BAB 5 – PINTU KEEMPAT YANG TAK BOLEH DIBUKA
Novel_Santo_dan_Santi
Penulis Cerita: Jakaria
BAB 5 – PINTU KEEMPAT YANG TAK BOLEH DIBUKA
Udara malam itu lebih dingin dari biasanya. Rumah Nyai Ranti, meski tertutup rapat, seakan mempersilakan kabut menyusup melalui celah-celah papan usang dan jendela kayu yang berderit setiap kali angin lewat. Santi terbangun dengan napas tercekat. Mimpi itu lagi. Sosok perempuan berambut panjang berdiri membelakanginya di ujung lorong gelap, membisikkan satu kalimat:
"Jangan buka pintu keempat."
Santo duduk di sisi ranjangnya, keningnya berkerut melihat wajah pucat Santi. “Mimpi itu lagi?” tanyanya pelan.
Santi mengangguk, menatap pintu tua yang hanya berjarak tiga langkah dari tempat tidur mereka. Pintu itu terlihat biasa saja—usang, catnya mengelupas, gagangnya berkarat. Tapi ada sesuatu dari pintu itu yang membuat jantung mereka berdegup lebih cepat setiap kali mereka melewatinya.
“Nyai Ranti pernah bilang, rumah ini hanya punya tiga ruang di lorong ini,” ujar Santo, menatap pintu itu. “Tapi kenyataannya... ada empat.”
Pak Suro pernah memperingatkan hal serupa saat mereka makan malam bersama. “Kalau kalian dengar suara dari balik pintu itu... biarkan saja. Jangan jawab. Jangan buka. Jangan dekati.”
Tapi malam ini... suara itu tidak hanya memanggil.
Suara dari balik pintu keempat terdengar jelas—ketukan lambat dan teratur, seperti seseorang yang tak sabar menunggu.
Tok. Tok. Tok.
Santi memeluk tubuhnya, tubuhnya menggigil. “Itu bukan mimpi, Santo. Aku dengar tadi.”
Santo menggenggam tangan Santi. Ia bangkit dan mengambil senter dari lemari kecil di sudut kamar. “Kita lihat saja. Kita selesaikan ini.”
Santi mencoba menghentikannya, tapi suara itu kembali terdengar.
Tok. Tok. Tok.
Santo melangkah perlahan di lorong yang semakin dingin. Nafasnya terlihat di udara seperti embun pagi, padahal ini malam. Semakin dekat ia ke pintu itu, semakin berat langkahnya. Gagang pintu itu seakan hidup—berdenyut pelan, seperti urat nadi manusia.
Santo menyentuh gagang itu... dan detik berikutnya, semuanya menjadi gelap.
---
Ia membuka mata dalam ruangan yang tidak dikenalnya. Dinding-dinding dipenuhi kain putih lusuh, dan aroma anyir darah memenuhi udara. Di tengah ruangan, seorang gadis berdiri—berpakaian lusuh, rambutnya menutupi wajah. Ia membisik:
"Aku bukan dari sini. Tapi kalian yang memanggilku kembali."
Santo mundur, tubuhnya membentur dinding kayu yang entah bagaimana terasa hidup—seperti bernafas, bergerak. Ruangan itu tak memiliki pintu. Tak memiliki jendela. Hanya suara bisikan yang berputar di sekelilingnya.
"Setiap generasi harus ada yang membuka pintu... agar aku bisa kembali. Agar aku bisa tinggal..."
Tiba-tiba, jeritan terdengar.
“SANTO!!” Santi menjerit dari balik pintu dunia nyata.
Ia memaksa membuka pintu keempat—tapi tak bergerak. Ia menjerit dan menangis, memukul kayu tua yang dingin seperti es. Nyai Ranti tiba-tiba muncul dari balik lorong, matanya terbuka lebar melihat pintu itu menghitam perlahan.
"APA YANG TELAH KALIAN LAKUKAN?!" teriak Nyai Ranti.
---
Sementara itu, di dalam ruang gelap, Santo melihat wajah perempuan itu—separuhnya hancur, kulitnya penuh luka. Ia mengangkat tangan ke wajah Santo.
"Aku hanya ingin tubuh... agar bisa hidup kembali."
Santo menjerit, tapi tubuhnya tak bisa bergerak. Kulitnya mulai berubah warna, matanya memutih. Perempuan itu menghisap kekuatannya, perlahan membuat nyawanya luruh.
Santi di luar mulai membaca doa, air matanya bercucuran. “Ya Allah... kembalikan Santo padaku. Kumohon... ambil aku saja, jangan dia...”
Dan tiba-tiba... pintu itu terbuka sendiri.
Santo terlempar keluar, tubuhnya membiru. Santi memeluknya, menangis tak percaya. Nyai Ranti menutup pintu itu sekuat tenaga lalu memaku tiap sudutnya dengan paku besi hitam.
“Pintu itu tak pernah boleh terbuka,” gumamnya. “Kalau tidak... ia akan menuntut tubuh lain... lebih banyak lagi...”
---
Malam itu, mereka tidur di ruang depan, jauh dari lorong.
Tapi di ujung lorong gelap... pintu keempat kembali bergetar. Pelan. Sangat pelan.
Tok. Tok. Tok.
(Bersambung ke bab 6)
PUISI
PINTU YANG DIKUNCI TAKDIR
(Jakaria)
Dalam gelap pintu berdesir
Suara lirih bagai bisikan getir
Jangan dekati, jangan menyingkir
Di balik kayu ada napas berputar liar
Pintu keempat berdiri pudar
Berwarna kelam seperti kubur segar
Tak bernama namun menyebar
Aroma kematian menusuk tajam dan benar
Langkah mendekat semakin liar
Darah dingin mengguyur sadar
Siapa berani ia yang gentar
Sebab di baliknya hanya kutukan besar
Tak semua ruang layak dijajar
Tak semua suara pantas didengar
Satu kesalahan membuka lebar
Dan dunia berubah jadi mimpi yang bubar
Bogor, 3 Mei 2025
Quote:
"Bukan semua pintu diciptakan untuk dibuka—beberapa mengurung bukan untuk perlindungan, tapi untuk peringatan."
#PintuKeempat #KutukanRumahTua #NyaiRanti #PakSuro #SantoDanSanti #HororCinta #CeritaMalamJumat #KutukanKuno #NovelHoror50Bab #RohJahat
