihatnya dari dalam kelas. Itu membuatku kembali penasaran dan menghampirinya. “Kenapa Rania selalu melihat pohon itu?,”,tanyaku yang membuatnya kaget dan menoleh padaku dengan senyuman yang selalu mengembang bila bertemu denganku.

"Oh pohon itu, Rania hanya senang melihat pohoan tua itu karena mengingatkan Rania pada cerita di buku yang selalu Rania baca," tiba-tiba aku teringat buku yang selalu dibaca Rania tentang pohon dan itu membuatku semakin tertarik lagi.

"Memang buku itu menceritakan tentang apa?.”

"Pertama kali ayah membelikan buku itu, ayah berkata bahwa buku itu bercerita mengenai sebuah keluarga yang seperti pohon. Akan terus berkembang dan menjadi kuat dengan seiringnya waktu walaupun satu-persatu daun akan jatuh berguguran namun pohon itu akan terus tumbuh dan juga kuat." Aku dibuat diam oleh kata-kata Rania, meski itu kata-kata dari ayahnya tapi tetap saja menunjukkan kalau Rania adalah anak yang sangat cerdas. Raniw bisa mengucapkannya begitu lancar, tanpa ragu.

"Buku itu ayah belikan saat akan menikah dengan tante Dewi." Tambah Rania. “Alasan Rania selalu melihat pohon tua disana itu karena Rania kagum. Dia bisa kuat dan setua itu walaupun tiap hari Rania lihat dia diterpa angin dan hujan. Daunnya juga sering berguguran. Itu karena dia punya akar yang kuat kan Bu Hanna?.” Tanya Rania menoleh padaku dan aku hanya mengangguk.

"Berarti agar sebuah pohon menjadi kuat dan tetap bertahan, itu artinya pohon harus punya akar yang besar dan kuat untuk membuat dia bertahan bukan?.”

"..." Aku mengangguk dengan heran, kemana Rania akan membawa arah pembicaraan saat ini?.

"Rania ingin tau jika keluarga Rania ingin punya akar kuat seperti pohon itu, apa yang harus dimiliki oleh keluarga Rania?.” Aku dibuat diam untuk kesekian kalinya oleh Rania.

Apakah mungkin selama ini Rania selalu memandang pohon itu karena merasa keluarganya tidak bahagia?. Dan hatiku terluka menyadarinya. Sebegitu rapat Rania menutup kegelisahan dalam hatinya karena menginginkan sebuah jawaban akan masalah dalam keluarganya sendiri?. Karena ketidak bahagiaannya di rumah. Anak yang merasa rumahnya hampa. Tidak ada kasih sayang atau apapun yang anak seusianya inginkan. Walaupun ayahnya selalu mengusahakan yang terbaik untuknya, tapi Rania begitu kesepian dan meresahkan apa yang akan terjadi kedepannya pada keluarganya. Ya ampun, anak ini memang dewasa terlalu awal karena keadaan. 

"Bu Hanna?.” Rania menyadarkanku dari lamunanku.

"Ya...maaf Rania ibu melamun.”

"Jadi apa Bu Hanna?.” Rania masih menunggu jawabanku dan aku bingung untuk menjawab apa karena jujur jawaban yang ada dalam pikiranku adalah hal yang Rania tidak dapatkan selama ini jika aku mendengar apa yang telah diceritakannya dan aku tidak tega untuk membuat harapannya putus.

"Ehmm... Rania hanya perlu menjadi anak yang baik." Putusku akhirnya.

"Bu Hanna, Rania tau Rania ini hanya anak SD, tapi Rania tau bukan itu jawabannya." Rania memang anak yang pintar sehingga aku tidak bisa membohonginya hingga akupun mengatakan. “Baiklah Rania, ibu memang tidak bisa membohongi anak sepintar kamu. Jawabannya adalah....kasih sayang." Rania diam dan hanya memandangku kemudian dia menunduk.

"Keluarga Rania tidak mempunyai itu." Aku menggenggam tangan putih dan mulus Rania. Pertama yang kurasakan adalah suhu tubuh Rania yang panas. Apa Rania sakit?. Khawatir mulai kurasakan, namun ketika melihatnya menitikkan air mata. Aku tidak bisa mengalihkan pembicaraan ini.

"Rania dengar ibu, Rania mempunyai kasih sayang itu. Kita tidak tau, mungkin sebenarnya tante Dewi menyanyangi Rania hanya saja dia sibuk, selain itu Rania punya ayah yang sangat menyanyangi Rania. Ibu Ranipun pasti sangat menyanyangi Rania. Rania bisa ada sekarang disamping Bu Hanna karena Ibu Rania sangat menyanyangi Rania." Jelasku.

"Tapi... ayah tidak menyanyangi tante Dewi dan tante Dewi juga tidak menyanyangi Rania." Balas Rania.

"Jangan berbicara seperti itu. Darimana Rania bisa menyimpulkan hal seperti itu?.” Tanyaku penasaran. Rania masih kecil.

"Rania tau karena ayah jarang pulang semenjak menikah dengan tante Dewi dan Rania juga pernah dengar Tante Dewi memarahi ayah." Penjelasan Rania membuatku semakin tidak bisa berkata apa-apa, apakah hubungan rumah tangga Dirga seperti itu?. Apa benar yang dikatannya kalau sebenarnya dia tidak mencintai Dewi?. Tapi kenapa Dirga setega itu sering tidak pulang karena tidak ingin bertemu dengan Dewi?. Bukannya aku berprasangka buruk, tapi aku yakin jika karena Rania itu tidak mungkin karena Dirga sangat menyanyangi Rania.

"Lalu Rania tau darimana Tante Dewi tidak menyanyangi Rania?,” tanyaku lagi dan Rania kini mendongak menatapku yang duduk disampingnya.

"Karena Tante Dewi tidak peduli pada Rania. Rania selalu diabaikan." Jawabnya yang membuatku pedih melihat sorot matanya. Merasa kasihan aku segera mendekapnya dan tangis Raniapun pecah seperti anak seumurannya kebanyakan. Pilu rasanya mendengar suara tangisnya. Anak seusianya sudah mengalami cobaan hidup yang seberat ini.

"Rania jangan sedih ya. Rania masih punya ayah dan keluarga Rania yang lainnya. Dan Rania punya Bu Hanna," ucapku seraya terus mengusap lembut rambutnya.Dengan pelukan ini kurasakan suhu tubuhnya panas. Aku yakin pasti Rania sedang sakit, tapi karena wajahnya yang putih pucat jadi tidak ada yang menyadarinya. “Kepala Rania pusing?.”Rania sudah mengurai pelukan kami dan aku langsung mengecek suhu tubuhnya dengan menyentuh kening dan lehernya dengan punggung tanganku.

"Sedikit."

"Kalau begitu kenapa Rania ikut berkemah?. Rania lebih baik istirahat di rumah saja.”

"Rania sudah lama ingin berkemah dengan teman Rania, tapi Rania baru punya lagi teman sekarang. Dan Rania gak mau melewatkannya." Senyuman Rania meneduhkan walaupun masih ada bekas genangan air di mata Rania yang langsung kuhapus dengan ibu jari.

"Baiklah, tapi Rania diam saja ya bersama ibu di dalam tenda guru?.” Rania hanya mengangguk.

"Kalau begitu ayo masuk ke tenda, hari sudah hampir malam." Aku menuntun Rania kedalam tenda khusus untuk para guru. Kebetulan aku satu tenda dengan Winni. "Win, Rania di tenda kita ya?. Badan dia panas." Winni seketika langsung mendekat dan menyentuh kening Rania.

"Iya bener, ya ampun Rania kenapa ikut kemah kalau Rania sakit?.” Winni dengan kehebohannya membuat Rania dan aku tertawa. “Kalian ini malah tertawa, aku khawatir tau."

"Rania ingin berkemah dengan teman Rania," ucapnya enteng dengan senyuman lebar dan deretan gigi putihnya. Setelah mendengar jawaban itu Winni tersenyum hangat dan membelai pipi Rania. Winni memang tau mengenai Rania yang kesepian, aku menceritakannya, tapi sebatas mengenai kesepian Rania karena ibu dan ayahnya yang bekerja.

"Rania harusnya berteman dengan Bu Winni juga," ucap Winni pura-pura marah.

"Jadi Bu Winni tau Rania berteman dengan Bu Hanna?.”

"Tentu, Bu Hanna ini kan teman baik SMP Bu Winni. Jadi Bu Winni tau."

"Benar seperti itu Bu Hanna?.” Tanya Rania dengan mata yang berbinar-binar. Aku memang beberapa kali mengirimi sms Winni mengenai Rania disekolah saat aku sedang bersama Dirga karena aku tau Rania selalu sendiri. Aku perhatian seperti ini pada Rania bukan karena dia adalah anak dari Dirga. Sebelum aku jatuh cinta pada Dirgapun aku lebih dulu jatuh cinta pada anak yang kutuntun sekarang ini. Rania mengingatkanku pada kesepianku dan pada anakku, Rio.

"Ya benar, Bu Hanna kan waktu sakit selalu menanyakan Rania pada Bu Winni karena ibu sangat mengkhawatirkan Rania." Bukan aku yang menjawab tapi Winni. Rania menucpakan terima kasih dengan raut wajah yang bahagia. Aku merasa begitu bahagia melihatnya senang. Aku semakin yakin kalau sebenarnya Rania hanya butuh kasih sayang dan perhatian.

"Ya sudah, ayo masuk Rania harus beristirahat. Sambil menunggu jam makan malam, Rania bisa tidur dulu."

"Iya. Bolehkan Rania tiduran di paha ibu lagi?,” tanyanya malu-malu dan tanpa ragu aku mengangguk.

**

Sedari tadi Rania tidur nyenyak dipangkuanku. Dia terlihat nyaman. Aku senyum melihatnya. Namun betapa terkejutnya aku ketika aku cek lagi suhu tubuhnya, bukannya turun suhu tubuh Rania malah semakin tinggi. Khawatirku seketika bertambah ketika melihat bulir keringat di dahi Rania ditambah badannya yang mulai menggigil. Winni yang sedang asyik mempersiakan acara untuk nanti api unggun kupanggil dengan nada suara yang panik. "Winni gimana ini Rania sangat panas?.”

"Hah?. Yang benar?. Bagaimana kalau kita panggil petugas kesehatan?.” Usul Winni.

"Tapi sepertinya Rania harus dibawa ke rumah sakit. Liat badannya menggigil, tapi keringatnya terus keluar dari dahinya.” Aku menunjuk dahi Rania.

"Ah benar, ya ampun panasnya juga tinggi banget.” Kata Winni setelah mengeceknya sendiri. “Ya udah kita suruh ayahnya datang.”

"Dirga... eh maksudku ayahnya Rania akan datang malam ini, tapi aku tidak tau jam berapa?. Katanya sedang ada meeting penting.”

"Bagaimana kalau kamu telepon dia saja sekarang?.”

"Baiklah, bisa kamu ambilkan handphoneku di tas?” Lalu dengan cepat Winni mengambil handphoneku ditas. Winni menyodorkannya, namun saat melihat tanganku bergetar Winni melihat ku iba. Entahlah melihat Rania seperti ini mengingatkanku pada Rio. Aku tidak ingin kehilangan Rania. “Biar aku yang buka ponsel kamu.” Aku mengangguk menyetujui. Winni membuka ponselku dan seketika dia terdiam.

"Kenapa diam Winni?. Ayo telepon, aku tidak ingin terjadi sesuatu pada Rania." Kataku heran. Aku sangat panik, tapi anehnya Winni hanya diam saja bukan segera menelepon Dirga.

"Ini... ada lima panggilan tidak terjawab dari Vino dan dua pesan masuk yang....." aku tau pasti isinya menyakitkan jadi aku tidak perlu mendengar tentang Vino, terlebih lagi karena saat ini yang terpenting adalah Rania.

"Sudah tidak usah dipedulikan. Biar nanti saja aku urus. Sekarang cepat hubungi Dirga,”ucapku dengan air mata yang sebentar lagi akan keluar.

"Siapa namanya?. Aku cari nama Dirga ataupun ayah Rania tdak ada disini." Terang Winni.

"Rain," jawabku cepat. Winni tampak memandangku agak lama lalu dia kembali dengan ponselku dan langsung menghubunginya, tapi Winni menggeleng. “Tidak diangkat.”

"Dia tadi bilang ada rapat penting. Jadi pasti handphonenya di silent."

"Kamu sudah berhubungan cukup dekat ya dengan ayah Rania?,” tanya Winni hati-hati.

"Nanti aku ceritakan soal itu. Sekarang tolong ijinkan aku dan Rania pada pihak sekolah, aku akan membawa Rania dengan mobilku. Kamu disini saja, kamu kan jadi pembawa acaranya."

"Baiklah, hati-hati. Mari aku bantu dulu sampai mobil." Lalu kutarik nafas dalam-dalam dan Winni membantuku menggendong Rania di punggung. Dengan perasaan kalut, tangan bergetar dan sambil menahgis aki membawa Rania ke mobilku. Dari luar banyak yang kebingungan melihat kami, tapi aku memilih tidak memperdulikan itu. Terpenting adalah Rania harus segera ditangani. Aku tidak mau.. tidak..tidak.. cepat-cepat kuegeleng-gelengkan kepalaku.

"Bu Hanna, kita mau kemana?.” Lirih Rania yang terbangun karena aku kini berlari menggendongnya.

"Rania..Rania tenang saja, ibu akan bawa Rania ke rumah sakit," jawabku panik.

"Tapi itu... kaki ibu."

"Aku pergi dulu ya tolong sms Dirga aku akan membawa Rania ke rumah sakit yang paling dekat dengan sekolah kita ini," petuahku saat kulihat banyak guru yang berjalan mendekati mobilku. Winni mengangguk kemudian kukemudikan mobil sekencang yang aku bisa.

Saat sampai di rumah sakit, aku langsung meminta perawat untuk menangani Rania yang kugendong. Saat Rania sudah dipindahkan dan masuk ke ruangan untuk ditangani. Aku terduduk lemas dan kulihat tanganku gemetar bukan main. Aku menunggu Rania didepan IGD dengan berbagai perasaan takut. Aku beroda semoga apa yang terjadi pada anakku, Rio tidak dialami Rania. Walaupun Rania demam sementara dulu Rio jatuh tapi tetap saja itu tidak mengurangi sedikitpun ketakutan dan keresahanku. Hingga tangankupun belum berhenti gemetar. Aku mundar mandir didepan ruangan itu hingga dokter keluar dari sana.

"Anda ibunya kan?l Anak anda sepertinya terkena tifus, tapi saya akan memastikannya dengan melakukan tes darah,"

"Lalu bagaimana keadaannya sekarang?. Apakah saya sudah boleh melihatnya?.”tanyaku beruntun yang membuat dokter tersenyum ramah padaku. Aku tidak sempat mengklarifikasi tentang siapa aku karena aku hanya peduli pada Rania.

"Tenanglah, anak anda sekarang sudah diberi obat dan akan dipindahkan ke ruang rawat inap. Sepertinya sebelum hasilnya keluar anak anda harus dirawat dulu jika memang benar sesuai dugaan kita maka anak anda harus dirawat lebih lama lagi tapi jika memang tidak sesuai dengan dugaan saya maka anak anda bisa pulang. Anda bisa melihatnya diruang rawat inapnya, tapi silahkan isi data pasien terlebih dulu." Aku mengangguk dengan perasaan sedikit lega karena Rania sudah ditangani walaupun aku masih takut dengan Rania yang terkena tifus.

Akhirnya untuk bisa segera melihat Rania, aku segera mengurus data pasien Rania. Setelah selesai aku terduduk di samping ranjang Rania. Aku menggenggam erat tangannya. ‘Ibu takut Rania, ibu takut Rania...seperti anak ibu. Rania sehat ya, ibu Hanna ada disini." ucapku dengan tangis yang mengalir. Ketika aku sedang menunggu Rania, seseorang membuka pintu dengan cepat dan itu adalah Dirga.

"Bagaimana keadaan Rania?.” Tanyanya panik.

"Rania sudah ditangani, tadi dia panas tinggi. Kata dokter besok akan dites darah untuk memastikan apa Rania terkena tifus atau tidak?." Jawabku yang membuat Dirga memeluk Rania erat.

"Maafkan ayah sayang, ayah terlalu egois. Ayah terlalu sibuk sehingga kamu sakit seperti ini." Pertama kalinya aku melihat Dirga yang biasanya tenang saat ini begitu panik. Cukup lama Dirga memeluk Rania sebelum kemudian dia mendekat ke arahku kemudian berjongkok didepanku yang sedang duduk. Tangan yang masih gemetar menjadi perhatiannya. Aku mencoba menyembunyikan itu dengan menggenggam kedua tanganku sendiri. Tiba-tiba dia mengambil tanganku dan menggenggamnya dengan kedua tangannya.

"Aku..aku takut Rania...,” ucapku terbata-bata dengan air mata yang siap lagi lolos dari mataku. "Aku takut, Rania tidak boleh seperti Rio anakku," kalimat yang sulit sekali kuucapkan akhirnya keluar dari mulutku lalu setelah kalimat itu keluar Dirga berdiri dan membiarkanku menangis di perutnya. Tanganku dilingkarkannya dipinggangannya.

"Kamu jangan takut, Rania akan baik-baik saja." Dirga dengan gerakan tangan yang mengelus kepalaku lembut. Lalu akhirnya kami tetap dalam posisi yang sama dalam waktu yang agak lama. Aku merasakan nyaman dan ketakutanku pun perlahan memudar kemudian tergantikan oleh rasa terlindungi.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel