Kebohongan
Retakan di Kaca
Suara Andi yang menggelegar, "Apa-apaan ini, Budi?!", masih bergema di telinga Laras seperti dentuman guntur. Dia berhasil menyelamatkan diri dari ruang arsip yang pengap itu dengan alasan kerja yang mendesak, meninggalkan Budi dan Andi yang saling berhadapan dengan tatapan penuh permusuhan dan pertanyaan tak terucap tentang dirinya. Napasnya tersengal-sengal sepanjang jalan pulang, perasaan campur aduk: rasa malu yang membakar, ketakutan akan terbongkarnya rahasia, dan sisa-sisa gairah liar yang memalukan yang ditimbulkan oleh keberanian vulgar Budi. Dia merasa kotor, terkoyak.
Ketika dia membuka pintu rumah, dunia lain menyambutnya. Aroma sedap soto ayam buatan Rizal memenuhi udara, diiringi suara tawa Dinda yang ceria seperti bunyi bel kecil. "Mama pulang!" teriak Dinda, berlari dan memeluk erat kaki Laras. Kehangatan tubuh kecil anaknya, polos dan penuh cinta, menusuk hatinya lebih tajam dari pisau. Dia menunduk, mencium rambut Dinda, berusaha menelan gumpalan rasa bersalah yang menyumbat tenggorokannya.
"Pulang agak larut lagi, Sayang," sapa Rizal dari dapur, muncul dengan celemek masih terikat. Senyumnya hangat, mata coklatnya yang jernih memancarkan kelembutan dan penerimaan tanpa syarat. Dia mendekat, mencium kening Laras. "Lelah? Kasusnya rumit?" Pertanyaan itu polos, penuh perhatian. Tidak ada kecurigaan. Hanya kasih sayang yang tulus.
*"Aku baru saja hampir ditelanjangi dan diperkosa secara psikologis oleh rekan kerjamu di ruang arsip, sementara kekasih gelapku yang lain nyaris memulai perkelahian,"* batin Laras ingin menjerit. Tapi yang keluar adalah, "Iya, Ri. Kasus pencurian toko emas. Lumayan kacau." Suaranya terdengar datar, bahkan baginya sendiri. Dia melepaskan diri dari pelukan Dinda dan Rizal, berjalan ke kamar untuk berganti baju. Dia butuh penghalang antara seragam polisi yang tercemar oleh rahasianya dan kehidupan rumah tangganya yang masih suci.
Saat makan malam, ketegangan yang tak terlihat mulai merayap. Biasanya, Laras adalah yang paling banyak bercerita tentang harinya di kantor, tentang kasus-kasus aneh atau lucu. Malam itu, dia diam. Dia memainkan soto di mangkuknya, menghindari tatapan Rizal yang penuh perhatian. Dia bisa merasakan pertanyaan di udara, meski Rizal belum mengucapkannya.
"Ma, cerita dong tentang pencurinya! Ada yang lari-lari kayak di TV?" tanya Dinda bersemangat, menghentikan keheningan yang mulai mengganggu.
Laras tersentak. "Ah... iya, Din. Tapi polisinya cepat, tangkep." Jawabannya singkat, dipaksakan. Dia memaksakan senyum untuk Dinda, tapi tidak sampai ke matanya.
Rizal memperhatikan. Dia memperhatikan bagaimana Laras tiba-tiba menyentuh lehernya, sebuah gerakan gugup yang tidak biasa. Dia melihat bagaimana matanya, yang biasanya cerah dan penuh semangat, sekarang terlihat sayu dan sering melayang ke kejauhan, ke suatu tempat yang bukan di ruang makan mereka. Dia mendengar nada datar dalam suaranya, ketiadaan antusiasme yang biasanya menggebu saat berbicara tentang pekerjaan, atau bahkan saat bercanda dengannya.
"Kamu baik-baik saja, Lar?" tanya Rizal akhirnya, suaranya lembut tapi penuh perhatian sungguhan. Tangannya meraih tangan Laras di atas meja. Sentuhannya hangat, stabil. Sebuah anugerah yang membuat Laras merasa seperti penipu ulung. "Kamu kelihatan... jauh. Seperti ada beban berat."
Laras menarik napas dalam. *Ini kesempatan. Akui saja. Katakan kamu lelah. Katakan kamu stres kerja. Apa saja yang bukan kebohongan langsung.* "Iya, Ri. Kayaknya aku kecapekan aja," ujarnya, memandang mata Rizal sebentar sebelum menunduk lagi, fokus pada mangkuk soto. "Banyak kerjaan di kantor. Belum lagi kasus baru itu." Dia berharap alasan itu cukup. Dia berharap Rizal yang baik, yang selalu memercayainya, akan menerimanya begitu saja.
Rizal mengangguk perlahan, mengusap punggung tangan Laras dengan jempolnya. "Kalau begitu, habiskan waktu sama Dinda bentar, terus tidur awal ya. Aku yang beresin ini," katanya, menunjuk ke meja makan. Dia tersenyum, tapi Laras melihatnya – sebuah bayangan kecil di matanya. Keraguan kecil yang belum terbentuk. Seperti awan tipis yang baru saja muncul di langit cerah. Dia melihat, tapi belum mengerti apa yang dilihatnya.
Malam itu, saat Dinda sudah tidur lelap dan mereka berdua di kamar, Rizal mencoba mendekat. Tangannya merangkul pinggang Laras dari belakang saat dia berdiri di depan cermin, sedang membersihkan wajah. Biasanya, Laras akan menyandarkan kepalanya, menikmati kehangatan dan keamanan pelukan itu. Malam itu, tubuhnya menegang. Secara refleks, dia agak menjauh, berpura-pura mengambil handuk.
Rizal membeku. Pelukannya kosong. "Laras?" bisiknya, suaranya berisi kebingungan dan luka kecil yang tak terucap.
"Maaf, Ri. Aku... aku masih kepikiran kasus tadi. Ada detail yang mengganjal," ucap Laras cepat, tanpa menoleh. Dia tidak bisa melihat wajah Rizal saat ini. Dia tidak tahan melihat kejernihan matanya yang mungkin mulai keruh.
"O-oh," gumam Rizal, menarik tangannya. Dia duduk di tepi ranjang, memandangi punggung Laras. "Apa yang mengganjal? Mau cerita? Siapa tahu aku bisa bantu mikir." Tawaran itu tulus. Dia selalu ingin menjadi tempat Laras berbagi beban.
*"Yang mengganjal adalah aku selingkuh dengan dua rekan kerja, menerima ancaman, dan tubuhku menginginkan yang ketiga sementara hatiku ingin lari dari semuanya,"* batin Laras meraung. "Nggak, nggak apa-apa. Hal teknis polisi. Kamu nggak bakal ngerti," jawabnya, suaranya lebih tajam dari yang dia rencanakan. Dia segera menyesal, menoleh. "Maaf, Ri. Aku cuma lelah dan kesel sama kasusnya."
Rizal memaksakan senyum kecil. "Iya, gapapa. Tidur aja yuk." Tapi senyum itu tidak mencapai matanya. Dia berbaring, mematung, memandang langit-langit. Keheningan di kamar terasa tebal, berat. Biasanya, mereka akan bercakap-cakap ringan sebelum tidur atau hanya menikmati kehadiran satu sama lain. Malam ini, keheningan itu dipenuhi oleh semua hal yang tidak diucapkan Laras.
Hari-hari berikutnya, Rizal menjadi pengamat yang lebih cermat. Dia memperhatikan:
1. **Ponsel yang Selalu Menghilang:** Laras sekarang seperti punya radar khusus untuk ponselnya. Dia tidak pernah meninggalkannya begitu saja. Jika berbunyi, dia segera menyambar dan sering kali membalas pesan di ruangan lain, dengan alasan "privasi kerja". Suatu kali, Rizal tidak sengaja melihat ekspresi tegang di wajahnya saat membaca sebuah pesan sebelum segera menghapusnya.
2. **Kelebihan Parfum:** Laras mulai memakai parfum lebih banyak, bahkan saat hanya ke kantor atau ke pasar. Sebuah upaya menutupi bau apa? Atau siapa? Rizal mencium aroma asing yang samar di jaketnya sekali, tapi Laras dengan cepat bilang itu bau mobil dinas yang apek.
3. **Penghindaran Fisik:** Pelukan singkat, ciuman selamat tinggal yang cepat, keengganan untuk berdekatan terlalu lama di sofa. Rizal merasakan jarak fisik yang sebelumnya tidak ada. Saat dia mencoba memulai keintiman, Laras selalu punya alasan: sakit kepala, terlalu lelah, menstruasi (padahal jadwalnya belum).
4. **Perubahan Mood yang Cepat:** Laras bisa tiba-tiba sangat perhatian dan manis pada Dinda, seolah menebus sesuatu, lalu tiba-tiba meledak marah karena hal sepele, seperti Dinda menumpahkan susu. Ketidakstabilan emosinya semakin jelas.
5. **"Kerja Lembur" yang Makin Sering:** Janji pulang jam 6 berubah jadi 8, lalu 9. Alasannya selalu "rapat dadakan" atau "pengejaran tersangka".
Rizal mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Dia mencintai Laras. Dia mempercayainya. Mungkin dia benar-benar sedang stres berat karena pekerjaan. Mungkin dia sedang mengalami fase sulit. Tapi nalurinya sebagai suami, sebagai pria yang mengenal istrinya selama bertahun-tahun, berbisik bahwa ada sesuatu yang *salah*. Ada retakan di kaca kehidupan indah mereka, dan retakan itu semakin melebar.
Suatu Minggu pagi, saat Laras sedang mandi, Rizal membereskan ruang tamu. Dia memungut jaket dinas Laras yang tergantung sembarangan di kursi. Saat melipatnya, sesuatu yang keras menusuk jarinya dari saku jaket. Dengan hati-hati, dia mengeluarkan benda itu.
Sebuah **kancing baju**. Bukan kancing seragam polisi Laras yang berlogo. Kancing ini lebih besar, terbuat dari plastik keras warna hitam, model yang biasa ada pada kemeja pria biasa atau mungkin... seragam dinas lain. Kancing yang jelas bukan milik Laras. Dan pasti bukan miliknya.
Dia memegang kancing hitam kecil itu di telapak tangannya. Hatinya berdebar kencang. Pikirannya melayang ke segala kemungkinan yang tidak ingin dia pikirkan. Kecelakaan? Tersangkut di kantor? Atau...?
Suara air mandi berhenti. Laras akan segera keluar. Rizal dengan cepat menyelipkan kancing misterius itu ke saku celananya sendiri, rasa dingin logam ketidakpastian menusuk jiwanya. Dia memandang jaket Laras, lalu ke arah kamar mandi, pertanyaan yang selama ini mengendap akhirnya menemukan bentuk yang nyata dan mengerikan: *Siapa pria pemilik kancing ini, dan mengapa benda ini ada di saku istriku?* Kepercayaan yang selama ini menjadi pondasi rumah tangganya, untuk pertama kalinya, benar-benar goyah.
Tembok Kebohongan
Air mandi yang mengalir di atas kulit Laras terasa seperti hujan asam, tidak mampu membersihkan rasa kotor yang melekat di jiwa. Bayangan ruang arsip masih membara: panas tubuh Budi, kemarahan Andi yang meledak, dan rasa malu yang melumpuhkan. Dia menekan dinding kamar mandi, menahan isakan. Rumah ini, yang seharusnya menjadi pelabuhan, kini berubah menjadi medan perang baru. Dan musuhnya adalah kewaspadaan Rizal yang mulai menyala.
Saat dia keluar, berbalut handuk, jantungnya langsung berdegup kencang. Rizal sedang melipat jaket dinasnya yang tadi dia lemparkan sembarangan di kursi. Ada sesuatu dalam caranya memegang kain itu – terlalu hati-hati, terlalu *sadar*. Matanya yang biasanya lembut kini tampak seperti scanner yang sedang memproses data.
"Jaketnya kotor banget, Sayang. Bau asap dan debu lokasi kejadian," ucap Rizal, tanpa menoleh. Suaranya netral, tapi Laras merasakan getaran ketegangan di bawah permukaan. Dia berjalan ke lemari pakaian, berusaha bersikap normal.
"Iya, Ri. Tadi di lokasi pencurian emas kacau balau. Aku lupa masukin laundry." Dia mengambil baju tidur, tangannya sedikit gemetar. Dia harus mengalihkan perhatian. "Dinda udah tidur?"
"Udah. Cerita sama bonekanya sampai ketiduran," jawab Rizal, akhirnya menoleh. Senyumnya kecil, tidak sampai ke mata. Matanya menyapu tubuh Laras dari kepala ke kaki, bukan dengan nafsu, tapi dengan pengamatan. "Kamu kelihatan... tegang banget sejak beberapa hari ini. Lebih dari biasanya."
Laras membalikkan badan, berpura-pura memilih baju. *Dia tahu. Dia pasti merasa sesuatu.* "Kasusnya emang berat, Ri. Tekanan dari atasan. Ditambah..." Dia berhenti, mencari alibi. "Ditambah aku denger kabar teman sekantor ada yang kecelakaan. Sedih aja." Kebohongan itu keluar lancar, membuatnya semakin mual.
Rizal mendekat, berhenti tepat di belakangnya. Dia tidak menyentuh. "Kamu bisa cerita sama aku, Lar. Apa pun itu. Aku di sini buat kamu." Kalimat itu, tulus dan penuh cinta, seperti pisau yang memutar-mutar di luka hati Laras.
Dia menoleh, memaksakan senyum. "Iya, aku tahu. Aku cuma butuh istirahat aja, kok. Besok harus fit." Dia bergegas memakai baju tidur, menghindari kontak mata yang terlalu lama. Dia bisa merasakan tatapan Rizal menempel di punggungnya, penuh pertanyaan yang tak terucap.
Malam itu, ritual tidur menjadi siksaan. Biasanya, mereka akan saling berpelukan, bercerita ringan. Kini, Laras berbaring kaku di pinggir ranjang, memeluk bantal, pura-pura sudah mengantuk. Setiap tarikan napas Rizal di belakangnya terasa seperti interogasi diam-diam. Ponsel di bawah bantal terasa seperti bom waktu. Dia menunggu getaran – pesan dari Andi yang marah, godaan dari Budi yang tak kenal lelah, atau yang paling menakutkan: ancaman baru dari nomor tak dikenal.
Ketika Rizal akhirnya tertidur, napasnya berat dan teratur, Laras baru berani bergerak. Dengan gerakan ninja, dia mengambil ponsel, menyembunyikannya di balik selimut. Layarnya menyala, menerangi wajahnya yang pucat di kegelapan. Beberapa pesan masuk:
1. **Andi:** `LARAS. Kita perlu BICARA. Besok. Kantor. JANGAN ngelak.` (Dikirim 2 jam lalu). Nada mengancam, penuh amarah yang tertahan.
2. **Budi:** `Maafin aku tadi. Emosi. Tapi kamu juga tau kamu pengen. Aku tunggu kapan kamu berani. ;)` (Dikirim 1 jam lalu). Rayuan vulgar yang membuat darahnya mengalir deras, meski diiringi rasa jijik pada diri sendiri.
3. **Nomor Tak Dikenal:** `Dua pria? Serakah. Hati2. Api bisa membakar si penyulut.` (Dikirim 30 menit lalu). Ancaman baru. Dingin. Mengetahui kejadian di ruang arsip. *Seseorang di kantor mengawasinya.*
Dia menghapus semua pesan dengan jari gemetar, termasuk riwayat panggilan. Dia memblokir nomor tak dikenal itu, meski tahu itu sia-sia. Peluh dingin membasahi keningnya. Dia merasa terjepit. Dari depan, kehancuran rumah tangga oleh kecurigaan Rizal. Dari belakang, ancaman pembongkaran oleh si pengintai misterius. Dan di tengahnya, nafsu yang terus membara, mengacaukan semuanya.
Hari-hari berikutnya, Laras menjadi aktris ulung di rumahnya sendiri. Setiap gerakan, setiap kata, adalah bagian dari pertunjukan besar untuk meyakinkan Rizal bahwa semuanya baik-baik saja:
* **The Overcompensating Wife:** Dia bangun lebih pagi, menyiapkan sarapan mewah yang biasanya Rizal yang buat. "Aku tahu kamu lagi sibuk proyek kantor, Ri. Biar aku aja." Dia memaksakan keceriaan, bercerita tentang kasus-kasus *non-eksistensial* di kantor dengan antusiasme berlebihan. Dia membelikan hadiah kecil untuk Rizal dan Dinda tanpa alasan – sepatu baru untuk Rizal, boneka mahal untuk Dinda. "Cuma pengen lihat kalian senang." Rizal menerimanya dengan senyum, tapi matanya masih mengamati, mempertanyakan.
* **The Hyper-Attentive Mother:** Dia menghabiskan setiap detik luang dengan Dinda. Membacakan buku sampai suara serak, menemani bermain masak-masakan sampai lelah, menemani tidur setiap malam. Pelukan dan ciuman berlimpah. Itu tulus – cintanya pada Dinda adalah hal nyata terakhir yang tersisa. Tapi itu juga tameng. "Lihat, aku ibu yang baik. Aku tidak mungkin melakukan hal buruk." Dinda menerima cinta itu dengan polos, tapi Rizal melihatnya sebagai upaya penebusan.
* **The Master of Misdirection:** Ketika Rizal bertanya tentang pulang larut malam, "Lagi ada operasi penggerebekan gudang narkoba, Ri. Dadakan. Banyak yang harus disiapkan." (Padahal dia bertemu Andi di parkiran gelap untuk berdebat sengit tentang Budi). Saat Rizal menyentuh lehernya dan bertanya tentang bilur merah samar (bekas ciuman Andi yang terlalu kasar), "Ah, itu sih gara-gara kena ranting waktu kejar tersangka kemarin. Nggak apa-apa." Dia bahkan mulai "membuat" bukti palsu – menyimpan nota pembelian kopi dari kafe jauh dari kantor untuk membenarkan "rapat di luar", atau berbicara keras-keras tentang kasus fiktif dengan "Rekan Budi" di telepon saat Rizal ada di dekatnya.
* **The Physical Barrier:** Keintiman tetap menjadi medan ranjau. Saat Rizal mencoba mendekat, Laras segera memunculkan alasan klasik: "Aku lagi nggak enak badan, Ri," atau "Dengerin, Din kayaknya nangis," sambil melesat ke kamar Dinda. Atau, yang paling keji, dia berpura-pura tertidur pulas begitu kepala menyentuh bantal. Rasa bersalah memuncak saat melihat wajah Rizal yang terluka dan bingung di kegelapan. Dia membenci dirinya sendiri, tapi ketakutan akan terbongkar dan desakan nafsu yang tak kunjung padam mengalahkan segalanya.
Suatu sore, saat sedang "membersihkan" riwayat chat di ponselnya di dapur (lagi), Dinda berlari sambil menangis. "Mama! Boneka baruku rusak!" Tangan kecil Dinda memegang boneka mahal yang baru dibelinya, lengannya terlepas dari badannya.
Refleks Laras meledak. "Dinda! Aku kan sudah bilang hati-hati! Ini boneka mahal!" bentaknya, suara penuh kekecewaan dan stres yang tertahan. Dinda terisak-isak ketakutan.
Rizal, yang menyaksikan dari ruang tamu, segera menghampiri. Dia mengambil boneka itu, memeriksa dengan tenang. "Gapapa, Sayang. Cuma bautnya kendor. Papa bisa perbaiki." Dia memeluk Dinda, menenangkannya, lalu menatap Laras. Tatapannya berat, penuh pertanyaan dan... kekecewaan. "Gak perlu marah-marah gitu, Lar. Namanya juga anak-anak."
Laras merasa ditampar. Dia melihat ketakutan di mata Dinda, kekecewaan di mata Rizal. *Aku monster. Aku menyakiti mereka.* "I... iya. Maaf, Din. Mama lelah," ujarnya, suara serak. Dia mencoba memeluk Dinda, tapi anak itu agak mengkerut, masih trauma dengan kemarahannya tadi. Rizal menggendong Dinda pergi, meninggalkan Laras sendirian di dapur dengan rasa bersalah yang menghancurkan.
Malam itu, saat Rizal sedang memperbaiki boneka Dinda di ruang kerja kecilnya, Laras memberanikan diri masuk. Dia membawa dua gelas teh hangat. "Maafkan aku tadi, Ri. Aku... aku nggak terkendali."
Rizal menoleh, tangannya masih memegang obeng kecil. Matanya lelah. "Kamu memang lagi nggak seperti dirimu, Lar. Seperti ada beban rahasia yang nggak bisa kamu bagi." Dia meletakkan obeng. "Aku cuma ingin kamu tahu, apa pun itu, seburuk apa pun, aku bisa menerimanya. Asal jujur." Dia mengulurkan tangan, menyentuh lengan Laras. "Kita bisa atasi bersama."
Kalimat itu, tawaran pengampunan yang tulus, hampir membuat Laras roboh. Air matanya menggenang. *Berkatlah. Lepaskan beban ini.* Mulutnya terbuka, kata-kata pengakuan hampir meluncur...
Tepat saat itu, ponsel Laras di saku celananya bergetar sekali – pola getar khusus yang dia setel untuk **Andi**. Dia melompat kaget, tangan refleks menekan saku. Wajahnya berubah pucat pasi, mata membelalak penuh panik. Rizal menyaksikan perubahan drastis itu. Tangannya yang menyentuh Laras berhenti. Matanya, yang penuh harap dan cinta tadi, berubah dingin dan menyala dengan kecurigaan yang tak terbantahkan. "Siapa yang kirim pesan jam segini, Laras?" tanyanya, suara datar dan berbahaya. Kesempatan untuk jujur lenyap. Kebohongan harus terus berlanjut, lebih dalam, lebih gelap.
