Pustaka
Bahasa Indonesia

RUMAH DI BATAS SENJA

29.0K · Tamat
Jakaria
19
Bab
3
View
9.0
Rating

Ringkasan

Novel_Santo_dan_Santi ‎Penulis Cerita: Jakaria ‎Sinopsis ‎ ‎Judul Novel: ‎RUMAH DI BATAS SENJA ‎ ‎ ‎--- ‎ ‎Sinopsis: ‎Santo dan Santi, sepasang kekasih muda dari kota, memutuskan tinggal sementara di sebuah desa terpencil demi menyelidiki warisan lama keluarga Santo: sebuah rumah tua yang telah puluhan tahun kosong. Namun, sejak mereka menginjakkan kaki di rumah itu, malam-malam mereka tak lagi tenang. Bisikan, bayangan, dan jeritan dari ruang-ruang kosong mulai menghantui. Ternyata, rumah itu menyimpan tragedi cinta berdarah dari masa lalu yang belum menemukan jalan damainya. ‎ ‎Sambil mempertahankan cinta mereka, Santo dan Santi harus melawan roh-roh penasaran, menggali rahasia kelam keluarga Santo, dan menyatukan jiwa-jiwa terkutuk yang menghuni rumah tersebut—sebelum cinta mereka sendiri ikut dikorbankan oleh kutukan berdarah yang tak mengenal waktu. ‎ ‎ ‎--- ‎ ‎Karakter Utama: ‎ ‎1. Santo Aksara – 25 tahun, pendiam, rasional, dan sedikit skeptis. Mewarisi rumah tua dari nenek buyutnya. Di balik sikap tenangnya, ia menyimpan rasa bersalah karena masa lalunya. ‎ ‎ ‎2. Santi Lestari – 23 tahun, penuh empati, sensitif terhadap hal-hal gaib. Cinta tulusnya kepada Santo membuatnya berani tinggal di rumah angker itu. ‎ ‎ ‎3. Nyai Ranti – Roh penasaran dari masa lalu yang menghantui rumah tersebut. Dulu seorang pengantin yang dibunuh sebelum malam pernikahannya. Kini, ia haus akan keadilan dan darah. ‎ ‎ ‎4. Pak Suro – Kepala desa yang tahu sejarah rumah itu, tetapi takut mengungkap semuanya. ‎ ‎ ‎5. Gendis – Gadis desa yang diam-diam menyukai Santo dan sering membantu Santi, tapi menyimpan rahasia besar. ‎ ‎ ‎ ‎ ‎--- ‎ ‎Alur Cerita (Secara Umum): ‎ ‎Awal: ‎Santo dan Santi tiba di desa, berkenalan dengan warga sekitar. Mereka tinggal di rumah tua dan mulai mengalami kejadian aneh. ‎ ‎Tengah: ‎Misteri demi misteri terkuak: suara tangisan tengah malam, lukisan yang berubah ekspresi, pintu yang mengunci sendiri. Santi mulai kerasukan Nyai Ranti. Hubungan mereka teruji karena tekanan gaib dan rasa takut. ‎ ‎Konflik Sub-Plot: ‎ ‎Gendis mulai memisahkan Santi dan Santo secara halus, karena cinta lamanya pada Santo. ‎ ‎Masa lalu keluarga Santo yang ternyata terlibat dalam pembunuhan Nyai Ranti. ‎ ‎Roh-roh lain yang ikut bangkit karena dendam belum terbayar. ‎ ‎ ‎Akhir: ‎Puncak konflik terjadi saat Santi nyaris dijadikan tumbal. Santo harus memilih: meninggalkan rumah dan menyelamatkan diri, atau berhadapan langsung dengan roh terkutuk. Dengan bantuan Pak Suro dan pengorbanan dari Gendis, mereka akhirnya berhasil menyucikan rumah tersebut. Tapi cinta mereka tak lagi sama. ‎ ‎--- ‎

RomansaDewasaSweetMenyedihkanBaperCeritaCeritaDrama

BAB 1 - BAYANGAN DI BALIK JENDELA

‎Novel_Santo_dan_Santi

‎Penulis Cerita: Jakaria

‎BAB 1 - BAYANGAN DI BALIK JENDELA

‎Kabut pekat menggantung rendah di atas Desa Tua Lembayung, sebuah desa terpencil yang sudah hampir terlupakan dunia. Di sanalah kisah ini bermula—sebuah kisah cinta dan kematian yang saling berpelukan erat dalam kegelapan.

‎Malam itu, angin menderu menampar pepohonan, memekikkan lolongan panjang dari hutan di utara. Rumah-rumah tua berdiri kaku di sepanjang jalan batu yang basah, sementara lampu-lampu minyak bergoyang tak menentu, seakan-akan mencoba mengusir sesuatu yang tak kasat mata.

‎Santo, seorang pemuda berusia 22 tahun dengan rambut hitam kusut dan mata penuh beban masa lalu, melangkah perlahan ke sebuah rumah kosong di pinggiran desa. Tangannya bergetar saat memegang kunci tua yang diwariskan neneknya. Rumah itu—konon katanya—sudah lama ditinggalkan setelah serangkaian kematian aneh menimpa keluarganya.

‎Di sisi lain jalan, dari balik jendela toko roti yang telah lama tutup, Santi mengawasinya. Santi, gadis berusia 20 tahun dengan rambut coklat gelap bergelombang dan mata bening penuh keingintahuan, adalah satu-satunya yang mempercayai bahwa Santo bukan pembawa sial seperti desas-desus warga desa. Ia tahu lebih dari siapapun, bahwa ada sesuatu yang lebih gelap dari sekadar kutukan keluarga.

‎Langkah Santo berhenti di beranda rumah. Kunci tua itu menolak berputar dengan mudah, seolah rumah itu sendiri menolak kehadirannya. Dengan satu tarikan napas panjang, ia memutar kunci itu keras-keras—dan suara klik keras menggema seperti tembakan di tengah keheningan malam.

‎Pintu terbuka perlahan, berderit parau. Aroma kayu lapuk, debu, dan sesuatu yang busuk menyeruak keluar, membuat Santo hampir mundur. Tapi tidak. Ia sudah terlalu lama lari dari masa lalunya. Ini saatnya menghadapi semuanya.

‎Santi, setelah memastikan bahwa tidak ada orang lain yang memperhatikannya, berlari kecil melintasi jalan, menyusul Santo. Ia tahu, membiarkan Santo sendirian di tempat itu bukan pilihan yang bijak.

‎"Santo!" serunya pelan, hampir berbisik.

‎Santo menoleh, matanya melembut saat melihat Santi mendekat.

‎"Kau tidak perlu ikut," katanya lirih.

‎"Aku tahu," jawab Santi, suaranya tegas. "Tapi aku tidak akan membiarkanmu sendirian di sini."

‎Mereka masuk bersama-sama ke dalam kegelapan rumah itu.

‎Dinding-dinding penuh retakan seperti urat-urat menghitam, dan di sudut-sudut ruangan, bayangan bergerak seolah-olah bernapas. Di ruang tamu, sebuah cermin besar tergantung, retak di sudutnya, memantulkan bayangan mereka dengan bentuk yang sedikit berbeda—seperti ada makhluk lain yang berdiri di samping mereka.

‎Santi bergidik.

‎Santo mengepalkan tangan.

‎Mereka melangkah lebih dalam, menuju ruang keluarga. Di sana, di atas meja kayu lapuk, ada sebuah buku tua bersampul kulit—penuh debu dan bercak gelap. Santo menyentuhnya, dan seketika itu juga, suhu ruangan turun drastis. Napas mereka terlihat dalam kabut putih kecil.

‎Tiba-tiba, ketukan terdengar dari jendela. Ketukan tiga kali, pelan... lalu semakin keras... dan keras... hingga terdengar seperti seseorang menggedor minta masuk.

‎Santi berbalik dengan cepat, menahan jeritannya. Di balik jendela, sesosok bayangan berdiri—tinggi, kurus, dengan mata merah membara. Sosok itu tidak bergerak, hanya menatap mereka dari luar.

‎Santo menarik Santi, membawa gadis itu menjauh dari jendela.

‎"Kita harus ke ruang bawah tanah," katanya. Ia tahu, ada sesuatu yang harus mereka temukan di sana—sesuatu yang bisa mengakhiri kutukan keluarganya.

‎Tangga menuju ruang bawah tanah tersembunyi di balik lemari tua. Dengan susah payah, mereka menggesernya dan menemukan pintu jebakan kayu, terkunci dengan rantai berkarat.

‎Dari balik pintu itu, suara-suara samar terdengar—seperti bisikan ratusan orang berbicara dalam bahasa yang tidak mereka mengerti.

‎Dengan hati-hati, Santo menggunakan kunci tua lainnya, yang tergantung di kalungnya, untuk membuka rantai. Dengan gemeretak mengerikan, pintu terbuka, memperlihatkan kegelapan pekat di bawah sana.

‎Mereka saling berpandangan.

‎Santo mengangguk.

‎Santi, dengan wajah pucat, balas mengangguk.

‎Mereka menuruni tangga kayu reyot itu, setiap langkah menimbulkan bunyi berderit yang menusuk telinga. Cahaya dari lentera kecil yang mereka bawa hanya mampu menerangi beberapa langkah di depan.

‎Di bawah sana, mereka menemukan sebuah altar tua, dipenuhi lilin-lilin hitam yang sudah hampir habis. Di tengah altar itu, ada sebuah boneka kayu usang, dengan paku-paku berkarat menancap di seluruh tubuhnya.

‎"Ini..." Santi berbisik, "ini boneka kutukan."

‎Santo berlutut, memeriksa boneka itu. Di bagian bawahnya, terukir nama keluarganya—nama yang selama ini membebani hidupnya.

‎Tiba-tiba, lilin-lilin itu menyala sendiri. Angin dingin bertiup kencang dari segala arah, memadamkan lentera mereka.

‎Dalam kegelapan itu, terdengar suara.

‎Suara seorang wanita.

‎Menyanyikan lagu nina bobo yang suram dan mematikan.

‎Santi menjerit kecil. Santo menariknya berdiri, tapi sebelum mereka bisa berlari, sesuatu mencengkeram kaki Santo. Sesuatu dingin, berlendir, dan tak terlihat.

‎Mereka berdua jatuh.

‎Dari kegelapan, makhluk-makhluk bermata merah mulai bermunculan, melingkari mereka, berbisik, mengancam, memanggil nama mereka berulang-ulang.

‎Santo tahu, ini bukan sekadar hantu biasa. Ini adalah roh-roh pendendam—makhluk-makhluk yang dikorbankan oleh nenek moyangnya untuk kekayaan dan kekuasaan. Dan sekarang, mereka menuntut balas.

‎Tiba-tiba, dari tengah altar, sosok wanita berpakaian lusuh dan wajah membusuk muncul. Tangannya menggapai, menunjuk ke arah Santo.

‎"Kau... darahmu... adalah kunci..."

‎Santi, dalam kepanikannya, meraih boneka kayu itu dan tanpa berpikir panjang, mencabut semua paku yang menancap di tubuhnya.

‎Jeritan mengerikan memenuhi ruang bawah tanah.

‎Bayangan-bayangan itu berhamburan.

‎Cahaya meledak dari altar, menyilaukan mata mereka.

‎Saat keduanya terbangun, mereka sudah berada di luar rumah, di bawah sinar bulan pucat.

‎Santo memandang tangan Santi yang memegang boneka itu—sekarang boneka itu retak, hampir hancur.

‎"Kau menyelamatkanku," bisik Santo.

‎Santi menggeleng pelan, matanya berlinang.

‎"Belum selesai, Santo," katanya. "Ini... baru permulaan."

‎Dan dari dalam rumah, di balik jendela lantai atas, sosok bermata merah itu masih mengintip, menunggu.

‎---

‎(Bersambung ke Bab 2)

‎Puisi

‎BAYANGAN DI BALIK JENDELA

‎(Jakaria)

‎Dalam gelap bisikan menyeru

‎Di balik kabut mimpi membeku

‎Langkah sunyi membelah waktu

‎Mencari nyawa yang dulu berlalu

‎Embun kelam jatuh perlahan

‎Menyelimuti jiwa yang terbuang sendirian

‎Di dalam rumah bersemayam kerinduan

‎Yang berubah menjadi kutukan dan kematian

‎Tak ada mentari menghangatkan tanah

‎Tak ada bintang menuntun arah

‎Hanya jerit pilu menyayat darah

‎Malam menggulung dalam resah dan amarah

‎Hantu lama terjaga dari tidur

‎Mencari cinta yang terlanjur hancur

‎Membisikkan janji dalam rindu yang kabur

‎Mengukir luka di dada yang hancur

‎Bogor, 28 April 2025

‎Quote:

‎"Kadang cinta bukanlah penyelamat, melainkan jalan sepi menuju kutukan yang abadi."

‎#HororRomantis

‎#KisahSantoSanti

‎#CintaDalamKegelapan

‎#HantuDanCinta

‎#MisteriMalam

‎#TerorMencekam

‎#CintaTakTerpadamkan

‎#RahasiaKelam

‎#BayanganMasaLalu

‎#KisahKelam