Mata Ketiga yang Mengintai
Getaran ponsel di saku seperti sengatan listrik. Laras terpental mundur, tangan menggapai gadget penghianat itu seolah ia ular berbisa. Rizal menarik tangannya, cahaya kelembutan di matanya padam digantikan es. "Siapa yang kirim pesan jam segini, Laras?" Suaranya datar, tapi berbahaya seperti pisau terhunus.
"Ah... itu... itu grup kerja, Ri!" Laras terkikik gugup, jari gemetar mencabut ponsel. Layar menyala - **Andi**. Pesan singkat: `Besok jam 1. Parkiran belakang. Atau aku cari ke rumahmu.` Ancaman terbuka. Darahnya membeku. Dia pura-pura mengernyit. "Lihat? Rapat dadakan besok siang. Mereka emang nggak kenal waktu." Dia buru-buru mematikan layar, jantung berdebar kencang memecah keheningan kamar.
Rizal tak bergerak. Tatapannya menembus topeng ketenangan Laras. "Grup kerja kirim pesan pakai pola getar khusus? Kayak... pacaran?" Ucapannya perlahan, setiap kata seperti palu godam menghantam tembok kebohongan Laras.
"Kan... kan biar nggak ganggu kalau lagi meeting atau sama Dinda," Laras memutar balik fakta, suara naik setengah oktaf. "Kamu kok curiga-curiga amat sih, Ri?" Dia menyerang balik, taktik defensif klasik.
Rizal menghela napas panjang, lelah. "Aku nggak curiga, Lar. Aku khawatir. Kamu berubah. Seperti ada yang nggak beres." Matanya masih menatap tajam, memindai setiap kedip mata, setiap kerutan wajah istrinya. "Dan pesan itu... kamu langsung pucat kayak lihat hantu."
"Stres kerja! Sudah kubilang!" Laras membentak, lalu menyesal. Dia meraih tangan Rizal. "Maaf. Aku... aku cuma lelah dan kesal. Janji, besok aku minta cuti. Kita jalan-jalan sama Dinda, ya?" Tawarannya putus asa, upaya terakhir mendempul retakan.
Rizal diam lama. Akhirnya, ia menganggap pelan. "Baiklah. Istirahat yang cukup." Tapi saat ia berbalik menuju tempat tidur, bahunya yang biasanya tegak kini sedikit membungkuk. Kepercayaan itu retak. Dan Laras tahu, retakan itu tak akan mudah diperbaiki.
Keesokan harinya di kantor adalah neraka. Andi menyambutnya dengan tatapan beracun di lorong. "Parkiran belakang. Jam 1. Jangan bawa alasan," bisiknya singkat sebelum berlalu. Budi, si pemberani, malah menyeringai mesra dari balik tumpukan berkas. "Aku tunggu jawabanmu, Sayang," gumannya saat berpapasan, jari sengaja menyentuh punggung Laras. Dia terjepit di antara dua kekasih gelap yang saling membenci, sementara bayangan ancaman pengintai misterius terasa semakin dekat.
Saat jam istirahat, Laras menyelinap ke toilet, mengunci diri. Tangannya gemetar membuka pesan Andi lagi. `Atau aku cari ke rumahmu.` Ancaman itu nyata. Andi tahu alamatnya. Dia bisa menghancurkan segalanya. Dengan napas tersengal, ia membalas: `Jangan dekat-dekat rumahku! Jam 1 parkiran.` Pengakuan kekalahan. Dia harus menuruti kemauan Andi, berharap bisa meredam amarahnya.
Saat keluar toilet, seseorang menghalangi jalan - **Reza**.
"Lagi ngumpet dari siapa nih, Lar?" tanyanya santai, bersandar di dinding. Tapi matanya, mata elang yang selalu mengamati, tak melepas wajah Laras. "Dari Andi? Atau... Budi?" Namanya disebut pelan, penuh arti.
Laras tersentak. "Apa maksudmu? Aku cuma ke toilet." Dia berusaha melewatinya, tapi Reza tak bergeser.
"Ruang arsip kemarin... seru ya?" Reza menyeringai tipis. "Aku liat semuanya. Dari awal Budi masuk, sampai... hampir." Dia berhenti, menikmati panik yang jelas terpancar di wajah Laras. "Dan Andi yang meledak itu... wah, kayak sinetron."
Darah mengalir deras di pelipis Laras. "Reza, ini bukan urusanmu," desisnya, berusaha tegas.
"Tapi jadi urusanku kalau itu ganggu kinerja tim. Atau..." Reza mendekat, suaranya berbisik. "...kalau ada yang punya bukti dan ngirim ke orang yang nggak seharusnya." Matanya tajam, menusuk. "Kayak... suamimu yang baik itu?"
Laras membeku. Ancaman di ruang loker. `Ada yang tahu. Dan dia tidak senyaman kamu dan Andi.` Apakah Reza si pengirim? "Kamu... kamu yang kirim pesan itu?" Nafasnya tersendat.
Reza tertawa pendek, dingin. "Pesan apa? Aku cuma kasih tau, Laras. Bermain api itu asyik, tapi bahaya. Apalagi main sama dua pemantik." Ia menepuk bahu Laras seperti memperingatkan anak kecil. "Hati-hati. Api kecil bisa jadi kebakaran besar. Dan kadang... ada orang yang senang nonton kebakaran." Ia berlalu, meninggalkan Laras berdiri kaku, ketakutan dan kebingungan berbaur jadi satu. Apakah Reza si pengintai? Atau hanya pengamat yang memperingatkan?
Sepanjang hari, Laras merasa mata Reza mengikutinya. Saat ia rapat, Reza duduk di seberang, sesekali menyelipkan komentar ambigu. Saat ia mengambil dokumen, Reza "kebetulan" lewat. "Jangan lupa janji jam 1," bisiknya saat berpapasan, membuat Laras nyaris menjatuhkan map. Dia terjepit tiga arah: ancaman Andi, godaan Budi, dan pengawasan misterius Reza.
Pukul 12.55, dengan jantung berdebar kencang, Laras menuju parkiran belakang - area sepi tempat mobil dinas biasa parkir. Andi sudah menunggu di dekat mobil jeep dinasnya, wajahnya gelap.
"Apa maksudmu deket-deket sama Budi?!" Andi langsung menyerang begitu Laras mendekat, suaranya berbisik marah. "Aku pikir kita punya sesuatu yang spesial!" Tangannya mencengkeram lengan Laras.
"Kamu gila? Lepas!" Laras berbisik balik, mata melirik ke sekeliling takut ketahuan. "Kita nggak punya apa-apa, Andi! Itu cuma... kesalahan!"
"Kesalahan yang kamu ulang terus?" Andi mendorongnya lembut tapi tegas ke bodi mobil, tubuhnya menghadang. "Aku tahu kamu, Laras. Nafsumu besar. Tapi jangan main dengan aku dan Budi sekaligus. Itu berbahaya." Wajahnya dekat, bau tembakau dan kemarahan menyengat. "Putuskan. Aku atau dia? Atau aku yang putuskan dengan caraku?" Ancaman itu nyata. Laras terjepit. Memilih Andi berarti berhadapan dengan Budi yang temperamental. Memilih Budi, Andi bisa menghancurkan hidupnya.
Tepat saat ketegangan memuncak, dering ponsel Laras memecah kesunyian. **Reza**. Laras nyaris menjatuhkan ponselnya. Kenapa Reza nelpon sekarang?
Andi melihat nama di layar. "Reza? Dia lagi-lagi?" Suaranya penuh kecurigaan. "Apa hubunganmu sama dia?"
Laras tak menjawab. Dengan gemetar ia angkat telepon. "H-Halo?"
Suara Reza terdengar tenang, tapi mengiris. "Laras, jangan lupa rapat evaluasi kasus pencurian emas jam 1.15. Bos udah nunggu. Dan... **jaga sikap.** Parkiran belakang itu ada kamera CCTV baru, lho. Aku baru aja liat rekamannya... menarik." Ia berhenti, menciptakan ruang kosong yang mencekam. "Oh iya, **salam buat Andi.** Katakan padanya... senyumannya kurang manis di rekaman tadi."
Ponsel Laras nyaris terlepas. Matanya membelalak ke arah kamera kecil tersembunyi di sudut plafon parkiran - lensanya seperti mata hitam yang mengintai. Andi mengikuti arah pandangannya, wajahnya berubah pucat pasi, lalu merah padam oleh amarah dan panik. "Dia merekam kita?!" raungnya rendah, penuh kengerian. Reza bukan hanya tahu. Dia memiliki **bukti**. Dan sekarang, si pengintai misterius itu telah menyatakan diri dengan cara yang paling mengerikan. Permainan api Laras baru saja menyulut kebakaran yang siap melalap segalanya.
Dari Api Menuju Kobaran
Keringat dingin membasahi seluruh punggung Laras. Suara Reza telah terputus, tapi bisikan terakhirnya—*"salam buat Andi"*—masih menggantung di udara parkiran yang tiba-tiba terasa pengap dan sempit. Kamera CCTV di sudut plafon itu sekarang terasa seperti mata setan, merekam setiap detik kepanikan mereka.
Andi mendesah kasar, wajahnya yang tadi merah padam oleh amarah kini pucat lesi. "Dia... dia merekam kita?" Suaranya serak, penuh ketakutan yang jarang terlihat di wajah polisi tangguh itu. Tangannya yang masih menahan Laras di bodi mobil kini lemas. "Reza... dia gila! Apa yang dia mau?"
Laras tak bisa menjawab. Pikirannya berputar kencang. Reza bukan hanya tahu. Dia punya *bukti*. Bukti yang bisa menghancurkan segalanya: kariernya, pernikahannya, kehidupannya bersama Dinda. Dan dia menyampaikannya dengan dingin, penuh kendali, seperti kucing yang baru saja menangkap tikus dan bersiap bermain-main. Ini bukan lagi sekadar ancaman gelap; ini adalah jerat yang nyata.
Dia melihat ke arah Andi. Tatapan saling menyilang—dua sekutu gelap yang tiba-tiba terjebak dalam lubang yang sama. Kemarahan Andi padanya seketika redup, digantikan ketakutan yang sama. Mereka kini terikat bukan hanya oleh nafsu, tapi oleh rahasia mematikan yang dipegang Reza.
"Rapat... rapat evaluasi jam 1.15," bisik Laras, suaranya nyaris tak terdengar. Dia mendorong diri lepas dari Andi. "Kita... kita harus pergi. Sekarang." Dia tidak bisa terlambat. Tidak bisa memberi Reza alasan lebih banyak untuk memainkan mereka.
Sepanjang perjalanan pendek menuju ruang rapat, langkah Laras terasa berat. Setiap sudut lorong seolah menyimpan mata Reza. Setiap senyuman rekan lain terasa seperti ejekan. Dia masuk ruangan terakhir, memilih kursi paling jauh dari Reza yang sudah duduk di sebelah bos. Andi duduk di seberang, menghindari tatapan siapa pun.
Reza menyapanya dengan anggukan santai, senyum tipis mengambang di bibirnya. **Senyum itu bukan senyum.** Itu adalah pisau. Peringatan. Pengingat bahwa dia memegang kendali. Dia tidak perlu berkata apa-apa sepanjang rapat, tapi kehadirannya terasa seperti bayangan hitam yang menyesaki ruangan. Saat Laras mencoba mempresentasikan analisis kasus, suaranya serak, konsentrasinya buyar. Bos mengerutkan kening. Reza hanya mencondongkan badan, jari-jarinya menyentuh ponsel di saku—gerakan kecil yang membuat jantung Laras berhenti berdetak. *Apa dia akan mengirim rekaman itu? Ke Rizal? Sekarang?*
Rapat berakhir dengan nada hambar. Laras buru-buru keluar, menghindari semua kontak mata. Di lokernya, ponselnya bergetar. Bukan dari Reza. Bukan dari Andi. Bukan pula dari Budi.
**Nomor Tak Dikenal (lagi):** `Selamat. Kamu baru saja naik level. Sekarang ada 3 pemain + 1 sutradara. Sutradara suka drama bagus. Jangan mengecewakan. Tiket nonton bisa mahal.`
Pesan itu seperti tamparan kedua. *Sutradara.* Reza. Tapi siapa "3 pemain"? Andi, Budi... dan dirinya? Atau... adakah orang lain yang terlibat? Dan "tiket nonton bisa mahal"—ancaman bahwa harga untuk kesenangan gelapnya kini bisa berupa kehancuran total.
Laras menatap layar ponsel, dunia di sekitarnya berputar. Nafsu yang dulu membara kini terasa seperti bara dingin di tengah badai ketakutan. Rizal yang mulai mencium bau kebohongan. Reza yang kini memegang senjata pemusnah. Andi dan Budi yang saling membenci dan sama-sama panik. Dan ancaman bayangan yang semakin nyata.
**Dia terjebak.**
**Dipermainkan.**
**Dan Bab 3 akan menjadi panggung di mana sutradara kejam itu mulai memutar gulungan adegan-adegan paling berbahaya dalam hidupnya...** Akankah Laras menjadi bintang yang patuh, atau berani memberontak meski risikonya adalah kehancuran segala yang ia cinta? Jawabannya... akan segera dimulai.
