Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Nafsu yang Menggoda

Hari-hari Laras di kantor selalu dihiasi oleh kehadiran Andi. Sosok pria yang tak hanya sekadar rekan kerja, tapi juga sumber getar yang sulit diabaikan. Tatapan matanya yang tajam, senyum kecil yang muncul di ujung bibir, dan cara ia berbicara seolah menyembunyikan pesan-pesan rahasia yang hanya bisa dipahami oleh Laras.

Pagi itu, saat Laras melangkah masuk ke ruang unit, ia langsung merasakan energi berbeda. Andi sudah menunggu di sudut ruangan dengan secangkir kopi di tangan, seolah sengaja mengamati setiap gerak-geriknya.

“Pagi, Laras,” sapa Andi dengan suara hangat tapi penuh arti.

“Pagi, Andi,” jawab Laras, mencoba menyembunyikan getar yang tiba-tiba menguasai dadanya.

Percakapan mereka mengalir ringan, membahas tugas-tugas yang harus diselesaikan hari itu. Namun di balik kata-kata itu, ada tarian makna tersembunyi—sebuah kode rahasia antara dua orang yang sudah terlalu dekat untuk sekadar rekan kerja.

Andi menyentuh sedikit rambutnya saat berbicara, tatapannya menempel erat ke mata Laras. “Hari ini kita shift bareng, ya?”

Laras mengangguk, mencoba menenangkan dirinya. Tapi detak jantungnya sudah tak teratur. “Iya, semoga semuanya lancar.”

Setiap kali Andi dekat, ada gelombang kehangatan yang merambat ke seluruh tubuh Laras. Nafsu yang selama ini ia pendam dengan susah payah mulai menggerogoti pertahanan batinnya. Godaan itu seperti magnet yang tak bisa ia hindari.

Saat rapat singkat dimulai, Laras berusaha fokus. Tapi pikirannya melayang ke malam-malam yang sudah ia lalui bersama Andi di luar tugas, dalam keheningan yang penuh gairah dan rahasia. Setiap sentuhan, setiap bisikan, menghidupkan kembali api yang hampir padam.

Selesai rapat, Andi mengajak Laras ke sudut ruang arsip yang sepi. Suasana yang biasanya membuatnya waspada, kini terasa seperti ruang penuh janji dan godaan.

“Kamu kelihatan lelah, Laras,” kata Andi lembut sambil menyandarkan punggung ke dinding.

Laras hanya tersenyum tipis. “Iya, beberapa hari ini banyak tekanan.”

Andi mendekat sedikit, jarak mereka hanya beberapa senti. “Kalau kamu mau, aku bisa nemenin kamu istirahat sejenak.”

Tatapan mata mereka bertemu, dan dunia seolah berhenti. Ada bisikan tanpa suara yang mengajak Laras menyerah pada keinginan yang selama ini ia tahan.

Namun, sebelum suasana semakin panas, suara pager memecah keheningan. Laras menarik napas dalam-dalam, mencoba mengembalikan ketenangan.

Hari-hari di kantor menjadi medan pertempuran batin antara tugas profesional dan godaan yang terus menghantui.

Saat jam pulang tiba, Laras kembali menerima pesan dari Andi di ponselnya. Pesan itu singkat tapi menggoda:

"Malam ini, di tempat biasa. Kita bicara lebih serius. Jangan bilang siapa-siapa."

Laras membaca pesan itu berulang kali, hatinya berdebar tak karuan. Ia tahu, ajakan itu bukan sekadar pertemuan biasa. Ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bisa mengubah segalanya.

Ia menatap langit senja dari jendela kantor, mencoba menenangkan diri. Tapi pikirannya sudah terjerat dalam jaringan godaan dan rahasia yang tak mudah dilepaskan.

Malam ini, pilihan sulit menunggu. Laras harus memutuskan apakah akan mengikuti panggilan hati yang berbahaya, atau mempertahankan segala sesuatu yang sudah ia bangun.

---

Tentu! Berikut Bab 1 Segmen 4 dengan judul "Nafsu yang Menggoda" sekitar 1000 kata dengan gaya getir, penuh emosi dan ketegangan.

---

Bab 1

Segmen 4: Nafsu yang Menggoda

Malam merayap pelan, menyelimuti kota dalam selimut kelamnya. Di balik tembok apartemen yang dingin, Laras berdiri di balkon, menatap lampu-lampu yang berkelap-kelip seperti bintang yang terjatuh. Udara malam menyapa wajahnya dengan lembut, tapi di dalam dadanya, ada gelombang yang jauh lebih keras — gelombang nafsu yang membakar setiap ujung syaraf, memaksa dia untuk tak lagi bersembunyi.

Dia menarik napas dalam, mencoba menahan gejolak yang membakar. Nafsu itu seperti racun yang mengalir dalam darahnya, membuat seluruh tubuhnya bergetar dalam keinginan yang tak pernah benar-benar padam sejak masa SMA. Selama ini, dia berhasil menyembunyikannya di balik topeng polwan berdedikasi, ibu yang setia, istri yang penuh tanggung jawab. Tapi malam ini, semua topeng itu mulai retak.

Laras tahu betul risiko yang mengintai. Suaminya, Rizal, sosok suami yang setia dan penuh cinta. Putrinya, Dinda, yang polos dan ceria, menjadi alasan dia bertahan dalam gelombang konflik batin yang mengoyak dirinya. Namun, seperti api yang semakin membesar, nafsu itu menggoda, menuntut dia untuk menyerah, untuk membiarkan diri tenggelam dalam gelap.

Ponsel di tangannya bergetar. Sebuah pesan dari Andi muncul di layar:

"Aku tunggu. Jangan buat aku menunggu lama."

Laras menghela napas, jari-jarinya gemetar saat mengetik balasan singkat:

"Aku datang."

Seketika itu, keputusan yang dia buat terasa seperti langkah ke jurang tanpa tali pengaman. Tapi entah kenapa, ada kebebasan yang aneh dalam kegelapan malam ini, sebuah pelarian dari rutinitas dan tanggung jawab yang melelahkan.

Dia melangkah masuk ke apartemen, menutup pintu dengan perlahan. Namun, sebuah bayangan samar tertangkap oleh sudut matanya — seseorang mengintip dari balik tirai jendela di seberang. Mata yang tak terlihat jelas, tapi penuh waspada dan penuh maksud. Laras membeku seketika, jantungnya seperti dipukul dengan keras.

Siapa itu? Apakah seseorang telah mengetahui rahasianya? Ataukah itu hanya bayangan yang diciptakan oleh imajinasinya sendiri, yang sudah terlalu lelah bertarung dengan diri sendiri?

Namun, tatapan dari balik tirai itu terasa nyata, seperti penjara tak kasat mata yang mulai menutup diri di sekelilingnya. Laras merasakan hawa dingin merayap di punggungnya, tetapi dia tidak mundur. Nafsu yang menggoda itu sudah terlalu kuat untuk ditolak.

Pikiran Laras melayang ke malam-malam gelap di masa lalu, ketika tubuh dan jiwa menyatu dalam gairah tanpa batas. Dia masih ingat dengan jelas sentuhan Andi, bagaimana jari-jari kasar itu menelusup lembut di kulitnya, membangkitkan api yang hampir padam. Setiap bisikan penuh janji di telinganya, setiap tatapan yang mengatakan lebih dari kata-kata.

Namun malam ini berbeda. Ada beban baru yang membuatnya tak hanya menyerah pada nafsu, tapi juga merasa seperti terperangkap dalam jaring yang semakin rapat. Rahasia yang sudah lama disembunyikan mulai mengancam untuk pecah, dan harga yang harus dibayar mungkin lebih mahal dari yang pernah ia bayangkan.

Laras menatap ke jendela sekali lagi, mencari bayangan itu, tapi sosok itu sudah lenyap. Hanya ada dinginnya malam dan suara gemerisik daun yang tertiup angin. Dia menutup tirai, mematikan lampu, dan bersiap pergi.

Saat melangkah keluar, setiap detik terasa seperti tarikan napas terakhir dalam sebuah permainan berbahaya. Nafsu yang menggoda bukan hanya tentang tubuh, tapi juga jiwa yang terluka, konflik yang belum selesai, dan pilihan yang bisa mengubah segalanya.

Dia tahu, malam ini bukan hanya soal pertemuan dengan Andi, tapi tentang menghadapi dirinya sendiri — sisi gelap yang selama ini ia sembunyikan, dan yang kini menuntut untuk diakui.

---

Awal dari Jalan Gelap

Lampu redup kafe itu memantulkan bayangan-bayangan samar di wajah-wajah yang berkumpul, namun di sudut paling tersembunyi, Laras dan Andi duduk berdekatan. Aroma kopi pahit bercampur dengan getar tak kasat mata yang melingkupi mereka. Senyum tipis yang mereka tukarkan bukan sekadar sapaan biasa, melainkan bahasa rahasia dari jiwa yang terikat dalam permainan berbahaya.

Laras menyesap kopinya perlahan, berusaha menenangkan gelombang emosi yang menggelegak di dalam dada. Namun tatapan Andi yang penuh arti membuatnya semakin sulit untuk berpura-pura. Ada ketegangan halus, seperti dua magnet yang saling tarik, antara keinginan dan rasa takut.

“Jadi, ini tempat favoritmu?” Andi bertanya, suaranya rendah dan menggoda.

Laras mengangguk, matanya menyelidik di balik tirai asap rokok yang melayang. “Ya, tempat ini... sepi, dan orang-orangnya jarang mengenal siapa aku sebenarnya.”

Andi tersenyum, “Seperti kita, ya?”

Mereka tertawa kecil, tapi di balik canda itu tersimpan keseriusan yang tak bisa diabaikan. Malam itu bukan hanya tentang pertemuan dua manusia, tapi awal dari perjalanan yang akan membawa Laras melewati lorong-lorong gelap penuh gairah dan bahaya.

Laras menatap keluar jendela kafe, melihat bayangan jalanan basah terkena hujan yang baru reda. Ia tahu, setiap langkah yang diambilnya malam ini semakin menjauhkan dirinya dari dunia lama yang penuh dengan kepastian dan tanggung jawab. Dunia di mana Rizal, suami setianya, menunggu dengan kasih tanpa curiga.

Namun, nafsu yang tak terpadamkan dan godaan yang terus memanggil membuatnya tak mampu mundur. Setiap sentuhan kata Andi di malam itu menjadi jerat yang semakin erat, menariknya masuk ke dalam pusaran yang tak tahu ujungnya.

“Malam ini, aku ingin kamu tahu bahwa aku ada untukmu,” bisik Andi, tangannya menyentuh lembut punggung Laras. “Bukan hanya sebagai teman, tapi lebih dari itu.”

Laras menelan ludah, perasaannya campur aduk antara keinginan dan penyesalan. Ia tahu, jalan yang dipilihnya adalah jalan gelap, tapi terkadang gelap itu justru terasa lebih hidup dibandingkan terang yang penuh kepalsuan.

Tiba-tiba, dering ponsel di atas meja memecah keheningan. Laras menoleh, melihat layar yang menampilkan nama “Rizal.” Hatinya tersentak. Dengan jari gemetar, ia mengangkat panggilan itu.

Suara lembut Rizal terdengar dari speaker. “Laras, kamu di mana? Aku khawatir.”

Dada Laras sesak. Kata-kata Rizal, yang penuh cinta dan ketulusan, menusuk jauh ke dalam lubuk hatinya. Namun di balik itu, ada kebohongan yang harus ia pelihara dan rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.

Andi menatapnya, mata penuh tanda tanya. Laras tahu, malam itu adalah titik balik. Titik di mana segala sesuatu yang selama ini ia bangun bisa runtuh dalam sekejap.

Dengan suara serak, Laras menjawab, “Aku… aku sedang di luar, Rizal. Jangan khawatir, aku segera pulang.”

Setelah menutup telepon, ia menatap Andi. Malam ini, segala sesuatu berubah. Tidak ada jalan kembali.

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel