Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Godaan Bertambah

Bayang-Bayang Andi

Keringat dingin membasahi pelipis Laras meski AC di ruang kerjanya mendengung kencang. Cahaya pagi yang menusuk dari jendela tak mampu mengusir bayangan gelap yang melekat di pikirannya. Bayangan Andi. Bayangan malam itu. Tubuhnya masih mengingat sentuhan kasar Andi di kegelapan kafe remang, desahannya yang parau di telinga, bau keringat dan parfum murahnya yang memenuhi indranya. Kenikmatan liar itu, memuncak seperti petasan yang meledak di dalam dirinya, masih menyisakan getaran-getaran kecil di perutnya. Tapi sekarang, di bawah terang matahari dan balutan seragam polisi, yang muncul adalah rasa hampa. Dan bersalah. Sangat bersalah.

Matanya menatap layar komputer tanpa fokus. Laporan kecelakaan lalu lintas sepele terpampang di sana, tapi yang terbayang adalah wajah Rizal saat dia pulap kemarin malam, jauh lebih larut dari yang dijanjikan. *"Kerja lembur, Sayang. Kasus baru,"* bisiknya dengan suara serak yang dia harap meyakinkan. Rizal, seperti malaikat bodoh yang terlalu baik, hanya mengangguk, mencium keningnya, dan bertanya apakah dia sudah makan. Dia bahkan sudah menghangatkan makan malam untuknya. Kepedulian itu seperti pisau yang memilin hatinya. Dia telah mengkhianati pria itu. Di ranjang mereka sendiri, beberapa jam setelah tubuhnya digerayangi Andi, dia membiarkan Rizal menyentuhnya. Rasanya... palsu. Seperti memakai topeng sementara jiwa dan raganya masih terasa kotor.

*"Apa aku monster?"* Pertanyaan itu menggelitik, menusuk-nusuk kesadarannya. Dia mencintai Rizal, dia mencintai Dinda, keluarganya adalah segalanya. Tapi ada sesuatu yang lebih gelap, lebih primal, yang tak bisa dipuaskan oleh kelembutan Rizal. Gairah yang membara sejak SMA itu seperti api bawah tanah yang selalu mencari celah untuk menyembur. Andi, dengan sikap jantan dan tatapan penuh nafsu yang tak tersembunyikannya, telah menjadi korek api pertama yang menyalakan kembali kobaran itu di tengah rutinitas kehidupannya yang sekarang.

"Laras? Laras!" Suara Budi menyentak lamunannya. Dia menoleh, mencoba menyembunyikan kagetnya. Budi, rekan lain yang juga termasuk dalam daftar... ketertarikannya, berdiri di samping mejanya dengan senyum khas pria jagoan. "Kamu ngelamun jauh banget. Laporan kecelakaan di Jalan Sudirman tadi pagi, udah masuk belum? Bos nanya."

"Ah, iya, Bud. Sebentar," jawab Laras, berusaha menormalkan suaranya. Dia membuka file, jari-jarinya menari dengan kaku di atas keyboard. Dia bisa merasakan tatapan Budi. Bukan sekadar tatapan rekan kerja. Ada penilaian di sana, apresiasi, dan... godaan. Seperti Andi, tapi dengan gaya yang berbeda. Budi lebih terbuka, lebih percaya diri dalam rayuannya. Dan, seperti biasa, itu membuat jantungnya berdegup sedikit lebih kencang. *"Tidak. Jangan. Sudah cukup dengan Andi satu masalah,"* batinnya memperingatkan, tapi naluri lain, naluri yang lebih dalam dan lebih jahat, membisikkan, *"Kenapa tidak? Rasakan lagi..."*

"Kamu kelihatan capek, Lar. Malam-malam kerja keras ya?" goda Budi, sengaja mencondongkan badan sehingga bahunya hampir menyentuh bahu Laras. Bau sabunnya yang maskulin menyergap.

Laras memaksa diri tersenyum tipis, menunduk ke layar. "Iya, Bud. Laporan numpuk. Maklum." Dia berharap jawabannya terdengar netral.

"Kasihan. Butuh pijitan? Atau... teman ngopi nanti sore?" tawar Budi, suaranya rendah, hanya untuk didengarnya. Rayuannya langsung dan berani.

Godaan itu nyata. Sangat nyata. Seperti gelombang hangat yang menjalar dari perut. Laras menarik napas dalam. *"Lihat apa yang terjadi dengan Andi? Kau sudah bersalah. Kau akan menghancurkan segalanya."* Suara akal sehat itu nyaring, tapi lemah dibandingkan tarikan nafsu yang mulai menggelora kembali. Dia membayangkan tangan Budi yang besar dan kuat. Berbeda dengan Andi. Rasanya pasti berbeda...

"Laras! Budi!" Suara Reza, rekan ketiga dalam trio yang diam-diam mengisi pikirannya, memecah ketegangan. Dia mendekat dengan raut wajah yang biasa-biasa saja, tapi mata tajamnya seakan memindai mereka berdua. "Ada kasus baru. Pencurian dengan kekerasan di toko emas dekat pasar. Pelaku dua orang, bawa senjata tajam. Samsat dan Ujang udah di lokasi. Kita diminta backup."

Laras hampir bersyukur atas interupsi itu. Dia bangkit dengan cepat, menyembunyikan kelegaan sekaligus kekecewaan kecil yang aneh. "Ayo. Berangkat." Suaranya kembali tegas, suara Polwan Laras. Seragamnya terasa seperti baju zirah yang melindunginya, untuk sementara, dari monster dalam dirinya.

Perjalanan ke lokasi kejadian dalam mobil dinas diisi pembicaraan singkat tentang kasus. Laras berusaha fokus. Ini pekerjaannya, tanggung jawabnya. Dia harus profesional. Tapi bayangan Andi menyelinap di antara analisisnya tentang modus operandi pencuri. Dia membayangkan Andi dalam situasi berbahaya seperti ini, tubuhnya tegang, adrenalin memompa. Itu... menggairahkan. Dan kemudian, rasa bersalah menyergap lagi. Dia memandang keluar jendela, melihat anak-anak pulang sekolah, teringat Dinda. Apa jadinya jika Dinda tahu? Jika Rizal tahu? Rasa mual mendadak menggelitik tenggorokannya.

Di lokasi kejadian, kekacauan. Pemilik toko histeris, petugas forensik sibuk, kerumunan warga berusaha dihalau. Laras segera mengambil alih, memimpin pengumpulan keterangan awal dari saksi. Dia baik dalam hal ini. Dingin, analitis, berwibawa. Tatapan takjund dari Reza yang memperhatikannya bekerja menguatkan egonya. Dia *bisa* menjadi ini, Polwan yang kompeten dan kuat. Mengapa dia tidak bisa puas hanya dengan ini?

Saat membungkuk memeriksa pecahan kaca di lantai, dia merasakan tatapan. Bukan dari saksi atau rekannya. Tatapan itu mengintai dari balik kerumunan, terasa berat dan... mengancam. Dia menoleh cepat, matanya menyapu kerumunan. Hanya wajah-wajah penasaran warga biasa. Tapi perasaan itu tidak hilang. Seperti ada yang mengawasinya. Mengawasi rahasianya.

Sore menjelang ketika mereka kembali ke kantor. Lelah fisik menumpuk di atas kelelahan emosional. Laras membuka lokernya, berharap bisa segera pulang, memeluk Dinda, mungkin mencoba berbicara dengan Rizal meski tidak tahu harus mulai dari mana. Saat mengambil tasnya, sesuatu terjatuh dari saku seragamnya yang dia gantung di loker. Sebuah lipatan kertas kecil, bukan miliknya.

Dengan hati berdebar, dia membukanya. Tulisan tangan yang tidak dikenali, kasar:

**"MALAM ITU KEREN YA? TAPI JANGAN SENANG DULU. ADA YANG TAHU. DAN DIA TIDAK SENYAMAN KAMU DAN ANDI."**

Darah seakan membeku di nadi Laras. Kertas itu terasa panas di tangannya. Napasnya tersendat. Tatapan mengintai di lokasi kejadian... bukan khayalan. Seseorang *tahu*. Seseorang melihat dia dengan Andi. Siapa? Reza? Budi? Atau orang lain? Bahaya yang selama ini abstrak, tiba-tiba menjadi sangat nyata, sangat dekat. Dia menatap kertas itu, huruf-hurufnya seperti menari-nari menertawakannya.

Tangannya gemetar memegang kertas ancaman itu. Dari balik pintu loker yang terbuka sebagian, sepasang mata mengamatinya dengan tajam – mata Reza, penuh dengan pertanyaan dan kecurigaan yang dalam. Apakah dia yang menulisnya? Atau... apakah dia yang tahu?

Rayuan Sang Penakluk

Mata Reza. Dingin. Penuh pertanyaan yang menggantung seperti pedang di atas kepala. Laras menjerit kecil di dalam hati, tangannya refleks mengepal erat kertas ancaman itu, menyembunyikannya di balik punggungnya. Napasnya tersendat, wajahnya pasti pucat.

"Laras? Kamu oke? Kelihatan kaget banget," ucap Reza, langkahnya mendekat. Matanya yang tajam itu menyapu dari wajah Laras yang tegang ke tangan yang disembunyikan.

"Ah, iya, Rez. Baru... baru keinget laporan belum kelar," Laras memaksakan suara ringan, berusaha menenangkan diri. Dia dengan cepat menyelipkan kertas itu ke saku celana seragamnya, rasa kertas itu seperti membakar kulitnya. "Cuma... cuma kertas coretan lama." Dia berharap suaranya tidak terdengar serak.

Reza mengerutkan kening, tidak sepenuhnya percaya. "Tadi juga di lokasi kejadian kamu kelihatan waswas. Ada apa, sih? Masih kepikiran malam minggu kemarin?" Godaan kecil itu, seolah dia tahu *apa* yang dilakukan Laras malam minggu lalu. Atau hanya tebakan?

"Enggak, kok. Cuma lelah aja," Laras menggeleng cepat, memalingkan muka sambil menutup lokernya dengan keras. "Aku buru-buru dulu, Rez. Janji sama Dinda mau beliin es krim." Dia melesat keluar ruang loker, meninggalkan Reza yang masih berdiri dengan tatapan penuh tanya dan kecurigaan yang semakin dalam. Perasaan diawasi itu belum hilang. Malah, kertas ancaman itu membuatnya semakin nyata.

Keesokan harinya, ketegangan masih melekat seperti jaket yang terlalu ketat. Setiap langkah di kantor terasa diawasi. Setiap tatapan rekan kerja terasa seperti pemeriksaan. Laras berusaha fokus pada pekerjaan, memeriksa berkas kasus pencurian toko emas, tapi pikirannya terus kembali ke kertas itu. *"Ada yang tahu. Dan dia tidak senyaman kamu dan Andi."* Siapa? Reza dengan tatapan tajamnya? Atau Budi yang kemarin menggoda? Atau orang lain sama sekali? Bahaya mengintai, dan itu seharusnya membuatnya berhenti. Tapi anehnya, di tengah rasa takut yang menggeliat, ada percikan lain yang lebih gelap, lebih berbahaya: kegairahan. Bahaya itu sendiri, seperti nafsu, memiliki daya tarik yang memabukkan.

Dan kemudian, datanglah Budi. Seperti badai yang tahu persis kapan harus menghantam.

"Larasati Wijaya! Cantiknya hari ini bikin susah fokus kerja nih!" sapa Budi dengan suara lantang, penuh percaya diri, saat Laras sedang mencoba menyendiri di ruang kecil arsip untuk mencari berkas lama. Dia masuk tanpa permisi, tubuh tegapnya memenuhi pintu. Senyumnya lebar, mata gelapnya menyala dengan apresiasi yang sangat jelas, sangat jantan. Berbeda dengan rayuan halus Andi atau kecurigaan Reza. Budi langsung, tanpa tedeng aling-aling.

Laras menoleh, mencoba menutupi kagetnya dengan senyuman tipis yang kaku. "Ah, Bud. Lagi cari berkas kasus lama buat perbandingan modus." Dia berbalik, berusaha fokus pada deretan map berdebu.

Budi mendekat, terlalu dekat. Bau aftershave-nya yang keras dan maskulin menyerbu ruang sempit. "Sibuk amat. Istirahat bentar lah. Ngopi yuk? Aku traktir yang manis... buat yang manis." Matanya mengerling, maksudnya jelas.

"Enggak bisa, Bud. Lagi buru-buru," tolak Laras, mencoba suara tegas. Tapi suaranya terdengar sedikit gemetar. Kehadiran Budi yang dominan di ruang sempit ini membuat dadanya sesak, tapi bukan karena takut semata. Ada sensasi lain. Kenangan sentuhan Budi yang *nyaris* terjadi kemarin, godaannya yang vulgar, membangkitkan sesuatu yang dia benci tapi juga dirindukan tubuhnya.

"Ah, jangan kayak gitu dong," ujar Budi, tak gentar. Dia melangkah lagi, memojokkan Laras di antara rak arsip dan dinding. Jarak mereka tinggal sejengkal. Laras bisa melihat butiran keringat di pelipis Budi, pori-pori di wajahnya yang tegas. "Aku perhatiin kamu, Lar. Sejak kemarin kelihatan tegang. Kayaknya butuh... pelampiasan." Kata terakhir diucapkan dengan suara rendah, berbisik, penuh arti cabul.

Laras menekan punggungnya ke rak kayu yang dingin. "Budi, jangan..." Tapi protesnya lemah. Tangannya, yang seharusnya mendorong, terasa kaku. Kontrol tubuhnya mulai goyah. Nafsu yang dia pikir berhasil diredam setelah pertemuan dengan Andi dan ancaman misterius, justru menyala lebih liar di hadapan kejantanan vulgar Budi. Ini berbeda. Andi menggoda, Budi menyerbu.

"Jangan apa?" goda Budi, tangannya yang besar dan kuat, tangan polisi yang biasa memegang senjata, menyentuh lengan Laras. Sentuhannya terasa panas, mengklaim. "Aku tahu kamu suka. Kamu tipe perempuan yang butuh pria sejati. Yang tegas." Jarinya merayap perlahan ke atas lengan Laras, menyentuh bahu. "Andi itu... biasa aja. Kurang garang buat kamu." Ada nada cemburu, persaingan, di suaranya.

Penyebutan nama Andi seperti disiram air dingin. Laras menggeleng keras, mencoba mengumpulkan sisa-sisa kemauan. "Budi, stop! Ini bukan tempatnya!" Dia mencoba mendorong dada Budi, tapi tangannya ditangkap dengan mudah.

"Tempat yang pas buat kita," bisik Budi kasar, napasnya hangat di wajah Laras. Wajahnya mendekat, matanya membara dengan nafsu yang tak terbendung. "Aku nggak kayak Rizal lemah-lembut itu. Aku bisa kasih kamu apa yang kamu pengen. Yang bikin kamu nggak bisa tidur." Tangannya yang bebas meraih pinggang Laras, menariknya paksa sehingga tubuh mereka hampir menyatu. Laras bisa merasakan tekanan tubuh keras Budi, keinginannya yang nyata. Rasa takut bercampur dengan gairah liar yang membanjiri sistemnya. Ini salah. Sangat salah. Berbahaya. Tapi tubuhnya... tubuhnya merespons. Panas membakar dari dalam. Dia membenci dirinya sendiri saat bibirnya sedikit terbuka, napasnya memburu.

"Lepas, Budi!" erang Laras, tapi suaranya parau, kehilangan kekuatan. Dia mencoba memalingkan muka dari wajah Budi yang semakin mendekat.

"Bohong. Kamu pengen ini," desis Budi, bibirnya hampir menyentuh telinga Laras. "Aku liat cara kamu liat aku. Dari dulu. Malu-malu tapi pengen." Tangannya meremas pinggang Laras lebih kuat. "Malam ini. Tempatku. Atau di sini juga bisa, kalau kamu berani..." Godaan itu langsung, memalukan, tapi sangat efektif membangkitkan sisi gelapnya. Bayangan malam bersama Andi, kegairahan terlarangnya, bercampur dengan kehadiran fisik Budi yang memaksa. Dia terjebak antara rasa bersalah yang menghantam, ketakutan akan ancaman yang mengintai, dan nafsu membara yang merayapi setiap inci tubuhnya, mengalahkan akal sehat.

Sebelum Budi bisa melakukan sesuatu yang lebih, sebelum Laras bisa menyerah atau melawan sepenuhnya, bayangan hitam menutupi pintu ruang arsip yang terbuka. Sebuah sosok berdiri di sana, menyaksikan adegan memalukan itu dengan mata menyala-nyala penuh kemarahan dan kekecewaan yang membeku. Bukan Reza. Tapi **Andi**. Wajahnya gelap, tinjunya terkepal, dan tatapannya seperti bisa membunuh. "Apa-apaan ini, Budi?!" raungnya, suaranya menggelegar memecah ketegangan sekaligus memulai badai baru. Laras membeku, darahnya serasa beku. Dua kekasih gelapnya kini saling berhadapan, dan rahasianya yang sudah rapuh berada di ambang kehancuran total.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel