Bagian 11
Seberapa jauh aku berlari tetap pada akhirnya aku akan kembali kepadamu, rumahku. Karena kembali padamu aku merasa pulang
Setelah membayar ongkos taxi dari uang yang berada di nakas samping tempat tidur. Aku kembali ke kamar dan mendengar suara percikan air di kamar mandi. Lalu tak lama kemudian sosok Vino muncul, dia melihatku dari atas hingga bawah. Dia terdiam.
"Makan malam dengan siapa serapih itu?,” tanyanya dengan dingin dan tidak suka.
Apa yang harus kujawab?. Aku tidak mungkin berkata dengan Dirga. “Seseorang," akhirnya jawabku dan melepas gelungan juga menghapus make up ku.
"Setelah semalaman kamu tidak pulang. Kamu kembali dengan gaun semahal dan semewah ini. Apa yakin hanya seseorang?,” sindirnya yang membuat emosiku naik. Dia tidak sadar kalau dia juga sering melakukan itu padaku?.
"Kamu ingin tau?.”
"Tentu. Aku suamimu."
"Apa pedulimu?. Kamu pun sering tidak pulang dan datang dengan kemeja yang terdapat noda lipstick," telakku pada akhirnya. Aku tidak peduli lagi, aku selama ini menyimpan itu dan berpura-pura tidak mengetahui apapun. Vino tampak diam. “Tidak usah dijelaskan, karena itu lebih dari sekali kutemukan jadi tidak mungkin sebuah ketidak sengajaan," sambungku. Namun dia tetap diam.
"Aku sudah capek Vino. Daripada kamu terus menyudutkanku, berpikirlah tentang apa yang kamu lakukan diluar selama setahun ini.”
"Tapi tidak boleh denganmu," ucapnya sengit. Langkahku langsung terhenti.
"Egois," ucapku lalu masuk ke kamar mandi. Akupun luruh, aku berpura-pura kuat dihadapannya. Tapi sekarang air mataku tidak akan turun. Aku sudah janji pada diriku sendiri dan aku sudah tidak memiliki harapan lagi pada Vino.
Setelah satu jam aku berendam, aku keluar dengan handuk yang melilit dikepalaku. Aku mengecek handphoneku. Sudah ada satu pesan masuk.
From : Rain
Maafkan aku. Selamat malam hujan
To : Rain
Selamat malam langit senjaku
Lalu pesan itu langsung kuhapus. Aku tersenyum menatapnya.
"Siapa seseorang itu?,” tanya Vino lagi. Belum menyerah. Kenapa sih dia harus repot-repot ingin tau?. Selama ini dia selalu acuh tak acuh padaku bahkan dia mengatakan kalau perasaannya padaku telah menghilang perlahan-lahan.
"Untuk apa kamu tau Vino?,” tantangku padanya.
Vino masih tetap tenang bersandar dikursi kerjanya. Sementara aku sudah mulai menata bantalku. “Aku suamimu" ucapnya tajam.
"Ya, aku tau. Lalu?,” tanyaku santai. Aku saat ini sudah tidak ingin disakiti dan ditekan olehnya.
"Jangan menguji kesabaranku!.” Vino mulai berdiri dari kursinya.
"Kamu yang selalu mengujiku Vino.” Serangku balik.
"Aku punya alasan yang jelas melakukan itu!.” Teriak Vino kini ditempatnya. Aku bangun dari posisi tidurku.
"Aku tau aku salah, tapi apa itu berarti kamu berhak bersikap seenaknya padaku?,” tanyaku penuh emosi. Akhirnya aku kini mengeluarkan apa yang etrtahan di hatiku.
"Kalau kamu sadar berarti kamu tau jelas apa jawabannya!.” Vino kini mendekat padaku dan berdiri dihadapanku.
"Aku juga tersiksa Vino. Kamu tau aku sering terbangun tengah malam karena mimpi buruk tentang kepergiaan anak kita?. Kamu tau aku bahkan pergi ke psikolog untuk menghilangkan mimpi yang membuatku tidak bisa tidur selama satu tahun?. Kamu tau?. Tidak kan?. Apa aku harus dihukum sampai seperti ini juga olehmu?.” Balasku.
"..."
"Lalu apa Rio, anak kita kita senang diatas sana ibunya dihukum oleh ayahnya dengan cara seperti ini?.” Mataku menatap tajam pada Vino, menantangnya. Dia terlihat mengepalkan tangannya.
"Jangan bawa-bawa Rio!.” Peringatnya dengan teriakan lalu tangan kekarnya menamparku keras hingga aku tersungkur ke lantai.
Aku memegang pipiku sendiri yang panas. Ini kali kedua Vino bersikap seperti ini padaku. Dulu ketika kejadian itu Vino menamparku. Aku maish menerimanya karena memang aku salah dan pantas ditampar, tapi kali ini pakah harus dia menamparku lagi. Tangisku pun turun tak tertahankan karena suamiku lagi. Aku masih duduk dilantai, sedangkan Vino kini tampak lemas duduk disofa.
"Tolong jangan pancing emosiku," ucapnya yang membuatku kembali menitikkan air mata.
Disaat dia sudah menampar pipikupun dia masih tidak mengatakan maaf. Aku menghirup nafasku dalam-dalam. Mencari kekuatan agar bisa berdiri. Aku meraih ponselku di nakas lalu berjalan dengan pandangan kosong. “Hubungan kita sudah rusak Vino." Vino mencekal tanganku keras hingga rasanya tulang tanganku akan patah jika dia lebih keras lagi.
"Sakit Vino.”
"Dengarkan aku, sampai kapanpun aku tidak akan pernah melepaskanmu Hanna!."
"Apakah selama ini aku pernah meminta kamu melepaskanku?,” tanyaku yang membuat dia diam dan melonggarkan cekalannya.
"..."
"Aku memang tidak memintamu melepaskanku tapi hatiku sudah pasti tidak terisi lagi olehmu. Sudah dua tahun aku selalu mengisi hatiku dengan namamu, tapi nyatanya kamu selalu menyakitiku bahkan puncaknya aku mengetahui kalau kamu mengakui wanita lain yang menjadi istrimu," ucapku kini yang membuat tangan Vino melepaskan tanganku.
"Apa maksudmu?,”
Aku tertawa getir. “Jangan pura-pura seperti itu. Aku sudah tau dan itu alasan yang cukup bagiku untuk mengosongkan namamu dari hatiku." Lalu aku pergi meninggalkan Vino yang mematung ditempatnya. Masuk ke kamar yang berada dilantai bawah.
Berbaring dengan pandangan kosong. Hanya menatap jendela. Merasakan kegelapan yang ada, merasakan angin yang menerobos masuk melalui celah-celah dan merasakan perih dipipi juga tanganku akibat Vino. Aku tidak pernah bermimpi mempunyai rumah tangga seperti ini. Aku juga tidak pernah membayangkan akan ditinggalkan anakku sendiri disaat usianya baru menginjak empat tahun.
Aku menekan tombol hijau pada kontak Rain, entahlah aku hanya ingin mendengar suara Dirga. Suara yang dapat membuatku bahagia walaupun sesaat. Di dering kedu dia mengangkatnya.
"Hanna..." Dirga menyebut namaku, dan hatiku menghangat. Aku bahagia hanya dengan mendengarnya memanggil namaku.
"Haloo Hanna?. Kamu baik-baik saja?.” Suara kekhawatiran Dirga menambah asupan energi pada diriku. Seakan sakit pada pipi dan tanganku tidak berarti.
"Dirga. Maaf tidak sepantasnya aku meneleponmu larut malam begini." Ungkapku merasa tidak enak.
"Tidak apa-apa, kamu tau sendiri aku sering menginap dikantor."
"Jangan terlalu sering menginap di kantor, kasihan Rania dan Dewi.”
"Hanna, aku mohon jangan bahas itu dulu. Aku hanya ingin tau apakah kamu baik-baik saja?,l tanyanya namun aku diam. Aku tidak mau membohonginya, jadi lebih baik aku diam saja.
"Dirga, kamu tau hanya dengan mendengar suaramu aku bisa tau kalau aku masih bisa bahagia.”
"Hanna itu tidak menjawab pertanyaanku."
"Dirga, aku mohon jangan khawatirkan aku. Aku hanya ingin mendengar suaramu, itu saja."
"Hanna.. aku mohon." Pinta Dirga kali ini dengan suara yang sangat frustasi.
"Ya kamu bisa memanggil terus namaku."
"Hanna kamu semakin membuatku khawatir."
"Dirga, terima kasih untuk rasa yang sama denganku. Hiduplah bahagian dengan keluargamu.”
"Hanna, apa maksudmu berkata seperti itu?.”
"Aku tidak ingin kamu terlibat dalam masalahku."
"Hanna jangan berkata yang tidak-tidak."
"Kamu tau Dirga seberapa sering aku mengatakan aku bisa melalui ini semua sendiri?. Seberapa sering aku mengatakan kalau kehadiranmu tidak berarti apa-apa untukku?. Seberapa sering juga aku mengatakan kalau kamu tidak memberikan efek apa-apa padaku?.”
"Tapi setelahnya aku tau seberapa sering aku mengatakan itu, maka seberapa sering juga aku menyadari bahwa aku tidak bisa kuat berdiri sendiri, bahwa kamu begitu berarti untukku dan bahwa kamu sangat berefek besar bagiku. Dan kamu tau seberapa sering aku mengatakan pada diriku sendiri kalau aku tidak membuat perasaanmu pada Dewi menghilang dan aku tidak menyebabkan masalah diantara kalian?,” kataku panjang lebar, menumpahkan segala hal yang ada dalam hatiku. Aku tau jika aku berhadapan langsung dengannya aku tidak mungkin sejelas ini mengatakan perasaanku.
"Hanna.. aku tidak bisa berkata apa-apa lagi karena semua yang aku rasakan sudah kamu katakan.”
"Dirga aku adalah wanita yang mempunyai masalah sangat rumit." Jujurku.
"Aku membutuhkanmu Hanna."
Mataku kembali meneteskan air mata mendnegar apa yang diucapkan Dirga. “Aku adalah wanita yang tidak sempurna."
"Aku merindukanmu Hanna " dan tangisku pun kembali pecah.
"Aku adalah wanita yang membuat anakku pergi untuk selamanya."
"Aku hanya mencintaimu Hanna." Pengakuan Dirga yang gambla ng membuatku terdiam. Memang ini bukan pengakuan pertamanya namun pengakuan ini begitu nyata dan jelas. Begitu dalam dan indah.
Aku tidak mampu lagi merespon apa-apa, aku memilih menutup sambungan telepon itu. Aku menangis di gelapnya kamar ini. Betapa malangnya mataku ini yag tidak berhenti mengeluarkan harta berharganya. Akankah kebahagiaan datang di suatu hari nanti dan membuat air mata ini enggan lagi untuk keluar?. Seberapa kuat dan ingin aku untuk mendapatkan jawabannya hasilnya tetaplah tidak ada yang mengatakan jawaban ata pertanyaanku itu.
**
Paginya aku terbangun, jam di handphoneku sudah menunjukan pukul lima pagi. Aku melihat dua panggilan tidak terjawab dari Dirga dan dua pesan.
From : Rain
Sejauh apapun kamu berlari dan menghindar, aku akan tetap berlari ke arahmu karena denganmu aku merasakan pulang.
From : Rain
Semua yang terjadi antara kita tidak mempengaruhi keadaanku dengan Dewi. Kami sudah seperti ini sebelum kamu hadir. .
**
Pagi itu, aku buru-buru menyiapkan sarapan dan keperluan Vino. Aku ingin cepat berangkat ke sekolah karena tidak ingin berdebat dengannya. Rasanya benar-benar melelahkan kalau setiap kali bertemu dan berbicara dengannya, hanya akan berakhir dengan saling menyakiti. Jadi lebih baik tidak saling bertemu.
Pagi sekali aku sudah sampai di sekolah. Masih di dalam mobil, aku berniat untuk berdadan terlebih dulu. Baru saja akan memakaikan bedak, bekas tamparan yang Vino berikan semalam terlihat di kacanya. Saat kulihat tanganku pun ternyata terlihat keunguan dengan luka-luka goresan bekas kuku Vino yang menancap dalam di kulitku. Aku menghembuskan nafas. Sekarang bukan hanya luka dihatiku yang ditinggalkannya, tapi juga luka nyata yang bisa dilihat siapapun di dunia ini.
Saat sedang berdandan, nama Vino beberapa kali muncul di layar handphoneku tapi aku dengan sengaja mengabaikannya. Rasanya aneh nama dia muncul di layar handphoneku saat ini. Dia sudah sangat jarang sekali menghubungiku. Kalaupun ada yang ingin dikatakannya dia akan memilih meninggalkan secarik kertas dirumah.
Setelah kubiarkan Vino terus menghubungi ku tanpa mengangkatnya, satu pesan masuk. Saat ku lihat, isi pesannya sangat membuatku kesal.
From : Vino
Aku tidak akan melepaskanmu!.
Aku memejamkan mata erat-erat. Haruskah Vino terus menekanku seperti ini?. Kenapa dia tidak pernah merasa puas untuk menyakitiku?. Aku menenggelamkan wajahku pada kemudi mobilku. Hingga tak terasa sudah 15 menit saat kulihat kembali handphoneku. Aku segera turun dari mobil dan berjalan ke ruang guru. Disana para guru sudah sibuk dengan persiapan berkemahnya.
"Hai Hanna kamu sudah sehat?. Kamu jadi ikut kan?,” tanya Winni langsung saat melihatku berjalan ke mejaku. Aku tersenyum padanya namun menunduk dan membiarkan rambut pendekku menghalangi sebelah pipi yang terkena tamparan semalam. “Hei kenapa kamu menunduk terus seperti itu?. Tumben sekali rambutmu di tata seperti itu?.” Seperti biasa Winni jika sudah bertanya akan menanyakannya dengan beruntun.
"Ah.. ini ini model rambut baruku." Kilahku lalu pura-pura menyibukkan diri dengan nilai-nilai murid kelas.
"Aku merasa kamu menyembunyikan sesuatu. Kamu tau kan kita berteman semenjak SMP, kalau ada apa-apa ceritalah padaku Hanna."
"Tidak ada yang kusembunyikan. Tentu, kamu sahabatku Winni." Aku tetap menunduk, Winni tampak menghembuskan nafasnya kesal. Hingga suara itu kembali kudengar, suara yang mampu membuat hatiku merasakan satu kebahagiaan.
"Permisi."
"Ya ada bisa saya bantu Pak Dirga?,” tanya Winni sopan. Ingin sekali aku melihat Dirga, tapi aku tau itu tidak akan mungkin karena aku tidak ingin Dirga melihat bekas luka ku. Lagipula tadi malam aku sudah mencoba agar hubungan ini tidak masuk ke dalam rasa yang lebih dalam lagi. Aku ingin dia bahagia bersama keluarganya.
"Saya ingin bertemu dengan wali kelas Rania, ada hal yang harus saya bicarakan."
"Oh ya, Bu Hanna di mejanya silahkan." Tak lama kemudian terdengar langkah kaki Dirga yang semakin mendekat ke arahku. Aku panik. Aku bingung harus bersembunyi bagaimana lagi. “Pagi Bu Hanna." Suara Dirga memecah kepanikanku. Aku akhirnya tidak punya pilihan lain selain menyambutnya berdiri. Masih dengan rambut yang kubuat untuk menutupi bekas tamparan Vino semalam.
"Ya Pak Dirga. Ada yang saya bisa bantu?.” Jawabku menunduk pura-pura menyibukkan diri dengan kertas-kertas dimeja.
"Bisa kita bicara?. Ada yang saya ingin bicarakan mengenai Rania dan masalah pribadinya."
"Oke silahkan duduk kita bicara saja disini.”
"Tidak, maaf karena masalah yang cukup pribadi. Bisa kita bicara ditempat lain?.” Tanyanya sopan. Aku menggigit bibirku. Bingung harus bagaimana lagi menghindarinya.
"Hanna kamu bisa gunakan ruang konsultasi. Disana sangat private, guru lain juga saat ini sedang sibuk menyiapkan perkemahan." Usul Winni bersuara membuat kami berdua menoleh padanya, ternyata dia menguping pembicaraan kami. Aku menimbang, apa iya aku harus berbicara dengannya berdua?. Apakah benar dia akan membicarakan mengenai Rania?. Tapi bagaimana jika benar kalau aku menolaknya?. Baiklah ini masalah pekerjaan dan aku harus professional. Putusku pada akhirnya.
"Baiklah, mari ikut saya ke ruang konsultasi.”
Kami berduapun masuk ke ruang konsultasi. Aku duduk di meja yang disediakan ruangan ini, namun Dirga masih berdiri di hadapan mejaku. “Silahkan duduk Pak Dirga." Aku mempersilahkannya dengan gugup.
"Bisakah anda memandang lawan bicara anda Bu Hanna?.” Tanya Dirga tenang, namun suaranya begitu dalam. Sempat aku terdiam, menyadari kalau memang sedari tadi akubanyak menunduk atau mengalihkan tatapanku ke arah lain.
"Maaf Pak Dirga silahkan duduk dan mari kita bicarakan mengenai Rania." Tanpa terduga Dirga buru-buru menutup pintu ruang konsultasi ini. Aku terkejut. Apalagi setelah Dirga berlutut di hadapanku, bahkan dia menggenggam tanganku tapi seketika itu juga aku reflek mengaduh kesakitan. "Aw....” Dirga memegang pas sekali dengan letak dimana tadi malam Vino mencekalku.
Dirga dengan panik dan buru-buru melihat tanganku. "Hanna, kenapa ini?,” tanyanya khawatir.
"Ti...tidak tidak apa-apa. Aku hanya terjatuh." Jawabku gugup. Aku kaget bukan main, aku tidak ingin dia mengetahuinya.
"Hanna tegakkan kepalamu." Pintanya. Aku langsung menggeleng. Tapi Dirga tidak menyerah, dia sepertinya tau ada yang tidak beres denganku. Dirga menegakkan kepalaku dengan satu jarinya kemudian rambutku pun tersingkap. Alhasil pipi merah kena tamparan keras bekas Vino semalam langsung terlihat. “Apa ini?. Apa ini juga terjatuh?." Dirga semakin tajam melihat pipiku dan nada bicarannya pun yang biasanya lembut menjadi tegas. Aku baru melihatnya seperti ini, waktu itu ketika dia melihat tanganku yang terkena serpihan piring dia tidak semarah ini dan sekarang matanya lebih menunjukan kilatan. Sepertinya dia sangat marah.
"Tidak.. ini... ini..." Jawabku lebih gugup daripada sebelumnya karena bingung mencari alasan apa yang pas untuk diberikan padanya.
"Apa suamimu kasar?.”
Aku menggeleng. “Dia hanya sedang sangat emosi," kataku mencoba menutupi.
"Dari semalam aku tau kamu tidak sedang baik-baik saja, apalagi saat kamu meneleponku. Ternyata benar.” Terang Dirga frutasi.
"Sudahlah, lagipula hanya luka kecil.” Hibur ku agar Dirga merasa tenang.
"Hanna bisakah kamu mengerti?.” Tanyanya dengan raut wajah sedih, seperti ada luka. Mungkinkah luka itu karena dia melihatku seperti ini. Aku menatap dan mengikuti arah bola matanya. Mencoba mencari lebih jelas apa yang sesungguhnya Dirga rasakan ketika melihat ku seperti ini sekarang?.
"....."
"Aku tidak akan melepaskanmu, Hanna." Kemudian dia berdiri dari posisinya dan berjalan ke luar ruang konsultasi ini. Aku menenggelamkan wajah di meja sampai satu suara kembali membuatku terkejut, namun kali ini bukan suara Dirga melainkan suara Winni.
"Hanna.."
"Winni.. sudah.... sudah berapa lama kamu disitu?.” Tanyaku kaget.
"Sudah sejak tadi. Aku mendengar semuanya." Winni mendekat dan duduk di kursi yang ada dihadapan meja konsultasi ini.
"...." Aku semakin menunduk.
"Sekarang jelaskan, apa maksud semua yang kudengar tadi Hanna?.” Tanya Winni menuntut dengan wajah yang perhatian.
"Baiklah, mungkin beban yang selama ini kutanggung sendiri harus kuceritakan padamu." Putusku akhirnya.
Sudah dua tahun aku memendam semua cerita ini sendiri dan kali ini aku putuskan untuk menceritakannya pada Winni. Aku mengetahui dia orang seperti apa. Dia akan menjaga rahasiaku. Mungkin dengan berbagi pada satu orang mengenai semua kegelisahan ini aku dapat bernafas sedikit lega.
Dirga tentu bukan orang yang tepat untuk tempatku menceritakan semua masalah antara aku dan Vino. Semua akan terkesan dibuat-buat dan aku tidak mau itu. Ini murni cerita dan masalahku antara aku dan Vino.
**
