Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Perselingkuhan Terlarang

Jerat Sang Penakluk

Rekaman itu. Kata-kata Reza. Ancaman nomor tak dikenal. Semuanya mengkristal menjadi satu kenyataan mengerikan: Laras terjebak. Reza, sang "sutradara," memegang kendali, dan hidupnya kini menjadi panggung berbahaya. Ketakutan akan pembongkaran mengalahkan rasa bersalah pada Rizal, bahkan untuk sesaat. Dia harus menenangkan satu faktor yang tak terkendali: **Budi**.

Pilihan itu bukan keinginan, tapi keputusasaan. Andi masih marah dan berpotensi meledak. Reza jelas bermusuhan. Hanya Budi yang, meski vulgar dan berbahaya, belum sepenuhnya bermusuhan... dan dia bisa menjadi sekutu sementara melawan Reza. Maka, dengan hati berbatu dan perut mual, Laras membalas pesan Budi yang menggoda: `Jangan di tempatmu. Terlalu berisiko. Mobil. Tempat sepi. Malam ini.`

Balasan Budi datang secepat kilat: `Aku jemput jam 9. Jalan By Pass km 10. Jangan bawa mobil dinas. ;)`

Malam itu, Laras mengelabui Rizal dengan mudah. "Ada operasi razia narkoba malam, Ri. Mungkin pulang subuh." Rizal hanya mengangguk, wajahnya tertutup, matanya menyimpan pertanyaan yang tak lagi dia utarakan. Kepercayaan itu nyaris habis. Laras mencium kening Dinda yang sedang tidur, rasa sakit menusuk. Dia melangkah keluar, seragam diganti jaket gelap dan celana jeans, merasa seperti penjahat yang menyusup di malam hari.

Budi sudah menunggu di sudut gelap jalan, mobil SUV pribadinya gelap tanpa lampu kabin. Laras masuk, bau parfum murah dan rokok langsung menyerbu. "Akhirnya," gumam Budi, senyum lebar terlihat samar dalam cahaya dasbor. Dia tak banyak bicara. Mobil melesat cepat menuju Jalan By Pass yang sepi.

Tempat yang Budi pilih adalah jalur percabangan ke area perkebunan tua, jauh dari lampu jalan. Dia memarkir mobil di balik semak tinggi, mematikan mesin. Kegelapan dan kesunyian menyergap, hanya dipecah oleh napas mereka.

"Jadi, Putri," Budi memecah kesunyian, tangannya sudah meraih paha Laras. "Aku menang, ya? Akhirnya kamu memilih aku." Sentuhannya kasar, penuh klaim. Berbeda dengan pendekatan Andi yang lebih menggoda. Budi langsung menyerbu.

Laras menahan dorongan untuk mendorongnya. "Ini bukan soal memilih, Bud. Ini... situasi." Suaranya tegang. "Reza. Dia tahu. Dia rekam kita di parkiran."

Budi mendengus. Tangannya tak berhenti merayap. "Reza? Si mata elang? Dia cuma cemburu. Pengen jatah juga kali." Dia tertawa pendek, tak peduli. "Aku nggak takut sama dia. Yang penting..." Wajahnya mendekat, nafasnya hangat dan berbau tembakau. "...kamu di sini. Bersamaku." Bibirnya menyergap bibir Laras sebelum dia sempat protes.

Ciuman Budi agresif, menguasai. Tangan besarnya meremas tubuh Laras tanpa permisi, mengeksplorasi dengan paksa. Laras mencoba menanggapinya, mencoba membangkitkan gairah yang dulu mudah terpancing. Tapi malam ini, rasanya berbeda. Ada rasa takut, kehinaan, dan kenangan ancaman Reza yang mengganggu. Tubuhnya kaku.

"Lepas dulu, Bud," desisnya, mencoba memalingkan muka. "Kita perlu bicara tentang Reza. Dia serius. Dia bisa hancurkan kita."

Budi menggeram, tak senang diganggu. "Bicara nanti!" Tangannya mencengkeram pergelangan Laras, mendorongnya ke jok. "Sekarang, nikmatin. Aku tahu kamu pengen ini sejak lama." Paksanya jelas. Ini bukan lagi sekedar perselingkuhan; ini penaklukan. Budi melihat kerentanan Laras dan memanfaatkannya sepenuhnya.

Di tengah kegelapan mobil, dengan Budi yang mendominasi dan tubuhnya yang membeku antara rasa jijik dan upaya untuk membangkitkan respons, pikiran Laras melayang:

* **Ke Rizal:** Suaminya yang mungkin sedang menunggu di rumah, memegang kancing baju misterius itu, kepercayaannya semakin tipis.

* **Ke Dinda:** Putrinya yang polos, yang suatu hari bisa mendengar ibunya disebut pelacur.

* **Ke Reza:** Sang sutradara yang mungkin sedang menonton dari jauh, menertawakan kehancurannya.

* **Ke Dirinya Sendiri:** Polwan berdedikasi yang kini terhina di jok mobil rekan kerjanya, diperlakukan seperti barang.

Air mata panas menggenang di matanya. Ini bukan nafsu. Ini pembusukan. Tapi dia tak punya kekuatan untuk menghentikannya. Dia terjebak dalam spiral yang dia mulai sendiri. Untuk bertahan dari Reza, dia harus membiarkan Budi menguasainya. Ironi yang menyakitkan.

Budi, puas dengan "kemenangan"-nya, akhirnya melepas. Dia menyala kan rokok, asapnya mengepul dalam kabin sempit. "Nah, sekarang kita bisa bicara," ujarnya santai, seperti baru menyelesaikan urusan bisnis. "Reza. Apa yang dia mau?"

Laras menarik napas dalam, merapikan baju yang kusut. Rasa mual menggelora. "Dia kirim pesan. Sebut dirinya 'sutradara'. Bilang ada tiga pemain plus dia." Suaranya serak. "Dia punya rekaman kita di parkiran. Dan... dia tahu tentang Andi."

Budi mengedipkan mata, sedikit lebih serius. "Rekaman? Berarti dia bisa kirim ke Kapolres. Atau... ke suamimu." Dia menatap Laras. "Kamu takut kehilangan keluarga idamanmu?" Ejekannya halus.

"Kita *semua* bisa hancur, Bud!" Laras membentak, emosi meledak. "Kariermu, masa depanmu!"

Budi mengangkat bahu. "Aku nggak punya istri sempurna dan anak manis buat dijaga, Lar. Resikoku lebih kecil." Dia menghirup rokok dalam-dalam. "Tapi oke. Aku nggak pengen masalah sama Reza. Dia licik. Jadi, kamu mau apa?"

"Kita... kita harus tahu apa yang dia mau. Uang? Atau...?" Laras tak sanggup menyelesaikan. Atau jatah? Bagian dalam permainan kotor ini?

"Atau dia pengen ikut main?" Budi menyelesaikan dengan kasar. Dia tertawa. "Bisa jadi. Dia selalu ngeliatin kamu, itu mata elang sialan." Pikirannya bekerja. "Kamu yang deketin dia. Cari tau maunya apa."

Laras terkejut. "Apa?! Aku harus... mendekati Reza?!" Gagasan itu memualkan. Menambah lagi daftar perselingkuhannya.

"Pilihan ada padamu, Sayang," ujar Budi dingin. Dia menyalakan mesin. "Cari tau apa yang Reza mau, atau aku akan bicara sendiri sama dia... dengan caraku." Ancaman terselubung itu jelas. Cara Budi berarti kekerasan, yang bisa memperkeruh situasi dan membuat Reza membocorkan segalanya. "Sekarang, aku antar kamu pulang. Besok, kamu mulai tugas barimu."

Perjalanan pulang dalam kehenyian mencekam. Budi sesekali meletakkan tangannya di paha Laras, mengklaim kepemilikannya. Laras memandang keluar jendela, merasa diri semakin hancur. Dia baru saja menambah satu lagi rantai di kakinya: Budi. Dan dia harus merangkul ancaman baru: mendekati Reza. Nafsu yang dulu dirindukan kini menjadi penjara paling keji.

Dia turun di dekat rumah, memastikan tak ada yang melihat. "Jangan lupa, Sayang," bisik Budi sebelum pergi, tangannya mencubit pantat Laras dengan kasar. "Aku tunggu kabar tentang Reza."

Laras berjalan pelan menuju rumah, tubuhnya terasa kotor, lehernya ada bekas gigitan Budi yang harus ditutupi. Saat dia membuka pintu pelan-pelan, lampu ruang tamu menyala. **Rizal** duduk di sofa, tidak tidur. Matanya merah, wajahnya kaku. Di mejanya, terbaring **kancing baju hitam** yang dia temukan beberapa hari lalu.

"Kerja lembur yang menyenangkan, ya?" tanya Rizal, suaranya datar seperti es, tapi getaran amarah yang tertahan terasa jelas. Dia tak menatak wajah Laras. Tatapannya tertuju pada leher Laras yang, tanpa disadari, kerah bajunya sedikit turun, memperlihatkan **jejak merah bekas gigitan Budi**.

Laras membeku, darahnya serasa beku. Tangannya refleks menutupi lehernya, tapi sudah terlambat. Rizal berdiri perlahan, tubuhnya gemetar bukan karena takut, tapi karena amarah dan luka yang tak tertahankan. "Jawab aku, Laras," desisnya, suaranya berbahaya dan asing. "Apa yang sebenarnya terjadi denganmu? Dan **siapa** yang meninggalkan *tanda* di leher istriku ini?" Keheningan malam retak oleh pertanyaan yang menuntut kebenaran. Kebohongan Laras telah mencapai titik puncak, dan kehancuran yang selama ia takuti kini berdiri tepat di hadapannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel